RITUAL BAKUDUNG BATIUNG
Saprudin Ithur.
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Berau
Tradisi adat yang dikenal dengan upacara adat di
Kabupaten Berau cukup banyak. Hampir semua kampung memiliki acara semacam
upacara adat. Didaerah pantai dan pulau yang dihuni suku Bajau misalnya, ada
upacara adat Bag Pakan Lahat, Bag Jin, dan Buang Naas yang dikenal juga dengan
Bag mandi-mandi. Suku Dayak wilayah pantai yang mendiami kampung Teluk Sumbang,
kampung Ampen Medang, kampung Lobang Kelatak, kampung Tembudan, kampung Capuak,
kampung Dumaring, kampung Biatan, kampung Bapinang, kampung Tabalar, kampung
Suwaran ada upacara Pesta Panen, pengobatan tradisional yang dikenal dengan
Belian, Buang Panas. Begitu pula suku Dayak yang mendiami daerah pedalaman
sungai Kelay dan sungai Segah.
Di sepanjang pesisir sungai Kelay orang Dayak
tinggal di kampung Bena Baru, kampung Inaran, kampung Tumbit Dayak, kampung
Long Lanuk, kampung Nyapa Indah, kampung Merasa, kampung Lesan Dayak, kampung
Merapun, kampung Merabu, kampung Mapulu, kampung Panaan, kampung Long Gie atau
kampung Long Beliu, kampung Long Boy, Long Pelay dan Long Sului, ada acara adat
menugal, pesta panen, Bakudung Batiung, pengobatan, upacara mengambil madu,
upacara bakar lemang. Di sepanjang
sungai Segah orang Dayak tinggal di kampung Lamin, kampung Si Duung dan didalam
sungai Siduung, kampung Tepian Buah, kampung Punan Melinau, kampung Long Ayan,
kampung Long Ayap, kampung Long Laai, kampung Punan Mahkam, dan kampung Long
Okeng atau Punan Segah, ada upacara menugal, pesta panen, pengobatan
tradisional, mengambil madu, dan perkawinan.
Suku Berau atau Banua yang mendiami disekitar kecamatan Tanjung Redeb, Kecamatan Gunung Tabur, kecamatan Teluk Bayur, dan kecamatan Sambaliung ada upacara adat buang naas, palas banua, mendirikan rumah, manurunkan perahu, baturunan, pengobatan, adat perkawinan, mandi-mandi kawin, mandi-mandi tujuh bulan, dan pemberian nama. Semua upacara itu masih ada di masyarakatnya masing-masing, ada yang berkembang terus, ada yang hanya digelar sewaktu-waktu saja, ada pula yang pelan-pelan tergerus dan semakin ditinggalkan.
Suku Berau atau Banua yang mendiami disekitar kecamatan Tanjung Redeb, Kecamatan Gunung Tabur, kecamatan Teluk Bayur, dan kecamatan Sambaliung ada upacara adat buang naas, palas banua, mendirikan rumah, manurunkan perahu, baturunan, pengobatan, adat perkawinan, mandi-mandi kawin, mandi-mandi tujuh bulan, dan pemberian nama. Semua upacara itu masih ada di masyarakatnya masing-masing, ada yang berkembang terus, ada yang hanya digelar sewaktu-waktu saja, ada pula yang pelan-pelan tergerus dan semakin ditinggalkan.
Upacara-upacara adat tersebut ada yang sudah
dipopulerkan, sudah sering dilaksanakan dan dihadiri masyarakat luas dan media
nasional, tetapi sebagian besar masih belum dikenal masyarakat luas. Misalnya
upacara adat yang dilakukan masyarakat kampung Lobang Kelatak yang mereka sebut
dengan Buang Panas. Dilaksanakan setelah panen padi gunung selesai, semua hasil
panen sudah disimpan dilumbung atau dirumah masing-masing. Dengan hasil panen
melimpah masyarakat Dayak Datah Manik
Lobang Kelatak mengadakan acara syukuran dengan berkumpul ditempat yang telah
ditentukan, biasanya dirumah adat yang sangat sederhana. Disana mereka
berkumpul memasak nasi biasa dan nasi ketan, memasak daging, ikan, dan sayur,
dan membakar lemang yang mereka sebut Gupuk.
Pada puncak upacara, tokoh adat menyiramkan air kekaki semua yang hadir
ditempat tersebut yang disebut mereka dengan Buang Panas itu. Upacara adat Bag
Mandi-mandi masyarakat Bajau di pulau Manimbora, dikenal juga dengan buang sial. Dilaksanakan pada bulan Safar. Ratusan orang datang dan
berkumpul di pulau Manimbora untuk
bersama melakukan ritual buang sial, ditutup dengan acara makan-makan. Acara
Buang Panas di Kampung Lobang Kelatak dan Buang Sial di Pulau Manimbora,
keduanya berada di Kecamatan Batu Putih. Ada lagi upacara adat Pesta Panen
Kampung Dayak Biatan cukup meriah, sayangnya pihak kecamatan masih belum
berupaya mempopulerkannya. Akhirnya acara mereka hanya terbatas pada upacara
adat kampung mereka saja dan sampai hari ini belum popular, belum dikenal
masyarakat luas. Apabila kegiatan tersebut dikemas dengan baik, tidak menutup
kemungkinan bisa dijadikan salah satu kalender wisata yang harus dikunjungi.
Untuk mempopulerkan acara tersebut tidak hanya mengundang masyarakat luas dan
para pejabat Kabupaten Berau, tetapi lebih ditingkatkan dengan mendatangkan
media elektronik, media cetak, dan media.com lokal maupun nasional.
Yang sudah populer dan dikenal masyarakat luas
antara lain Buang Naas di Talisayan, Bag pakan Lahat, Bag Jin, dan Bag
Mandi-mandi di Tanjung Batu, Pesta Meja Panjang di Kampung Merasa, Pesta Panen
di Kampung Long Beliu, Manguati Kampung di Gunung Tabur, Pesta Adat Kampung
Babanir Bangun, dan Bakudung Batiung di Kampung Tumbit Dayak
Upacara-upacara tersebut diatas masih dilakukan dan
dilaksanakan masyarakat Berau yang mendiami pesisir pantai dan pulau-pulau,
penduduk yang mendiami sepanjang pesisir sungai Berau, sungai Segah dan sunga
Kelay. Salah satu upacara adat yang ada dipedalaman sungai Kelay yang masih
dilaksanakan dengan meriah adalah Bakudung Batiung suku Dayak Ga’ai
dikampung Tumbit Dayak.
Bakudung adalah salah satu upacara adat suku
Dayak Gaai. Dalam bahasa orang Dayak Ga’ai yang berarti Selamatan atau syukuran.
Lebih luas lagi adalah selamatan kampung, selamatan keberhasilan, selamatan
panen padi dan lain-lain. Biasa bagi suku Dayak Gaai, Bakudung dilaksanakan
adalah merupakan kegiatan mensyukuri
hasil panen yang melimpah. Setiap tahun apabila panen padi, panen hasil kebun,
buah-buah jadi, maka dilaksanakan upacara Bakudung itu. Acaranya biasanya
dilakukan selama tujuh hari tujuh malam.
Ada hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, dan harus mengerti semua pengunjung yang datang pada upacara bakudung, selama
pelaksanaan sedang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam itu, sejak
dimulainya upacara Bakudung sampai dengan selesai, semua orang yang berada
dalam kampung tidak boleh keluar kampung atau meninggalkan kampung. Berdasarkan
adat apabila dalam pelaksanaan Bakudung ada orang yang meninggalkan kampung
adalah penghinaan bagi kampung yang melaksanakan upacara Bakudung. Kalau juga bersikeras dan keluar dari
kampung yang sedang bakudung, yang
bersangkutan ditangkap dan disidang secara adat, orang yang melanggar adat tersebut
dikenakan denda berdasarkan adat. Oleh karena itu jangan main-main dengan acara
Bakudung, kalau tidak ingin mendapat denda secara adat. Dendanya cukup mahal,
pertama dipermalukan dihadapan persidangan, karena dianggap orang yang tidak
tahu adat tidak menghormati upacara bakudung, kedua denda dengan membayar
sebuah gong. Pada zaman dulu gong adalah benda langka yang sulit dicari dan
kalau sudah tua gong tersebut dikeramatkan, makanya harganya menjadi sangat
mahal. Kalau sekarang digantikan dengan uang sampai ratusan juta rupiah. Waw
sangat pantastis……
Batiung adalah ucapan syukur bagi seorang
pemuda yang sudah menyelesaikan tugas mulia setelah melewati ujian berat, harus
tinggal di rumah khusus yang disebut dengan “SUNTA”. Selama tinggal di rumah
sunta, para pemuda digembleng dan dilatih berbagai keterampilan seperti
terampil dalam menggunakan sumpit, tumbak, mandau dan perisai sebagai tameng
pertahanan baik untuk kepentingan sendiri, berburu maupun kepentingan untuk
berperang. Para pemuda yang ada dalam sunta juga di bina untuk terampil membuat
dan menganyam tikar, anjat, mengukir, selain itu belajar kesaktian. Kegiatan
tersebut adalah untuk kehidupan masa depan sang pemuda.
Selama
tinggal di Sunta para pemuda tidak boleh menyentuh wanita, tidak boleh makan
daging, tidak boleh makan ikan Pallau. Menurut
orang suku Dayak Ga’ai, ikan pallau itu adalah
ikan jinak dan ikan bodoh sedunia, makanya tidak boleh dimakan. Nanti menjadi
manusia yang gampang dipengaruhi manusia lain dan menjadi bodoh, tidak mau maju
dan tidak mau berubah. Mereka para pemuda dalam rumah sunta hanya makan nasi putih setengah masak
tanpa apa-apa, tanpa lauk pauk (istilah lain mutih). Mereka dilatih untuk hidup
prihatin dan hidup sengsara, agar nanti dalam kehidupan dimasa depan memiliki
kekuatan, pendirian, tabah, membantu yang lemah dan tidak sombong.
Setelah beberapa lama dilatih dan dibina, para pemuda itu kemudian dilepas
untuk mencari kepala atau yang dikenal dengan “mengayau”. Apabila sudah
mendapat kepala, dengan bukti kepala dibawa pulang ke kampung, maka pemuda
tersebut lulus dalam ujian terakhir. Ia dianggap sebagai pemuda yang gagah
berani, dewasa dan berhak memakai cancut hitam serta berhak memilih pasangan
hidup untuk berketurunan, ditandai dengan di-tiung atau ditato dibagian
tubuhnya.
Cancut
hitam dapat dikenakan seorang pemuda apabila sudah menyelesaikan berbagai
persyaratan yang sangat berat, diantaranya adalah harus tinggal di rumah khusus
yang disebut dengan “SUNTA”. Selama tinggal di rumah atau sunta itu, para
pemuda digembleng dan dilatih berbagai keterampilan seperti terampil dalam menggunakan
sumpit, tumbak, mandau dan perisai sebagai tameng pertahanan baik untuk
kepentingan sendiri, berburu maupun kepentingan untuk berperang. Para pemuda
yang ada dalam sunta juga di bina untuk terampil membuat dan menganyam tikar,
anjat, mengukir dan lain-lain. Kegiatan tersebut adalah untuk kehidupan masa
depan sang pemuda.
Batiung yang sangat dikenal di kalangan suku Dayak, khususnya suku Dayak Ga’ai. Hubungan dengan
mengayau atau mengambil kepala itulah maka orang Dayak dikenal dengan Orang
Dayak Makan Orang.
Sunta adalah rumah adat tinggi dan besar
yang dibuat khusus untuk melatih para pemuda agar siap menempuh hidup dimasa
depan, menjadi manusia yang sosial, mandiri, kuat, tangkas, bertanggung jawab,
pekerja keras, dan pemberani.
Sedangkan
Cancut hitam adalah kain hitam yang panjangnya lebih satu meter yang diikatkan
diantara selangkangan paha dan kemudian diikat melingkari pinggang sebagai
pengganti celana untuk menutup kemaluan para pemuda. Cancut hitam baru boleh
dikenakan apabila para pemuda sudah menjalani ritual dan pelatihan dan
pembinaan di rumah sunta dan terakhir mampu mengayau dengan membawa pulang
kepala manusia.
Masih
ada tahapan lagi yaitu dibuktikan dengan sidang adat yang membenarkan, kepala
itu benar-benar hasilnya sendiri dalam mengayau, kemudian diadakan upacara adat
Batiung dengan memberi tato pada bagian tubuh pemuda, kemudian dirayakan dengan
tarian jiek melingkar mengelilingi
tiang tempat menggantung kepala. Dengan demikian pemuda itu sudah lulus dan
dewasa, sudah boleh mencari pasangan hidup.
Upacara
Bakudung dan Batiung itu sebenarnya upacara ritual yang berbeda dan terpisah,
kemudian hari secara serimonial dilaksanakan menjadi satu yaitu upacara
Bakudung Batiung, sebagai upaya pelestarian budaya Dayak Ga’ai. Acara Batiung
khususnya mengayau atau mengambil kepala sejak lama, sejak Belanda masuk ke
kerajaan Berau sudah dilarang dan tidak dilaksanakan lagi. Oleh karena itu
masyarakat Dayak Ga’ai saat ini berupaya untuk mengangkat kembali kebudayaan
lama tersebut, agar diketahui oleh anak-cucu keturunan mereka. Bukanlah sebuah
kebanggaan, mereka zaman dahulu sebagai pengayau atau pemotong kepala, tetapi
lebih kearah sebuah acara serimonial sebagai upaya pelestarian kebudayaan
Dayak. Pemerintah Kabupaten Berau sangat berterima kasih, dan sekaligus
mendorong agar kegiatan upacara Bakudung Batiung itu dapat dilestarikan dan
dipertontonkah kepada masyarakat luas, tidak hanya pada masyarakat Dayak saja.
Urutan
upacara Bakudung Batiung tersebut sebagai berikut :
1. Lam Lu’ ( menyambut Batiung ).
Menyambut kedatangan para pemuda ditepi sungai Kelay yang telah selesai melaksanakan tugas beratnya mengambil kepala yang dikenal
dengan mengayau.
2. Penyambutan para pemuda itu
dilanjutkan dengan sidang adat sebagai pengakuan para pemuda yang berhasil
mengambil kepala.
3. Dilanjutkan dengan di-“Tiung” atau
ditato dibagian tubuh pemuda yang telah mendapat pengakuan sidang adat,
menandakan mereka sudah dewasa dan boleh memakai cancut serta memilih wanita
sebagai pasangan hidupnya. Yang di-tiung
tersebut bukan hanya para pemuda yang berhasil mengayau, para gadis juga
ditiung atau ditato sebagai pengakuan gadis dewasa dan boleh dipilih para
pemuda sebagai pasangan hidup.
4. Jak Gai. Setiap tamu yang baru masuk
kampung diharuskan menginjak besi/parang ( Jak Gai ) sembari berdoa, parang itu
diletakkan oleh ketua adat atau
keturunan raja-gaja Gaai dilantai/tanah dengan bersamaan memegang telur ayam
kampung, beras, dan besi yang telah disiapkan. Pertanda tamu atau orang yang
baru datang/masuk kampung itu boleh kemana saja, telah mendapat ijin tetua-tetua
adat..
5. Gehnyan Tul ( memberi makan ). Makan
nasi putih walaupun sedikit sebagai syarat yang disuguhkan oleh seorang wanita
tetua kampong keturunan raja-raja. Dengan demikian maka tamu atau orang yang
baru datang atau masuk kampung tersebut boleh makan apa saja yang telah
disediakan, dengan melakukan ritual tersebut, mereka tidak sakit, seperti sakit
perut, sakit kepala.
6. Khusus suku Dayak Ga’ai Tumbit Dayak
ada upacara melakukan Ritual Kepala Tua. Kepala Tua itu terbungkus rapat
disebuah rumah yang disebut dengan rumah kepala tua. Ditempat itu dilakukan
ritual memberi makan kepala tua dengan memecahkan beberapa buah telur
kebungkusan kepala tua yang tergantung ditengah rumah kepala tua, beras
dihambur untuk memberi makan jin yang datang. Ritual dilakukan oleh ketua adat
yang juga membawa besi agar upacara selalu dalam keadaan tenang dan dingin.
Ritual semacam itu dilakukan setiap tahun.
7. Syukuran dengan membaca doa sesuai
dengan agama masing-masing dan dilanjutkan dengan makan bersama. Dalam makan
bersama, tidak ketinggalan makan “suma”
( lemang ) yang dibuat dan dibakar sehari sebelum acara dimulai. Pada
masa mereka belum beragama, memanjatkan doa kepada para dewa dan para leluhur.
8. Bajiak. Bajiak adalah tari tradisional
Dayak Ga’ai yang sangat popular. Menari bersama dengan membentuk lingkaran itu
diiringi dengan music tabuhan gendang yang ditingkahi suara tabuhan gong. Model
tarian itu lebih pada gerak kaki dan sedikit gerakan tangan yang menyesuaikan
dengan suara gendang dan gong. Gerakan dan hentakan kaki dalam tarian jiak ada
empat jenis dengan berbeda tabuhan gendangnya. Step-step kaki dalam tarian jiak
sangat unik dan bagus, serta mudah diikuti semua orang. Ada satu gerakan tari
jiak yang tanpa music gendang dan gong, tetapi diiringi dengan nyanyian,
biasanya tarian yang diiringi nyanyian dilakukan oleh wanita-wanita tua berbaur
dengan remaja putra-putri dan tokoh-tokoh adat, ditarikan pada malam hari.
Nyanyian dan hentakan kaki mereka terdengar sampai jauh ketengah hutan. Tari
jiak dilakukan tiap malam selama bakudung dilaksanakan.
9. Sikohkoh Sueng ( Coret-coret Arang ).
Setelah acara Bakudung Batiung selesai dilaksanakan, wajib semua orang yang
hadir dalam acara Bakudung Batiung setelah menari jiak bersama wajahnya dicoret
dengan arang hitam. Biasanya yang ditugaskan mencoret wajah semua orang dan
para tetamu itu adalah wanita-wanita muda cantik kampung. Sebaiknya apabila
kita dicoret, kita balas juga untuk mencoret wajah mereka sebagai penghargaan
dan penghormatan upacara Bakudung Batiung sudah dilaksanakan dengan baik dan
sukses.
10. Bek Ngui ( Siram-siraman Air ). Begitu para tetamu pulang menuju
ketepi sungai lalu naik dalam perahu, maka semua orang mejadi basah kuyup
disiram pakai air sungai. Dengan basah kuyup, namun teriakan dan tawa terdengar
dimana-mana. Tawa, sorak sorai, berlari, teriak menghindari siraman terdengar
riuh redah membelah sungai, pertanda gembira dan suka cita telah
dilaksanakannya upacara Bakudung Batiung.
Upacara adat ritual Bakudung Batiung
Kampung Tumbit Dayak harus tetap dilaksanakan setiap tahun, dijadikan sebagai
event tahunan tujuan wisata Kabupaten Berau, dengan memperhatikan waktu
pelaksanaan ditetapkan tidak berubah ubah, kemasan upacara ritual lebih baik
dan memliki nilai jual. Salah satu caranya adalah pemerintah daerah dalam hal
ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau dibantu oleh LSM, Pemerhati
budaya, dan Perusahaan Tambang Sekitar Kampung Tumbit Dayak lebih banyak turun
kelokasi melakukan pembinaan-pembinaan dan pelatihan, agar masyarakat setempat
memahami benar selain melakukan pelestarian budaya juga bagaimana mengkemas dan
menjual budaya Bakudung Batiung itu ke masyarakat lebih luas. Mereka masyarakat
setempat juga mendapat penghasilan dan pendapatan tambahan melalui kunjungan
wisata kedaerahnya. Artinya tidak hanya sekedar melestarikan budaya, tetapi
memiliki nilai tambah yang menguntungkan bagi masyarakat sekitar.
terima kasih atas tulisannya pak, sangat membantu dalam tugas kuliah saya
BalasHapusTerima kasih. Artikelnya sangat membantu :D
BalasHapusTks yg sama
Hapus