Selasa, 24 Maret 2015

PEMBANTAIAN OLEH TENTARA JEPANG 1941-1945



                                        PEMBANTAIAN OLEH TENTARA JEPANG

oleh : Saprudin Ithur
 
Begitu Tentara Jepang datang dan mendarat di pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur, masyarakat Teluk Bayur menyambutnya dengan suka cita. Rakyat Berau yakin dengan datangnya Jepang sebagai saudara tua, pasti ada peningkatan dan perubahan dimana-mana. Selama penjajahan Belanda rakyat tidak ada perubahan apa-apa, masih sepertu dulu, miskin dan tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan seperti anak-anak Belanda dan anaknya priyayi budak Belanda.  Apalagi mendengar bahwa Jepang bersama Indonesia adalah saudara. Jepang dan Indonesia akan membuat Asia kaya raya. Berita manis tersebut menggugah perasaan semua rakyat  Berau yang ada di Teluk Bayur, Gunung Tabur, Sambaliung, Tanjung Redeb, dan sekitarnya. Mereka semua siap menerima perubahan dan siap melakukan perubahan yang lebih baik. Tetapi kenyataan sangat jauh berbeda, tidak seperti yang mereka semua bayangkan. Hanya setahun saja berada di Berau, Jepang sudah berubah total, kecurigaan terhadap rakyat sangat sensitif dan luar biasa. Mendengar ceritera ada rakyat yang mengatakan pemerintahan Belanda lebih baik dari pemerintahan Jepang, rakyat  langsung ditangkap dan dibantai dengan cara dipancung. Mendengar ada sekutu mau datang dari seseorang, ratusan para pemuda, tokoh masyarakat, pemuka agama, ulama ditangkap, sampai sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya dan dimana kuburnya. Tragis memang, tapi begitulah kenyataan yang dirasakan oleh rakyat Berau. Banyak orang tua kehilangan putranya, banyak istri dan anak kehilangan suami dan ayahnya.
                                               
I. JEPANG MASUK BERAU
Pada awal tahun 1942 perusahaan batu bara milik Belanda Stankolen Mascapay  Parapatan (SMP) masih berjalan sebagaimana mestinya. Kegiatan mengeluarkan batu bara dari perut bumi di wilayah Teluk Bayur masih berjalan. Lokomotif pengangkut batu bara dari sumur penggalian di Rantau Panjang sampai ke pelabuhan bongkar muat masih hilir mudik seperti biasa. Pelabuhan bongkar muat batu bara juga masih berjalan seperti biasa. Kapal pengangkut batu bara dari pelabuhan Teluk Bayur masih ada dan berangkat menuju pulau Jawa seperti biasa. Artinya perdagangan batu bara pada waktu itu masih berjalan dengan lancar.
Berita Jepang mengalahkan Belanda sudah terdengar dimana-mana, berita radio menjadi andalan informasi pada masa itu. Radio masih sangat jarang, orang kebanyakan belum mampu untuk membeli radio. Oleh karena itu masyarakat berkumpul mendengarkan berita yang dipancarkan melalui radio. Berita radio tersebut disebarkan oleh para pendengar kepada semua orang di Teluk Bayur. Masyarakat Teluk Bayur sejak setahun yang lalu (1941) sudah tahu bahwa wilayah jajahan Hindia Belanda yaitu Indonesia sudah dikuasai tentara Jepang, dengan diawalinya pada tanggal 8 Desember 1941 Pearl Harbour di Hawai diserang mendadak oleh Angkatan Laut Jepang dibawah pimpinann Laksamana Yamamoyo. Perang Pasifik tidak dapat dihindarkan antara Amerika Serikat dengan Dai Nippon Jepang. Pengaruh serangan Jepang yang mendadak dan sangat berani itu sangat berpengaruh kepada dunia. Sedangkan di Eropah Jerman menyerang dan menguasai wilayah Balkan, tentara Nazi menguasai dan mencaplok nagara Balkan Schier Eiland. Pengaruh kekuatan dan keberanian tentara Laut Jepang di Asia mengusir penjajah dari Eropah seperti Inggris, Belanda, juga Amerika. Belanda kalah tanding dilaut dan didarat dengan tentara Laut dan Darat Jepang. Pada tahun 1942 tentara Belanda sudah tidak ada lagi di Berau, para pemegang peralatan penting orang-orang Belanda yang ada di Teluk Bayur juga sudah meninggalkan Teluk Bayur.  Yang  tertinggal para pekerja, para mandor, tentara, polisi orang pribumi, makanya produksi bata bara masih berjalan.  Mereka pergi meninggalkan Teluk Bayur secara diam-diam menuju Tarakan dan sebagian lagi menuju Balikpapan, orang Indonesia pada umumnya tidak mengetahui kepergian orang-orang Belanda itu dari Teluk Bayur dan Tanjung Redeb. Para pekerja tambang batu bara juga tidak mengetahui hal ikhwal perginya orang-orang Belanda dari Teluk Bayur dan Tanjung Redeb. Hanya para pegawai penting diperusahaan saja yang tahu, itupun harus dirahasikan. Belanda masih yakin akan kembali ke Berau dan menjalankan usahanya di Teluk Bayur. Belanda yakin Jepang tidak akan lama menguasai Nusantara atau Hindia Belanda. Kebutuhan batu bara untuk menggerakkan mesin kereta api, mesin kapal, dan menggerakkan mesin listrik masih sangat penting, oleh karena itu perusahaan batu bara tetap berjalan seperti biasa.
Pada pertengahan tahun 1942 tentara Jepang masuk ke Berau dan menduduki Berau tanpa pertempuran, langsung menuju Teluk Bayur. Karena Teluk Bayur pada masa itu adalah daerah strategis yang dikuasai lebih dahulu. Setelah Teluk Bayur dikuasai sepenuhnya oleh Jepang, barulah tentara Jepang bergerak ketempat-tempat lain seperti Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Sambaliung, Talisayan, Batu Putih, Biduk-Biduk, Pulau Derawan dan Pulau Balikukup. Jepang juga melakukan penjagaan dibeberapa mercu suar seperti di Tanjung Mangkalihat, dan Pulau Maratua.
Sebelum bala tentara Jepang datang di Teluk Bayur, bulan Januari 1942 bala tentara Jepang lebih dahulu menguasai Pulau minyak Tarakan. Dari Tarakan, tentara Jepang berangkat menuju Berau dengan menggunakan dua buah kapal motor perang sejenis Korpet mendarat di pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur. Sanggrai adalah istilah lain dari nama pabrik penggergajian pada masa penjajahan Belanda, disana tai gergajian atau kotoran limbah penggergajian menumpuk menggunung. Didekat sanggrai itulah ada sebuah pelabuhan besar dan kokoh dari bahan kayu ulin seluruhnya. Sanggrai berada sekitar empat ratus meter dibelakang gedung mewah kamar bola atau boll room.
                                                              
Pasukan Jepang sebanyak dua kompi kurang lebih 70 orang langsung mendarat dan membentuk barisan masuk kota Teluk Bayur langsung ke lapangan sepak bola Teluk Bayur. Selanjutnya mereka berbagi menuju kantor perusahaan batu bara, ke pasar Teluk Bayur, kekamar bola, kepelabuhan muat batu bara, pelabuhan penggergajian kayu di Silo. Memeriksa semua gerbang lokomotif, pelabuhan, dan ada yang langsung menuju pusat perbengkelan Perusahaan Batu Bara didekat terowongan. Semuanya sudah aman, tentara Belanda tidak ada lagi, orang-orang penting Belanda sudah tidak ada lagi, bekas polisi warga pribumi direkrut untuk membantu keamanan Teluk Bayur yang kemudian hari dikenal dengan nama Jompo. Seminggu kemudian tentara Jepang baru bergerak menuju Tanjung Redeb, ke Keraton Gunung Tabur, dan ke Keraton Sambaliung. Semua tempat-tempat itu dikuasai dengan mudah tanpa ada perlawanan.
Setelah semua dikuasai dan aman, baru tentara Jepang bergerak berbagi ada yang menuju Pulau Derawan, Talisayan, Pulau Balikukup, Biduk-Biduk, dan Pulau Kaniungan. Setelah itu sebagian mereka kembali lagi kepusat kota di Teluk Bayur. Tentara Jepang di Teluk Bayur sangat disegani masyarakat, karena setiap bertemu wajib hormat kepada tentara Jepang. Sebagian orang senang dengan cara seperti itu, akhirnya semua rakyat yang ada mau tidak mau belajar bagaimana menghormat tentara Jepang dengan baik dan benar. Dengan cara semacam itu tentara Jepang sangat senang, mereka menganggap rakyat Indonesia sopan dan menghormati keberadaan tentara Jepang.
 Saat Jepang baru datang berbaris menjadi dua regu langsung menuju lapangan bola, dilapangan mereka bubar. Salah satu tentara Jepang memanggil seorang remaja yang menyaksikana kedatangan tentara  Jepang, memanggil dan bertanya kepada seorang Remaja Uning namanya “kura..kura” sambil melambaikan tangan, Uning mendekat balik bertanya dengan sikap sopan kepada sang tentara Jepang “ada apa tuan” lalu ia tanya lagi “Indonesia” Uning menjawab ”ya tuan” lalu katanya “ jotolah Indonesia….Indonesia bagus, Indonesia Jepang sama samalah” lalu lanjutnya lagi “Asia sama-sama, nanti Indonesia Jepang bikin Asia kaya raya, belanda semua usir” Uning mendengar ucapak tentara Jepang yang memanggilnya itu sangat senang. Jepang mengusir Belanda ingin menjadikan Indonesia kaya raya, ingin menjadikan Asia kaya raya, dalam pikiran Uning masa depan Indonesia menjadi lebih baik, tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada lagi orang yang tidak punya baju, makanan selalu ada, rokok dan tembakau selalu ada, tidak ada lagi kelaparan, tidak ada lagi kelas-kelas yang membedakan derajat orang kulit putih, orang kulit campuran dan pribumi. Pada masa Belanda orang pribumi menjadi orang nomor tiga, nomor terakhir, nomor terendah, nomor kelas budak, kelas pembantu, kelas babu, kelas yang tidak berdaya. Seluruh  rakyat Indonesia pasti gembira dan senang menerima kedatangan Jepang.
Kurang lebih sebulan lamanya tentara Jepang sudah menguasai sepenuhnya Berau datanglah seorang Jepang ke Tanjung sekarang Tanjung Redeb, langsung menduduki dan menempati tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Belanda di Tanjung Redeb yang telah ditinggalkan. Disana langsung dibukalah kantor pemerintahan Jepang yang dikenal dengan sebutan Bunken Kanrikan Jumisya dengan dikepalai oleh Kinoshita dengan jabatan sebagai Kanrikan. Kepala kantor pemerintahan Jepang diwilayah Berau. Dengan demikian maka resmilah Jepang berkuasa sepenuhnya di tanah Berau, baik pertahanan, keamanan, dan pemerintahan menjadi tanggung jawab pemerintahan Jepang.
Para pemuda direkrut dilatih ketentaraan, dilatih apel dan menghormat bendera Jepang. Disekolah dilatih baris-berbaris, apel pagi dan hormat bendera, para pekerja juga dilatih baris berbaris, apel dan hormat bendera Jepang. Hasil didikan tentara Jepang sampai sekarang masih melekat di masyarakat Indonesia, setiap hari Senin sekolah melaksanakan apel bendera, masuk kelas berbaris, pulang dengan berbaris. Dikantor-kantor melaksanakan apel pagi dan apel siang. Pada hari-hari besar juga diadakan apel. Para pejabat duduk dengan santai, pasukan yang mengikuti apel berdiri dengan sikap siap dan istirahat.
Perlu ada keberanian untuk merubah kebiasaan apel hari-hari besar yang sudah biasa dilaksanakan pemerintah sejak dulu dengan peserta apel berdiri satu sampai dua jam, menjadi peringatan hari-hari besar nasional dan internasional dengan semuanya duduk dalam sebuah gedung atau ruang yang disiapkan dengan baik. Semuanya berdiri hanya pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengikuti pembacaan Pancasila serta mengheningkan cipta. Selain itu semuanya duduk saja. Acara gelar apel peringatan hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus dilapangan terbuka yang berdiri hanya pasukan khusus seperti Tentara Nasional Indonesia, Polisi republik Indonesia, Satuan Pengamanan, Pertahanan Sipil, dan Pasukan Penggerek Bendera, yang memang terlatih untuk berdiri lama. Selain  itu semuanya duduk dengan hikmad. Berdiri semua ketika Penggerekan Bendera Merah Putih, pembacaaan Pancasila, pembacaan Undang-Undang Dasar 1945, dan mengheningkan Cipta. Sedangkan mendengarkan suara sirine detik-detik proklamasi, mendengarkan pidato cukup dengan duduk dan hikmad.
Pada upacara-upacara apel hari-hari besar nasional dan internasional dihadiri sembilan puluh lima persen oleh Pegawai Negeri Sipil, TNI, Polri, dan Pelajar yang didampingi oleh guru-gurunya masing-masing. Kehadiran masyarakat umum seperti pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, organisasi kemasyarakatan hanya lima persen bahkan kurang dari itu. Kenapa demikian : Pertama, mereka tidak mau meninggalkan usaha dan pekerjaannya; kedua, sangat melelahkan dengan sikap berdiri dalam waktu cukup lama; ketiga, gengsi kenapa harus berdiri; keempat, tidak ada sangsi; kelima, tidak ada manfaatnya. Yang terjadi seolah-olah apel bendera atau apel hari-hari besar nasional dan internasional itu hanya kegiatan pemerintah saja, pesan-pesan pidato hanya untuk pemerintah dan pelajar saja, tidak ada kesan khusus untuk mendorong dan memotivasi masyarakat secara umum. Oleh karena itu sikap masyarakat dengan adanya apel hari-hari besar tersebut terkesan tidak ada arti dan makna apa-apa, kecuali mebuang-buang waktu dan capek saja. Para pejabat jauh dari rakyat, ada jurang pemisah antara pasukan yang berdiri dengan pejabat dan undangan yang duduk dengan santainya.
Pada tahun pertama sikap tentara Jepang sangat bagus dan simpatik, para pemuda yang direkrut latihan baris-berbaris dan latihan ketentaraan selalu siap mengikuti dengan senang hati. Para pemuda bangga menjadi pasukan yang terlatih walaupun tidak pakai senjata. Para pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri, dan merasa malu kalau tidak termasuk yang dilatih baris berbaris oleh tentara Jepang. Keamanan ketentraman dimana-mana terjamin, dipasar aman, dipelabuhan aman, ditempat pekerjaan aman dan semuanya aman. Walaupun rasa aman itu sebagian rakyat Indonesia merasa aman tentram yang dipaksakan.

II. PERILAKU JEPANG BERUBAH
Pada tahun pertama tentara Jepang menginjakkan kaki di bumi Batiwakkal belum banyak pengaruh terhadap ekonomi rakyat, berbeda dengan tahun kedua ekonomi rakyat semakin merosot diakibatkan perusahaan tambang yang ada di Teluk Bayur tidak bisa berjalan dengan baik, produksi menurun, upah tenaga kerja juga otomatis menurun. Imbasnya kepada daya beli masyarakat semakin menurun. Rakyat kecil yang menjual sayur mayur, umbi-umbian, buah-buhan merosot dan merugi. Nelayan yang menjual hasil tangkapannya juga kurang banyak pembeli. Ekonomi rakyat benar-benar menurun dan daya beli juga semakin menurun. Ditambah lagi pasokan sembako dari luar daerah yang sangat dibutuhkan rakyat juga semakin langka, garam, gula, tembakau, beras semakin langka di pasaran. Pasokan dari luar daerah sulit. Kapal pembawa sembako sangat jarang datang, kapal pengangkut batu bara juga semakin jarang datang, semuanya berimbas kepada rakyat Indonesia di Berau.
Yang dulu  kapal KPM (Koninklijk Pakervaart Maatschappy) mengangkut ribuan ton batu bara dari Teluk Bayur keluar daerah, sekembalinya kapal tersebut membawa barang seperti susu, kain, makanan kaleng dan lain-lain tidak beroperasi lagi. Kapal-kapal tersebut dialihkan jalurnya menuju Australia sekaligus mengangkut pengungsi bangsa Belanda dari Indonesia, maka yang terjadi pasokan barang keperluan dari Pulau Jawa, dari Makassar tidak ada lagi. Rakyat Berau kondisinya semakin sulit dan memburuk. Pemerintahan yang ada di Gunung Tabur dan Sambaliung memerintahkan rakyat segera menanam sayur-sayuran, umbi-umbian, dan padi untuk menghindari kelaparan. Ditambah lagi perilaku tentara Jepang yang semakin reaktif dan semakin mengganas.
Sejak akhir tahun 1943  dan seterusnya keadaan di Berau semakin sulit dan mencekam, benar-benar paceklik. Barang makanan apapun yang ada di toko-toko sudah semua kosong. Toko semua terpaksa harus tutup, karena barang tidak ada lagi yang dapat dijual. Kalau tidak mau mati kelaparan satu-satu cara adalah dengan meningkatkan bercocok tanam. Rakyat Berau harus berjuang, harus bekerja keras. Masyarakat Gunug Tabur menanam padi sawah pasang surut disekitar Gunung Tabur, di Merancang, ada sebagian di sungai Birang, dan di pulau Besing. Masyarakat Sambaliung berladang di Simanuk, di Rantau panjang, dan di Tumbit. Penduduk di Tanjung Redeb, Teluk Bayur dan Rinding tidak ketinggalan berkebun dan menanam padi, mereka berkebun ubi dan menanam sayuran didataran sekitar mereka tinggal masing-masing, atau masuk hutan membuka lahan agar memiliki kebun lebih luas. Sebagian mereka ada yang pindah ke Sukan dan lain-lain untuk mencari kehidupan dengan cara berkebun, menanam ubi, sayur, dan buah-buahan. Sebagian besar rakyat Berau badannya kurus-kurus, pucat, dan berjalan lemah tidak berdaya karena kekurangan makanan.
Sampai sejauh itu pengorbanan rakyat Berau, kekurangan makanan, badannya kurus, pucat, lemah, tidak berdaya. Padahal rakyat Berau tidak ada urusan dengan perang di Eropah, rakyat Berau tidak mengerti dengan penyerangan secara mendadak yang dilakukan oleh Jepang, rakyat Berau juga tidak pernah paham dengan Jepang ingin menguasai Asia, membikin Asia Kaya Raya, rakyat Berau juga tidak mengerti kapan Belanda berakhir dan meninggalkan Indonesia, kapan Jepang mulai menjajah Nusantara, rakyat Berau juga tidak pernah tahu kapal-kapal yang biasa datang ke Teluk Bayur mengangkut batu bara sudah dialihkan menuju Australia mengangkut para pengungsi bangsa Belanda. Rakyat Berau yang tahunya saat ini miskin papa, tidak punya apa-apa, tidak punya uang, menjual hasil kebunnya dengan cara barter tidak ada yang bisa dibarterkan, tidak ada yang beli. Toko sudah tutup semua, dengan demikian maka garam tidak ada, gula tidak ada, gandum tidak ada, minyak tidak ada, kain tidak ada, pakaian tidak ada, tembakau tidak ada.  Apalagi  yang nama susu, coklat, makanan kaleng adalah barang mewah untuk masyarakat Berau, semuanya tidak ada. Para pekerja tambang sebagai konsumen atau pembeli utama  sayur-sayuran, umbi-umbian, buah-buahan yang dijual masayarakat sekitar tambang tidak bisa membeli dengan kontan, semuanya hutang. Karena mereka juga tidak punya uang. Untuk barter dengan barang yang dimiliki para pekerja juga tidak ada lagi yang bisa dibarterkan. Semuanya sudah habis. Para pekerja tambang batu bara harus berjuang alih profesi dengan membuka lahan menanam padi, menanam sayur, menanam ubi, menanam jagung. Tanaman tersebut semuanya ya untuk makan, untuk pengisi perut, mereka semua berjuang untuk hidup. Belum lagi serangan hama. Babi menyerang kebun ubi, jagung dan padi, tikus menyerang padi dan ubi, ratusan monyet menyerang padi dan jagung, ribuan burung menyerang padi yang baru mengeluarkan buah. Mereka yang berkebun harus berjuang melawan hama yang mengganas, mereka tinggal dikebun bersama keluarganya masing-masing. Rakyat Berau tidak lagi perlu memikirkan pendidikan anak-anak, tidak lagi memikirkan kesehatan, tidak lagi memikirkan syetan, jin, hantu yang sering mengganggu dan menggoyang rumah dan pondok mereka ditengah hutan, yang paling penting hanya satu ada bahan makanan yang dapat dimakan untuk bertahan hidup, agar tidak mati kelaparan. Yang tidak mampu membuka lahan untuk berkebun karena lemah dan sakit-sakitan, atau karena malas, karena gengsi adalah bagian dari korban kelaparan dan kematian yang terus bergiliran.  Selain hama, banyak pencuri yang mengambil ubi dikebun, sayur dan buah-buahan karena kebutuhan. Banyak rakyat Berau yang mati kelaparan. Mereka adalah korban perang yang tidak pernah mengerti dengan perang. Perangnya dimana, dahsyatnya perang itu seperti apa mereka tidak pernah melihatnya, mereka tidak pernah tahu. Tetapi  akibat peang, kesengsaraan, kelaparan, kemiskinan, mereka semua merasakan dan menjadi korbannya. Rakyat Berau hanya menjadi korban perang saja, selebihnya tidak tahu, tidak mengerti apa-apa.
Kesengsaraan rakyat berau tidak sampai disitu saja, masih ada yang lebih perih dan memilukan yaitu prilaku tentara Jepang yang semakin mengganas, garang, dan sadis. Sedikit saja membuat kesalahan rakyat Berau didamprat, dihardik dengan sumpah serapah yang sangat kasar, dipukul, ditempeleng, ditinju bahkan sampai diinjak-injak. Yang dulu tersenyum sudah hilang, yang dulu suka menyapa sudah hilang, yang dulu tentara banyak berteman dengan para pemuda dan pemudi untuk belajar bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah sudah hilang. Yang celaka sekali para Jompo-jompo orang pribumi juga ikut-ikutan menjadi ganas, mendamprat, menghardik dengan kasar kepada bangsanya sendiri. Seolah-olah mereka bagian dari tentara Jepang yang lagi linglung dan stress.
Tentara Jepang mencurigai siapa saja perempuan atau laki-laki. Rakyat Berau tidak boleh mendengarkan siaran radio, membaca buku, majalah dan Koran diperiksa dan dicurigai. Para Jompo bergerak keseluruh penjuru kota dan kampung, apabila ada yang mencurigakan atau patut dicurigai langsung dilaporkan kepada tentara Jepang. Orang-orang yang dilaporkan oleh jompo itu langsung dijemput dan langsung diperiksa.

III. PENANGKAPAN DAN PEMBANTAIAN
Perang dunia ke dua berkecamuk di seluruh dunia, tentara sekutu gabungan dari berbagai Negara Eropah, Australia dan Amerika melawan penguasa dunia. Di Eropah sekutu melawan tentara Nazi Jerman yang sangat kejam, di Asia sekutu memerangi Jepang yang sudah menguasai hampir seluruh daratan Asia dan pulau-pulau disekitar Asia termasuk Indonesia. Tentara Jepang yang sudah tersebar didaratan Asia berjibaku melawan tentara sekutu Amerika, Australia, Inggris dan lain-lain. Tempat-tempat strategis diseluruh Asia seperti lapangan Terbang, kilang-kilang minyak, pelabuhan dijadikan sasaran bom. Bom meledak dimana-mana, api membumbung, kebakaran besar tidak bisa dihindarkan. Tidak luput pula Indonesia, untuk mengusir Jepang di Nusantara dikerahkan tentara angkatan udara Australia dan dibantu Amerika.
Peperangan yang banyak memakan korban dipihak tentara Jepang, membuat tentara Jepang diseluruh Indonesia dalam keadaan siaga penuh, begitu pula dengan keadaan Berau. Tentara Jepang yang ada di Berau dalam keadaan genting dan siaga penuh. Semua rakyat Berau menjadi sasaran kemarahan tentara Jepang. Informasi mengenai tentara sekutu yang menyerang Asia ditutup rapat. Tentara Jepang dan pusat pemerintahan Jepang di Tanjung Redeb waktu apel selalu menyampaikan kegagahan tentara Jepang dimedan perang melawan Amerika, melawan Inggris, melawan Australia. Perang melawan sekutu adalah perang Suci, penjajahan bangsa Eropah dan Amerika harus diusir dari Asia. Propaganda itu selalu disampaikan kepada pegawai pemerintahan Jepang, untuk meyakinkan bahwa Jepang tidak kalah. Setiap orang yang mengetahui berita kekalahan Jepang melawan sekutu menjadi korban penangkapan Tentara Jepang. Akhirnya kecurigaan semakin tidak mendasar, orang-orang yang ditangkap dicurigai sebagai mata-mata musuh, sebagai mata-mata sekutu, rakyat menjadi korbannya. Ada yang dicurigai, walaupun tidak mengerti apa-apa langsung ditangkap dan dibawa entah kemana. Ada tidak kurang dari 700 orang rakyat Berau menjadi korban keganasan tentara Jepang. Penangkapan dilakukan di Teluk Bayur, penangkapan dilakukan di Tanjung Redeb, penangkapan juga dilakukan di Gunung Tabur, penangkapan di Sambaliung, penangkapan di Talisayan, penangkapan di Biduk-Biduk, penangkapan di Labuan Kelambu, penangkapan di Teluk Sumbang, dan penangkapan di Pulau Kaniungan. Hanya  dalam kurun waktu dua tahun korbannya mencapai 700 orang. Rakyat Indonesia yang ditangkap itu ada yang dikirim ke Tarakan dan ada yang dikirim ke Balikpapan, yang tidak terkirim diselesaikan di Teluk Bayur dan Tanjung Redeb. Setelah ditangkap dipenjarakan sebagian besar  langsung dipancung. Dimana lokasi pembantaiannya sampai sekarang tidak diketahui oleh rakyat Berau, kecuali kejadian pembantaian di Sanggrai pembantaian terakhir tentara Jepang terhadap masyarakat kampung Rinding. Tenggang waktu  penjajahan Jepang yang singkat itu meninggalkan duka yang mendalam bagi rakyat Berau. Banyak anak-anak kehilangan ayahnya, banyak ibu-ibu kehilangan suaminya yang sampai sekarang tidak pernah tahu dimana kubur ayah atau suami mereka. Anak-anak korban penangkapan dan pembantaian tentara Jepang yang tidak berdosa itu dengan susah payah, dengan penuh pengorbanan, dengan penuh kasih sayang dibesarkan oleh ibunya yang janda, oleh kakek neneknya yang miskin, dan oleh sanak keluarga. Alangkah sakit dan perihnya perasaan anak-anak tanpa dosa itu menjadi korban keganasan perang dimasa penjajahan Jepang.
Selain orang Indonesia yang menjadi korban, banyak pula orang asing yang ada di Berau jadi korban pembantaian tentara Jepang, dr. Lucardie bersama anaknya yang masih berusia lima dan enam tahun juga menjadi korban keganasan tentara Jepang. Padahal dr. Lucardie sangat berjasa terhadap tentara Jepang, Jompo-jompo, dan rakyat Indonesia yang pernah berobat dan dirawatnya waktu sakit. Rakyat Berau pada umumnya mengenal dr. Lucardie sebagai dokter yang baik, merawat siapa saja yang datang kepadanya. Tentara Jepang yang sakit malaria dirawatnya dengan baik, jompo yang sakit dirawatnya denga baik, para pekerja tambang batu bara dirawatnya dengan baik, rakyat biasa juga dirawatnya dengan baik. dr. Lucardie memperlakukan pasien sama, semua dirawat dengan baik. akhir hidupnya sangat tragis dipancung oleh tentara Jepang yang menggunakan orang-orang pribumi sebagai algojonya.

IV.PEMBANTAIAN DI KAMPUNG MARANCANG
Tentara Jepang tidak hanya melakukan pembantaian di kota-kota, seperti Teluk Bayur, Tanjung Raddap, Gunung Tabur, dan Sambaliung, tetapi juga melakukan pembantaian sampai ke Banua Marancang (Marancang sekarang masuk wilayah Kecamatan Gunung Tabur). Kampung marancang pada tahun 1940-an termasuk kampung yang sangat ramai, bahkan pada masa berdirinya kerajaan Berau atau Berayu pada tahu 1400, Marancang sudah disebut Banua Marancang. Artinya tempat yang sungguh ramai pada masa itu.
Para penghianat yang mengabdi pada tentara Jepang pikirannya sangat licik, kotor, dan tidak berkeprimanusiaan. Mereka melaporkan siapa saja kepada tentara Jepang apabila diketahui sebagai antek Belanda atau antek Sekutu yang melaporkan keberadaan tentara Jepang kepada Sekutu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh antek-antek Jepang untuk melaporkan orang-orang yang tidak disukai kepada tentara Jepang. Orang-orang yang dilaporkan tersebut langsung ditangkap, lalu dibawa kesebuah tempat dan langsung dieksekusi mati dengan cara dipancung lehernya oleh algojo Jepang. Sangat mengerikan dan sadis.
Di kampong Marancang ada tujuh orang yang jadi korban kesadisan tentara Jepang, dua orang Tionghoa berasal dari Pulau Bassing, dan lima orang sukui Banua dan suku Banjar dari kampung Pujut dan kampung Marancang. Salah satu diantaranya sedang berbelanja disebuah warung di kampung Pujut, tidak mengerti dan tidak tahu menahu, tiba-tiba langsung ditangkap jompo dan dibawa ke Marancang dikumpulkan menjadi satu, jadi tujuh orang. Ketujuh orang tersebut dibantai dengan sadis oleh algojo Jepang di Kampung Marancang ditepi lubang yang telah disiapkan.
Sebelum dipancung lehernya, satu persatu kepala pesakitan ditutup dengan kain putih berbentuk kompi seperti sarung bantal, lalu dibawa ketepi lubang dan dipancung. Tubuh pesakitan masih menggelepar, tubuhnya yang sudah tidak berkepala itu didorong dengan sebelah kaki oleh algojo masuk kedalam lubang. Sampai selesai ketujuh orang yang dipancung itu, menumpuk tindis menindis didalam lubang yang tidak terlalu besar. Lubang sumur itu langsung ditutup dengan tanah. Kejadian itu persisnya pada tahun 1944.

V. SERANGAN SEKUTU MENGHANCURKAN KERATON GUNUNG TABUR
Propagandan jepang melalui kepala Pemerintahan Jepang di kota Tanjung Redeb sering berpidato dihadapan para pegawainya saat berbaris apel, mengatakan bahwa bala tentara Jepang dimana-mana disegala medan laga dan medan perang, berhasil menghancurkan kekuatan tentara Inggris dan tentara Amerika, Perang Asia Timur Raya dibawah pimpinan saudara tua Dai Nippon adalah perang suci untuk membebaskan bangsa Asia dari belenggu penjajahan Inggris, Amerika, dan Belanda. (A. Maulana, 27) propaganda itu berhasil mempengaruhi pegawai-pegawainya dengan keyakinan Jepang tidak akan terkalahkan oleh tentara sekutu, meskipun bergabungnya kekuatan dan persenjataan yang modern untuk mengusir Jepang.
Berita  propaganda itu tidak ada pengaruhnya terhadap rakyat Berau yang dalam keadaan serba kekurangan, mereka tahu penjajahan itu tidak ada yang baik. Bahkan rakyat Indonesia mengatakan sampai kapanpun pemerintahan Jepang itu tidak ada baiknya, jahat terus. Terbukti selama dua tahun terakhir ini kelaparan melanda rakyat, kemiskinan dan serba kekurangan tidak bisa dihindarkan, ditambah lagi banyak rakyat yang ditangkap tentara Jepang semakin membuat kesengsaraan dan kesedihan yang mendalam. Oleh karena itu propaganda apapun yang dilakukan pemerintahan Jepang, rakyat Berau sudah bosan dan tidak percaya lagi. Kenyataannya sengsara terus, sampai kapanpun tentara Jepang jahat terus. Tidak ada baiknya.
Akhir tahun 1944 sekutu semakin gencar menyerang pertahanan Jepang dimana-mana. Sebaliknya Jepang semakin ganas dan haus darah, menangkap orang tidak berdosa dimana-mana. Diseluruh wilayah yang dikuasai Jepang terjadi pembantaian besar-besaran, diseluruh Indonesia juga terjadi pembantaian diaman-mana. Ratusan ribu rakyat Indonesia yang tidak berdosa jadi sasaran kemarahan tentara Jepang. Tentara sekutu selain menyerang seluruh pertahanan Jepang, dari pesawat tempurnya menghamburkan kertas yang isi beritanya penyerangan dan kesuksesan Amerika mengalahkan Jepang dengan gambar Jenderal Mac Arthur. Berau mencekam, rakyat diam seribu bahasa, bersembunyi didalam rumah atau bersembunyi di tempat-tempat yang aman.
Para pejabat bangsa Indonesia yang ada di Berau seperti, Adji Barni Natasuarna, Abidinsyah, Abdul Haris masing-masing sebagai kepala Onderdistrik, Datu Agil putra Sultan Sambaliung, Papilaya Kepala Bea Cukai dan beberapa tokoh lainnya sering melakukan pertemuan. Mereka sangat miris melihat rakyat Berau yang sengsara, serba kekurangan. Tentara Jepang sudah mulai kehilang percaya diri, propaganda yang dilakukan rakyat sudah tidak percaya, serangan tentara angkatan udara sekutu semakin gencar. Uapaya terbaik bagaimana menyelamatkan rakyat dari kerangan sekutu dan dari keganasan tentara Jepang. Rakyat lebih percaya pada informasi yang disampaikan para pejabat pribumi, kesmpatan itu digunakan sebaik-baiknya untuk meyakinkan rakyat. Untuk upaya penyelamatan rakyat, maka dibangunlah tanda dengan suara keras yang dikenal dengan alaram. Bila suling alaram itu berbunyi panjang tiga kali berturut-turut tandanya pesawat terbang sekutu datang. Saat itu pula rakyat mencari tempat perlindungan masing-masing, agar terhindar dari peluru yang dimuntahkan dari pesawat terbang dan yang dijatuhkan. Apabila pesawat tempur itu sudah hilang dan tidak kembali lagi dibunyikan alaram sebagai tanda sudah aman, rakyat boleh kembali kerumahnya masing-masing untuk melakukan aktifitas seperti biasa.
Pada akhir tahun 1944 semua pejabat bangsa Jepang yang masih ada di Berau, Bulungan dan Malinau harus berangkat ke Tarakan. Mereka diperintahkan untuk berkumpul semua di Tarakan untuk melakukan tindakan dan upaya selanjutnya. Setelah Biak dan Morotai dikuasai oleh sekutu terjadi lagi serangan udara yang lebih dahsyat yang dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan pesawat-pesawat B24 terhadap kota Tarakan. Serangan utama ditujukan untuk menghancurkan tangki-tangki minyak, pelabuhan Lingkas dan lapangan terbang Juata Tarakan dihancurkan. Setelah pulau Tarakan dikuasai sepenuhnya oleh tentara Sekutu, selanjutnya giliran Berau jadi sasaran tentara sekutu.
Pada bulan Januari tahun 1945 pesawat tempur B24 dan pesawat pengebom B29 menuju Berau, yang menjadi sasarannya  Kota Tanjung Redeb, Teluk Bayur, Gunung Tabur, dan Sambaliung, sasaran peluru-peluru pesawat tempur B24 langsung ke Teluk Bayur, kemudian menghamburkan peluru di Tanjung Rdeb, Sambaliung dan gunung Tabur. Selanjut digantikan pesawat pembomB29 mengaung-aung dilangit Berau berputar beberapa kali, kemudian menukik dan menjatuhkan beberapa buah bom diatas keraton Gunung Tabur. Keraton Gunung Tabur hancur dan terbakar. Kemudian berputar-putar lagi lalu menukik diatas keraton Sambaliung melepaskan beberapa buah bom. Keraton Sambaliung selamat dari bom-bom tersebut. Sebagian bom meledak tidak jauh dari keraton tetapi tidak sedikitpun merusak keraton dan ada beberapa buah bom yang jatuh jauh dari keraton tetapi tidak meledak. Menurut tuturan dan kisah selamatnya keratin Sambaliung dari hantaman bom sekutu itu karena bantuan Si Garutu jin sahabat Sultan yang sangat besar. saat bom jatuh tangan Garutu kelihatan diatas keraton, melindungi keraton  membuang semua bom yang jatuh tepat mengenai keraton. Dengan bantuan si Garutu tersebut keraton  Sambaliung selamat dari hantaman bom-bom sekutu.
Keraton Sambaliung selamat, sedangkan Keraton Gunung Tabur jadi korban serangan sekutu dalam upaya untuk melumpuhkan kekuatan Jepang. Keraton Gunung Tabur yang terbuat dari kayu seluruhnya berbentuk rumah panggung terbakar habis tinggal menyisakan beberapa tiang ulin  bagian dapur keraton.  Tiang-tiang ulin yang tersisa menjadi saksi bisu kejamnya peperangan. Beberapa tiang yang tertinggal masih ada sampai sekarang menjadi salah satu kekayaan cagar budaya Kabupaten Berau yang sangat dilindungi.
Sebelum terjadi penyerangan dan pengeboman besar-besar yang dilakukan sekutu kewilayah Berau, warga sebagian besar sudah mengungsi, sebagian lagi berlindung ditempat-tempat yang aman. Keluarga keraton Gunung Tabur, Sultan Achmad Maulana Muhammad Chalifatullah bersama istri, anak, keluarga, dan rombongan sudah mengungsi ke sungai Birang, sedangkan Sultan Sambaliung, Sultan Muhammad Aminuddin bersama istri-istri, anak-anak, dan keluarga semua mengungsi di dalam Sungai Buntu. Keluarga kedua keraton tersebut semuanya dalam keadaan selamat.
Tentara sekutu sudah menguasai seluruhnya wilayah jajahan Jepang, tentara Jepang yang tersisa yang masih berada di Tanjung Redeb dan sekitar tidak bisa keluar dari Berau,mereka terkurung, mereka berkumpul di Tanjung Redeb. Keluar lewat laut kapal-kapal berbendera Jepang tidak bisa, telah dikepung sekutu disekitar Teluk Sulaiman sampai Tanjung Mangkalihat. Disana kapal selam sekutu berbendera Australia siap menenggelamkan kapal-kapal yang mencurigakan termasuk kapal tentara jepang. Satu-satu jalan yang bisa ditempuh menembus lewat pedalaman Kelay menuju sungai Mahakam. Dari hulu Mahakam menggunakan perahu sampai ke Samarinda.
Setelah sekutu menang perang dunia II yang diakhiri dengan membumi hanguskan Nagasaki dan Hirosima dengan bom Atom yang sangat dahsyat, Jepang menyerah kalah tanpa sarat. Kemenangan sekutu tidak langsung menduduki Indonesia secara resmi. Kevakuman kekuasaan tersebut dimanfaat sebaik-baiknya oleh para pemuda bangsa Indonesia untuk memproklamasikan bangsa Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi dikumandangkan digedung Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta.         Ir. Sokarno dan Drs. M. Hatta atas nama bangsa Indonesia membacakan tek Proklamsi kemudian menyanyikan Lagu Indonesia Raya bersamaan dengan menaikkan Bendera Merah Putih. Kemerdekaan Republik Indonesia diumum keseluh penjuru dunia.
Imbas dari kalah perang adalah seluruh tentara dan perangkat pemerintahan Jepang harus segera meninggalkan Indonesia kembali kenegaranya. Proses pemulangan warga Negara Jepang yang kalah perang tersebut butuh waktu dan persiapan yang matang. Dalam perjalanannya penuh tantangan dan resiko. Rakyat Berau dalam keadaan mencekam, di mana-mana tidak ada barang yang dijual, masyarakat kelaparan, untunglah ubi jalar dan ubi kayu atau singkong, keladi, serta pucuk-pucukan tumbuh subur dijadikan sebagai makanan pengganti beras dan gandum.
Akhir Agustus tahun 1945 Seorang pemuda bernama Samsuddin bin Ramlie (Ambi) salah satu yang ditugaskan tentara Jepang untuk mengantarkan rombongan tentara Jepang melewati pedalaman sungai Kelay. Rombongan berangkat dari Tanjung Redeb menuju kampung Muara Lesan dengan naik perahu. Beberapa orang pemuda yang mengantar tentara Jepang itu dalam ancaman senjata tentara Jepang, senjata laras panjang tentara Jepang yang diantar siap siaga, apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan langsung tembak. Samsuddin dan kawan-kawan dengan gagahnya mendampingi tentara Jepang walaupun dalam keadaan terancam.  Perahu didayung dan didorong dengan tanggar melawan arus sungai selama dua hari dua malam sampai di Kampung Muara Lesan. Dari Muara Lesan melanjutkan perjalanan dengan perahu lagi menuju kampung orang Dayak Punan dipedalaman Kelay. Dari sana baru jalan kaki selama dua hari tembus di sungai Wahau. Di Wahau rombongan pengantar Samsuddin dan kawan-kawan kembali ke Muara Lesan. Tentara Jepang yang tadinya selalu mengancam dengan moncong senjata sangat berterima kasih pada para pemuda pemberani. Ucapan terima kasih tersebut mereka ucapkan puluhan kali baru mereka berpisah dengan tujuan masing-masing. Kalau tidak cepat diantar,  tentara Jepang itu pasti jadi bulan-bulan rakyat Berau yang ingin balas dendam. Sakit hati yang luar biasa atas kebiadaban tentara Jepang yang menangkap Ayah, suami, putra mereka tanpa salah beberapa waktu lalu belum dapat ditumpahkan kepada tentara Jepang yang kalah perang dengan sekutu. Sedangkan tentara Jepang melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Mahakam sampai kota Samarinda diantar oleh orang Dayak Wahau dengan naik perahu selama beberapa hari. Perjuangan hidup mati tentara Jepang dilakukan dengan penuh perjuangan, walaupun sesakit apapun mereka tetap lakukan dengan penuh tanggung jawab dengan segala pengorbanan.
Samsuddin sebagai pelaku sejarah yang pernah mengantarkan tentara Jepang itu lahir di Muara Lesan tahun 1912. Ayahnya seorang tokoh berasal dari Barabai Kalimantan Selatan, ditunjuk oleh Sultan terakhir Sambaliung Sultan Muhammad Aminuddin mejadi Pambakal (Kepala Kampung) pertama di Muara Lesan. Tugas utama Pambakal Ambi untuk mengumpulkan hasil hutan dari suku Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, dan Dayak Punan. Samsuddin lama tinggal di kampung Muara Lesan lama. Pada masa jayanya pertambangan batu bara di Teluk Bayur, pernah tinggal di rumah bangsal Teluk Bayur. Terakhir beliau tinggal di ujung Tanjung gang Ancol sampai sepuh. Meninggal bulan Januari tahun 2002 dimakamkan di pemakaman Muslim Sambaliung.

VI. JOMPO DIKEROYOK DISUNGAI BULUH
Pada tanggal 1 Agustus tahun 1945, Hirosima dan Nagasaki belum dibom atom saat itu, tentara Jepang masih menangkap beberapa orang tokoh dari Kampung Rinding yang dicurigai sebagai mata-mata Sekutu. Kampung Rinding didiami oleh suku Banjar sejak ratusan tahun lalu, empat kilometer dari kota Teluk Bayur.  Jalan darat antara kampung Rinding dengan Teluk Bayur sudah bagus dengan pengerasan batu yang rapi. Oleh karena itu sepeda petugas polisi, motor Herly keamanan, dan mobil jip tentara sering lalu lalang dari Teluk Bayur-Rinding.  Selain Kampung Rinding orang-orang Banjar juga tinggal di Kampung Batu Miang dan di Kampung Sukan. Sesepuh Rinding sebanyak dua belas orang ditangkap tentara Jepang setelah mendapat laporan dari jompo atau polisi Jepang yang pada umumnya adalah orang pribumi. Dua belas orang yang ditangkap tersebut langsung diangkut ke Teluk Bayur.
Sebenarnya Jepang sudah mengetahui bagaimana kekuatan tentara sekutu menyerang seluruh pertahanan tentara Jepang. Kekuatan angkatan udara sekutu dengan pesawat pengebom milik Amerika dan kekuatan angkatan Laut dengan kapal-kapal selam yang canggih milik Australia sudah merepotkan pertahanan Jepang. kota Tarakan dan kota Balikpapan sebagai daerah produksi minyak dengan kilang-kilangnya sudah banyak yang hancur dan terbakar. Bandar udara dan pelabuhan laut di Tarakan sudah di bombardir. Tetapi dengan kesombongan dan kecongkakannya masih melakukan kebiadaban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Yang menjadi dasar alasan penangkapan adalah menjadi mata-mata sekutu, menginformasikan kekuatan Jepang yang ada di Berau, dengan demikian tentara sekutu mudah melakukan penyerangan terhadap pertahanan tentara Jepang. Dengan dasar alasan tersebut rakyat dijadikan domba sembelihan atas kebiadaban tentara Jepang. Oleh kebiadaban tentara Jepang tersebut yang membuat rakyat tidak percaya lagi dengan kemampuan Jepang, selalu mereka katakan “penjajahan Jepang tidak pernah baik, jahat terus”.
Akhir bulan Agustus tahun 1945, masyarakat Berau tidak mengetahui apa yang terjadi, tiba-tiba seluruh tentara Jepang sudah tidak ada lagi di Berau. Sebenarnya perangkat pemerintahan Jepang dan tentara sebagian besar sudah berangkat menuju Tarakan melalui Tanah Kuning, sisanya dari Tanjung Redeb ke Samarinda menggunakan perahu melalui hulu sungai Kelay, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki sampai ke Wahau, dari Wahau naik perahu lagi sampai Samarinda. Kepergian tentara Jepang tersebut dilakukan secara diam-diam sekaligus menyelamatkan diri. Ada juga sebelumnya tentara jepang berjalan kaki dari Teluk Bayur Menuju Labanan lanjut ke Kelay terus ke Samarinda, ada juga yang menembus ke Sangkulirang lalu lanjut ke Samarinda.
Kedua belas orang yang ditangkap di Kampung Rinding itu langsung dibawa tentara Jepang ke Teluk Bayur, langsung dibawa ke Sanggrai tidak jauh dari kamar bola atau ball room. Sanggrai adalah tempat penggergajian. Tidak jauh dari pabrik penggergajian itu ada tumpukan menggunung tai gergajian atau kotoran sisa penggergajian. Ditempat itu langsung digali buat lubang. Disana ke dua belas orang tokoh masyarakat Rinding dengan tangan terikat kebelakang di pancung lehernya, setelah putus kepalanya langsung didorong dengan kaki tubuhnya masuk kedalam lubang tersebut. Masyarakat Rinding pada waktu itu sangat marah, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Nanti dilaporkan Jompo kepada tentara bisa menjadi korban berikutnya ditangkap tentara. Akhirnya masyarakat yang marah itu menahan diri saja tidak berbuat apa-apa, tetapi ingin membalas dendam itu sangat kuat. Hanya waktu dan kesempatan saja lagi yang belum ada kapan melakukan pembalasan dendan kesumat tersebut.
Jakarta sudah memproklamirkan Republik Indonesia, Indonesia sebagai Negara merdeka sudah tersebar diseluruh dunia walaupun Belanda masih belum mau mengakui. Rakyat secara sukarela membentuk barisan keamanan, penjagaan sebagai implementasi melaksanakan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Barisan rakyat dimasing-masing kampung dibentuk untuk mempertahankan Proklamasi. Pada saat semangat-semangatnya rakyat membangun kekuatan datang Jompo berpakaian lengkap dengan santainya naik sepeda ke Kampung Rinding sampai di Sungai Buluh. Jompo tersebut masih merasa pongah dengan pakaian seragam yang dikenakannya. Jompo pribumi tersebut seorang kelahiran Ambon namanya si Garuda yang dulu dikenal rakyat Berau Jompo yang sangat bengis dan kejam tidak tahu kalau masyarakat Kampung Rinding ingin membalas dendam kepada tentara Jepang dan sangat membenci para Jompo yang bengis dan kejam.
Bulan Nopember 1945 kejadian itu bermula. Bekas Jompo namanya Garuda itu bersepada dengan santai sambil tersenyum pongah kepada siapa saja yang dilintasinya. Warga yang dilintasinya nyeletuk dalam hati ”senyum-senyum seperti baik-baiknya saja….cari aksi…jompo kejam dan sadis” pada umumnya orang yang dilintasi si Garuda diam saja tidak member reaksia apapun. Garuda menyangka dirinya masih penuh dengan wibawa, tidak ada orang yang berani menatap dan menyapanya seperti masa Jepang masih ada di Berau. Sampai disungai Buluh singgah dirumah kawannya. Warga sungai Buluh sebenarnya sudah siap-siap dengan kedatangan Jompo tersebut untuk segera melakukan tindakan. Setiap orang dirumah-rumah sudah siap, senjata sudah siap seperti parang, Mandau, linggis, bujak dan tombak. Waktu itu masyarakat baru saja bubar dari Sembahyang Hari Raya Haji atau Sembahyang Hari Raya Aidhul Adha.
Begitu singgah dirumah tersebut, Garuda langsung diikuti dari belakang. Sampai ditempat tujuan selesai meletakkan sepedanya Garuda berjalan menuju halaman rumah langsung didorong dengan sekuat tenaga oleh orang yang mengikutinya, dengan tombak yang ada berdiri didekat kejadian itu langsung dihunjamkan ketubuh si Garuda yang kekar dan kuat. Mengetahui dirinya didorong dan ditumbak, Garuda langsung lari kearah belakang rumah, tetapi Garuda dikejutkan disana sudah ada beberapa orang pemuda si Uning dan kawan-kawan. Langsung memukul kepala dan bagian tubuhnya dengan keras dengan potongan kayu. Si garuda terkapar dan jatuh kedalam sumur. Dalam keadaan tidak berdaya, diperiksa kantong atau saku baju dan celana untuk mencari daftar orang-orang yang mau ditangkap lagi. Dari dalam sumur Garuda diangkat lalu tangannya diikat kebelakang. Pemuda tidak berniat membunuh si Garuda walaupun dia dulu salah satu Jompo yang sangat kejam waktu menjalankan tugas dan perintah tentara Jepang. Tanya para pemuda yang menangkapnya “ditaroh dimana sesepuh kami yang ditangkap tempo hari” garuda  dengan mengucurkan darah dibagian sisi kanan dadanya dan mencucurkan air mata menahan rasa sakit dikepala, belakang dan dada kanannya menjawab dengan jujur “Kami Jompo-Jompo tidak tahu dibawa kemana, kami hanya menjalankan tugas melaporkan saja. Yang menangkap dan mengeksekusi tentara jepang dengan algojonya”. Diantara Jompo yang ditangkap rakyat ada yang mengatakan sesepuh Rinding dipancung di Sanggrai, ditumpukan kotoran gergajian, disana digali lubang dan kedua belas sesepuh Rinding tersebut dikubur disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar