Selasa, 11 Agustus 2015

LEGENDA LAMIN TALUNGSUR



“ LAMIN TALUNGSUR"
 Oleh : Saprudin Ithur

Lamin adalah rumah orang Dayak yang panjang, besar, dan tinggi. Dirumah lamin itu tinggal sekian banyak orang, masing-masing keluarga dengan masing-masing bilik sederhana. Bilik itu membatasi keluarga satu dengan keluarga lainnya. Diantara sekian banyak orang yang tinggal di lamin itu, ada tinggal seorang janda. Janda itu telah ditinggalkan suaminya sejak anaknya masih sangat kecil, namanya Minai. Ia memiliki dua orang anak yang sekarang sudah besar. Anak yang pertama berumur sembilan tahunperempuan namanya Man’a, sedangkan adiknya baru berumur enam tahun laki-laki namanya Jit Jiu. Kedua anak itu selalu rukun, jarang sekali terdengar pertengkaran diantara keduanya, apalagi sampai berkelahi. Sifat kakaknya baik, selalu mengalah pada adiknya, sedangkan adiknya selalu mengerti walaupunh sedikit lucu dan lugu. Begitulah kehidupan bertiga beranak itu selalu rukun dan damai.
Karena hidup dalam keluarga besar dalam satu rumah lamin, beban hidup seorang janda  tidak menjadi berat. Sebab dalam lingkungan mereka tidak ada yang dibedakan satu sama liannya. Mereka hidup selalu tolong-menolong dan gotong-royong. Oleh karena itu pekerjaan seberat apapun dikerjakan dengan beramai-ramai, maka pekerjaan itu menjadi ringan.
Kedua anak Minai, meskipun usianya masih relatuf muda sudah pandai bekerja dan membantu ibunya. Anak pertamanya perempuan si Man’a sudah pandai menanak nasi, merebus air dan membakar ikan dan daging. Sedangkan adiknya senang membantu ibu dan kakaknya.
Ikan untuk lauk makan, mereka dapatkan dengan cara ditangkap di sungai atau mengail. Sedangkan daging mereka peroleh dengan cara berburu di hutan. Setiap berburu mereka selalu membawa anjing untuk mengepung hewan buruan. Sedangkan senjata atau alat berburunya adalah mandau, sumpit dan tombak. Kemanapun mereka pergi senjata-senjata ini jarang tertinggal dan selalu terselip di pinggang atau dipegang di tangan.
Ketika malam telah tiba, dengan segera mereka beristirahat, tidur nyenyak dengan  buaian angin malam bercampur embun yang membuat menjadi semakin dingin. Lamin yang damai itu disaksikan oleh awan yang  berarak melintasi tempat mereka. Menengok ke bawah, awan itu tersenyum lalu pergi lagi.
Pada hari minggu Minai pergi ke tepian sungai dengan membawa kail ditangan. Sesampainya di tepi sungai ia mencari-cari tempat yang bagus dan banyak ikannya. Dipilihnya tempat yang teduh, rindang oleh dedaunan, airnya tenang serta tempatnya bersih dan mudah untuk meletakkan kail serta mudah untuk menariknya. Cukup lama Minai berada di tempatnya tersebut, namun kailnya belum ada yang memakan, tidak ada seekor ikanpun yang ia dapat. Ibu tersebut heran bercampur kesal, sepengetahuannya sebentar saja mengail di tempat ini sudah banyak ikan yang  ia peroleh. Minai tetap sabar menanti sampai dapat. Matanya nanap menatap kearah kail diletakkan. Sesekali kail itu seperti ditarik ikan yang sedang bermain-main. Tapi setelah di angkat sedikit ke atas, tidak ada apa-apa yang tersangkut di mata pancing, hanya umpan kailnya yang habis.
Angin sepoi-sepoi yang bertiup mengenai raut muka ibu, gemerisik daun kering beradu sesama. Terdengar bergantian, ranting-ranting kecil patah-patah dikejauhan, seperti terinjak seorang raksasa. Si Minai terus menanti, menanti, dan… “Hiii…” tiba-tiba ia terpekik, tepat di hadapannya seekor ulat bulu menggantung, menggeliat-geliat seperti memohon bantuan. Minai tidak menghiraukan ulat bulu itu, lalu menggeser duduknya ke kanan menjauhi ulat bulu itu. Ia  gunakan seraungnya mengusir ulat itu sehingga ulat jatuh ke sungai. Bersamaan dengan itu Minai terkejut, sebab kailnya bergerak, ada yang menarik. Bergerak kesana-kemari, ketika ia berusaha untuk menarik dan mengangkat stik kayu kailnya, terasa begitu berat. Dengan sigap Minai terus berusaha menariknya, dan seekor ikan menggelepar-gelepar karena tersangkut mata kailnya.
Ikan itu besar dan panjang. Kulitnya licin tanpa sisik, bersirip, warnanya hitam mengkilap, seperti belut. Dalam bahasa Berau ikan itu namanya Jallau. Atau dikenal juga dengan nama mersapi. Ikan jallau sangat besar, cukup untuk dimakan hingga tiga hari.
Setelah berberes, ibu janda bergegas pulang. Sampai di rumah, ikan jallau hasilnya kailnya itu di bersihkan dan di potong-potong menjadi beberapa bagian ditepian sungai.
Satu-satunya cara yang paling mudah untuk memasak ikan tentu dengan di bakar.
Harum jallau yang dibakar menghambur sekeliling lamin. Minyak dari badan ikan jallu menetes kebara api. Sampai bara api hampir mati oleh tetesannya. Rasanya kitapun ingin cepat-cepat mencicipi. Ah sedap sekali.
Sejak tadi Minai sudah pergi kekebun mencari lalapan. anak perempuannya  si Man’a yang mendapat tugas menjaga ikan dan membalik-baliknya hingga masak. Sebelum ibunya pergi sempat berpesan kepada anaknya, “jangan kau tertawa di depan ikan yang sedang dibakar…tidak boleh, pamantang”. Sedang bau harum jallau dibakar itu semakin menghambur jauh diluar lamin.
Tapi apa yang terjadi, pesan tinggal pesan, Man’a dan Jit Jiu  lain pula lakunya. Apabila ia merasa aneh dan lucu maka tertawalah mereka. Tanpa menyadari hal ikhwal, akibat apa yang nantinya mereka terima. Awalnya memang hanya si Jit Jiu yang selalu tertawa, dan mudah tergoda untuk tertawa, sedangkan kakaknya si Man’a masih mampu menahan diri, masih bisa menegur adiknya yang melanggar pesan para orang tua itu.
Sejak dahulu mereka percaya benar kalau sedang membakar ikan, tidak boleh tertawa dihadapan dapur atau di hadapan tempat membakar ikan itu. Karena bagali, pamantang, dilarang menurut adat. Prilaku semacam itu bisa menimbulkan malapetaka yang tidak dapat dielakkan.
Kedua anak itu belum mengerti  apa maksud pesan dari ibunya. Mereka tahunya takut, apabila sedang diingatkan dan dimarahi, sedang peringatan itu mudah terlupakan oleh anak-anak seperti Man’a dan Jit Jiu. Awalnya mereka masih ingat dan saling mengingatkan, tapi setelah asyik semuanya menjadi lupa. Tertuju hanya pada satu perhatian, maka lupalah semuanya.
Ikan Jallau yang dibakar semakin kering, semakin meggeliat-geliat seperti hendak turun dari tempat pembakaran. Ketika sudah hampir jatuh, Man’a atau Jit Jiu letakkan kembali ke atas bara api. Begitu beberapa kali mereka lakukan sambil tertawa. Mereka terus tertawa sampai terbahak-bahak, hingga tidak ingat apa-apa dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar mereka bedua. “kak, kak..lihat itu ikannya turun lagi”. Ucap adiknya di sela tawanya.
“tangkap…tangkap dik….taruh  di situ lagi..” sambil menunjuk bara api, sedang Jallau menggeliat.
Di luar lamin angin sudah kencang menerobos daun-daun kayu dan bahkan menumbangkan pohon-pohon. Yang sedang berada di ladang semua bergegas pulang. Mereka heran dan bertanya-tanya ada apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
“Aku telah kalian siksa…aku telah kalian potong-potong untuk dijadikan makanan, tapi mengapa kalian menertawai aku seperti itu?” tiba-tiba suara muncul dari arah ikan yang sedang dibakar itu.
Kedua anak yang asyik tertawa….tidak terkejut, tapi mereka malah tertawa semakin keras.
“kak, dia bilang kita potong-potong..hahaha… mana bisa turun ya kak hahahah….sedangkan kita di sini.” Kata si adik. “iya..iya” Man’a menambahkan
“panggillah ibu kalian jika ingin melihat aku turun dari sini.” Sambung ikan itu. “aku akan tersambung lagi seperti semula dan turun bersama lami dan kalian ke dasar sungai…aku akan hidup bebas seperti sediakala.” Ujar ikan jallau dibara api
“hahahaha..dia mau bersambung kembali..kak, dia mau bersambung kembali kak…”kata Jit Jiu mengolok-ngolok semakin keras.
“iya..iya…masa ada ikan yang sudah dipotong mau menyambung lagi”.
“kalian ingin melihat buktinya?!” tanya si ikan
“bersambunglah..turunlah kalau memang kau bisa.” Tantang kedua anak tersebut bersamaan.
“baik……lihatlah!”
Maka secara sepontan dan teratur ikan jallau itu mulai menyambung kembali, bagian demi  bagian tubuhnya yang sudah terpotong-potong hingga tubuhnya kembali seperti semula tanpa ada bekas potongan sama sekali. Dengan  perlahan-lahan ikan itu tanpa merasa kepanasan bergerak turun dari atang dapur tempatnya dibakar.
Semua penghuni lamin telah berkumpul dalam rumah panjang itu, kaget melihat apa yang terjadi. Sedangkan di luar lamin angin bertiup semakin kencang dan terus bertambah kencang. Minai tidak sempat berbuat apa-apa, hanya menatap apa yang telah dilakukan kedua anaknya, kedua anaknya itu telah melanggar sumpah, telah melanggar Pamantang, telah melanggar adat nenek moyang.
Bersamaan dengan ikan turun, laminpun ikut bergerak turun. Tanah sekitar lamin itu longsor dan turun. Terus longsor masuk kedalam sungai mengikuti gerak dan geliat ikan jallau. Suara teriakan histeris ketakutan terdengar sangat kencang disepenjuru lamin menembus gunung-gunung dan sampai keawan gemawan, anak-akan berlari mendekap ibu dan ayahnya. Orang-orang tua sibuk berlari kesana kemari hanya disekitar lamin tidak mengerti harus berbuat apa. Anjing melolong kencang seperti memburu hantu, ayam terbang sambil berteriak tidak jelas memaknai situasi, semuanya hanya berteriak, berlari, ketakutan, tapi tidak menjauh dari lamin yang siap tenggelam. Dalam waktu yang sangat singkat lamin beserta isinya itu turun ke dasar sungai bersama dengan orang-orang tua, remaja, anak-anak, ayam dan anjing peliharaan yang ada ditempat itu. Sedangkan ikan jallau yang bersama lamin turun kedasar sungai langsung berenang dengan pongahnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ikan jallau itu hidup kembali seperti semula tanpa cedera sedikitpun.
Lamin tenggelam dan menghilang kedalam sungai seperti ditelan bumi………....
Dengan kejadian tersebut, maka tempat itu dikenal dengan LAMIN TALUNGSUR. Dibuktikan dengan sungai sekitar kejadian menjadi lebih lebar dan membentuk teluk. Konon tempat tersebut sangat angker, kalau kebetulan melalui tempat itu pada malam hari, tidak boleh berbicara sembarangan dan menimbulkan suara gaduh. Pada malam-malam jum’at tertentu, maka nampaklah rumah lamin didasar sungai.







Tamat

PARUAN, PAARUHAN



PARUAN
oleh : Saprudin Ithur

Paruan berasal dari Bahasa Berau atau bahasa Banua’. Paruan berasal dari dua kata yaitu kata “Pa”, kata  “Arua’” dan akhiran “An” menjadi “Paruan” . Pa berarti “ber” atau dipanjangkan menjadi “melaksanakan” atau “melakukan” atau “mengerjakan”, sedangkan Arua’ atau Aruah, adalah orang yang sudah meninggal dunia atau aruah. Ditambah dengan akhiran –an- menjadi aruaan atau aruahan. Dalam bahasa Berau biasanya hurup “h” diakhir kata hilang, tetapi dalam tuturnya mendapat tekanan, akhir kata mendapat tekanan, atau diberi koma diatas, contoh Ruma’, bua’, arua’, samba’, balla’ dan seterusnya.
Paruan artinya makanan yang dibawa didalam/diatas talam atau tampi/nyiru dengan cara dijunjung, makanan tersebut diantar kepada pegawai 12 atau kepada yang ahli membaca doa aruah/arua’. Dirumah pegawai 12 tersebut dibacakan doa arwa’ atau arwah. Makanan didalam talam semua untuk pegawai 12 yang membacakan doa tersebut. Apabila mampu dan berkelebihan juga dibagi-bagikan kepada sanak saudara, handai taulan. Paruan dilasakanan tiga hari, dua hari, atau satu hari sebelum bulan Puasa atau bulan Ramadhan.
Paruan atau Paruaan dapat diartikan juga sebagai seseorang atau keluarga yang melaksanakan membaca doa untuk arwah yang sudah meninggal dunia, yaitu orang tua, anak, istri, suami, atau kakek, yang meninggal baru atau meninggal dunia yang sudah lama (haul/haul jama’) dilaksanakan tiga hari, dua hari atau satu hari sebelum bulan Puasa atau bulan Ramadhan. Sebagian makanan yang telah dibacakan doa arwa’/arwah tersebut diantar ketetangga, sanak dan handai taulan.
Tradisi lama yang dikenal dengan Paruan tersebut masih dlakukan di Kampung-kampung suku Berau seperti di Gunung Tabbur, Bebanir Bangun, Maluang, Samburakat, Gurimbang, Tanjung Parangat, Sukan, dan lain-lain.
Paruan atau Paruaan tersebut juga dikenal dengan nama Arwahan, Ba Aruahan, Genduri.

Tanjung Redeb, 31 Juli 2015

Saprudin Ithur

BATURUNAN



BATURUNAN
Oleh : Saprudin Ithur
1. Sejarah  
Sejak 10.000-4.000 tahun yang lalu manusia purba sudah mendiami wilayah karst dan gua-gua yang ada disekitar Merabu sampai didaerah Bengalon dan sekitarnya, dibuktikan dengan peninggalan gambar batu cadas berbentuk telapak tangan dan beberapa jenis binatang di gua Beloyot, gua Abu dan beberapa gua lain ada disekitar Merabu, Mapulu dan Merapun. Pada sekitar tahun  2.000 sampai tahun 1.500 yang lalu, manusia purba tersebut berkembang lebih maju, mereka mulai membangun komunitas, dengan berkelompok dan hidup lebih modern, walaupun masih belum sepenuhnya meninggalkan tempat tinggal awal mereka, yaitu gua-gua dipegunungan karst. Komunitas yang lebih maju, mulai mendiami pesisir sungai yang terpisah dari gua. Pada akhir tahun 1.500 sudah ada beberapa tempat ditepi sungai dan pesisir pantai didiami manusia secara berkelompok, namun masih berpindah-pindah. Begitu datang manusia baru ke wilayah mereka, kelompok-kelompok yang belum mampu menyesuaikan diri, mereka langsung pergi menjauh lebih masuk ke hulu-hulu sungai atau kepedalaman, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri dengan manusia baru tejadilah hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dengan cara perkawinan. Selain yang dijelaskan diatas, manusia pertama yang mendiami gua-gua karst itu tidak pindah kedaerah pedalaman seperti yang dijelaskan diatas, tetapi mereka memang mendiami tempat itu sejak awal. Oleh pergerakan alam dengan naiknya dasar laut lebih tinggi membangun daratan baru yang sangat luas. Selain itu proses alam ribuan tahun membentuk delta-delta baru seperti gundukan pasir dan gundukan lumpur yang terbawa dari daratan yang sangat jauh melalui aliran sungai atau saat banjir besar, delta-delta tersebut membentuk daratan semakin luas. Maka wilayah batu dan pegunungan karst yang dahulunya ribuan tahun yang lalu berada ditepi laut, sekarang sudah berada jauh dari tepi laut. Bahkan ada yang sampai ratusan kilo meter ditengah daratan. Air  yang terperangkap oleh pegunungan dan bebatuan karst berusaha untuk keluar, keluar dari batu dan pegunungan karst itu mengalir ketempat yang lebih rendah dengan membentuk sungai-sungai kecil, sungai-sungai kecil itu menyatu menjadi sungai besar sampai kelaut. Kelompok manusia yang dahulunya mendiami gua-gua karst secara berangsur-angsur pindah ke tepi-tepi sungai membentuk komunitas satu atau dua keturunan disana, begitu pula kelompok atau keturunan lainnya membangun dan membentuk komunitas dan kekuatan untuk bertahan hidup diwilayah baru. Akhirnya kehidupan di gua-gua ditinggalkan dan semuanya tinggal di tepi-tepi sungai. Sungai dijadikan tempat mencari ikan, mandi dan lain-lain. Sungai juga dijadikan jalan penghubung yang sangat modern dijamannya setelah mengenal rakit dan perahu. Disungai selain mudah mendapat atau menangkap ikan, disungai juga mudah menangkap binatang, seperti babi, rusa, kijang dan lain-lain. Binatang tersebut ditangkap saat mereka menyeberang sungai yang dikenal dengan Malangui. Kalau babi dikenal dengan Bai Malangui. Orang-orang yang tinggal dipedalaman panen ikan saat ikan naik raja. Saat musim kemarau, air sungai surut  ikan patin dan ikan salap bertelur. Ketika mereka melakukan ritual bertelur, ikan patin dan ikan salap melompat-lompat sambil menggesekkan perutnya ke batu-batu koral yang terhampar, sebagian lagi melompat-lompat sampai  naik diatas gundukan koral yang terhampar di sepanjang sungai dipedalaman. Saat itulah mereka, masyarakat yang mendiami tepi-tepi sungai di hulu atau dipedalaman panen ikan dan makan ikan sepuasnya.
Kelompok ini kemudian menjadi lebih maju dan lebih modern dari yang pergi masuk kepedalaman atau yang tetap mendiami disekitar pegunungan karst. Kelompok-kelompok atau kominitas yang lebih banyak dan lebih ramai kemudian dikenal Banua dan kelompok yang lebih sedikit di sebut dengan Rantau. Kemudian hari tempat yang lebih ramai atau kota disebut dengan Banua. Sedangankan yang lebih sedikit penduduknya disebut dengan Rantau. Tetapi kata atau sebutan Rantau juga berarti tempat, yaitu sungai yang lurus antara dua belokan disebut orang Berau dengan Rantau. Artinya sungai yang lurus diapit oleh dua belokan, sungai yang lurus tersebut disebut Rantau. Penduduk yang tiggal disana, tetapi tidak begitu ramai disebut juga dengan Rantau. Banua dan Rantau tersebut antara lain, Banua Pantai, Banua Marancang, Banua Kuran, Banua Bulalung Banua Lati, Rantau Suwakung, dan Rantau Bunyut. Ada kemungkinan besar, sebelum berdirinya kerajaan Berau atau Berayu menurut tulisan Muh. Yamin, wilayah ini dibawah Kerajaan Sriwijaya. Sejak masa Sriwijaya sudah menyebarkan orang-orang diseluruh wilayah kekuasaannya sampai ke wilayan Banua dan Rantau yang ada di pesisir laut dan pesisir sungai  Berau di Borneo. Orang-orang utusan Sriwijaya tersebut menjadi perwakilan disana, baik untuk pemerintahan Sriwijaya maupun untuk memungut hasil atau pajak diwilayah Banua dan Rantau. Petugas yang datang dari Sriwijaya itu kawin mawin di Banua dan Rantau Berayu, kawin dengan orang-orang Dayak asli yang mendiami wilayah pesisir sungai dan pesisir pantai, percampuran orang Sriwijaya dengan orang Dayak tersebut menjadi cikal bakal orang Barrau. Orang Barrau keturunan Melayu dari Sumatera, keturunan dari Melayu utusan Sriwijaya. Kemudian hari dikenal dengan orang Berau.
Setelah sekian lama dengan berjalannya waktu keturunan kerajaan Sriwijaya, keturunan Dayak asli dengan Melayu Sriwijaya tersebut menjadi para punggawa dan pemimpin di Banua dan Rantau, dengan pengalaman mereka dari kerajaan Sriwijaya kemudian hari mendirikan pemerintahan sendiri dengan merdeka. Yaitu Kerajaan Berau. Bahasa pemersatu atau bahasa Negara Kerajaan Barrau adalah bahasa Banua atau bahasa Barrau. Bahasa Barrau atau bahasa Banua tersebut adalah bahasa baru hasil perpaduan, percampuran bahasa Melayu Sriwijaya, Dayak Asli, Hindu, dan bahasa alam sekitar sesuai lingkungan kehidupan mereka. Kerajaan Barrau juga dikenal dengan Kerajaan Berayu (tulisan Sejarawan nasional Muh. Yamin). Kerajaan Berau berdiri pada tahun 1.400 Masehi, dipimpin oleh Baddit Dipattung dengan gelar Adji Soerja Natakesoema. Soerja (Surya) artinya matahari, Natakesuma artinya menata Negara. Luas wilayahnya dari Tanjung Mangkalihat berbatasan dengan kerajaan Kutai, sampai di Kina Batangan berbatasan dengan Kerajaan Berunai. Lautnya berbatasan dengan Kerajaan Solok atau Suluk dan Laut Salebes (Sulawesi).
Dengan bahasa nasionalnya adalah Bahasa Barrau atau Banua, maka orang Dayak yang masuk diwilayah Kerajaan Berau dan pendatang seperti Tidung, Berunai, dan Suluk yang ada di pesisir sungai, pesisir pantai dan pulau-pulau harus menggunakan bahasa pergaulan, bahasa persatuan yaitu Bahasa Banua. Oleh karena itu orang Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, Dayak Punan, dan Dayak Basaf harus bisa berbahasa Banua, maka bahasa Dayak Ga’ai, Lebbo, Basaf dan Punan banyak dipengaruhi dan bercampur dengan bahasa Melayu Banua. termasuk kata yang sangat popular di masyarakat Barrau yaitu Baturunan.

2.  Filosofi Baturunan
Dimaksud Baturunan adalah membantu orang lain bersama-sama dengan ikhlas.
Contoh :
1)      apabila ada salah satu penduduk yang belum selesai menuai (memanen) padi, secara ikhlas tetangga sekitarnya yang sudah selesai menuai padi miliknya rame-rame membantu menuai sampai dengan selesai.
2)      Salah satu diantara masyarakat yang selesai membuat perahu. Perahu ditepung tawar (di kuur sumangati), dilanjutkan dengan menurunkan perahu ke sungai, diundang tetangga dan kerabat makan bersama dilanjutkan dengan mendorong perahu beramai-ramai sampai ke sungai (air).
3)      Ketika salah satu masyarakat mengadakan pesta perkawinan, tetangga secara ikhlas datang membantu ramai-ramai, sesuai dengan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
4)      Upacara adat, misalnya upacara Manguati Banua. Semuanya secara sadar turut mendukung dan mengikuti semua kegiatan dan ritual yang dilaksanakan.
5)      Upacara hari besar agama, misalnya Maulid Nabi. Semuanya datang ke Mesjid, membersihkan Mesjid, menghias Mesjid. Semuanya datang memeriahkan Mesjid dengan membawa Puncak Rasul yang telah dihias. Selesai acara, Puncak Rasul dipotong-potong dibagikan kepada semua yang hadir.
Jadi Baturunan adalah tradisi lama gotong royong yang tanpa diperintah, atas kesadaran sendiri untuk membantu orang lain, ikhlas dan dengan senang hati.
Filosofi Baturunan masih relevan dengan keadaan sekarang, didalamnya terkandung makna yang sangat tinggi, yaitu solidaritas, kerja sama, kekompakan, kekerabatan, tenggang rasa,  tidak memandang kaya dan miskin, tidak memandang suku, agama, dan ras, siapa saja yang membutuhkan pertolongan harus segera diberikan pertolongan, silaturahmi, pertemanan, menghormati yang tua, menghargai yang muda, persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, bangga dengan budaya daerah.

3.  Baturunan Manurunkan Parau
Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau mengangkat kembali Budaya Upacara Baturunan. Mulai tahun 2014, dihalaman Museum Batiwakkal Kabupaten Berau di Gunung Tabbur diadakan upacara Baturunan Manurunkan Parau. Perahu lomba yang ada disamping Museum di tepung tawar oleh Putri, dibacakan doa oleh sesepuh Agama Gunung Tabbur, lalu perahu yang beratnya lebih 300 kilo gram itu diangkat beramai-ramai, diangkat ramai-ramai dengan satu komando. Lalu diturunkan kesungai Segah. Ikut mengangkat Baturunan Manurunkan Parau antara lain Bupati Berau, Wakil Bupati Berau, Sekretaris Daerah, Pemangku Adat Gunung Tabbur dan Pemangku Adat Sambaliung, Kepala SKPD, perwakilan paguyuban, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain. Filosofi yang terkandung didalam Budaya Baturunan Manurunkan Parau tersebut antara lain :  silaturahmi, pertemanan, persahabatan, keamanan, kekerabatan, kerja sama, kekompakan, satu tujuan, menggalang persatuan dan kesatuan masyarakat Berau untuk membangun Berau bersama-sama, bangga dengan budaya daerah.
Tujuan pokoknya Baturunan Manurunkan Parau adalah Gotong Royong, kebersamaan, kekompakan, satu tujuan, persatuan dan kesatuan untuk membangun Berau, dan bersama-sama membangun untuk masyarakat Berau sejahtera.

Tanjung Redeb, 24 Maret 2015