PESTA MEJA PANJANG KAMPUNG MARASA KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR
Oleh : Saprudin Ithur
Kepala Kampung Marasa Bapak Efendi Mahudin adalah orang asli suku Kenyah
kelahiran Kampung Marasa Kecamatan Kelay. Namanya sudah jauh berbeda dengan
nama orang sekampungnya, ada yang nama akhirnya Ngau, Juk, Liang, Laling atau awalnya
Long. “Begitulah nama yang diberikan kedua orang tua saya sejak lahir” jelas
Kepala Kampung saat saya bertandang di Kantor Kepala Kampung. Kampung Marasa
terdiri dari 5 (lima) RT dengan penduduk lebih dari 1000 jiwa, adalah Kampung
dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Kelay. Panjang Kampung dari hulu sampai hilir
kurang lebih 1,5 Km. Satu RT yaitu RT 4 terpisah sekitar 1 Km dari kampung
utama bagian hilir sungai Kelay dihubungkan dengan jalan semen yang cukup
bagus. Kampung Marasa keseberang sungai dihubungkan dengan sebuah jembatan
gantung yang sangat indah dan eksotik dengan panjang 140 meter diresmikan awal
tahun 2013 pada bulan April dengan kekuatan tumpu jembatan 3 (tiga) ton.
Jembatan yang indah itu menjadikan Kampung Marasa sebagai Kampung Budaya di
Kecamatan Kelay semakin menarik untuk dikunjungi. Melihat keindahan sungai dan
pulau kecil ditengah sungai dari atas jembatan gantung itu adalah sebuah atraksi
alam yang tiada tara didukung dengan perkampungan yang masih asri. Aku seperti
diatas singgasana keelokan alam yang masih semula jadi, sedangkan hidungku
membaui bulir padi dan biji kakau yang dijemur disepanjang kampung. Aha……masih
sangat alami…….
A. Uma’
Dadu’
Uma’ Dadu’ berarti Meja Panjang. Istilah
Uma’ Dadu’ bisa juga disebut dengan Lamin Dadu’ atau rumah panjang yang kita
kenal dengan Lamin. Oleh nenek moyang dulu dari suku Kenyah pesta meja panjang
dilaksanakan 2 (dua) tahun sekali. Tujuan diadakannya pesta meja panjang adalah
:
1. Berkumpulnya
orang sekampung ditempat yang sama. Orang Dayak dalam berusaha, berkebun,
mencari binatang buruan berhamburan ditengah hutan dan sepanjang tepi sungai,
dengan pesta meja panjang mereka semua datang berkumpul dalam satu tempat;
2. Hubungan
kekeluargaan dan kekerabatan terjalin terus menerus;
3. Acara
menjadi meriah dan ramai dalam sekampung.
Sebelum dikenalnya istilah meja
panjang, nenek moyang suku Dayak sejak dahulu selalu melakukan acara Pelepa’
Uman atau upacara suwen yang dikenal dengan syukuran yang berlebih atau
keramaian dengan berbagai acara budaya, olah raga dan makan-makan, setelah
selesai panen yang kita kenal dengan
Pesta Panen. Pesta panen dilaksanakan apabila panen padi berhasil dengan
memuaskan dan buah-buahan melimpah. Pesta panen dilaksanakan setiap tahun
setelah selesai panen dan semua hasil sudah diangkut kelumbung atau kerumah
masing-masing.
Beberapa tahun terakhir ini acara
pesta panen tidak dilaksanakan di Kampung Marasa, tetapi acara meja panjang
dilaksanakan setiap tahun pada waktu tahun baru 1 Januari. Disebut pesta meja
panjang karena acaranya sangat meriah dan ramai sekali. Tamu yang datang
mengikuti pesta meja panjang bukan hanya dari kampung Marasa saja, tetapi dari
Kampung-kampung lain juga ramai datang memeriahkan acara pesta meja panjang.
Berbagai jenis makanan disiapkan diatas meja panjang, setiap yang datang boleh
mencicipi atau makan sepuasnya sesuai dengan selera masing-masing. Selain itu
keunikan meja panjang adalah meja panjang terbuat dari bambu besar panjang yang
dipecah rata dan rapi. Bagian luar bambu menjadi dasar meja panjang. Bambu yang
telah dirapikan itu disusun dirangka kayu setinggi pinggang, maka jadilah meja
panjang. Agar bambu tidak bergerak dan berubah posisi dijalin dengan tali rotan
sedemikian rupa. Menjadikan meja panjang itu kuat untuk menahan beban peralatan
dan makanan yang diletakkan diatasnya. Bambu untuk meja panjang dinamai Pata
Bulo’. Rumah yang dibangun untuyk acara meja panjang disebut dengan Lepau
Rado’.
Makanan utama yang menjadi
andalan orang Dayak dipedalaman ketika acara pesta adalah Lemang atau Jenai,
orang Dayak Ga’ai bilang Suman. Puluhan bambu lemang yang telah disiapkan diisi
dengan beras yang telah dicampur dengan air santan kelapa. Cara memasaknya yang
unik, biasanya mereka menyalakan api unggun dengan tumpukan kayu yang banyak.
Api itu menyala sampai kayu mejadi bara, dengan bara api sangat panas itu bambu
yang telah diisi dengan beras dipanggang atau disalai sampai masak, itulah
Lemang atau Jenai. Selain itu ada nasi yang dibungkus daun pisang (io’ ran), ada
pula makanan asli seperti Jagung,
Umbi-umbian, buah-buahan yang ada dan tumbuh disekitar kampung seperti
rambutan, pelam atau mangga, langsat, malaka/nenas, jambu dan lain-lain.
B. Dekorasi
Meja Panjang
Dekorasi meja panjang dan
sekeliling meja panjang unik dengan hiasan
kayu yang diraut, daun-daun palm, dan daun kelapa muda (janur) dan daun
kelapa yang hijau ranau, semua masih bernilai tradisional dan sulit dicari
dikota.
1. Kerbu
Nama Kerbu
bahasa Kenyah, Ibus bahasa Dayak Ga’ai adalah hiasan yang terbuat dari irisan
atau rautan kayu yang sangat tipis menjadi keriting memanjang disatukan puluhan
helai menjadi satu, digantung-gantung (kelirep), agar menjadi lebih indah kerbu
diwarnai merah dan biru seperti tampak dalam gambar. Bentuk dan model kerbu
macam-macam ada yang digantung seperti digambar ini, ada yang digantung
beripasah satu dengan lainnya, ada pula yang masih melekat dan menyatu dengan
kayu aslinya yang diraut tipis melingkar biasa dan melingkar siput.
Latar belakangan
kerbu dalam gambar ini adalah susunan bambu yang telah dipecah dijadikan
dinding, sedang dibagian atas adalah daun saung atau daun biru yang dapat
dijadikan bahan dasar untuk membuat saung, seraung atau tudung penutup
kepala.
Ruhang
nyo’
Ruhang nyo’
adalah tempat untuk menaruh kelapa muda khusus dipersembahkan kepada tamu yang
sangat dihormati seperti kepala Adat atau Bupati, Ketua DPRD dalam
pemerintahan. Ruhang Nyo’ dibuat dari rotan yang dirangkai sedemikian rupa
dapat digantung diketinggian satu atau dua meter. Buah kelapa muda yang sudah
siap diminum diletakkan disana dengan alat pengisap air kelapa dari bambu
kecil. Pada pesta meja panjang di kampung Marasa, ruhang nyo’ hanya ada di
Lepau rado’ RT 2, karena pekerjaannya rumit dan membutuhkan waktu maka RT-RT
lain tidak membuatnya.
3. Daun
Saung
Daun Saung
adalah daun palm hutan yang dijadikan bahan untuk membuat saung, seraung atau
tudung penutup kepala. Daun tersebut diletakkan dan dibentuk bermacam-macam,
ada yang diletakkan dengan daun menjuntai kebawah, ada yang diletakkan dengan
daunnya keatas, ada yang dilipat-lipat menjuntai kebawah patah-patah, ada yang
dibuat ketupat, sebagian dijadikan atap Lepau Rado’ (rumah meja panjang).
4. Peralatan
Makan
Peralatan makan
tempo dulu piring masih menggunakan daun-daunan termasuk daun pisang, lebih
maju daun pisang dibentuk agar nasi dan sayur tidak terhambur, setelah mengenal
buah kelapa orang Dayak menggunakan batok kelapa yang dibelah dua menjadi
piring dan peralatan dapur lainnya seperti sendok sayur, sendok nasi. Kemudian
baru mengenal peralatan tembaga, kuningan, perak, dan terakhir menggunakan
piring seng, dan piring kaca.
5. Cawan
Bulo’
Cawan Bulo’
adalah gelas yang terbuat dari potongan bamboo, ada yang polos saja ada yang
diukir dengan kreatif. Sebelum mengenal gelas atau cangkir modern dulu orang
Dayak sudah mengenal gelas yang dibuat dari potongan bambu. Dikampung dan
ditepi-tepi sungai bamboo kecil, sedang dan bamboo besar banyak tumbuh dan
tersedia bagi orang Dayak dipedalaman.
6. Dekorasi
Tambahan
Sebagai dekorasi
tambahan dipasang daun kelapa muda menjuntai dan daun kelapa hijau menjuntai,
daun kelapa dianyam, dibuat ketupat. Dipasang juga Saung berhias, Belanjet
(anjat) dengan pernak pernik manik, Kawung (butah/tempat membawa barang yang
digendong), tapan (tampi/nyiru untuk menanpi beras), Mandau, Sumpit, Tameng,
Pat Daa (tikar terbuat dari pandan),
7. Makna Simbolik Memasang Bulu
Burung Dikepala Bagi Laki-laki Dewasa
Memasang bulu burung
enggang di kepala laki-laki dewasa tidak boleh sembarangan atau asal pasang
saja, karena masing-masing bulu yang dipasang ditopi laki-laki dewasa pada
upacara adat, acara pesta panen, atau acara pesta-pesta masyarakat Dayak
Lainnya memiliki arti dan makna tersendiri :
1) Meletakkan atau menancap
bulu burung ditopi sebelah kiri adalah orang kebanyakan atau dikenal dengan
orang biasa, bukan keturunan raja. Bagi masyarakat Dayak kebanyakan atau orang
biasa mengerti tidak akan berani meletakkan bulu burung enggang disebelah kanan;
2) Meletakkan atau menancap
bulu burung ditopi sebelah kanan hanya boleh bagi keturunan raja atau kaum
bangsawan Dayak saja. Suku Dayak yang ada di Kalimantan terdiri dari ratusan
suku Dayak yang berbeda bahasa, budaya, dan kebiasaan sehari-hari termasuk
mengayau (memotong kepala), masing-masing Dayak memiliki raja dan keturunan
bangsawan. Sesama Dayak yang berbeda itu saat datang atau diundang pada upacara adat atau pesta panen tahu membedakan
mana orang biasa dan keturunan bangsawan dengan letak bulu burung enggang
diatas kepalanya. Mereka memaklumi bagi orang yang datang tapi tidak mengerti
menggunakan bulu burung enggang, diletakkan semaunya saja, dikiri, dikanan,
atau ditengah. Melihat yang semacam itu mereka hanya tersenyum;
3) Meletakkan atau menancap
bulu burung enggang satu buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah
mengayau satu kepala;
4) Meletakkan atau menancap
bulu burung enggang dua buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah
mengayau dua kepala;
5) Meletakkan atau menancap
bulu burung enggang tiga buah ditengah bermakna laki-laki dewasa tersebut sudah
mengayau lebih dari tiga kepala. Laki-laki tersebut masuk dalam kata gori
pemberani, jagoam dan sakti, artinya bukan orang sembarangan;
Pada nomor 3), 4), 5) yang dikenal
dengan Mengayau atau memotong kepala dilakukan pada zaman dahulu, setelah masuk
pemerintahan Hindia Belanda mengayau sudah mulai dilarang dan akhirnya tidak
dilakukan lagi oleh laki-laki dewasa suku Dayak. Symbol mengambil kepala yang
pertama adalah pengakuan seorang pemuda dewasa boleh memilih pasangan hidup
setelah mengayau dan membawa pulang kepala itu kekampung, melawati sidang adat
kepala itu diperiksa kebenarannya. Setelah keputusan adat itu pemuda yang
berhasil membawa kepala di Tiung atau ditato sebagai pemuda dewasa yang sudah
siap mencari pasangan hidup. Sedangkan mengayau berikutnya adalah sebagai
simbolik kejantanan, keberanian dan kesaktian. Ada lagi dengan memotong kepala
Dayak lain, lalu kepala tersebut ditelakkan sebagai batas wilayah kekuasaan.
Tanda itu sangat dihormati, apabila melanggar batas tanpa ijin kematianlah
akibatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar