Rabu, 06 Maret 2024

ANJAT ASLI BERAU

 Anjat adalah Tas Gendong dan Tas Selempang Tradisional suku Dayak Kalimantan. dibuat secara tradisonal dengan cara Rotan diambil dari hutan, kemudian dibelah dan diraut sampai halus. Selanjutnya dianyam dan dibentuk sedemian ruma menjadi Tas Gendong atau Tas Selempang yang sangat cantik dan indah 





ANJAT KOMUNITAS BERAU

Anjat Berau: Melestarikan Warisan Budaya Melalui Kerajinan Rotan


Pendahuluan:

Di tengah-tengah Borneo, di tengah hutan-hutan lebat Kalimantan, terdapat tradisi berabad-abad yang telah menjalin dirinya ke dalam kain budaya wilayah Berau. Anjat, kerajinan tradisional yang terbuat dari rotan Kalimantan asli, merupakan bukti kecerdasan dan kekayaan budaya komunitas lokal. Artikel ini mengupas tentang pentingnya Anjat Berau, menjelajahi sejarah, kerajinan, dan kepentingannya dalam melestarikan warisan budaya.


Sejarah Anjat Berau:

Anjat telah menjadi bagian integral dari budaya Berau selama berabad-abad, bermula dari zaman kuno ketika masyarakat adat Dayak pertama kali menetap di wilayah tersebut. Awalnya digunakan untuk tujuan praktis seperti membawa barang dan perlengkapan berburu, Anjat perlahan-lahan berkembang menjadi simbol identitas budaya dan keahlian tangan. Kerajinan menenun Anjat telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan setiap pengrajin menyuntikkan keterampilan dan kreativitas unik mereka ke dalam proses tersebut.


Kerajinan dan Teknik:

Anjat Berau dibuat dengan cermat menggunakan serat rotan alami yang dipanen dari hutan Kalimantan. Proses dimulai dengan pemilihan rotan berkualitas tinggi, yang kemudian dibersihkan, dikupas, dan disiapkan untuk ditenun. Para pengrajin yang terampil menggunakan teknik menenun tradisional, merangkai serat rotan dengan rumit untuk menciptakan keranjang Anjat yang kokoh dan tahan lama. Kerajinan yang terlibat dalam menenun Anjat membutuhkan ketepatan, kesabaran, dan pemahaman mendalam tentang bahan, menghasilkan karya seni fungsional yang indah.


Simbolisme dan Kepentingan Budaya:

Di luar utilitas praktisnya, Anjat memiliki simbolisme yang mendalam dan pentingnya budaya bagi masyarakat Berau. Penggunaan rotan Kalimantan asli tidak hanya mencerminkan kelimpahan alam wilayah tersebut, tetapi juga melambangkan harmoni dengan lingkungan dan rasa hormat terhadap kerajinan tradisional. Keranjang Anjat sering dihiasi dengan pola dan motif rumit yang terinspirasi oleh alam, cerita rakyat, dan warisan nenek moyang, berfungsi sebagai narasi visual tentang identitas budaya Berau dan hubungan spiritual dengan tanah.


Penggunaan Utilitarian dan Dekoratif:

Anjat melayani tujuan utilitarian dan dekoratif dalam masyarakat Berau, mencerminkan fleksibilitas dan adaptabilitasnya terhadap berbagai konteks. Secara tradisional, keranjang Anjat digunakan untuk membawa hasil pertanian, peralatan memancing, dan barang-barang rumah tangga, menunjukkan fungsionalitas praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Anjat juga dihargai karena daya tarik estetikanya, dengan keranjang yang indah sering dipajang sebagai hiasan di rumah, upacara, dan acara budaya.


Melestarikan Warisan Budaya:

Saat modernisasi dan globalisasi menghadapi ancaman terhadap kerajinan tradisional dan praktik budaya, upaya untuk melestarikan Anjat Berau sangat penting untuk menjaga warisan budaya Berau. Inisiatif masyarakat, koperasi pengrajin, dan organisasi budaya memainkan peran penting dalam mempromosikan kerajinan Anjat, menyediakan program pelatihan, dan menciptakan peluang pasar bagi pengrajin lokal. Dengan memberdayakan para pengrajin dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya budaya Anjat, inisiatif-inisiatif ini berkontribusi pada pelestarian identitas dan warisan budaya Berau yang berkelanjutan.


Tantangan dan Peluang:

Meskipun memiliki signifikansi budaya, kerajinan Anjat menghadapi tantangan seperti berkurangnya sumber daya alam, persaingan dari bahan sintetis, dan perubahan preferensi konsumen. Namun, ada juga peluang untuk inovasi dan kolaborasi, seperti mengeksplorasi praktik budidaya rotan yang berkelanjutan, mengintegrasikan elemen desain modern ke dalam teknik tradisional, dan memanfaatkan pasar niche untuk produk-produk kerajinan. Dengan merangkul peluang-peluang ini dan mengatasi tantangannya, Anjat Berau dapat terus berkembang sebagai simbol ketahanan budaya dan kreativitas.


Kesimpulan:

Sebagai kesimpulan, Anjat Berau merupakan contoh gemilang dari warisan kerajinan tradisional dan budaya di wilayah Berau Kalimantan. Melalui keindahan yang eksklusif, utilitas fungsional, dan simbolisme yang dalam, Anjat mencerminkan semangat komunitas lokal dan hubungan mereka dengan tanah. Dengan melestarikan dan mempromosikan kerajinan Anjat, kita tidak hanya merayakan warisan budaya yang kaya dari Berau tetapi juga menghormati ketahanan, kecerdasan, dan kreativitas masyarakatnya. 










Senin, 19 Februari 2024

CAGAR BUDAYA KUBURAN LUNGUN DI GUA PETAU DESA LONG LANUK KABUPATEN BERAU KALTIM

 

PERJALANAN MENUJU GUA LUNGUN GUA PETAU GUNUNG NYAPA

KAMPUNG LONG LANUK KECAMATAN SAMBALIUNG

KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR

 

Sebelum merebaknya Covid19 tahun 2020-2021, Pesawat yang siap membawa wisatawan dari Balikpapan menuju Berau antara lain Pesawat Garuda, Lion/Wing air, Sriwijaya, Batik Air dan Kalstar, sampai di Bandara Kalimarau Berau. Luarbiasa ramainya wisatawan Nasional dan Mancanegara datang ke berbagai destinasi wisata Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Dimasa Covid19 anjlok total. Awal tahun 2022 hanya ada satu pesawat yaitu pesawat Wing Air yang mendarati Bandara Kalimarau Berau. Balikpapan-Berau dan Samarinda-Berau pulang pergi. Harga tiketnya sangat mahal. Itupun masyarakat Kabupaten Berau masih bisa bersyukur walaupun tiket masih mahal. Tahun 2023 baru mulai ada tambahan pesawat Batik Air yang terbang langsung dari Jakarta-Berau dan Surabaya Berau pulang pergi. Sedangkan pesawat kecil Susi Air terbang Balikpapan-Pulau Maratua, Kalimarau Berau-Pulau Maratua  dan Samarinda-Pulau Maratua pulang pergi. Alhamdulilah penumpang keluar masuk Kabupaten Berau semakin ramai. Destinasi wisata Kabupaten Berau Kembali menggeliat ramai.

Mari kita mulai menelusuri perjalanan menuju destinasi wisata budaya kampung Log Lanuk Kecamatan Sambaliung. Tujuan kita selain Desa Long Lanuk yang dihuni masyarakat asli suku Dayak Ga’ai, juga kita coba berpetualang ke Kuburan Lungun, makam dalam gua di Gua Petau yang berada di pegunungan Nyapa. Dari kota Tanjung Redeb Kabupaten Berau menuju Kampung Long Lanuk melintasi Kampung Labanan, Kampung Tumbit Melayu, Kampung Tumbit Dayak dan sudah sampai di Kampung Long Lanuk. Jarak dari kota Tanjung Redeb tidak kurang dari lima puluh kilometer, berkendaraan darat ditempuh satu jam sudah sampai, atau lambat dan santai saja bisa dua jam, tergantung kecepatan dan cuaca diperjalanan. Dulu kita sebelum ada jalan tembus, sampai dipendopo selamat datang kampung Long Lanuk, lalu menyeberang ke kampung. Sekarang jalan darat melintasi kampung Tumbit Dayak, langsung sampi di Kampung Long Lanuk. Sesampai disana sebaiknya ke Kantor Desa dulu baru persiapan selanjutnya. Dikampung Long Lanuk wisatawan bisa berinteraksi langsung dengan Masyarakat suku Dayak Ga’ai.

Dari sana dari kampung Long Lanuk dilanjutkan dengan naik perahu bermesin ketinting menyusuri sungai Kelay selama kurang lebih satu jam, maka sampailah di tepi gunung karst Gunung Nyapa. Dari sana pengunjung harus berjalan kaki. Harus kuat lho…karena langsung memanjat gunung yang cukup terjal dengan batu-batu yang licin dan tajam. Pengunjung sebaiknya menggunakan sepatu karet yang ada giginya seperti sepatu bola, sepatu tersebut kuat, tidak licin, dan tidak mudah robek. Sepanjang perjalanan baik waktu memanjat maupun turun harus pakai tali dan berpegangan tali serta  didampingi dua orang pemandu yang paham dengan situasi dan kondisi menuju gua Lungun. Direkomendasikan menggunakan pemandu masyarakat Kampung Long Lanuk yang paham dengan situasi dan kondisi atau medan pegunungan Nyapa.

Sampai dimuara Gua Petau langsung disuguhi dengan suasana yang berbeda. Aroma bau special gua sudah tercium menyengat dari luar, suara kelelawar yang merasa terganggu oleh kedatangan kami semakin riuh sepertinya siap-siap untuk terbang meninggalkan tempatnya. Dari muara gua sudah terlihat tiang-tiang kayu ulin yang masih berdiri, miring, dan sebagian lagi sudah rebah. Sisa tiang-tiang itu adalah bekas tiang atau tongkat rumah-rumah untuk menempatkan peti mayat yang disebut orang Dayak Ga’ai Kuwung. Masing-masing rumah kecil dalam gua yang disebut mereka Bleah itu dimasukkan satu atau dua peti mayat atau Kuwung. Karena sudah lapuk dan sebagian runtuh, peti mayatpun bergelimpangan bersama reruntuhan kayu lainnya. Disetiap peti mayat ada benda yang ditingggalkan berupa guci/tempayan, botol, panci, tempat ludah menginang (palujaan), parang, Mandau, tombak dan lain-lain.

Gua Lungun, Gua Petau dapat dimasuki sejauh kurang lebih lima puluh meter, semakin kedalam semakin gelap. Oleh karena itu masuk kedalam gua harus menggunakan penerangan yang bagus dan baik seperti senter atau lampu lainnya. Kalau tidak, maka tidak bisa masuk dalam gua yang gelap gulita tersebut. Di langit-langit gua disarangi ribuan kelelawar, kotoran kelelawar menumpuk didasar gua, wisatawan yang masuk, berdiri dan berjalan diatas tumpukan kotoran kelelawar yang banyak ulatnya. Kotoran kelelawar itu masuk kerumah tempat menyimpan peti mayat yang disebut Dayak Ga’ai dengan Bleah, kotoran kelelawar memenuhi peti mayat atau Kuung juga. Sebagian besar Kuung rusak dan hancur termakan waktu dan dipenuhi kotoran kelelawar dan hancur.

Dibagian dalam Gua Petau, sebagian besar Bleah masih utuh, demikian juga dengan Kuung masih terlihat utuh. Berbeda dengan dibagian muara, Bleah dan Kuung pada umumnya sudah rusak, runtuh dan hancur dimakan usia dan ditindis kotoran kelelawar, sedangkan peti mayat (Kuung) sebagian sudah hancur dan rusak dimakan waktu.

1.     Temuan satu

2.     Temuan dua

3.     Temuan tiga dan seterusnya

Tidak kurang dari 20 (dua puluh) buah bleah dan kuung yang ada didalam Gua Petau. Sebagian beasar sudah hancur, tinggal beberapa buah yang masih utuh berada dipojok bagian paling dalam Gua Petau. Semoga yang masih utuh itu tetap bertahan sebagai bukti Sejarah 300-400 tahun yang lalu. Dipedalaman Sungai Kelai, di Gunung Nyapa kampung/desa Long Lanuk benar ada Kuburan Lungun dan masih bisa disaksikan sampai sekarang. Itu semua membuktikan bahwa Teknologi Tradisional dan Pengetahuan Tradisional suku Ga’ai yang disebut orang Berau suku Dayak Sagai’ sudah patut diperhitungkan pada masanya kisaran tahun 1400- 1500 Masehi yang lalu.

Setelah masuk dalam gua Petau yang penuh dengan pemakaman itu, pengujung boleh masuk ke gua lain yang tidak jauh dari gua Petau yaitu Gua Lebo. Untuk sampai kemuara gua Lebo harus bergelantungan dengan tali dan harus dibantu pemandu. Dalam Gua Lebo’, dasarnya langsung turun terjal kebawah sedalam dua puluh meter lebih. Didasarnya ada sungai dengan air yang mengalir. Disekitar sungai itu banyak sarang burung wallet putih, sedangkan dibagian luar dekat muara banyak sarang wallet hitam yang disebut sarang lumut.

Selain perjalanan menuju gua Lungun, pengunjung juga bisa menikmati keindahan alam pegunungan karst Gunung Nyapa yang sangat indah dan masih perawan. Traveling menyususri punggung gunung Nyapa sambil menikmati keindahan alam, dengan berbagai jenis pohon, berbagai jenis tumbuhan dibatu, berbagai jenis anggrek, berbagai jenis tumbuhan keladi, berbagai jenis tumbuhan pakis, berbagai jenis tumbuhan merambat. Masih ada lagi, dipegunungan Nyapa juga tempat hidup dan berkembangnya puluhan jenis primata, tempat hidup dan berkembangnya puluhan jenis binatang melata, berbagai jenis tupai pohon dan tupai tanah, tempat hidup dan berkembangnya puluhan jenis unggas, pelanduk (kancil), kijang (menjangan), Payau (rusa), banteng, rimaung daan (macan dahan), kucing hutan, kukang, beruang, dan ayam hutan.

Biaya perjalanan menggunakan mobil terhitung satu hari Rp. 1.000.000, dilanjutkan dengan naik perahu ketinting biaya Rp 300.000 bisa naik empat orang, dan pemandu Rp. 100.000 per-orang per-hari (hitungan satu hari = satu jam sampai delapan jam). Tapi untuk diketahui itu harga dulu,harga lama, bisa saja sekarang sudah berubah. Silahkan negosiasi dulu. Pastikan harga sewa mobil pulang pergi dari Bandara Kalimarau atau kota Tanjung Redeb menuju desa Long Lanuk pulang pergi. Sesampai di kampung, bernegosiasi dengan Masyarakat kampung berapa harga sewa perahu ketinting pulang pergi dan pemandu perhari. Tidak mahal kok, anda kalua sudah sampai di Gua Petau pasti puas dan terbayar semua Lelah dan biaya yang dikeluarkan.

Berau dengan sejuta pesona dan sejuta keindahan. Ayo tamasya ke Kabupaten Berau, jalan-jalan ke Gua Petau di Gunung Nyapa.

Jumat, 16 Februari 2024

KISAH 4 PAHLAWAN POLISI GUGUR DI PULAU BALIKUKUP 1957. BERAU KALTIM INDONESIA

 

PERTEMPURAN MELAWAN MAUT

Kisah Empat Pahlawan Gugur Di Pulau Balikukup Tahun 1957

 

 

 

R

ekaman cerita (sejarah) empat Pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup, Kecamatan Batu Putih,

Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, ini kami himpun dari beberapa cacatan dan kisah rekan almarhum yang masih hidup. Mereka pada umumnya sudah tua-tua dan sebagian lagi sudah almarhum berasal dari Polri yang bertugas di Kabupaten Berau antara lain :

1.          Peltu M. Dawai Purnawirawan Polri tinggal di Jl. Tendean Tanjung Redeb (Almarhum)

2.          Peltu Ali Anang Purnawirawan Polri tinggal di Jl. Pulau Panjang Tg. Rdeb (Almarhum)

3.          Peltu Sarijan Purnawirawan Polri tinggal di Jln. Pulau Panjang Tg. Redeb (Almarhum).

 

Selain itu kami ambil dari kisah masyarakat Kampung Pulau Balikukup Kecamatan Batu Putih, Kampung Tanjung Perepat dan Pantai Harapan Kecamatan Biduk-Biduk yang merasakan dan terlibat langsung pada saat kejadian serta benar-benar berada di Pulau Balikukup tersebut.

Kemudian dari himpunan diatas diolah dan diperindah kisahnya oleh penulis, dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dibaca dengan nyaman oleh semua kalangan agar tidak


membosankan, utama sekali teruntuk para generasi penerus bangsa yaitu para siswa-siswi yang masih duduk dibangku sekolah.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Seni Warji Polri Resort Berau berpangkat Sersan yang banyak membantu berbagai bahan dan literatur serta masukan buat penulis, serta Bapak-Bapak Polisi lain yang saat penyusunan juga turut membantu.

Sekali lagi kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan sejarah para kesatria yang berjuang membela rakyat di Pulau Balikukup.

 

BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG SELALU MENGHARGAI JASA PARA PAHLAWANNYA

 

Tanjung Redeb, 26 September 1987


 

 

 

 

 

Pulau Kecil Ditengah Lautan

Pulau kecil ditengah lautan ini sejak ratusan tahun lalu sudah ada penduduknya. Di samping menjadi tempat tinggal, pulau kecil itu juga menjadi tempat persinggahan dan peristirahatan para nelayan. Pulau yang dikelilingi lautan itu kaya akan ikan-ikan dan jenis-jenis lain yang hidup dalam lautan, terumbu karang sampai kepantai pulau begitu indahnya. Deburan ombak tidak pernah berhenti berganti arah sesuai dengan arah angin yang datang dan membawa gelombang terus menerus siang dan malam. Uh pokoknya bukan main, seperti dalam dunia khayal ketika kita berada di sana.

Pulau kecil itu adalah Pulau Balikukup yang terkenal dikalangan pelaut dan para nelayan, karena pulau ini sejak dulu menjadi salah satu anjir atau tanda laut bagi para pelaut dan nelayan, maka pulau kecil itu sangat dikenal namanya. Apabila kita naik kapal, pulau itu seperti tujuan yang ingin dicapai, terlihat dari kejauhan. Setelah dilalui dan kapal menjauh meninggalkan pulau, pulau Balikukup diletakkan seolah diburitan kapal sampai kemudian menghilang ditelan laut. Dan begitulah anjir laut itu menjadi patokan dan tak akan dilupakan oleh semua para penumpang, bahkan menjadi buah bibir berjam-jam, maka sampailah kapal ke muara sungai Berau yang dikenal dengan nama Muara Lungsuran Naga. Memasuki sungai Berau kapal dan para penumpangnya disambut oleh tingginya gunung Padai


yang memilki cerita dan legenda sendiri.

Pulau Balikukup terletak di Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Penduduknya berkisar 200 jiwa. Kemudian hari setelah adanya pemekaran kecamatan di Kabupaten Berau, Pulau Balikukup masuk wilayah Kecamatan Batu Putih. Pulau kecil itu ditumbuhi ratusan pohon kelapa yang tinggi menjulang ke angkasa serta kayu dan rumput- rumput liar.

Apakah pulau ini mempunyai kelebihan ?

Ya, tentu saja memiliki kelebihan tersendiri, makanya pulau kecil itu sangat menarik dan membuat orang bisa betah tinggal di sana. Apa kelebihannya ?

Walau jauh dari daratan dan dikelilingi oleh laut, namun air bersih dapat mencukupi penduduk dari dahulu sampai sekarang. Di sana hanya ada sebuah sumur yang terletak di tengah-tengah pulau bertepatan dan berdekatan dengan Masjid Pulau Balikukup yang dapat digunakan sebagai air minum dan sangat bersih. Sumur unik dan satu –satunya itu adalah salah satu keunikan Pulau tersebut. Bagaimana dengan disekitarnya? Masih banyak sumur-sumur lain, namun airnya tidak dapat dijadikan air minum kecuali hanya dijadikan untuk mandi dan mencuci pakaian. Oleh karena itu sumur di dekat Masjid tersebut menjadi tumpuan penduduk, para pelaut dan nelayan lain yang datang kepulau Balikukup. Disamping pasir putih yang melilit pulau begitu padu, serta pada malam hari sesekali penyu hijau dan penyu sisik mampir untuk sekedar bertelur di sana.

Masjid tua sampai sekarang masih terawat dengan baik.

Sedangkan mayoritas Penduduknya adalah suku Bajau, dan masih ada suku-suku lain seperti Bugis, Berau, Cina yang turut berdomisili di sana dan telah terjadi kawin mawin.

Mata pencaharian masyarakatnya adalah nelayan. Karena mudahnya mencari penghasilan serta didukung oleh air bersih, itulah sebabnya masyarakat di pulau itu dari dulu hingga sekarang betah menetap di sana.Walaupun tinggal di sana penuh dengan


tantangan dan resiko, terutama perompak yang bisa kapan saja menjarah habis harta benda mereka dalam waktu sekejap.

Pelaut-pelaut ulung pulau Balikukup mampu mengarungi lautan sampai ke Sulawesi, Sabah Malaysia dan sampai ke Filipina. Membawa hasil laut dan sepulangnya dari bepergian jauh itu mereka membawa kebutuhan sehari-hari untuk tinggal di pulau Balikukup. Begitulah yang mereka lakukan secara rutin sepanjang tahun.

 

Sebagai Petugas Yang Sabar Dan Pemberani

Penyelundupan (smokal) barang dari luar negeri seperti barang-barang piring duralex, gelas duralex, radio, pakaian, jam, gula putih, makanan, dan lain-lain dari Tawau Malaysia Timur ke Kalimantan Timur wilayah utara cukup ramai dan menggiurkan. Pulau Derawan, Pulau Maratua termasuk Pulau Balikukup adalah tempat persinggahan sementara para pelaku smokal, dan daerah ini juga tempat transaksi. Setelah itu oleh pedagang, barang-barang tersebut diangkut menuju kota Tanjung Redeb, Samarinda bahkan sampai ke Pare-Pare, Palu dan Makasar.

Sebaliknya para smokal berangkat ke Tawau dari Indonesia membawa muatan seperti buah kelapa, kopra, besi tua, rotan, ikan dan rokok. Barang-barang tersebut langgsung dibongkar dan dibeli oleh para toke (pedagang cina) di kota terdekat tetangga kita di Malaysia, yaitu kota Tawau dengan uang ringgit, yang kemudian ditukar dengan barang seperti tersebut diatas. Oleh karena itu masyarakat Pulau Derawan, Pulau Maratua dan Pulau Balikukup sangat diperhitungkan. Kehidupan mereka sudah lebih baik dan lebih maju dari penduduk lainya di Kabupaten Berau. Kemudian smokal semakin meluas dan diikuti oleh banyak masyarakat lainnya didaerah ini dengan tujuan tentu saja untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Pada umumnya mereka yang melakukan smokal tersebut memang kehidupannya lebih baik dari masyarakat kebanyakan, oleh karena itu smokal sangat menggiurkan dan selalu menjadi buah


bibir dimana-mana dan bahkan ada nilai lain yaitu kebanggaan bagi pelaku smokal.

Dengan demikian Pulau Balikukup selain pengahasil ikan, tripang, cumi-cumi, kima dan lain-lain juga sebagai tempat persinggahan para nelayan yang datang dari luar termasuk persinggahan sementara para pedagang dari Indonesia-Tawau- Indonesia dan seterusnya yang membawa berbagai barang dari luar maupun dari dalam negeri.

Melihat dari perkembangan inilah pihak Kepolisian perlu menempatkan petugasnya di Pulau Balikukup, bahkan didirikan pos Polisi, sedangkan Kepala Polisi Sektor (Kapolsek)-nya berada di Talisayan.Yang jaraknya ratusan kilometer dan hanya dapat ditempuh dengan perahu atau kapal.

Pada tahun 1950-an masyarakat masih sangat jarang yang memiliki kapal motor atau kapal yang penggeraknya mesin kecuali milik Pemerintah. Umumnya masyarakat masih menggunakan perahu layar setiap bepergian dari pulau ke pulau dan lainnya.

Pada tahun 1950 petugas kepolisian sudah berada di sana secara bergiliran selama tiga Bulan sampai dengan enam bulan antara petugas yang ada di Kecamatan Talisayan, Biduk–biduk dan Pulau Balikukup.

Petugas Kepolisian yang ditugaskan di Pulau Balikukup oleh pemerintah pada tahun 1957 antara lain sebagai berikut :

1.          Ajun Brigadir Polisi M. Samin yang sekaligus sebagai Komandan Pos (Danpos) di Pulau Balikukup. M. Samin berasal dari Tenggarong Ibu Kota Kabupaten Kutai sekarang Kabupaten Kutai Kartanegara di Sungai Mahakam.

M. Samin menjadi Polisi tahun 1949, setelah bertugas di Tenggarong, M. Samin dipindahkan ke Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL (Kepala Polisi Wilayah) Berau. Pada bulan Januari 1957 M. Samin ditugaskan di Pulau Balikukup sebagai Komandan Pos.

2.          Agen Polisi Tingkat II Husin, jabatan anggota Pos.


Berasal dari Opas Kerajaan Bulungan. Karena adanya penggabungan antara opas kerajaan dan Opas Daerah Husin menggabungkan diri menjadi Polisi Umum, Pendidikan di Tarakan.

Pendidikan formal Agen Polisi Tingkat II Husin belum tamat SR. Namun karena sangat dibutuhkan tenaganya, maka Husin diangkat menjadi Polisi Umum. Husin lama bertugas di Tarakan, baru kemudian dipindah tugaskan ke wilayah Berau. Husin adalah anggota Polisi yang senior diantara petugas lain di Pulau Balikukup pada masa itu. Pada bulan Januari 1957 oleh KPWIL Berau ditugaskan ke Pulau Balikukup. Sebagai Polisi tertua di sana dan polisi yang pemberani.

3.          Agen Polisi Tingkat II Panut, jabatan anggota Pos.

Berasal dari Majalengka Jawa Barat (keterangan lain menyebutkan berasal dari Solo Jawa Tengah). Panut termasuk anggota Polisi yang masih muda belia. Tugas sebelum ke KPWIL Berau, Panut bertugas di Banjarmasin kemudia dipindahkan ke Balikpapan lalu ke Karisidenan Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL Berau, baru kemudian oleh KPWIL Berau menugaskan pada tahun 1957 ke Pulau Balikukup, Panut juga pernah menjadi Brimob Polisi Umum.

4.          Agen Polisi tingkat II Johanes Amanah, juga sebagai anggota pos di Pulau Balikukup, asal dan kelahirannya di kota Ambon Maluku. Pendidikan Kepolisian di Ambon. Apda Johanes Amanah juga termasuk anggota polisi yang masih tergolong muda, pada waktu bertugas di Pulau Balikukup usianya baru 28 tahun.

Polisi asal Ambon ini dipindahkan ke Balikpapan, kemudian dari Balikpapan dipindahkan lagi ke Tarakan dan terus ke Berau. Pada bulan Januari 1957 Apda J.Amanah ditugaskan di pos polisi Pulau Balikukup.

5.          Agen Polisi Tingkat II Riong Batong, jabatan sebagai


anggota Pos. Riong Batong berasal dari Malinau Kabupaten Bulungan Pendidikan menjadi Polisi di kota Tarakan, juga termasuk polisi yang masih muda belia. Setelah menjadi Polisi Apda Riong Batong dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL Berau. Pada bulan Januari 1957 Apda Riong Batong suku Dayak yang mirip orang Cina itu ditugaskan ke Pulau Balikukup sebagai anggota polisi dan memperkuat keberadaan keamanan di pulau tersebut. Karena pada saat itu pulau Balikukup cukup rawan sering terjadi pencurian ikan, pengeboman ikan dan smokal.

 

Ajun Brigadir Polisi Samin dengan empat orang anggota pos tersebut diatas adalah orang-orang yang sabar. Sabar menerima perintah dan tugas dari atasannya, walaupun mereka tahu bertugas seperti di pos Polisi Pulau Balikukup yang ditengah lautan itu penuh resiko. Disamping resiko menghadapi masyarakat yang sering melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan aturan, juga para nelayan yang sekaligus sebagai penyelundup keluar negeri serta perompak laut yang datang dari luar Indonesia. Perompak yang sangat terkenal dan sadis adalah perompak dari Pilipina.

Mereka juga petugas yang pemberani, berani menantang badai lautan yang kadangkala tidak bersahabat dengan siapapun, juga berani merubah sikap masyarakat yang menangkap ikan dengan mengunakan bom yang sangat berbahaya buat diri mereka sendiri dan bakal merusak habitat alam lingkungan laut, merusak terumbu karang yang indah dan membunuh ikan dari yang besar sampai dengan yang paling kecil. Sedangkan ikan yang diambil hanya yang dapat dijual saja, sedang yang lainnya hanya mati begitu saja dan mengotori laut yang biru. Mereka juga berani menghadapi segala macam ancaman keamanan seperti perompak laut (mundu) yang tidak kenal prikemanusiaan dan selalu siap setiap saat menjarah harta benda rakyat pulau Balikukup itu.


Wajar kalau mereka yang bersedia ditugaskan di pulau Balikukup itu diberikan penghargaan dan acungan jempol. Belum lagi masalah hubungan dan informasi yang sangat sulit, jangankan hubungan ke Tanjung Redeb, ke Kecamatan Talisayan saja harus ditempuh berhari-hari pada waktu itu. Padahal setiap informasi harus sesegera mungkin sudah dapat diterima oleh orang lain atau atasan yang berada diluar lingkup pulau Balikukup tersebut.

Begitulah tugas yang diemban dengan bangga oleh polisi

M. Samin dan kawan-kawannya.Yang harus diterimanya dengan penuh tanggung jawab, iklas, sabar dan berani.

 

Terdampar

Perahu layar kecil bermuatan lima belas ton bergerak pelan mengikuti arus sungai yang mulai surut seperti melata. Diburitan perahu seorang lelaki berperakan kekar memegang kemudi, mengawasi kiri dan kanan perahu yang bergerak pelan itu. Oyong nama lelaki muda kekar yang memegang kemudi itu sembari bersiul-siul dan sesekali menghisap rokok daun nifahnya yang berasap banyak.

Pelabuhan Teluk Bayur semakin jauh ditinggalkan dan kemudian menghilang saat memasuki tikungan sungai. Sungai Berau yang panjang meliuk-liuk dan berliku-liku bagaikan ular naga raksasa,menjadi saksi semua orang yang melintasi diatasnya. Dikiri kanan sungai masih tebal tetumbuhan hijau subur, sebagai ranting cabang kayu dan semak-semak itu menjuntai kesungai dan seperti terseret arus sepanjang sungai Berau yang asri. Burung-burung berloncatan dari dahan dan ranting kecil, ada yang kekuning-kenungan, hijau, merah muda dan abu-abu.Tidak jauh dari tempat itu dipohon yang lebih tinggi ada monyet yang menghambur, berteriak-teriak karena merasa terusik oleh suara ramai orang diperahu yang melintasi kumpulan mereka yang sedang menikmati daun-daun muda.

Kira-kira perjalanan sudah memakan waktu setengah


hari, melalui kampung Bedungun, Bujangga, Gunung Tabur, Tanjung, Sambaliung, Maluang, Samburakat, Tanjung Perangat dan memasuki kawasan muara sungai Lati dan terus sampai kekampung Pujut, dan jauh diseberangnya terlihat kampung yang sangat ramai dan maju itulah kampung Sukan, kampungnya suku Banjar. Kampung Sukan ditumbuhi pohon kepala yang tebal dan tertata.Ada pulau kecil dalam sungai, terletak diantara Kampung Pujut dan Kampung Sukan, di sana dipohon-pohon yang lebat dengan ranting dan daunnya yang segar dan hijau, nampak puluhan ekor monyet berhidung mancung monyet bekantan selalu mengawasi gerak gerik kehadiran perahu yang melintasi kawasan mereka.

Angin sedikit kencang meniup kain layar, kain layar menggelembung, perahu sedikit miring ke kiri. Oyong yang sekarang ditemani Acong masih asik dengan kemudinya diburitan perahu, sesekali Acong dan Oyong memukul-mukul paha dan tangannya yang digigit agas.

Ujar Acong yang berasal dari Sulawesi itu “Aku lihat Berau ini tidak seperti dikampungku. Disini hutannya masih perawan yang tergarap baru bagian pinggiran sungainya saja, itupun belum semuanya, negeri kaya, negeri elok nan permai, hutannya hijau bagai hamparan permadani dikatulistiwa, aku Yong........

benar-benar betah tinggal di Banua Berau, walaupun aku sulit ketemu dengan orang tua dan keluarga di tanah Makasar “. Dan kemudian Acong menganguk-anggukkan kepalanya tanda ia yakin benar akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di perantauan.

Tiba-tiba perahu berhenti, Oyong baru sadar kalau perahu yang dikemudikannya tiba-tiba kandas naik diatas gosong pasir yang tidak seberapa jauh dari kampung Sukan hilir. Saat perahu kandas air sungai masih mengalir surut, apabila air sungai semakin dangkal, perahu yang kandas kemungkinan terbalik, maka Oyong dan beberapa orang awak perahu turun keatas gosong memasang galang dan tongkat, menjaga agar kapal tidak


oleng dan tergling.

Muatan di dalam palkah yang terdiri dari beras gula, dan barang makanan lainnya diperbaiki agar tidak berat sebelah. Setelah merasa aman dan kuat barulah Oyong dan kawan- kawannya yang bekerja sambil bercerita kesana kemari itu naik keatas perahu dan membersihkan diri.

Kira-kira tiga jam lagi baru perahu mereka dapat terapung, dan kacaunya arus air sungai sudah berbalik naik kearah hulu, dengan demikian maka perahu tidak dapat bergerak kehilir, kecuali kalau ada angin kencang berhembus yang dapat melawan arus air pasang.

Biasanya saat air pasang, mereka mengikat perahunya didahan-dahan kayu yang berjuntai kesungai atau berjangkar ditengah sungai. Perahu kapal mereka hanya mengandalkan kekuatan angin, tidak bermesin.

Kepulan asap diburitan kapal semakin tebal, beberapa orang diburitan kapal sedang menanak nasi dan mengoreng ikan kering belanak, sedang sayur terong yang dicampur dengan kepala ikan kering sedang mendidih. Tak lama kemudian bau harum terasi dibakar menyengat. Menimbulkan gairah perut yang sudah lapar. Udin yang sentimentil mengulek membuat sambal terasi, dan kemudian mereka seawak kapal dengan lahapnya menikmati makan malam saat menjelang matahari ditelan bumi.

Samin dan Oyong makan sambil berhadapan diatas bris kapal, sedang nasi yang sudah dicampur dengan sayur terong berasap mengepul, nasi ditiup-tiup agar cepat dingin sedangkan sambal terasi sudah menumpuk di sisi piring seng berbunga.

Tak lama kemudian Oyong turun dari atas bris dan me- nambah nasi yang sudah lebih dahulu habis dilahapnya, nasi diatas piring sengnya numpuk menggunung dan ia kembali naik ke atas bris dekat dengan Samin Komandan Pos Polisi Balikukup.

Bagi para perokok, paling nikmat setelah makan pastilah merokok. Sambil mencari tempat yang pas menyandar dan


sambil mengobrol sana kemari.

Para penumpang dan awak kapal kemudian berpencar mencari tempat masing-masing yang dianggapnya paling nyaman untuk bersantai setelah menikmati makan sore itu, dan pasti tidak ketinggalan rokok putih yang dibawa para smokal dari Malaysia Timur sebagai pendamping santai.

Suara monyet bekantan ramai memanggil anak-anak- nya yang liar melompat kesana kemari, suara burung rangkai, kalibarau (cocokrowo), tiung (beo) bersahutan di hutan belakang kampung sukan yang ramai dengan rumah menghadap ke sungai Berau, semuanya riuh menyambut datangnya senja.

Air sungai sudah mulai pasang, namun perahu masih belum bergerak. Jangkar kapal dilabuh, menghindari kapal itu larut terbawa arus air kembali kearah hulu. Samin komandan pos polisi Pulau Balikukup ikut menumpang di kapal yang menuju Pulau Balikukup.Ajun Brigadir Polisi M. Samin baru dari Tanjung Redeb Berau mengambil gajinya dan gaji teman-temannya. Kapal tanpa mesin itu baru sampai ke pulau Balikukup empat hari kemudian. Di laut tidak bisa mengandalkan arus air seperti masih dalam sungai, di laut untuk menggerakkan kapal menggunakan layar dan ditambah dengan kekuatan mendayung. Apabila angin bagus, maka kapal lebih cepat sampai tujuan. Apabila angin kurang bersahabat atau angin tidak berhembus, kapal hanya menyusur tidak terlalu jauh dari pantai.Apabila ada badai kapal bersembunyi di teluk-teluk kecil di pesisir pantai yang mereka lalui. Kalau tidak sempat bersembunyi ketika datang badai, bisa-bisa saja kapal mereka pecah di tengah laut, atau terdampar diatas karang. Saat kejadian semacam itu awak kapal berjibaku berjuang mati-matian untuk mempertahankan kapal agar selamat dari badai yang menghantam. Ada yang menjaga kemudi, ada yang duduk di haluan dengan basah kuyup mengawasi haluan, ada yang bertugas menimba air hujan yang masuk kedalam kapal, ada yang mengatur naik dan turunnya kain layar, sedangkan kapal terus terombang ambing dihempas


badai dan gelombang yang besar. Anak kapal dan penumpang yang tidak tahan tersungkur, berbaring saja, dan mabuk laut. Saat seperti itu semua makanan yang tadi masuk ke dalam perut habis keluar lagi. Rasa kapok untuk berlayar lagi muncul dalam mabuk berat seperti itu. Sakit, derita, perih, mual, dan macam- macam lagi yang mendera bagi yang sedang mabuk. M. Samin orang yang sudah terlatih, saat-saat seperti itu masih tenang dan kuat, dan dia tidak mau tinggal diam, turun membantu anak kapal yang kepayahan.

 

Mengintai Dari Kuburan

Sebuah kapal bermesin disel yang dibantu dengan layar itu bergerak dengan cepat melintasi perbatasan laut Indonesia, Pilipina, dan Malaysia. Mereka datang dari wilayah utara Kalimantan Timur menuju ke arah selatan yaitu ke pulau-pulau kecil yang berada di Kabupaten Berau. Sebuah kapal bermesin disel seperti itu masih termasuk langka di negeri kita, khususnya para pelaut dan nelayan yang mendiami pesisir pantai dan pulau- pulau di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Berau.

Malam yang tenang tatkala di atas langit ditaburi bintang gemintang, kapal motor itu sudah mulai memasuki perairan laut Pulau Maratua dan terus bergerak ke arah selatan. Dan menjelang subuh, kapal motor itu sudah mendekati Pulau Balikukup.

Masyarakat Pulau Balikukup masih tidur lelap, apalagi ditambah dengan angin yang semilir terus berhembus me- nembus sela-sela batang kelapa dan kemudian merambah memasuki celah-celah dinding rumah yang banyak berlubang, tubuh mereka semakin terasa dingin. Tubuh semakin kerisut bundar ditutup dengan kain sarung. Mimpi-mimpi indah menemani tidur malam itu, membuat tidur semakin nyenyak. Wow enaknya angin malam terus berhembus berpadu dengan gemerisik gesekan daun kelapa.

Kapal motor yang berasal dari Pilipina itu memperlambat


gerak jalannya, sembari memperhatikan keadaan pulau itu dari kejauhan. Setelah dianggap aman, kapal bergerak lebih cepat dan memasuki daerah belakang pulau yang tidak berpenduduk. Kokok ayam sudah mulai terdengar bersahutan di tengah pulau, saat itu sebuah perahu kecil diturunkan dari geladak kapal, sekitar delapan orang yang berpakaian siap tempur turun keperahu kecil (kellean) secara bergantian, dan kedelapan orang tersebut dilengkapi dengan masing-masing sebuah senjata bahu semi otomatis kaliber.

Pulau Balikukup yang letaknya sangat strategis, dimana selalu dilintasi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru. Posisinya yang berada jauh di tengah lautan dan menjadi patokan bagi para pelaut serta nelayan menarik indah dan kaya, maka tidak mengherankan kalau ada suara kapal yang mendekat ke arah pulau, karena dianggap masyarakat hal yang biasa dan memang sering sudah mereka dengar kapal motor yang lalu lalang di sekitar pulau Balikukup.

Penghuni atau penduduk di Pulau Balikukup pada umumnya adalah suku Bajau. Suku Bajau selai tinggal di Indo- nesia, mereka juga ada di Malaisyia, Brunai, Thailan, Papua, dan Pilipina, maka hubungan keluarga dan sedarah antara suku-suku Bajau yang berada baik di Indonesia, Malaysia dan Pilipin masih sangat kental. Oleh karena itu tidaklah heran kalau mereka seringkali saling kunjung menggunjungi diantara mereka, baik yang berada di Malaysia ke Indonesia atau sebaliknya, begitu pula dengan suku Bajau di Pilipina, Brunai dan Thailand. Suku Bajau yang berasal dari Pilipina adalah suku Bajau, Tagalok dan Solok dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Bajau dan Tagalok, suku Bajau yang ada di Pulau Balikukup masih satu bahasa dengan sebagian suku Bajau yang berasal dari Pilipina, Malaysia.

Subuh yang dingin itu delapan orang awak kapal yang

sudah turun di belakang pulau, beristirahat sejenak menungugu matahari terbit. Sedangkan kapal mereka kembali bergerak


sedikit agak menjauh dari pulau. Waktupun telah ditetapkan kapan harus berbuat, bergerak dan menyerang. Sambil menahan dingin, rokok putih buatan Amerika teman yang paling cocok buat mereka berdelapan itu, rokok dihisap dalam-dalam, dengan tujuan tentu saja menghilangkan rasa keteganggan menjelang detik-detik penyerangan yang sudah mereka siapkan.

Tepat pukul 07.30 hari Rabu tanggal 22 Maret 1957 kedelapan mundu atau perompak yang sudah lebih dahulu berada di pulau itu mulai bergerak mendekati kampung melalui semak-semak dan masuk daerah pekuburan kampung.

Setelah mencari tempat yang paling tepat dan aman untuk mereka, serta tidak mudah terlihat orang kampung yang sudah sibuk.Ada yang sedang mandi,mencuci pakaian,menimba perahu di pantai, ada pula yang keluar masuk rumah serta ada lagi yang duduk-duduk bermalas malasan, tiba-tiba dikagetkan dengan datangnya sebuah kapal motor yang tidak pernah mereka kenal, baik bentuk, badan kapal, warna catnya yang cerah dan bermesin dalam dengan suara yang tidak mereka kenal. Dari jauh samar-samar ada beberapa orang yang memegang senjata yang diarahkan kepulau. Semua orang kampung yang melihat kapal itu terbengong-bengong, kapal siapakah gerangan itu ataukah kapal. kapal mundu (Perompak, Bajak laut) yang sering

mereka ceritakan dan menakutkan itu.Ternyata memang benar, beberapa orang kampung berlari dari pantai memberitahukan “ Mundu.!. mundu !!! “.

Semua masyarakat masuk ke dalam rumah, bersiap-siap menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Karena melihat orang yang berada di atas perahu motor itu mengarahkan senjata panjangnya kepulau, tentulah tidak lain lagi selain Bajak laut yang datang tersebut.

 

Dia Menyisir Pantai

Kelima orang Polisi yang berada di pulau itu dengan sigapnya segera mempersiapkan diri untuk menghadapi tamu


tak diundang yang segera datang. Tak lama kemudian sudah terjadi kontak senjata antara polisi di pulau dan perompak yang berada diatas kapal. Dengan jarak yang sudah diperhitingkan, kapal terus bergerak menyisir pantai yang berbelok. Dan dengan kemahiran Samin dalam menggunakan senjata salah satu bajak laut yang berada dihaluan dapat ditembaknya dengan baik dan orang itu terjerembab ke dalam kapal. Melihat kejadian dan keberanian polisi di pulau, kapal motor itu mencoba untuk bergerak sedikit menjauh dari pulau.

Keempat polisi lalu berpencar menjadi dua.

M. Samin komandan Pos asalTenggarong dan Husin anggota Pos asal Bulungan berhadapan langsung dengan penembak dari kapal.

Panut dan Johanes Amanah berpindah ke ujung pasir di depan perkampungan pulau Balikukup.

Sedangkan Riong Batong ditugaskan komandan pos untuk menjaga keamanan pos mereka.

Kontak senjata antara kedua belah pihak terus berlangsung, polisi terus berusaha bergerak semakin jauh.

Keempat polisi yang berada di pinggir pantai di semak- semak dekat dengan pohon-pohon kelapa merasa lega dengan menjauhnya kapal itu.

Namun mereka tidak memperhitungkan dan samasekali tidak menduga, ternyata mereka hanya dikelabui, persiapan pelurupun sudah berkurang, Bajak laut datang dari arah belakang dan terus menerjang mereka yang tidak siap itu. Sistim lambung yang diterapkan oleh Bajak Laut itu sangat tepat, kontak senjata terdengar lagi. Delapan orang Bajak Laut yang siap tempur itu sudah memuntahkan pelurunya ke rumah-rumah penduduk yang dilaluinya, mereka marah sekali, karena kedatangan mereka itu ternyata mendapatkan sambutan dengan moncong senjata dan diketahui teman mereka di kapal sudah ada yang menjadi korban oleh peluru polisi itu.

Semua masyarakat tidak ada yang berani bergerak, dan


kedelapan orang itu terus mendekati pantai dimana keempat polisi berada.

Pertama-tama Husin dan Samin yang diterjang peluru, karena senjata yang tidak seimbang itu, gugur sebagai pahlawan pejuang yang membela rakyatnya. Keduanya tersungkur kebumi pertiwi Pulau Balikukup.

Kedelapan orang itu terus bergerak dengan lebih berani kearah ujung pasir pulau, dimana di sana berada Panut dan Johanes Amanah.

Johanes Amanah dan panut secara tiba-tiba dikejutkan dengan suara perintah bahasa Tagalok yang artinya keluar dari persembunyian. Keduanya sudah tidak ada kesempatan lagi, sudah terkepung oleh lima orang bajak laut, mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi,

Namun keduanya masih dalam keadaan siap itu, tidak mau keluar, keduanya saling tatap dan manggut-manggut, saat keduanya akan mencoba menembak bajak laut yang berada didepannya, tapi peluru senjata semi otomatis para bajak laut dari arah belakangnya lebih cepat dan lebih dahulu menyambar tubuh bagian belakang kedua polisi itu.Walaupun tubuh keduanya sudah terkulai, Bajak laut masih belum merasa puas, pelurupun ditembakkan lagi kearah kepala keduanya. Setelah dirasa aman kelima orang itu mendekati tubuh Panut dan J. Amanah dan kedua tubah yang tak bernyawa lagi itu digulingkannya dengan kaki yang penuh pasir. Kemudian baru mereka bergerak kembali ke arah kampung yang senyap. Kampung Pulau Balikukup benar- benar jadi kampung mati tak bernyawa, semua diam dan hening. Suara tanggisan anak kecil yang ketakutanpun ditutup mulutnya oleh ibu atau kakaknya, agar tidak menggangu suasana hening tegang itu.

Ditempat lain di pos polisi Riong Batong dengan sigap

pergi dari posnya dan kemudian melepas pakaianya dan dimasukkannya senjata dan pakaian itu ke dalam semak-semak setelah mengetahui semua temannya sudah gugur, kemudian ia


pergi ke dalam sebuah warung yang cukup besar di pulau itu dengan bercelana pendek dan berkaos singlet. Wajahnya yang mirip dengan Cina itu kemudian ia mengaku sebagai pemilik toko, walaupun beberapa kali ditanya oleh para bajak laut “ You Police..........you police ?

“Bukan tuan saya bukan polisi. tapi saya punya jualan ini

tuan, “jawaban ini beberapa kali ia sampaikan setiap bajak laut yang bertanya kepadanya. Dan akhirnya Bajak laut itu percaya. Walaupun mereka masih penasaran dan curiga, diantara masyarakat yang ada itu diantaranya ada polisi, tapi karena tidak ada lagi perlawanan, maka tidak ada permasalahan lagi menurut

hemat para perompak.

Dengan leluasa para perompak menguasai pulau, sedang kapal yang tadi meninggalkan pulau sekarang sudah berada di dekat pulau dan beberapa orang turun dari kapal untuk bergabung.

Sebagian Bajak Laut berteriak ”Keluar!!!.........keluar....

Keluar dari dalam rumah !!!

Dengan rasa ketakutan semua yang merasa diperintah dengan terseok-seok mengikuti perintah dan kemudian duduk berkumpul di halaman rumah, siap menerima apa saja yang diperintah oleh para Bajak Laut yang semakin ganas dan kasar itu.

Para wanita menjadi santapan mereka, menjadi bahan colekan dan tertawaan, bahkan ada yang ditarik paksa untuk mengikuti Bajak Laut yang bersenjata itu keluar dari kelompok yang dikumpulkan dengan semuanya.

Semua barang yang bernilai seperti emas perak dan permata lainnya yang melekat pada tubuh para kaum wanita diminta dan dikumpulkan oleh para perompak.

Harta benda masyarakat yang ada diangkut kekapal termasuk barang berharga lain seperti emas dan perak. Semua rumah digeledah satu persatu, para ibu diseret kedalam rumah, dengan tujuan untuk menunjukkan dimana letak harta benda


yang berharga milik mereka. Dan semuanya ludes habis. Barang toko yang diakui Riong Batong juga ludes diangkut oleh masyarakat pulau yang diperintah Bajak laut dan dijaga ketat. Mereka tinggal mengelus dada. Namun masih bersyukur jiwa mereka tidak dihabisi seperti apa yang dilakukan para bajak laut terhadap polisi yang setia menjaga keamanan pulau mereka, gugur tersungkur di ujung pulau.

Harta dapat dicari, sedangkan nyawa kalau sudah melayang terpisah dari badan tidak ada lagi yang mampu mencari dan mengembalikannya, kecuali Tuhan Yang Maha Esa yang menentukan.

Rasa ketakutan dan trauma terpancar semua di wajah masyarakat Pulau Balikukup yang langsung merasakan kejadian ini, mereka rasakan bukan sekadar dongeng dan cerita dari mulut ke mulut yang mereka sering dengar disetiap ada keramaian di pulau itu tentang kegalakan dan keganasan para perompak bajak laut, sekarang mereka rasakan langsung.

Sedangkan empat sosok tubuh yang terkapar di ujung pulau belum ada nyang mengusik, darah mengucur mem- basahi tubuh mereka, sedangkan senjata masih erat ditangan mereka. Keempatnya tidak lagi bisa bercerita tentang diri dan kejadian itu.Tinggal kita yang ditinggalkan ini yang berkewajiban mencatatnya dengan tinta emas, kemudian membeberkan cerita dan sejarah perjuangan mereka yang gagah berani dan menjadi tauladan semua orang yang hidup di negeri ini.

Para bajak laut itu tidak kurang dari tiga jam mengusai Pulau Balikukup dan mengangkut habis semua harta benda masyarakat, baru kemudian bergegas bergerak meninggalkan pulau yang telah terhenyak dan lumpuh. Dan kemudian kapal motor yang laju itu menghilang ke laut lepas.

 

Upaya Pertolongan

Pada tahun 1957 Desa Pulau Balikukup sudah berbentuk Kelurahan dan lurahnya saat itu adalah Bapak Antoyong


(suku Bajau). Sedangkan Camatnya adalah Bapak Camat Mas Temenggung berkedudukan di Talisayan.

Pada saat kejadian perompak di Pulau Balikukup ada salah seorang yang tertembak bagian pipi pantatnya, harus segera dibawa ke rumah sakit. Dia adalah Bapak Tagolo (Golo). Sesampainya di rumah sakit di Tanjung Redeb, beritapun segera sampai ke KPWIL Berau di Teluk Bayur. Dan KPWIL yang dijabat oleh Bapak Gusti Darum pangkat AIPDA (Ajun Polisi Tingkat Dua).

Karena Kepolisian Berau dibawahi oleh Dan KPWIL Tarakan, maka berita langsung disampaikan ke Tarakan.

Dengan adanya berita tersebut maka dari Tarakan langsung mengirim sebuah kapal motor BO 111 menuju Berau. Setelah mendapat perintah dari Berau kapal motor BO 111 tersebut melanjutkan perjalanan ke pulau Balikukup. Sebelum sampai ke Pulau Balikukup, kapal lebih dahulu singgah di Talisayan untuk mengambil peti mayat dan selanjutnya berangkat ke pulau Balikukup.

Karena peti mayat yang dibawa hanya tiga buah, maka M. Samin dan Husin dimasukkan dalam satu peti dan Panut serta Johanes Amanah masing-masing satu peti mayat.

Kemudian setelah siap dari Pulau Balikukup kapal motor BO 111 langsung melaju menuju Tanjung Redeb. Penjemputan sampai dengan pemakaman memakan waktu selama lima hari. Setelah divisum dirumah sakit, dimandikan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Wijaya Tanjung Redeb Kabupaten Berau.

Sampai hari ini batu nisan atas nama M. Samin, Husin, Johanes Amanah dan Panut terus menghiasi taman makam Pahlawan Wijaya, sebagai bukti keberanianya untuk mengusir siapa saja yang mencoba untuk mengusik rakyat negeri tercinta Indonesia ini.

Bagaimana dengan para pembaca yang budiman, mari berbuat yang terbaik untuk Indonesia ?


Siapa lagi…..kalau bukan kita…..ayoooo……

 

Senjata Yang Dipergunakan Anggota Polisi

1.          M. Samin menggunakan senjata Madsen sebagai Komandan Pos

2.          Husin menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm

3.          Panut menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm

4.          Johanes Amanah menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm

5.          Riong Batong menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm

 

Narasumber

Dalam menelusuri jejak perjuangan empat pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup, informasi didapat dari berbagai sumber, diantaranya hasil dari wawancara penulis dengan :

1.          Dawai (Almarhum) Peltu Purnawirawan, saat kejadian bertugas di Biduk-Biduk

Alamat Jl. Tendean Tanjung Redeb, Barau Kalimantan Timur

Keterangan hari tanggal bulan dan tahun kejadian diambil dari buku saku yang bersangkutan saat ditemui penulis bulan September 1987

2.          Alianang (Almarhum) Peltu Purnawirawan

Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb, Berau Kalimantan Timur

3.          Sarijan (Almarhum) Peltu Purnawirawan

Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb, Berau Kalimatan Timur

4.          Yakob (Almarhum) Purnawirawan (Opas kerajaan yang menjadi Polisi Berau)

Alamat Keraton Sambaliung, Berau Kalimantan Timur


5.          Hasyim Lurah Desa Tanjung Perepat Kecamatan Biduk- Biduk Kabupaten Berau

6.          Anggateng (Almarhum) Lurah Desa Pantai Harapan Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau

7.          Sersan satu Seni Warji       Polres Berau Alamat Kampung Sambaliung dekat Masjid lama

8.          Masyarakat Pantai Harapan, Tanjung Perepat dan Pulau Balikukup

9.          Surat Keterangan Kesaksian dari Polres Berau (05 Juni 1986)

 

Keterangan :

Kisah empat pahlawan dengan judul “Pertempuran Melawan Maut” ini dikumpulkan dan ditulis pada tahun 1987 (diketik dengan mesin ketik), diperbaiki tahun 2005, ditulis ulang tahun 2010.