Kamis, 19 Maret 2015

PESTA MEJA PANJANG DI KAMPUNG MERASA KEC. KELAY, KABUPATEN BERAU, PROV. KALTIM. INDONESIA.



 PESTA MEJA PANJANG KAMPUNG MARASA                                                                                    KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR
 
Oleh : Saprudin Ithur

Kepala Kampung Marasa Bapak  Efendi Mahudin adalah orang asli suku Kenyah kelahiran Kampung Marasa Kecamatan Kelay. Namanya sudah jauh berbeda dengan nama orang sekampungnya, ada yang nama akhirnya Ngau, Juk, Liang, Laling atau awalnya Long. “Begitulah nama yang diberikan kedua orang tua saya sejak lahir” jelas Kepala Kampung saat saya bertandang di Kantor Kepala Kampung. Kampung Marasa terdiri dari 5 (lima) RT dengan penduduk lebih dari 1000 jiwa, adalah Kampung dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Kelay. Panjang Kampung dari hulu sampai hilir kurang lebih 1,5 Km. Satu RT yaitu RT 4 terpisah sekitar 1 Km dari kampung utama bagian hilir sungai Kelay dihubungkan dengan jalan semen yang cukup bagus. Kampung Marasa keseberang sungai dihubungkan dengan sebuah jembatan gantung yang sangat indah dan eksotik dengan panjang 140 meter diresmikan awal tahun 2013 pada bulan April dengan kekuatan tumpu jembatan 3 (tiga) ton. Jembatan yang indah itu menjadikan Kampung Marasa sebagai Kampung Budaya di Kecamatan Kelay semakin menarik untuk dikunjungi. Melihat keindahan sungai dan pulau kecil ditengah sungai dari atas jembatan gantung itu adalah sebuah atraksi alam yang tiada tara didukung dengan perkampungan yang masih asri. Aku seperti diatas singgasana keelokan alam yang masih semula jadi, sedangkan hidungku membaui bulir padi dan biji kakau yang dijemur disepanjang kampung. Aha……masih sangat alami…….

A.      Uma’ Dadu’
Uma’ Dadu’ berarti Meja Panjang. Istilah Uma’ Dadu’ bisa juga disebut dengan Lamin Dadu’ atau rumah panjang yang kita kenal dengan Lamin. Oleh nenek moyang dulu dari suku Kenyah pesta meja panjang dilaksanakan 2 (dua) tahun sekali. Tujuan diadakannya pesta meja panjang adalah :
1.       Berkumpulnya orang sekampung ditempat yang sama. Orang Dayak dalam berusaha, berkebun, mencari binatang buruan berhamburan ditengah hutan dan sepanjang tepi sungai, dengan pesta meja panjang mereka semua datang berkumpul dalam satu tempat;
2.       Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan terjalin terus menerus;
3.       Acara menjadi meriah dan ramai dalam sekampung.
Sebelum dikenalnya istilah meja panjang, nenek moyang suku Dayak sejak dahulu selalu melakukan acara Pelepa’ Uman atau upacara suwen yang dikenal dengan syukuran yang berlebih atau keramaian dengan berbagai acara budaya, olah raga dan makan-makan, setelah selesai  panen yang kita kenal dengan Pesta Panen. Pesta panen dilaksanakan apabila panen padi berhasil dengan memuaskan dan buah-buahan melimpah. Pesta panen dilaksanakan setiap tahun setelah selesai panen dan semua hasil sudah diangkut kelumbung atau kerumah masing-masing.
Beberapa tahun terakhir ini acara pesta panen tidak dilaksanakan di Kampung Marasa, tetapi acara meja panjang dilaksanakan setiap tahun pada waktu tahun baru 1 Januari. Disebut pesta meja panjang karena acaranya sangat meriah dan ramai sekali. Tamu yang datang mengikuti pesta meja panjang bukan hanya dari kampung Marasa saja, tetapi dari Kampung-kampung lain juga ramai datang memeriahkan acara pesta meja panjang. Berbagai jenis makanan disiapkan diatas meja panjang, setiap yang datang boleh mencicipi atau makan sepuasnya sesuai dengan selera masing-masing. Selain itu keunikan meja panjang adalah meja panjang terbuat dari bambu besar panjang yang dipecah rata dan rapi. Bagian luar bambu menjadi dasar meja panjang. Bambu yang telah dirapikan itu disusun dirangka kayu setinggi pinggang, maka jadilah meja panjang. Agar bambu tidak bergerak dan berubah posisi dijalin dengan tali rotan sedemikian rupa. Menjadikan meja panjang itu kuat untuk menahan beban peralatan dan makanan yang diletakkan diatasnya. Bambu untuk meja panjang dinamai Pata Bulo’. Rumah yang dibangun untuyk acara meja panjang disebut dengan Lepau Rado’.
Makanan utama yang menjadi andalan orang Dayak dipedalaman ketika acara pesta adalah Lemang atau Jenai, orang Dayak Ga’ai bilang Suman. Puluhan bambu lemang yang telah disiapkan diisi dengan beras yang telah dicampur dengan air santan kelapa. Cara memasaknya yang unik, biasanya mereka menyalakan api unggun dengan tumpukan kayu yang banyak. Api itu menyala sampai kayu mejadi bara, dengan bara api sangat panas itu bambu yang telah diisi dengan beras dipanggang atau disalai sampai masak, itulah Lemang atau Jenai. Selain itu ada nasi yang dibungkus daun pisang (io’ ran), ada pula  makanan asli seperti Jagung, Umbi-umbian, buah-buahan yang ada dan tumbuh disekitar kampung seperti rambutan, pelam atau mangga, langsat, malaka/nenas, jambu dan lain-lain.


B.      Dekorasi Meja Panjang
Dekorasi meja panjang dan sekeliling meja panjang unik dengan hiasan  kayu yang diraut, daun-daun palm, dan daun kelapa muda (janur) dan daun kelapa yang hijau ranau, semua masih bernilai tradisional dan sulit dicari dikota.
1.       Kerbu
Nama Kerbu bahasa Kenyah, Ibus bahasa Dayak Ga’ai adalah hiasan yang terbuat dari irisan atau rautan kayu yang sangat tipis menjadi keriting memanjang disatukan puluhan helai menjadi satu, digantung-gantung (kelirep), agar menjadi lebih indah kerbu diwarnai merah dan biru seperti tampak dalam gambar. Bentuk dan model kerbu macam-macam ada yang digantung seperti digambar ini, ada yang digantung beripasah satu dengan lainnya, ada pula yang masih melekat dan menyatu dengan kayu aslinya yang diraut tipis melingkar biasa dan melingkar siput.
Latar belakangan kerbu dalam gambar ini adalah susunan bambu yang telah dipecah dijadikan dinding, sedang dibagian atas adalah daun saung atau daun biru yang dapat dijadikan bahan dasar untuk membuat saung, seraung atau tudung penutup kepala. 

    Ruhang nyo’
Ruhang nyo’ adalah tempat untuk menaruh kelapa muda khusus dipersembahkan kepada tamu yang sangat dihormati seperti kepala Adat atau Bupati, Ketua DPRD dalam pemerintahan. Ruhang Nyo’ dibuat dari rotan yang dirangkai sedemikian rupa dapat digantung diketinggian satu atau dua meter. Buah kelapa muda yang sudah siap diminum diletakkan disana dengan alat pengisap air kelapa dari bambu kecil. Pada pesta meja panjang di kampung Marasa, ruhang nyo’ hanya ada di Lepau rado’ RT 2, karena pekerjaannya rumit dan membutuhkan waktu maka RT-RT lain tidak membuatnya. 



3.     Daun Saung
Daun Saung adalah daun palm hutan yang dijadikan bahan untuk membuat saung, seraung atau tudung penutup kepala. Daun tersebut diletakkan dan dibentuk bermacam-macam, ada yang diletakkan dengan daun menjuntai kebawah, ada yang diletakkan dengan daunnya keatas, ada yang dilipat-lipat menjuntai kebawah patah-patah, ada yang dibuat ketupat, sebagian dijadikan atap Lepau Rado’ (rumah meja panjang).
            
4.    Peralatan Makan
Peralatan makan tempo dulu piring masih menggunakan daun-daunan termasuk daun pisang, lebih maju daun pisang dibentuk agar nasi dan sayur tidak terhambur, setelah mengenal buah kelapa orang Dayak menggunakan batok kelapa yang dibelah dua menjadi piring dan peralatan dapur lainnya seperti sendok sayur, sendok nasi. Kemudian baru mengenal peralatan tembaga, kuningan, perak, dan terakhir menggunakan piring seng, dan piring kaca.

5.     Cawan Bulo’
Cawan Bulo’ adalah gelas yang terbuat dari potongan bamboo, ada yang polos saja ada yang diukir dengan kreatif. Sebelum mengenal gelas atau cangkir modern dulu orang Dayak sudah mengenal gelas yang dibuat dari potongan bambu. Dikampung dan ditepi-tepi sungai bamboo kecil, sedang dan bamboo besar banyak tumbuh dan tersedia bagi orang Dayak dipedalaman. 
                      
6.     Dekorasi Tambahan
Sebagai dekorasi tambahan dipasang daun kelapa muda menjuntai dan daun kelapa hijau menjuntai, daun kelapa dianyam, dibuat ketupat. Dipasang juga Saung berhias, Belanjet (anjat) dengan pernak pernik manik, Kawung (butah/tempat membawa barang yang digendong), tapan (tampi/nyiru untuk menanpi beras), Mandau, Sumpit, Tameng, Pat Daa (tikar terbuat dari pandan),

7.  Makna Simbolik Memasang Bulu Burung Dikepala Bagi Laki-laki Dewasa
      Memasang bulu burung enggang di kepala laki-laki dewasa tidak boleh sembarangan atau asal pasang saja, karena masing-masing bulu yang dipasang ditopi laki-laki dewasa pada upacara adat, acara pesta panen, atau acara pesta-pesta masyarakat Dayak Lainnya memiliki arti dan makna tersendiri :
      1) Meletakkan atau menancap bulu burung ditopi sebelah kiri adalah orang kebanyakan atau dikenal dengan orang biasa, bukan keturunan raja. Bagi masyarakat Dayak kebanyakan atau orang biasa mengerti tidak akan berani meletakkan bulu burung enggang disebelah kanan;
      2) Meletakkan atau menancap bulu burung ditopi sebelah kanan hanya boleh bagi keturunan raja atau kaum bangsawan Dayak saja. Suku Dayak yang ada di Kalimantan terdiri dari ratusan suku Dayak yang berbeda bahasa, budaya, dan kebiasaan sehari-hari termasuk mengayau (memotong kepala), masing-masing Dayak memiliki raja dan keturunan bangsawan. Sesama Dayak yang berbeda itu saat datang atau diundang pada  upacara adat atau pesta panen tahu membedakan mana orang biasa dan keturunan bangsawan dengan letak bulu burung enggang diatas kepalanya. Mereka memaklumi bagi orang yang datang tapi tidak mengerti menggunakan bulu burung enggang, diletakkan semaunya saja, dikiri, dikanan, atau ditengah. Melihat yang semacam itu mereka hanya tersenyum;
      3) Meletakkan atau menancap bulu burung enggang satu buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau satu kepala;
      4) Meletakkan atau menancap bulu burung enggang dua buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau dua kepala;
      5) Meletakkan atau menancap bulu burung enggang tiga buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau lebih dari tiga kepala. Laki-laki tersebut masuk dalam kata gori pemberani, jagoam dan sakti, artinya bukan orang sembarangan;
      Pada nomor 3), 4), 5) yang dikenal dengan Mengayau atau memotong kepala dilakukan pada zaman dahulu, setelah masuk pemerintahan Hindia Belanda mengayau sudah mulai dilarang dan akhirnya tidak dilakukan lagi oleh laki-laki dewasa suku Dayak. Symbol mengambil kepala yang pertama adalah pengakuan seorang pemuda dewasa boleh memilih pasangan hidup setelah mengayau dan membawa pulang kepala itu kekampung, melawati sidang adat kepala itu diperiksa kebenarannya. Setelah keputusan adat itu pemuda yang berhasil membawa kepala di Tiung atau ditato sebagai pemuda dewasa yang sudah siap mencari pasangan hidup. Sedangkan mengayau berikutnya adalah sebagai simbolik kejantanan, keberanian dan kesaktian. Ada lagi dengan memotong kepala Dayak lain, lalu kepala tersebut ditelakkan sebagai batas wilayah kekuasaan. Tanda itu sangat dihormati, apabila melanggar batas tanpa ijin kematianlah akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar