PEMBANTAIAN OLEH TENTARA JEPANG
oleh : Saprudin Ithur
Begitu Tentara Jepang datang dan
mendarat di pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur, masyarakat Teluk Bayur menyambutnya
dengan suka cita. Rakyat Berau yakin dengan datangnya Jepang sebagai saudara
tua, pasti ada peningkatan dan perubahan dimana-mana. Selama penjajahan Belanda
rakyat tidak ada perubahan apa-apa, masih sepertu dulu, miskin dan tidak
berkesempatan mendapatkan pendidikan seperti anak-anak Belanda dan anaknya
priyayi budak Belanda. Apalagi mendengar
bahwa Jepang bersama Indonesia adalah saudara. Jepang dan Indonesia akan
membuat Asia kaya raya. Berita manis tersebut menggugah perasaan semua
rakyat Berau yang ada di Teluk Bayur,
Gunung Tabur, Sambaliung, Tanjung Redeb, dan sekitarnya. Mereka semua siap
menerima perubahan dan siap melakukan perubahan yang lebih baik. Tetapi
kenyataan sangat jauh berbeda, tidak seperti yang mereka semua bayangkan. Hanya
setahun saja berada di Berau, Jepang sudah berubah total, kecurigaan terhadap
rakyat sangat sensitif dan luar biasa. Mendengar ceritera ada rakyat yang
mengatakan pemerintahan Belanda lebih baik dari pemerintahan Jepang,
rakyat langsung ditangkap dan dibantai
dengan cara dipancung. Mendengar ada sekutu mau datang dari seseorang, ratusan
para pemuda, tokoh masyarakat, pemuka agama, ulama ditangkap, sampai sekarang
tidak diketahui dimana keberadaannya dan dimana kuburnya. Tragis memang, tapi
begitulah kenyataan yang dirasakan oleh rakyat Berau. Banyak orang tua
kehilangan putranya, banyak istri dan anak kehilangan suami dan ayahnya.
I. JEPANG MASUK BERAU
Pada awal tahun 1942 perusahaan
batu bara milik Belanda Stankolen Mascapay
Parapatan (SMP) masih berjalan sebagaimana mestinya. Kegiatan
mengeluarkan batu bara dari perut bumi di wilayah Teluk Bayur masih berjalan.
Lokomotif pengangkut batu bara dari sumur penggalian di Rantau Panjang sampai
ke pelabuhan bongkar muat masih hilir mudik seperti biasa. Pelabuhan bongkar
muat batu bara juga masih berjalan seperti biasa. Kapal pengangkut batu bara
dari pelabuhan Teluk Bayur masih ada dan berangkat menuju pulau Jawa seperti
biasa. Artinya perdagangan batu bara pada waktu itu masih berjalan dengan
lancar.
Berita Jepang mengalahkan Belanda
sudah terdengar dimana-mana, berita radio menjadi andalan informasi pada masa
itu. Radio masih sangat jarang, orang kebanyakan belum mampu untuk membeli
radio. Oleh karena itu masyarakat berkumpul mendengarkan berita yang
dipancarkan melalui radio. Berita radio tersebut disebarkan oleh para pendengar
kepada semua orang di Teluk Bayur. Masyarakat Teluk Bayur sejak setahun yang
lalu (1941) sudah tahu bahwa wilayah jajahan Hindia Belanda yaitu Indonesia
sudah dikuasai tentara Jepang, dengan diawalinya pada tanggal 8 Desember 1941
Pearl Harbour di Hawai diserang mendadak oleh Angkatan Laut Jepang dibawah
pimpinann Laksamana Yamamoyo. Perang Pasifik tidak dapat dihindarkan antara
Amerika Serikat dengan Dai Nippon Jepang. Pengaruh serangan Jepang yang
mendadak dan sangat berani itu sangat berpengaruh kepada dunia. Sedangkan di
Eropah Jerman menyerang dan menguasai wilayah Balkan, tentara Nazi menguasai
dan mencaplok nagara Balkan Schier Eiland. Pengaruh kekuatan dan keberanian
tentara Laut Jepang di Asia mengusir penjajah dari Eropah seperti Inggris,
Belanda, juga Amerika. Belanda kalah tanding dilaut dan didarat dengan tentara
Laut dan Darat Jepang. Pada tahun 1942 tentara Belanda sudah tidak ada lagi di
Berau, para pemegang peralatan penting orang-orang Belanda yang ada di Teluk
Bayur juga sudah meninggalkan Teluk Bayur.
Yang tertinggal para pekerja,
para mandor, tentara, polisi orang pribumi, makanya produksi bata bara masih
berjalan. Mereka pergi meninggalkan
Teluk Bayur secara diam-diam menuju Tarakan dan sebagian lagi menuju
Balikpapan, orang Indonesia pada umumnya tidak mengetahui kepergian orang-orang
Belanda itu dari Teluk Bayur dan Tanjung Redeb. Para pekerja tambang batu bara
juga tidak mengetahui hal ikhwal perginya orang-orang Belanda dari Teluk Bayur
dan Tanjung Redeb. Hanya para pegawai penting diperusahaan saja yang tahu,
itupun harus dirahasikan. Belanda masih yakin akan kembali ke Berau dan
menjalankan usahanya di Teluk Bayur. Belanda yakin Jepang tidak akan lama
menguasai Nusantara atau Hindia Belanda. Kebutuhan batu bara untuk menggerakkan
mesin kereta api, mesin kapal, dan menggerakkan mesin listrik masih sangat
penting, oleh karena itu perusahaan batu bara tetap berjalan seperti biasa.
Pada pertengahan tahun 1942
tentara Jepang masuk ke Berau dan menduduki Berau tanpa pertempuran, langsung
menuju Teluk Bayur. Karena Teluk Bayur pada masa itu adalah daerah strategis
yang dikuasai lebih dahulu. Setelah Teluk Bayur dikuasai sepenuhnya oleh
Jepang, barulah tentara Jepang bergerak ketempat-tempat lain seperti Tanjung
Redeb, Gunung Tabur, Sambaliung, Talisayan, Batu Putih, Biduk-Biduk, Pulau
Derawan dan Pulau Balikukup. Jepang juga melakukan penjagaan dibeberapa mercu
suar seperti di Tanjung Mangkalihat, dan Pulau Maratua.
Sebelum bala tentara Jepang
datang di Teluk Bayur, bulan Januari 1942 bala tentara Jepang lebih dahulu menguasai
Pulau minyak Tarakan. Dari Tarakan, tentara Jepang berangkat menuju Berau
dengan menggunakan dua buah kapal motor perang sejenis Korpet mendarat di
pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur. Sanggrai adalah istilah lain dari nama pabrik
penggergajian pada masa penjajahan Belanda, disana tai gergajian atau kotoran
limbah penggergajian menumpuk menggunung. Didekat sanggrai itulah ada sebuah
pelabuhan besar dan kokoh dari bahan kayu ulin seluruhnya. Sanggrai berada
sekitar empat ratus meter dibelakang gedung mewah kamar bola atau boll room.
Pasukan Jepang sebanyak dua kompi
kurang lebih 70 orang langsung mendarat dan membentuk barisan masuk kota Teluk
Bayur langsung ke lapangan sepak bola Teluk Bayur. Selanjutnya mereka berbagi
menuju kantor perusahaan batu bara, ke pasar Teluk Bayur, kekamar bola,
kepelabuhan muat batu bara, pelabuhan penggergajian kayu di Silo. Memeriksa
semua gerbang lokomotif, pelabuhan, dan ada yang langsung menuju pusat
perbengkelan Perusahaan Batu Bara didekat terowongan. Semuanya sudah aman,
tentara Belanda tidak ada lagi, orang-orang penting Belanda sudah tidak ada
lagi, bekas polisi warga pribumi direkrut untuk membantu keamanan Teluk Bayur
yang kemudian hari dikenal dengan nama Jompo.
Seminggu kemudian tentara Jepang baru bergerak menuju Tanjung Redeb, ke Keraton
Gunung Tabur, dan ke Keraton Sambaliung. Semua tempat-tempat itu dikuasai
dengan mudah tanpa ada perlawanan.
Setelah semua dikuasai dan aman,
baru tentara Jepang bergerak berbagi ada yang menuju Pulau Derawan, Talisayan,
Pulau Balikukup, Biduk-Biduk, dan Pulau Kaniungan. Setelah itu sebagian mereka
kembali lagi kepusat kota di Teluk Bayur. Tentara Jepang di Teluk Bayur sangat
disegani masyarakat, karena setiap bertemu wajib hormat kepada tentara Jepang.
Sebagian orang senang dengan cara seperti itu, akhirnya semua rakyat yang ada
mau tidak mau belajar bagaimana menghormat tentara Jepang dengan baik dan benar.
Dengan cara semacam itu tentara Jepang sangat senang, mereka menganggap rakyat
Indonesia sopan dan menghormati keberadaan tentara Jepang.
Saat Jepang baru datang berbaris menjadi dua
regu langsung menuju lapangan bola, dilapangan mereka bubar. Salah satu tentara
Jepang memanggil seorang remaja yang menyaksikana kedatangan tentara Jepang, memanggil dan bertanya kepada seorang
Remaja Uning namanya “kura..kura” sambil melambaikan tangan, Uning mendekat
balik bertanya dengan sikap sopan kepada sang tentara Jepang “ada apa tuan”
lalu ia tanya lagi “Indonesia” Uning menjawab ”ya tuan” lalu katanya “ jotolah
Indonesia….Indonesia bagus, Indonesia Jepang sama samalah” lalu lanjutnya lagi
“Asia sama-sama, nanti Indonesia Jepang bikin Asia kaya raya, belanda semua
usir” Uning mendengar ucapak tentara Jepang yang memanggilnya itu sangat
senang. Jepang mengusir Belanda ingin menjadikan Indonesia kaya raya, ingin
menjadikan Asia kaya raya, dalam pikiran Uning masa depan Indonesia menjadi
lebih baik, tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada lagi orang yang tidak punya
baju, makanan selalu ada, rokok dan tembakau selalu ada, tidak ada lagi
kelaparan, tidak ada lagi kelas-kelas yang membedakan derajat orang kulit
putih, orang kulit campuran dan pribumi. Pada masa Belanda orang pribumi
menjadi orang nomor tiga, nomor terakhir, nomor terendah, nomor kelas budak,
kelas pembantu, kelas babu, kelas yang tidak berdaya. Seluruh rakyat Indonesia pasti gembira dan senang
menerima kedatangan Jepang.
Kurang lebih sebulan lamanya tentara
Jepang sudah menguasai sepenuhnya Berau datanglah seorang Jepang ke Tanjung
sekarang Tanjung Redeb, langsung menduduki dan menempati tempat kedudukan
Kepala Pemerintahan Belanda di Tanjung Redeb yang telah ditinggalkan. Disana
langsung dibukalah kantor pemerintahan Jepang yang dikenal dengan sebutan Bunken Kanrikan Jumisya dengan dikepalai
oleh Kinoshita dengan jabatan sebagai
Kanrikan. Kepala kantor pemerintahan Jepang diwilayah Berau. Dengan demikian
maka resmilah Jepang berkuasa sepenuhnya di tanah Berau, baik pertahanan,
keamanan, dan pemerintahan menjadi tanggung jawab pemerintahan Jepang.
Para pemuda direkrut dilatih
ketentaraan, dilatih apel dan menghormat bendera Jepang. Disekolah dilatih
baris-berbaris, apel pagi dan hormat bendera, para pekerja juga dilatih baris
berbaris, apel dan hormat bendera Jepang. Hasil didikan tentara Jepang sampai
sekarang masih melekat di masyarakat Indonesia, setiap hari Senin sekolah
melaksanakan apel bendera, masuk kelas berbaris, pulang dengan berbaris. Dikantor-kantor
melaksanakan apel pagi dan apel siang. Pada hari-hari besar juga diadakan apel.
Para pejabat duduk dengan santai, pasukan yang mengikuti apel berdiri dengan
sikap siap dan istirahat.
Perlu ada keberanian untuk
merubah kebiasaan apel hari-hari besar yang sudah biasa dilaksanakan pemerintah
sejak dulu dengan peserta apel berdiri satu sampai dua jam, menjadi peringatan
hari-hari besar nasional dan internasional dengan semuanya duduk dalam sebuah
gedung atau ruang yang disiapkan dengan baik. Semuanya berdiri hanya pada saat
menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengikuti pembacaan Pancasila serta
mengheningkan cipta. Selain itu semuanya duduk saja. Acara gelar apel
peringatan hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus dilapangan terbuka yang
berdiri hanya pasukan khusus seperti Tentara Nasional Indonesia, Polisi
republik Indonesia, Satuan Pengamanan, Pertahanan Sipil, dan Pasukan Penggerek
Bendera, yang memang terlatih untuk berdiri lama. Selain itu semuanya duduk dengan hikmad. Berdiri
semua ketika Penggerekan Bendera Merah Putih, pembacaaan Pancasila, pembacaan
Undang-Undang Dasar 1945, dan mengheningkan Cipta. Sedangkan mendengarkan suara
sirine detik-detik proklamasi, mendengarkan pidato cukup dengan duduk dan
hikmad.
Pada upacara-upacara apel hari-hari
besar nasional dan internasional dihadiri sembilan puluh lima persen oleh
Pegawai Negeri Sipil, TNI, Polri, dan Pelajar yang didampingi oleh guru-gurunya
masing-masing. Kehadiran masyarakat umum seperti pemuda, tokoh masyarakat,
tokoh agama, tokoh adat, organisasi kemasyarakatan hanya lima persen bahkan
kurang dari itu. Kenapa demikian :
Pertama, mereka tidak mau meninggalkan usaha dan pekerjaannya; kedua, sangat melelahkan dengan sikap
berdiri dalam waktu cukup lama; ketiga,
gengsi kenapa harus berdiri; keempat,
tidak ada sangsi; kelima, tidak ada
manfaatnya. Yang terjadi seolah-olah apel bendera atau apel hari-hari besar
nasional dan internasional itu hanya kegiatan pemerintah saja, pesan-pesan
pidato hanya untuk pemerintah dan pelajar saja, tidak ada kesan khusus untuk
mendorong dan memotivasi masyarakat secara umum. Oleh karena itu sikap
masyarakat dengan adanya apel hari-hari besar tersebut terkesan tidak ada arti
dan makna apa-apa, kecuali mebuang-buang waktu dan capek saja. Para pejabat
jauh dari rakyat, ada jurang pemisah antara pasukan yang berdiri dengan pejabat
dan undangan yang duduk dengan santainya.
Pada tahun pertama sikap tentara
Jepang sangat bagus dan simpatik, para pemuda yang direkrut latihan
baris-berbaris dan latihan ketentaraan selalu siap mengikuti dengan senang
hati. Para pemuda bangga menjadi pasukan yang terlatih walaupun tidak pakai
senjata. Para pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri, dan merasa malu
kalau tidak termasuk yang dilatih baris berbaris oleh tentara Jepang. Keamanan
ketentraman dimana-mana terjamin, dipasar aman, dipelabuhan aman, ditempat
pekerjaan aman dan semuanya aman. Walaupun rasa aman itu sebagian rakyat
Indonesia merasa aman tentram yang dipaksakan.
II. PERILAKU JEPANG BERUBAH
Pada tahun pertama tentara Jepang
menginjakkan kaki di bumi Batiwakkal belum banyak pengaruh terhadap ekonomi
rakyat, berbeda dengan tahun kedua ekonomi rakyat semakin merosot diakibatkan
perusahaan tambang yang ada di Teluk Bayur tidak bisa berjalan dengan baik,
produksi menurun, upah tenaga kerja juga otomatis menurun. Imbasnya kepada daya
beli masyarakat semakin menurun. Rakyat kecil yang menjual sayur mayur,
umbi-umbian, buah-buhan merosot dan merugi. Nelayan yang menjual hasil
tangkapannya juga kurang banyak pembeli. Ekonomi rakyat benar-benar menurun dan
daya beli juga semakin menurun. Ditambah lagi pasokan sembako dari luar daerah
yang sangat dibutuhkan rakyat juga semakin langka, garam, gula, tembakau, beras
semakin langka di pasaran. Pasokan dari luar daerah sulit. Kapal pembawa
sembako sangat jarang datang, kapal pengangkut batu bara juga semakin jarang
datang, semuanya berimbas kepada rakyat Indonesia di Berau.
Yang dulu kapal KPM (Koninklijk Pakervaart Maatschappy)
mengangkut ribuan ton batu bara dari Teluk Bayur keluar daerah, sekembalinya
kapal tersebut membawa barang seperti susu, kain, makanan kaleng dan lain-lain
tidak beroperasi lagi. Kapal-kapal tersebut dialihkan jalurnya menuju Australia
sekaligus mengangkut pengungsi bangsa Belanda dari Indonesia, maka yang terjadi
pasokan barang keperluan dari Pulau Jawa, dari Makassar tidak ada lagi. Rakyat
Berau kondisinya semakin sulit dan memburuk. Pemerintahan yang ada di Gunung
Tabur dan Sambaliung memerintahkan rakyat segera menanam sayur-sayuran,
umbi-umbian, dan padi untuk menghindari kelaparan. Ditambah lagi perilaku
tentara Jepang yang semakin reaktif dan semakin mengganas.
Sejak akhir tahun 1943 dan seterusnya keadaan di Berau semakin sulit
dan mencekam, benar-benar paceklik. Barang makanan apapun yang ada di toko-toko
sudah semua kosong. Toko semua terpaksa harus tutup, karena barang tidak ada
lagi yang dapat dijual. Kalau tidak mau mati kelaparan satu-satu cara adalah
dengan meningkatkan bercocok tanam. Rakyat Berau harus berjuang, harus bekerja
keras. Masyarakat Gunug Tabur menanam padi sawah pasang surut disekitar Gunung
Tabur, di Merancang, ada sebagian di sungai Birang, dan di pulau Besing.
Masyarakat Sambaliung berladang di Simanuk, di Rantau panjang, dan di Tumbit.
Penduduk di Tanjung Redeb, Teluk Bayur dan Rinding tidak ketinggalan berkebun
dan menanam padi, mereka berkebun ubi dan menanam sayuran didataran sekitar
mereka tinggal masing-masing, atau masuk hutan membuka lahan agar memiliki
kebun lebih luas. Sebagian mereka ada yang pindah ke Sukan dan lain-lain untuk
mencari kehidupan dengan cara berkebun, menanam ubi, sayur, dan buah-buahan.
Sebagian besar rakyat Berau badannya kurus-kurus, pucat, dan berjalan lemah
tidak berdaya karena kekurangan makanan.
Sampai sejauh itu pengorbanan
rakyat Berau, kekurangan makanan, badannya kurus, pucat, lemah, tidak berdaya.
Padahal rakyat Berau tidak ada urusan dengan perang di Eropah, rakyat Berau
tidak mengerti dengan penyerangan secara mendadak yang dilakukan oleh Jepang,
rakyat Berau juga tidak pernah paham dengan Jepang ingin menguasai Asia,
membikin Asia Kaya Raya, rakyat Berau juga tidak mengerti kapan Belanda
berakhir dan meninggalkan Indonesia, kapan Jepang mulai menjajah Nusantara,
rakyat Berau juga tidak pernah tahu kapal-kapal yang biasa datang ke Teluk
Bayur mengangkut batu bara sudah dialihkan menuju Australia mengangkut para
pengungsi bangsa Belanda. Rakyat Berau yang tahunya saat ini miskin papa, tidak
punya apa-apa, tidak punya uang, menjual hasil kebunnya dengan cara barter
tidak ada yang bisa dibarterkan, tidak ada yang beli. Toko sudah tutup semua,
dengan demikian maka garam tidak ada, gula tidak ada, gandum tidak ada, minyak
tidak ada, kain tidak ada, pakaian tidak ada, tembakau tidak ada. Apalagi
yang nama susu, coklat, makanan kaleng adalah barang mewah untuk
masyarakat Berau, semuanya tidak ada. Para pekerja tambang sebagai konsumen
atau pembeli utama sayur-sayuran,
umbi-umbian, buah-buahan yang dijual masayarakat sekitar tambang tidak bisa
membeli dengan kontan, semuanya hutang. Karena mereka juga tidak punya uang.
Untuk barter dengan barang yang dimiliki para pekerja juga tidak ada lagi yang
bisa dibarterkan. Semuanya sudah habis. Para pekerja tambang batu bara harus
berjuang alih profesi dengan membuka lahan menanam padi, menanam sayur, menanam
ubi, menanam jagung. Tanaman tersebut semuanya ya untuk makan, untuk pengisi
perut, mereka semua berjuang untuk hidup. Belum lagi serangan hama. Babi
menyerang kebun ubi, jagung dan padi, tikus menyerang padi dan ubi, ratusan
monyet menyerang padi dan jagung, ribuan burung menyerang padi yang baru
mengeluarkan buah. Mereka yang berkebun harus berjuang melawan hama yang
mengganas, mereka tinggal dikebun bersama keluarganya masing-masing. Rakyat
Berau tidak lagi perlu memikirkan pendidikan anak-anak, tidak lagi memikirkan
kesehatan, tidak lagi memikirkan syetan, jin, hantu yang sering mengganggu dan
menggoyang rumah dan pondok mereka ditengah hutan, yang paling penting hanya
satu ada bahan makanan yang dapat dimakan untuk bertahan hidup, agar tidak mati
kelaparan. Yang tidak mampu membuka lahan untuk berkebun karena lemah dan
sakit-sakitan, atau karena malas, karena gengsi adalah bagian dari korban
kelaparan dan kematian yang terus bergiliran.
Selain hama, banyak pencuri yang mengambil ubi dikebun, sayur dan buah-buahan
karena kebutuhan. Banyak rakyat Berau yang mati kelaparan. Mereka adalah korban
perang yang tidak pernah mengerti dengan perang. Perangnya dimana, dahsyatnya
perang itu seperti apa mereka tidak pernah melihatnya, mereka tidak pernah
tahu. Tetapi akibat peang, kesengsaraan,
kelaparan, kemiskinan, mereka semua merasakan dan menjadi korbannya. Rakyat
Berau hanya menjadi korban perang saja, selebihnya tidak tahu, tidak mengerti
apa-apa.
Kesengsaraan rakyat berau tidak
sampai disitu saja, masih ada yang lebih perih dan memilukan yaitu prilaku
tentara Jepang yang semakin mengganas, garang, dan sadis. Sedikit saja membuat
kesalahan rakyat Berau didamprat, dihardik dengan sumpah serapah yang sangat
kasar, dipukul, ditempeleng, ditinju bahkan sampai diinjak-injak. Yang dulu
tersenyum sudah hilang, yang dulu suka menyapa sudah hilang, yang dulu tentara
banyak berteman dengan para pemuda dan pemudi untuk belajar bahasa Indonesia
dan Bahasa Daerah sudah hilang. Yang celaka sekali para Jompo-jompo orang
pribumi juga ikut-ikutan menjadi ganas, mendamprat, menghardik dengan kasar
kepada bangsanya sendiri. Seolah-olah mereka bagian dari tentara Jepang yang
lagi linglung dan stress.
Tentara Jepang mencurigai siapa
saja perempuan atau laki-laki. Rakyat Berau tidak boleh mendengarkan siaran
radio, membaca buku, majalah dan Koran diperiksa dan dicurigai. Para Jompo
bergerak keseluruh penjuru kota dan kampung, apabila ada yang mencurigakan atau
patut dicurigai langsung dilaporkan kepada tentara Jepang. Orang-orang yang dilaporkan
oleh jompo itu langsung dijemput dan langsung diperiksa.
III. PENANGKAPAN DAN PEMBANTAIAN
Perang dunia ke dua berkecamuk di
seluruh dunia, tentara sekutu gabungan dari berbagai Negara Eropah, Australia
dan Amerika melawan penguasa dunia. Di Eropah sekutu melawan tentara Nazi
Jerman yang sangat kejam, di Asia sekutu memerangi Jepang yang sudah menguasai
hampir seluruh daratan Asia dan pulau-pulau disekitar Asia termasuk Indonesia.
Tentara Jepang yang sudah tersebar didaratan Asia berjibaku melawan tentara
sekutu Amerika, Australia, Inggris dan lain-lain. Tempat-tempat strategis
diseluruh Asia seperti lapangan Terbang, kilang-kilang minyak, pelabuhan
dijadikan sasaran bom. Bom meledak dimana-mana, api membumbung, kebakaran besar
tidak bisa dihindarkan. Tidak luput pula Indonesia, untuk mengusir Jepang di
Nusantara dikerahkan tentara angkatan udara Australia dan dibantu Amerika.
Peperangan yang banyak memakan
korban dipihak tentara Jepang, membuat tentara Jepang diseluruh Indonesia dalam
keadaan siaga penuh, begitu pula dengan keadaan Berau. Tentara Jepang yang ada
di Berau dalam keadaan genting dan siaga penuh. Semua rakyat Berau menjadi
sasaran kemarahan tentara Jepang. Informasi mengenai tentara sekutu yang
menyerang Asia ditutup rapat. Tentara Jepang dan pusat pemerintahan Jepang di
Tanjung Redeb waktu apel selalu menyampaikan kegagahan tentara Jepang dimedan
perang melawan Amerika, melawan Inggris, melawan Australia. Perang melawan
sekutu adalah perang Suci, penjajahan bangsa Eropah dan Amerika harus diusir
dari Asia. Propaganda itu selalu disampaikan kepada pegawai pemerintahan
Jepang, untuk meyakinkan bahwa Jepang tidak kalah. Setiap orang yang mengetahui
berita kekalahan Jepang melawan sekutu menjadi korban penangkapan Tentara
Jepang. Akhirnya kecurigaan semakin tidak mendasar, orang-orang yang ditangkap
dicurigai sebagai mata-mata musuh, sebagai mata-mata sekutu, rakyat menjadi
korbannya. Ada yang dicurigai, walaupun tidak mengerti apa-apa langsung
ditangkap dan dibawa entah kemana. Ada tidak kurang dari 700 orang rakyat Berau
menjadi korban keganasan tentara Jepang. Penangkapan dilakukan di Teluk Bayur,
penangkapan dilakukan di Tanjung Redeb, penangkapan juga dilakukan di Gunung
Tabur, penangkapan di Sambaliung, penangkapan di Talisayan, penangkapan di
Biduk-Biduk, penangkapan di Labuan Kelambu, penangkapan di Teluk Sumbang, dan
penangkapan di Pulau Kaniungan. Hanya
dalam kurun waktu dua tahun korbannya mencapai 700 orang. Rakyat
Indonesia yang ditangkap itu ada yang dikirim ke Tarakan dan ada yang dikirim
ke Balikpapan, yang tidak terkirim diselesaikan di Teluk Bayur dan Tanjung
Redeb. Setelah ditangkap dipenjarakan sebagian besar langsung dipancung. Dimana lokasi
pembantaiannya sampai sekarang tidak diketahui oleh rakyat Berau, kecuali
kejadian pembantaian di Sanggrai pembantaian terakhir tentara Jepang terhadap
masyarakat kampung Rinding. Tenggang waktu
penjajahan Jepang yang singkat itu meninggalkan duka yang mendalam bagi
rakyat Berau. Banyak anak-anak kehilangan ayahnya, banyak ibu-ibu kehilangan
suaminya yang sampai sekarang tidak pernah tahu dimana kubur ayah atau suami
mereka. Anak-anak korban penangkapan dan pembantaian tentara Jepang yang tidak
berdosa itu dengan susah payah, dengan penuh pengorbanan, dengan penuh kasih
sayang dibesarkan oleh ibunya yang janda, oleh kakek neneknya yang miskin, dan
oleh sanak keluarga. Alangkah sakit dan perihnya perasaan anak-anak tanpa dosa
itu menjadi korban keganasan perang dimasa penjajahan Jepang.
Selain orang Indonesia yang
menjadi korban, banyak pula orang asing yang ada di Berau jadi korban
pembantaian tentara Jepang, dr. Lucardie bersama anaknya yang masih berusia
lima dan enam tahun juga menjadi korban keganasan tentara Jepang. Padahal dr.
Lucardie sangat berjasa terhadap tentara Jepang, Jompo-jompo, dan rakyat
Indonesia yang pernah berobat dan dirawatnya waktu sakit. Rakyat Berau pada
umumnya mengenal dr. Lucardie sebagai dokter yang baik, merawat siapa saja yang
datang kepadanya. Tentara Jepang yang sakit malaria dirawatnya dengan baik,
jompo yang sakit dirawatnya denga baik, para pekerja tambang batu bara
dirawatnya dengan baik, rakyat biasa juga dirawatnya dengan baik. dr. Lucardie
memperlakukan pasien sama, semua dirawat dengan baik. akhir hidupnya sangat
tragis dipancung oleh tentara Jepang yang menggunakan orang-orang pribumi
sebagai algojonya.
IV.PEMBANTAIAN DI KAMPUNG
MARANCANG
Tentara Jepang tidak hanya
melakukan pembantaian di kota-kota, seperti Teluk Bayur, Tanjung Raddap, Gunung
Tabur, dan Sambaliung, tetapi juga melakukan pembantaian sampai ke Banua
Marancang (Marancang sekarang masuk wilayah Kecamatan Gunung Tabur). Kampung
marancang pada tahun 1940-an termasuk kampung yang sangat ramai, bahkan pada
masa berdirinya kerajaan Berau atau Berayu pada tahu 1400, Marancang sudah
disebut Banua Marancang. Artinya tempat yang sungguh ramai pada masa itu.
Para penghianat yang mengabdi
pada tentara Jepang pikirannya sangat licik, kotor, dan tidak
berkeprimanusiaan. Mereka melaporkan siapa saja kepada tentara Jepang apabila
diketahui sebagai antek Belanda atau antek Sekutu yang melaporkan keberadaan
tentara Jepang kepada Sekutu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh antek-antek
Jepang untuk melaporkan orang-orang yang tidak disukai kepada tentara Jepang.
Orang-orang yang dilaporkan tersebut langsung ditangkap, lalu dibawa kesebuah
tempat dan langsung dieksekusi mati dengan cara dipancung lehernya oleh algojo
Jepang. Sangat mengerikan dan sadis.
Di kampong Marancang ada tujuh
orang yang jadi korban kesadisan tentara Jepang, dua orang Tionghoa berasal
dari Pulau Bassing, dan lima orang sukui Banua dan suku Banjar dari kampung
Pujut dan kampung Marancang. Salah satu diantaranya sedang berbelanja disebuah
warung di kampung Pujut, tidak mengerti dan tidak tahu menahu, tiba-tiba
langsung ditangkap jompo dan dibawa ke Marancang dikumpulkan menjadi satu, jadi
tujuh orang. Ketujuh orang tersebut dibantai dengan sadis oleh algojo Jepang di
Kampung Marancang ditepi lubang yang telah disiapkan.
Sebelum dipancung lehernya, satu
persatu kepala pesakitan ditutup dengan kain putih berbentuk kompi seperti
sarung bantal, lalu dibawa ketepi lubang dan dipancung. Tubuh pesakitan masih
menggelepar, tubuhnya yang sudah tidak berkepala itu didorong dengan sebelah
kaki oleh algojo masuk kedalam lubang. Sampai selesai ketujuh orang yang
dipancung itu, menumpuk tindis menindis didalam lubang yang tidak terlalu
besar. Lubang sumur itu langsung ditutup dengan tanah. Kejadian itu persisnya
pada tahun 1944.
V. SERANGAN SEKUTU MENGHANCURKAN
KERATON GUNUNG TABUR
Propagandan jepang melalui kepala
Pemerintahan Jepang di kota Tanjung Redeb sering berpidato dihadapan para
pegawainya saat berbaris apel, mengatakan bahwa bala tentara Jepang dimana-mana
disegala medan laga dan medan perang, berhasil menghancurkan kekuatan tentara
Inggris dan tentara Amerika, Perang Asia Timur Raya dibawah pimpinan saudara
tua Dai Nippon adalah perang suci untuk membebaskan bangsa Asia dari belenggu
penjajahan Inggris, Amerika, dan Belanda. (A. Maulana, 27) propaganda itu
berhasil mempengaruhi pegawai-pegawainya dengan keyakinan Jepang tidak akan
terkalahkan oleh tentara sekutu, meskipun bergabungnya kekuatan dan
persenjataan yang modern untuk mengusir Jepang.
Berita propaganda itu tidak ada pengaruhnya terhadap
rakyat Berau yang dalam keadaan serba kekurangan, mereka tahu penjajahan itu
tidak ada yang baik. Bahkan rakyat Indonesia mengatakan sampai kapanpun
pemerintahan Jepang itu tidak ada baiknya, jahat terus. Terbukti selama dua
tahun terakhir ini kelaparan melanda rakyat, kemiskinan dan serba kekurangan
tidak bisa dihindarkan, ditambah lagi banyak rakyat yang ditangkap tentara
Jepang semakin membuat kesengsaraan dan kesedihan yang mendalam. Oleh karena
itu propaganda apapun yang dilakukan pemerintahan Jepang, rakyat Berau sudah
bosan dan tidak percaya lagi. Kenyataannya sengsara terus, sampai kapanpun
tentara Jepang jahat terus. Tidak ada baiknya.
Akhir tahun 1944 sekutu semakin
gencar menyerang pertahanan Jepang dimana-mana. Sebaliknya Jepang semakin ganas
dan haus darah, menangkap orang tidak berdosa dimana-mana. Diseluruh wilayah
yang dikuasai Jepang terjadi pembantaian besar-besaran, diseluruh Indonesia
juga terjadi pembantaian diaman-mana. Ratusan ribu rakyat Indonesia yang tidak
berdosa jadi sasaran kemarahan tentara Jepang. Tentara sekutu selain menyerang
seluruh pertahanan Jepang, dari pesawat tempurnya menghamburkan kertas yang isi
beritanya penyerangan dan kesuksesan Amerika mengalahkan Jepang dengan gambar
Jenderal Mac Arthur. Berau mencekam, rakyat diam seribu bahasa, bersembunyi
didalam rumah atau bersembunyi di tempat-tempat yang aman.
Para pejabat bangsa Indonesia
yang ada di Berau seperti, Adji Barni Natasuarna, Abidinsyah, Abdul Haris
masing-masing sebagai kepala Onderdistrik, Datu Agil putra Sultan Sambaliung,
Papilaya Kepala Bea Cukai dan beberapa tokoh lainnya sering melakukan
pertemuan. Mereka sangat miris melihat rakyat Berau yang sengsara, serba
kekurangan. Tentara Jepang sudah mulai kehilang percaya diri, propaganda yang
dilakukan rakyat sudah tidak percaya, serangan tentara angkatan udara sekutu
semakin gencar. Uapaya terbaik bagaimana menyelamatkan rakyat dari kerangan
sekutu dan dari keganasan tentara Jepang. Rakyat lebih percaya pada informasi
yang disampaikan para pejabat pribumi, kesmpatan itu digunakan sebaik-baiknya
untuk meyakinkan rakyat. Untuk upaya penyelamatan rakyat, maka dibangunlah
tanda dengan suara keras yang dikenal dengan alaram. Bila suling alaram itu
berbunyi panjang tiga kali berturut-turut tandanya pesawat terbang sekutu
datang. Saat itu pula rakyat mencari tempat perlindungan masing-masing, agar
terhindar dari peluru yang dimuntahkan dari pesawat terbang dan yang
dijatuhkan. Apabila pesawat tempur itu sudah hilang dan tidak kembali lagi
dibunyikan alaram sebagai tanda sudah aman, rakyat boleh kembali kerumahnya
masing-masing untuk melakukan aktifitas seperti biasa.
Pada akhir tahun 1944 semua
pejabat bangsa Jepang yang masih ada di Berau, Bulungan dan Malinau harus
berangkat ke Tarakan. Mereka diperintahkan untuk berkumpul semua di Tarakan
untuk melakukan tindakan dan upaya selanjutnya. Setelah Biak dan Morotai
dikuasai oleh sekutu terjadi lagi serangan udara yang lebih dahsyat yang
dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan pesawat-pesawat B24 terhadap kota
Tarakan. Serangan utama ditujukan untuk menghancurkan tangki-tangki minyak,
pelabuhan Lingkas dan lapangan terbang Juata Tarakan dihancurkan. Setelah pulau
Tarakan dikuasai sepenuhnya oleh tentara Sekutu, selanjutnya giliran Berau jadi
sasaran tentara sekutu.
Pada bulan Januari tahun 1945
pesawat tempur B24 dan pesawat pengebom B29 menuju Berau, yang menjadi
sasarannya Kota Tanjung Redeb, Teluk
Bayur, Gunung Tabur, dan Sambaliung, sasaran peluru-peluru pesawat tempur B24
langsung ke Teluk Bayur, kemudian menghamburkan peluru di Tanjung Rdeb,
Sambaliung dan gunung Tabur. Selanjut digantikan pesawat pembomB29
mengaung-aung dilangit Berau berputar beberapa kali, kemudian menukik dan
menjatuhkan beberapa buah bom diatas keraton Gunung Tabur. Keraton Gunung Tabur
hancur dan terbakar. Kemudian berputar-putar lagi lalu menukik diatas keraton
Sambaliung melepaskan beberapa buah bom. Keraton Sambaliung selamat dari
bom-bom tersebut. Sebagian bom meledak tidak jauh dari keraton tetapi tidak sedikitpun
merusak keraton dan ada beberapa buah bom yang jatuh jauh dari keraton tetapi
tidak meledak. Menurut tuturan dan kisah selamatnya keratin Sambaliung dari
hantaman bom sekutu itu karena bantuan Si Garutu jin sahabat Sultan yang sangat
besar. saat bom jatuh tangan Garutu kelihatan diatas keraton, melindungi
keraton membuang semua bom yang jatuh
tepat mengenai keraton. Dengan bantuan si Garutu tersebut keraton Sambaliung selamat dari hantaman bom-bom
sekutu.
Keraton Sambaliung selamat,
sedangkan Keraton Gunung Tabur jadi korban serangan sekutu dalam upaya untuk
melumpuhkan kekuatan Jepang. Keraton Gunung Tabur yang terbuat dari kayu
seluruhnya berbentuk rumah panggung terbakar habis tinggal menyisakan beberapa
tiang ulin bagian dapur keraton. Tiang-tiang ulin yang tersisa menjadi saksi
bisu kejamnya peperangan. Beberapa tiang yang tertinggal masih ada sampai
sekarang menjadi salah satu kekayaan cagar budaya Kabupaten Berau yang sangat
dilindungi.
Sebelum terjadi penyerangan dan
pengeboman besar-besar yang dilakukan sekutu kewilayah Berau, warga sebagian
besar sudah mengungsi, sebagian lagi berlindung ditempat-tempat yang aman.
Keluarga keraton Gunung Tabur, Sultan Achmad Maulana Muhammad Chalifatullah
bersama istri, anak, keluarga, dan rombongan sudah mengungsi ke sungai Birang,
sedangkan Sultan Sambaliung, Sultan Muhammad Aminuddin bersama istri-istri,
anak-anak, dan keluarga semua mengungsi di dalam Sungai Buntu. Keluarga kedua
keraton tersebut semuanya dalam keadaan selamat.
Tentara sekutu sudah menguasai
seluruhnya wilayah jajahan Jepang, tentara Jepang yang tersisa yang masih
berada di Tanjung Redeb dan sekitar tidak bisa keluar dari Berau,mereka
terkurung, mereka berkumpul di Tanjung Redeb. Keluar lewat laut kapal-kapal
berbendera Jepang tidak bisa, telah dikepung sekutu disekitar Teluk Sulaiman
sampai Tanjung Mangkalihat. Disana kapal selam sekutu berbendera Australia siap
menenggelamkan kapal-kapal yang mencurigakan termasuk kapal tentara jepang.
Satu-satu jalan yang bisa ditempuh menembus lewat pedalaman Kelay menuju sungai
Mahakam. Dari hulu Mahakam menggunakan perahu sampai ke Samarinda.
Setelah sekutu menang perang
dunia II yang diakhiri dengan membumi hanguskan Nagasaki dan Hirosima dengan
bom Atom yang sangat dahsyat, Jepang menyerah kalah tanpa sarat. Kemenangan
sekutu tidak langsung menduduki Indonesia secara resmi. Kevakuman kekuasaan
tersebut dimanfaat sebaik-baiknya oleh para pemuda bangsa Indonesia untuk
memproklamasikan bangsa Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi
dikumandangkan digedung Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta. Ir. Sokarno dan Drs. M. Hatta atas
nama bangsa Indonesia membacakan tek Proklamsi kemudian menyanyikan Lagu
Indonesia Raya bersamaan dengan menaikkan Bendera Merah Putih. Kemerdekaan
Republik Indonesia diumum keseluh penjuru dunia.
Imbas dari kalah perang adalah
seluruh tentara dan perangkat pemerintahan Jepang harus segera meninggalkan
Indonesia kembali kenegaranya. Proses pemulangan warga Negara Jepang yang kalah
perang tersebut butuh waktu dan persiapan yang matang. Dalam perjalanannya
penuh tantangan dan resiko. Rakyat Berau dalam keadaan mencekam, di mana-mana
tidak ada barang yang dijual, masyarakat kelaparan, untunglah ubi jalar dan ubi
kayu atau singkong, keladi, serta pucuk-pucukan tumbuh subur dijadikan sebagai
makanan pengganti beras dan gandum.
Akhir Agustus tahun 1945 Seorang
pemuda bernama Samsuddin bin Ramlie (Ambi) salah satu yang ditugaskan tentara
Jepang untuk mengantarkan rombongan tentara Jepang melewati pedalaman sungai
Kelay. Rombongan berangkat dari Tanjung Redeb menuju kampung Muara Lesan dengan
naik perahu. Beberapa orang pemuda yang mengantar tentara Jepang itu dalam
ancaman senjata tentara Jepang, senjata laras panjang tentara Jepang yang
diantar siap siaga, apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan langsung tembak.
Samsuddin dan kawan-kawan dengan gagahnya mendampingi tentara Jepang walaupun
dalam keadaan terancam. Perahu didayung
dan didorong dengan tanggar melawan arus sungai selama dua hari dua malam
sampai di Kampung Muara Lesan. Dari Muara Lesan melanjutkan perjalanan dengan
perahu lagi menuju kampung orang Dayak Punan dipedalaman Kelay. Dari sana baru
jalan kaki selama dua hari tembus di sungai Wahau. Di Wahau rombongan pengantar
Samsuddin dan kawan-kawan kembali ke Muara Lesan. Tentara Jepang yang tadinya
selalu mengancam dengan moncong senjata sangat berterima kasih pada para pemuda
pemberani. Ucapan terima kasih tersebut mereka ucapkan puluhan kali baru mereka
berpisah dengan tujuan masing-masing. Kalau tidak cepat diantar, tentara Jepang itu pasti jadi bulan-bulan
rakyat Berau yang ingin balas dendam. Sakit hati yang luar biasa atas
kebiadaban tentara Jepang yang menangkap Ayah, suami, putra mereka tanpa salah
beberapa waktu lalu belum dapat ditumpahkan kepada tentara Jepang yang kalah
perang dengan sekutu. Sedangkan tentara Jepang melanjutkan perjalanan menyusuri
sungai Mahakam sampai kota Samarinda diantar oleh orang Dayak Wahau dengan naik
perahu selama beberapa hari. Perjuangan hidup mati tentara Jepang dilakukan
dengan penuh perjuangan, walaupun sesakit apapun mereka tetap lakukan dengan
penuh tanggung jawab dengan segala pengorbanan.
Samsuddin sebagai pelaku sejarah
yang pernah mengantarkan tentara Jepang itu lahir di Muara Lesan tahun 1912.
Ayahnya seorang tokoh berasal dari Barabai Kalimantan Selatan, ditunjuk oleh
Sultan terakhir Sambaliung Sultan Muhammad Aminuddin mejadi Pambakal (Kepala
Kampung) pertama di Muara Lesan. Tugas utama Pambakal Ambi untuk mengumpulkan
hasil hutan dari suku Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, dan Dayak Punan. Samsuddin lama
tinggal di kampung Muara Lesan lama. Pada masa jayanya pertambangan batu bara
di Teluk Bayur, pernah tinggal di rumah bangsal Teluk Bayur. Terakhir beliau
tinggal di ujung Tanjung gang Ancol sampai sepuh. Meninggal bulan Januari tahun
2002 dimakamkan di pemakaman Muslim Sambaliung.
VI. JOMPO DIKEROYOK DISUNGAI
BULUH
Pada tanggal 1 Agustus tahun
1945, Hirosima dan Nagasaki belum dibom atom saat itu, tentara Jepang masih
menangkap beberapa orang tokoh dari Kampung Rinding yang dicurigai sebagai
mata-mata Sekutu. Kampung Rinding didiami oleh suku Banjar sejak ratusan tahun
lalu, empat kilometer dari kota Teluk Bayur.
Jalan darat antara kampung Rinding dengan Teluk Bayur sudah bagus dengan
pengerasan batu yang rapi. Oleh karena itu sepeda petugas polisi, motor Herly
keamanan, dan mobil jip tentara sering lalu lalang dari Teluk
Bayur-Rinding. Selain Kampung Rinding
orang-orang Banjar juga tinggal di Kampung Batu Miang dan di Kampung Sukan.
Sesepuh Rinding sebanyak dua belas orang ditangkap tentara Jepang setelah
mendapat laporan dari jompo atau polisi Jepang yang pada umumnya adalah orang
pribumi. Dua belas orang yang ditangkap tersebut langsung diangkut ke Teluk
Bayur.
Sebenarnya Jepang sudah
mengetahui bagaimana kekuatan tentara sekutu menyerang seluruh pertahanan
tentara Jepang. Kekuatan angkatan udara sekutu dengan pesawat pengebom milik
Amerika dan kekuatan angkatan Laut dengan kapal-kapal selam yang canggih milik
Australia sudah merepotkan pertahanan Jepang. kota Tarakan dan kota Balikpapan
sebagai daerah produksi minyak dengan kilang-kilangnya sudah banyak yang hancur
dan terbakar. Bandar udara dan pelabuhan laut di Tarakan sudah di bombardir.
Tetapi dengan kesombongan dan kecongkakannya masih melakukan kebiadaban
terhadap rakyat yang tidak berdosa. Yang menjadi dasar alasan penangkapan
adalah menjadi mata-mata sekutu, menginformasikan kekuatan Jepang yang ada di
Berau, dengan demikian tentara sekutu mudah melakukan penyerangan terhadap
pertahanan tentara Jepang. Dengan dasar alasan tersebut rakyat dijadikan domba
sembelihan atas kebiadaban tentara Jepang. Oleh kebiadaban tentara Jepang
tersebut yang membuat rakyat tidak percaya lagi dengan kemampuan Jepang, selalu
mereka katakan “penjajahan Jepang tidak pernah baik, jahat terus”.
Akhir bulan Agustus tahun 1945,
masyarakat Berau tidak mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba seluruh tentara
Jepang sudah tidak ada lagi di Berau. Sebenarnya perangkat pemerintahan Jepang
dan tentara sebagian besar sudah berangkat menuju Tarakan melalui Tanah Kuning,
sisanya dari Tanjung Redeb ke Samarinda menggunakan perahu melalui hulu sungai
Kelay, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai ke Wahau, dari Wahau
naik perahu lagi sampai Samarinda. Kepergian tentara Jepang tersebut dilakukan
secara diam-diam sekaligus menyelamatkan diri. Ada juga sebelumnya tentara
jepang berjalan kaki dari Teluk Bayur Menuju Labanan lanjut ke Kelay terus ke
Samarinda, ada juga yang menembus ke Sangkulirang lalu lanjut ke Samarinda.
Kedua belas orang yang ditangkap
di Kampung Rinding itu langsung dibawa tentara Jepang ke Teluk Bayur, langsung
dibawa ke Sanggrai tidak jauh dari kamar bola atau ball room. Sanggrai adalah
tempat penggergajian. Tidak jauh dari pabrik penggergajian itu ada tumpukan
menggunung tai gergajian atau kotoran sisa penggergajian. Ditempat itu langsung
digali buat lubang. Disana ke dua belas orang tokoh masyarakat Rinding dengan
tangan terikat kebelakang di pancung lehernya, setelah putus kepalanya langsung
didorong dengan kaki tubuhnya masuk kedalam lubang tersebut. Masyarakat Rinding
pada waktu itu sangat marah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Nanti
dilaporkan Jompo kepada tentara bisa menjadi korban berikutnya ditangkap
tentara. Akhirnya masyarakat yang marah itu menahan diri saja tidak berbuat apa-apa,
tetapi ingin membalas dendam itu sangat kuat. Hanya waktu dan kesempatan saja
lagi yang belum ada kapan melakukan pembalasan dendan kesumat tersebut.
Jakarta sudah memproklamirkan
Republik Indonesia, Indonesia sebagai Negara merdeka sudah tersebar diseluruh
dunia walaupun Belanda masih belum mau mengakui. Rakyat secara sukarela
membentuk barisan keamanan, penjagaan sebagai implementasi melaksanakan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Barisan rakyat dimasing-masing kampung
dibentuk untuk mempertahankan Proklamasi. Pada saat semangat-semangatnya rakyat
membangun kekuatan datang Jompo berpakaian lengkap dengan santainya naik sepeda
ke Kampung Rinding sampai di Sungai Buluh. Jompo tersebut masih merasa pongah
dengan pakaian seragam yang dikenakannya. Jompo pribumi tersebut seorang
kelahiran Ambon namanya si Garuda yang dulu dikenal rakyat Berau Jompo yang
sangat bengis dan kejam tidak tahu kalau masyarakat Kampung Rinding ingin
membalas dendam kepada tentara Jepang dan sangat membenci para Jompo yang bengis
dan kejam.
Bulan Nopember 1945 kejadian itu
bermula. Bekas Jompo namanya Garuda itu bersepada dengan santai sambil
tersenyum pongah kepada siapa saja yang dilintasinya. Warga yang dilintasinya
nyeletuk dalam hati ”senyum-senyum seperti baik-baiknya saja….cari aksi…jompo
kejam dan sadis” pada umumnya orang yang dilintasi si Garuda diam saja tidak
member reaksia apapun. Garuda menyangka dirinya masih penuh dengan wibawa,
tidak ada orang yang berani menatap dan menyapanya seperti masa Jepang masih
ada di Berau. Sampai disungai Buluh singgah dirumah kawannya. Warga sungai
Buluh sebenarnya sudah siap-siap dengan kedatangan Jompo tersebut untuk segera
melakukan tindakan. Setiap orang dirumah-rumah sudah siap, senjata sudah siap
seperti parang, Mandau, linggis, bujak dan tombak. Waktu itu masyarakat baru
saja bubar dari Sembahyang Hari Raya Haji atau Sembahyang Hari Raya Aidhul
Adha.
Begitu singgah dirumah tersebut,
Garuda langsung diikuti dari belakang. Sampai ditempat tujuan selesai
meletakkan sepedanya Garuda berjalan menuju halaman rumah langsung didorong
dengan sekuat tenaga oleh orang yang mengikutinya, dengan tombak yang ada
berdiri didekat kejadian itu langsung dihunjamkan ketubuh si Garuda yang kekar
dan kuat. Mengetahui dirinya didorong dan ditumbak, Garuda langsung lari kearah
belakang rumah, tetapi Garuda dikejutkan disana sudah ada beberapa orang pemuda
si Uning dan kawan-kawan. Langsung memukul kepala dan bagian tubuhnya dengan
keras dengan potongan kayu. Si garuda terkapar dan jatuh kedalam sumur. Dalam
keadaan tidak berdaya, diperiksa kantong atau saku baju dan celana untuk
mencari daftar orang-orang yang mau ditangkap lagi. Dari dalam sumur Garuda
diangkat lalu tangannya diikat kebelakang. Pemuda tidak berniat membunuh si
Garuda walaupun dia dulu salah satu Jompo yang sangat kejam waktu menjalankan
tugas dan perintah tentara Jepang. Tanya para pemuda yang menangkapnya “ditaroh
dimana sesepuh kami yang ditangkap tempo hari” garuda dengan mengucurkan darah dibagian sisi kanan
dadanya dan mencucurkan air mata menahan rasa sakit dikepala, belakang dan dada
kanannya menjawab dengan jujur “Kami Jompo-Jompo tidak tahu dibawa kemana, kami
hanya menjalankan tugas melaporkan saja. Yang menangkap dan mengeksekusi
tentara jepang dengan algojonya”. Diantara Jompo yang ditangkap rakyat ada yang
mengatakan sesepuh Rinding dipancung di Sanggrai, ditumpukan kotoran gergajian,
disana digali lubang dan kedua belas sesepuh Rinding tersebut dikubur disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar