LEGENDA
BATU
LANGKUP
DAYAK
AHI KAMPUNG TEMBUDAN
KECAMATAN
BATU PUTIH
KABUPATEN
BERAU KALTIM
o
l
e
h
SAPRUDIN
ITHUR
A.
PERKAMPUNGAN DITENGAH HUTAN
Perkampungan
ditengah hutan adalah sebuah perkampungan yang sangat aman, tentram, dan damai
dengan daerahnya yang sangat indah, tanahnya subur. Perkampung yang makmur itu
dikenal dengan Tulung Jantui atau kampung
Jantui. Kampung Jantui berbeda dengan kampung-kampung Dayak lainnya
dipedalaman. Kampung-kampung Dayak selalu berada ditepi sungai, sungai jadi
jalan raya dengan naik perahu kehulu, kehilir, menyeberang, berkunjung
ketetangga. Sungai tempat mandi, mencuci, dan buang hajat, sedangkan kampung
Jantui berada jauh dari tepi sungai, tetapi tempatnya aman, tentram, subur, dan
makmur. Kemakmuran kampung Jantui ditandai dengan setiap tahun diadakan pesta
panen dengan mengundang puluhan kampung tetangga untuk hadir dalam perayaan
pesta panen, jumlah orang yang hadir sampai seribu orang. Kemeriahan ditengah
hutan yang dihadiri oleh seribu orang itu sudah tidak terbayagkan. Seribu orang
tumpah ruah dalam satu tempat di Kampung Tulung Jantui. Disekeliling Kampung masih ditumbuhi oleh hutan
belantara terdiri dari pohon-pohon raksasa yang tampuknya sampai sepuluh meter
keliling. Pohon terdiri dari pohon kayu kapur, berbagai jenis pohon meranti,
pohon keruing, pohon ulin, pohon kayu hitam, pohon bangris dan masih banyak
jenis pohon lainnya. Pohon-pohon itu menjulang tinggi, besar-besar. Diantara
pohon-pohon itu tumbuh berbagai jenis rotan, dan palm, pohon buah seperti buah
lahung, buah karantungan, pohon buah keledang, pohon buah rambutan, pohon buah
petai, pohon buah tiwadak, pohon buah dupar atau kelengkeng hutan, pohon buah
rambai, pohon buah langsat, pohon buah palung, pohon buah wanyi, pohon buah
tarap. Pohon buah ini semua tinggi dan besar-besar, ada yang sampai tampuk tiga
meter keliling. Tampuk adalah garis keliling lingkaran pohon diukur dengan
meteran. Tempat mereka menanam padi terpisah dari kampung, disana mereka
membuat rumah kecil yang dikenal dengan pondok. Pondok itu dijadikan tempat
untuk beristirahat setelah berjam-jam bekerja, dibawah pondok dijadikan tempat
menanak nasi, memasak sayur, memasak air, dan tempat tidur anjing. Setelah
makan mereka beristirahat santai sambil minum kopi lalu berbaring menghilangkan
penat didalam pondok. Pondok dibuat dari kayu yang disusun sedemikian rupa,
semua sambungan dan pertemuan kayu yang ditata dan disusun diikat dengan rotan.
Kayu dan rotan itu tersedia dan banyak dihutan disekitar kebun. Lantai pondok
terbuat dari kayu-kayu bundar yang lurus dan rapi sebesar pergelangan tangan
orang dewasa disusun rapi, atapnya diambil dari daun palm yang lebar, daun palm
tersebut dikenal juga namanya dengan daun biru atau daun saung, daun itu
disusun sedemikian rupa membujur pada saat hujan air jatuh mengikuti tinggi
rendah atap itu, sedangkan waktu panas tidak diterpa panas dari langit. Dinding
terbuat dari, ada yang dari kulit kayu, ada yang dari bambu yang dipecah dan
diratakan, tidak dianyam seperti di Jawa, ada pula dari susunan kayu bundar
kecil-kecil yang diikat rapi dengan tali rotan. Dinding pondok biasa tidak
tertutup keliling, sebagian terbuka agar mudah melihat sekeliling kebun atau
padi yang menghijau. Pokoknya pondok itu nyaman tempat santai duduk-duduk,
nyaman tempat beristirahat menghilangkan lelah, Nyaman tempat makan dan minum
kopi, dan nyaman untuk tempat mengobrol dan berbincang-bincang tentang sekitar
alam, padi, berburu, hama yang menyerang, babi dan monyet yang nakal memakan
padi dan lain-lain. Menanam buah-buahan seperti rambutan, rambai, langsat,
dupar, durian dan elai sebagian disekitar rumah tempat tinggal mereka
masing-masing dan menanam buah-buahan disekitar pondok tempat menanam padi. Tahun
depan tempat menanam padi itu ditinggalkan ketempat menanam padi yang baru,
pohon buah yang mereka tanam sudah mulai besar berfungsi sebagai tanda bahwa
beberapa waktu yang lalu mereka pernah menanam padi dan berkebun ditempat itu.
Lima tahun kemudian buah-buahan yang mereka tanam sudah siap panen. Tempat yang
mereka tinggal itu setelah enam tujuh tahun kembali mereka jadikan tempat
menanam padi yang baru. Artinya siklus perpindahan menanam padi bagi orang
Dayak enam tujuh tahun kemudian kembali ketempat semula dan terus seperti itu.
Jadi tidak benar kalau orang Dayak dituding sebagai pengrusak hutan atau
perambah hutan. Mereka menanam padi dan berkebunpun terbatas, dengan kemampuan
dan tenaga yang ada, paling luas dalam satu keluarga empat hektar, tidak mampu
tenaganya untuk menggarap sampai ratusan hektar. Setiap tahun berpindah-pindah
memang, tetapi siklusnya setelah tujuh sampai sepuluh tahun kembali ketempat
semula yang pernah mereka garap dan berkebun dulu.
Dalam
perkampungan di Tulung Jantui penduduknya tidak kurang dari tiga ratus orang
dengan puluhan rumah yang berdiri dibatasi masing-masing kebun disekitar rumah
penduduk. Dikampung Tulung Jantui memiliki sebuah rumah adat yang disebut
mereka dengan Sanggarahan. Rumah adatnya sangat sederhana. Sanggarahan
berfungsi sebagai tempat pertemuan, sidang adat, rapat kampung, rapat persiapan
dan menentukan tempat menanam padi, menampung tamu yang datang, dan tempat
pelaksanaan pesta adat, pengobatan, belian, serta pesta panen. Panjang kampung
Jantui tidak kurang dari dua kilometer disepanjang kampung berdiri rumah-rumah
penduduk, ditengah perkampungan berdiri sebuah rumah adat seperti yang telah
diceriterakan diatas. Disudut-sudut kampung masih terlihat pohon-pohon raksasa
sangat besar dan menjulang tinggi keangkasa. Perkampungan ditengah hutan
semacan ini adalah salah satu upaya suku Dayak Ahi untuk menghindari serangan
musuh dari suku-suku lain yang masih mengayau atau memotong kepala dan
berkumpul dalam kelompok satu keturunan sebagai upaya menjaga dan mempertahankan
kelompoknya. Apabila kampong mereka sudah dianggap tidak aman dan terancam oleh
kelompok-kelompok mengayau, mereka akan segera angkat kaki dan pindah ketempat
baru yang jauh dan aman.
Suku Dayak Ahi
sebelum mengenal rumah, mereka masih tinggal banir-banir kayu besar,
dilubang-lubang batu, dan di gua-gua. Ditempat itu mereka berkumpul dalam
keloni dan keturunan yang sama, dalam keloni itu mereka kawin mawin dan beranak
pinak. Keturunan mereka pada zaman dulu sangat sulit berkembang, pertama seringnya
serangan kelompok lain baik untuk mengayau maupun untuk melebarkan wilayah
kekuasaan. Disebabkan oleh serangan penyakit yang sangat mematikan, seperti
cacar, kolera, malaria, muntah berak, koloni mereka hampir habis dan penyakit
lain seperti gatal-gatal dan campak, mati melahirkan sudah menjadi hal yang
biasa. Yang lebih unik ada beberapa Dayak yang tinggal dipesisir pantai Berau
sangat takut dengan bersin, apabila ada orang baru yang baru mereka kenal
bersin-bersin mereka langsung lari masuk hutan takut mendengar bersin-bersin
dan takut terjangkit. Wabah itu sangat mereka takuti dan mereka hindari. Karena
mereka belum memiliki sistem kesehatan yang baik, kebersihanpun mereka belum
memahami. Anjing, binatang peliharaan menyatu dalam rumah atau gua tempat
tinggal, buang kotoran dan lain-lain semuanya sembarangan saja. Saat melahirkan
saja ibu atau bayi yang baru lahir pada zaman dahulu bisa dimakan babi atau
anjing. Hutan sekitar perkampungan
Tulung Jantui masih terpelihara dengan baik. kampung Jantui bertahan sampai
ratusan tahun.
B. BERBURU
Orang Dayak
pada umumnya ahli berburu. Dihutan lebat dan semak belukar mereka berburu babi,
berburu rusa, berburu kijang, berburu monyet, berburu ular, berburu macan
dahan, berburu badak, berburu kancil, bahkan beruang dan bantengpun mereka
tangkap dan bunuh. Babi dalam bahasa berau disebutnya dengan bai’ ada pula yang
menyebutnya dengan babui, rusa bisa disebut dengan payau, sedangkan kijang
adalah menjangan, kijang lebih kecil dari rusa dan tanjuknya tidak bercabang. Monyet
atau kera dikenal juga dengan nama warik, karra, dan berangat, macan dahan
dikenal dengan nama rimaung daan, kancil disebut juga dengan pilanduk atau
pelanduk. Orang Dayak berburu ada yang perseorangan, ada yang berkelompok. Peralatan
yang digunakan untuk berburu memakai tumbak, sumpit, Mandau, dan beliung,
dibantu dengan anjing-anjing pemburu yang lincah dan pemberani.
Nama tombak
sudah sangat pamilier dimasyarakat Indonesia. Mata tombak terbuat dari besi
baja yang sangat tajam dan lancip. Mata tombak itu disatukan dengan anak kayu
ulin pilihan, lurus panjang antara dua sampai dua setengah meter. Mata tombak
disatukan dengan gagang ulin diikat dengan tali rotan yang telah diraut dan
dihaluskan. Model tombak seperti itu agar mudah dilempar lurus kedepan sesuai
dengan keinginan sang pengguna….seperti melempar lembing. Tajamnya mata tombak
langsung menusuk dalam ketubuh sasaran seperti babi, rusa, kijang dan
lain-lain. Mengapa gagang tompak harus panjang, supaya saat dilempar kearah
binatang buruan larinya cepat, kencang, lurus dengan mata tombak tetap didepan.
Sumpit atau
sumpitan juga sangat populer dan pamilier diseluruh tanah air. Sumpit orang
Dayak menggunakan bahan dari kayu ulin yang sangat keras, kayu ulin sepanjang
dua meter dibuat bundar, ditengahnya dibuat lubang untuk masuknya mata sumpit.
Setelah lubang tengah jadi dan lurus sudah bisa dilewati mata sumpit bagian
luarnya dihaluskan dengan lingkaran kurang lebih 14 sampai 17 centi meter.
Bagian luar gagang sumpit dibuat halus agar nyaman dan mudah dipegang ketika
membidik buruan. Mata sumpit dibuat dari bambu
yang diraut dan dihaluskan dengan panjang sekitar 25 centi meter. Mata
sumpit biasanya diberi racun. Racunnya diambil dari pohon kayu racun yang
tersedia disekitar hutan perkampungan Dayak. Racun yang digunakan sangat
mematikan, mata sumpit tersebut terkena manusia, maka dalam waktu tiga puluh
menit tidak diobati langsung meregang nyawa. Obat sebagai pertolongan pertama
ternyata tidak sulit, cukup dengan minum air kelapa hijau. Tetapi kalau kena
sumpit ditengah hutan tidak mungkin ada buah kelapa, resikonya adalah kematian.
Ujung depan gagang sumpit biasanya dipasang mata tombak, jadi gagang sumpit
bisa berfungsi ganda selain untuk menyumpit, bisa juga untuk menombak buruan.
Cara membuat lubang tengah sumpitan yang dijadikan sebagai tempat meluncurnya
mata sumpit ketika ditiup sang pemburu sangat sulit. Lubang tengah itu harus
lurus agar mata sumpit yang melesatpun keluar dengan cepat, kencang, dan lurus.
Cara membuat lubang itu biasanya mereka menggunakan aliran sungai kecil yang
deras, ulis yang siap dilubangi diikat kuat sedemikian rupa agar tidak bergerak
kemana-mana, besi kecil berbentuk bor sangat sederhana ditancapkan diujung kayu
yang sudah dihaluskan sedemikian rupa sebesar lubang sumpit yang direncanakan,
panjangnya sama dengan panjang gagang sumpit, diikat lurus benar-benar lurus ,
diujung atas dibuarkan semacam kincir, saat didorong air kayu yang kecil
panjang dengan diujungnya mata bor yang sudah ditajamkan mulai berputar
melubangi gagang sumpit. Lubang pada gagang sumpit itu bisa tembus dengan
memakan waktu satu sampai tiga bulan. dengan
Mandau berbeda
dengan tombak dan sumpit, Mandau adalah parang yang model mata parangnya miring
sebelah, tujuannya supaya ketika dibacokkan ke batang kayu atau kebatang apa
saja langsung masuk dengan dalam. Mandau selain digunakan untuk senjata berburu
juga digunakan untuk menebas rumput semak belukar, memotong kayu, senjata
perang, dan untuk menari. Mandau adalah senjata kebanggaan orang Dayak. Mandau
tidaj berdiri sendiri ketika dibawa atau disimpan, Mandau diberi gagang yang
diukir indah, dengan berbagai motif, seperti
motif binatang, bercabang yang telah dihaluskan dan dirapikan bagian
belakangnya agar tidak mudah lepas dari genggaman tangan saat digunakan menebas
semak belukar atau memotong kayu, rotan dan lain-lain walaupun kena basah
keringat. Menyatukan besi Mandau dengan gagangnya direkatkan dengan kalapiai
dan diikat dengan anyaman rotan. Kemudian Mandau dibuatkan sarungnya, sarung
terbuat dari kayu yang dihaluskan membungkus sepanjang besi Mandau yang tajam.
Mandau dalam sarungnya itu diikatkan kepinggang. Waw gagah sekali. Saat ini
Mandau dengan hulu/gagang dan sarung yang berukir dan dihias manik-manik dijual
sebagai oleh-oleh pelancong.
Sedangkan
Beliung adalah kampak yang bentuknya sedikit berbeda dengan kampak biasanya.
Mata beliung terbuat dari besi baja, bagian matanya yang tajam lebar seperti
kampak, sedangkan bagian atas kecil pipih disatukan dengan gagang kayu ulin
bundar yang masih muda dengan lingkaran sekitar sepuluh centi meter atau
menggunakan gagang dari rotan. Menyatukan gagang dengan besi diikat dengan tali
rotan yang sudah dihaluskan. Beliung dijadikan salah satu alat untuk berburu
yang sekaligus berfungsi sebagai pemotong tulang binang buruan, beliung juga
digunakan untuk menumbang pohon saat berladang. Beliung popular dan masih
digunakan samapi tahun delapan puluhan. Sekarang beliung sudah tersingkir
digantiak dengan kampak yang mudah dibeli ditoko-toko besi, sedangkan beliung
tidak dijual belikan.
Berburu
binatang dengan sumpit biasanya dilakukan oleh perorangan, berangkat sendiri
dengan membawa sumpit lengkap dengan anak sumpit, Mandau digantung dipinggang,
dibelakangkan dipunggungnya menggendong anjat. Didalam hutan lebat telinga dan
mata dipasang dengan baik, telinga mendengarkan suara gerakan binatang buruan,
mata harus cergas melihat dimana keberadaan binatang buruang. Apabila telah
ditemukan, anak sumpit dimasukkan kelubang sumpit dan untuk ditiup sekuat
tenaga agar anak sumpit lepas dengan cepat mengenai sasaran. Binatang seperti
burung, monyet, kancil, kijang yang tertembus anak sumpit segera lumpuh dan
siap dibawa pulang. Ada pula berburu babi yang menyeberang sungai yang dikenal
dengan babi malangui. Pemburu mengejar babi dengan menaiki perahu, babi yang
sedang berenang menyeberang sungai. Menangkap babi yang sedang menyeberang
ditebas dengan mandau atau ditusuk dengan tombak. Berburu babi malangui
dilakukan perorang dan bisa dilakukan beramai-ramai.
Berburu
binatang besar seperti babi, rusa, beruang, atau banteng dilakukan
beramai-ramai. Anjing yang sudah terlatih dilepas lebih dahulu disekitar hutan
buruan. Anjing mengendus mengikuti jejak binatang buruan, setelah buruan
ditemukan disalak atau digonggong oleh anjing dengan suara anjing yang nyaring
memburu binatang buruang kesana kemari sampai lelah. Mendengar suara anjing
yang menggonggong para pemburu bersiap menghadang disemua arah, begitu binatang
buruan seperti babi, banteng, atau rusa berlari kearahnya, tombak yang dipegang
pemburu melayang dilempar kearah buruan, kemudian ditebas dengan mandau yang
dicabut dari sarungnya. Berburu dan mengejar buruan ditengah hutan dan semak
belukar bisa sampai setengah hari baru berhasil, karena luasnya hutan dan
gunung-gunung terjal menghadang pemburu. Apabila salah satu pemburu sudah
menumbak binatang buruan yang sangat besar seperti banteng, rusa, atau babi
hutan raksasa, pemburu lain segera datang membantu dan menombak buruan yang
sama agar segera lumpuh dan mati. Buruan dapat tidak bisa diangkat seorang diri
dan tidak bisa digotong dipikul beramai-ramai disebabkan oleh semak belukar
yang lebat, pohon-pohon besar menghalang, naik turun gunung yang tinggi dan
terjal, mau tidak mau binatang buruan harus dipotong-potong agar bisa dibawa
perseoangan, maka mandau dan beliung adalah alat pemotong yang paling handal
ditengah hutan. Mandau untuk me-motong-motong daging, sedangkan beliung untuk
memotong tulang yang sangat keras. Anjing-anjing pemburu mendapat bagian daging
lebih dahulu, dengan irisan daging yang diberikan kepada anjing adalah hadiah
istimewa buat anjing pemburu. Setelah lebih dahulu kenyang anjing-anjing itupun
bermalas-malasan dengan berbaring disekitar para pemburu yang masih bekerja
memotong-motong hasil buruan. Tidak jarang rombongan pemburu pulang membawa
tangan hampa, tidak ada seekor buruanpun yang berhasil mereka tangkap.
Berburu juga
ada yang dilakukan dengan cara memasang jerat. Jerat dipasang selalu dijalur
bekas jalan binatang yang sering dilalui, dengan melihat bekas jalan yang
sering dilalui itu kemungkinan besar jerat diinjak oleh binatang buruan yang melintas
ditempat itu. Binatang yang terjerat salah satu kakinya tergantung tinggi.
Binatang yang kena jerat itu berteriak-teriak kesakitan, akhirnya tidak
berdaya. Jerat yang dipasang itu sangat kuat dan berbahaya, apabila diinjak
oleh manusia, kaki manusiapun tergantung keatas dan bisa mati kalau tidak
ditolong.
Orang Dayak pada
umumnya termasuk Dayak Ahi dahulu sebelum mereka mengenal agama memakan semua
binatang buruan, yang penting bisa ditangkap hidup atau mati, baik itu monyet,
ular, babi, rusa, kijang, banteng, badak, macan dahan, beruang, ikan, tupai,
landak, trengiling, kukang, kalong, musang, burung dan lain-lain. Setelah
mereka beragama Muslim, Kristen, dan Katolik ada binatang tertentu yang tidak
boleh dimakan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat, pencinta lingkungan,
pencinta binatang, serta kaitan dengan semakin berkurangnya binatang tertentu,
mereka juga mengikuti tren dunia itu. Saat ini mereka sudah melarang menangkap
dan membunuh binatang yang dilindungi, contohnya seperti Orang Utan,Bekantan,
Uat-Uat, Beruang, Rimaung Daan (Macan Dahan), Trengiling, burung elang, burung
aruai, burung kalibarau (cocokrowo), burung enggang dan lain-lain. Yang sangat
disayangkan Badak Kalimantan bercula satu yang pernah ada dan hidup di hutan
pedalaman Kabupaten Berau sekarang sudah
tidak ada lagi, sudah punah. Mudah-mudahan dengan kecintaan masyarakat
pedalaman khususnya orang Dayak terhadapap kehidupan binatang dan pohon-pohon
asli bisa melestarikan dan mempertahankan binatang dan tumbuhan atau pohon yang
sudah semakin langka dan sulit ditemukan. Perembahan hutan juga jangan lagi
dilakukan, karena akibatnya nanti pasti manusia juga yang menjadi korbannya.
C. MEMBANGUN
RUMAH ADAT SANGGARAHAN
Setiap
perkampungan orang Dayak selalu berada ditepi sungai, sangat berbeda dengan
perkampungan Dayak Ahi di Tulung Jantui. Kampung tersebut tidak berada ditepi
sungai, kampung Jantui terletak jauh ditengah daratan, tidak kurang dari lima
puluh kilometer dari bibir pantai selatan Kabupaten Berau antara sungai Kalindakan
sampai sungai Nek Lenggo. Dari Tulung
Jantui tidak kurang dari seratus kolimeter tembus kesungai Sangkulirang.
Daratan Jantui terdiri dari hamparan batu karang yang sangat keras, dikenal
juga dengan hamparan pegunungan kars, sebagian besar pohon-pohon besar dan
semak belukar itu tumbuh diatas hamparan kars putih yang istimewa. Batu kars
tidak sama dengan batu gunung kebanyakan seperti cadas atau batu besi. Batu
kars banyak lubang-lubang kecil dan lubang-lubang besar, bahkan lubang besar
itu membentuk gua yang sangat indah, gua-gua gunung kars membentuk stalaknit
dan stalaktit yang sangat indah, gua-gua gunung kars menjadi lebih indah
manakala dijadikan sarang burung wallet dan sarang jutaan kelelawar khas
Kalimantan. Dibawah sarang wallet dan tempat tinggal kelelawar tinggal puluhan
ular berbagai jenis, paling banyak ular piton yang dikenal orang Kalimantan
dengan nama ular sawa’. Pohon-pohon besar yang tumbah dihamparan batu kars itu
akarnya masuk di lubang-lubang batu. Lubang batu itu dijadikan sebagai penopang
dan pengikat bagi akar pohon yang sangat kuat untuk menahan pohon dari terpaan
angin, serta dalam batu itu tersedia banyak air sebagai makanan dan minuman
pohon yang besar dan menjulang tinggi sampai menggapai awan.
Untuk tempat
acara, tempat pertemuan, dan menerima tamu Dayak Ahi membutuhkan tempat khusus
selain rumah-rumah mereka yang ada. Tempat pertemuan itu adalah Rumah adat
Sanggarahan. Ketika orang suku Dayak Ahi merencanakan mengadakan pesta panen,
maka mereka siapkan lebih dahulu adalah Sanggarahan atau rumah adat.
Membangun rumah
adat dimusyawarahkan dirumah ketua Adat. Dalam musyawarah tersebut diwajibkan
semua laki-laki dewasa harus hadir, ditambah dengan beberapa orang perwakilan
perempuan atau ibu-ibu. Dalam rapat merencanakan membuat rumah adat untuk
upacara pesta panen besar-besaran yang dikenal dengan istilah Tarintingan,
semua dilakukan dengan sukarela dan gotong royong. Pertama yang dikerjakan
adalah menyiapkan lokasi rumah adat, selanjutnya pergi kehutan meramu bahan
bangunan. Menumbang beberapa pohon
ulin untuk dijadikan tiang rumah panggung, meramu rotan untuk dijadikan tali
pengikat yang menghubungkan kayu satu dengan kayu lain pada bangunan
Sanggarahan. Menumbang pohon kayu meranti yang lurus-lurus untuk dijadikan
gelagar latai yang disela dengan gelagar kayu ulin. Kayu bundar panjang dan
lurus itu juga dibutuhkan untuk tiang-tiang dinding dan penyangga atap dibagian
atas rumah adat. Tahap ketiga gotong royong mendirikan rumah adat. Setelah
semingu rumah adat jadi, tetapi belum ada lantai, dinding dan atapnya. Mereka
kembali bergotong royong meramu bahan untuk dinding dan lantai. Beberapa pohon
besar yang kulitnya tebal ditumbang, kulit pohon yang sudah tumbang itu
dikuliti dengan hati-hati. Kulit kayu yang sudah dikupas digulung baru dipikul
ramai-ramai. Sebagian para pemuda mengambil daun biru, daun yang biasa dibuat
topi atau dikenal dengan seraung atau tudung. Lantai dipasang dengan rapi
dilanjutkan dengan memasang dinding. Untuk perekatnya semua menggunakan tali
rotan yang sudah diraut dan dihaluskan, dilanjutkan dengan memasang atap rumah
adat. Pekerjaan membuat rumah adat yang dilakukan dengan gotong royong ini
tidak kurang memakan waktu selama satu bulan. Semua perabot rumah seperti kayu
ulin, kayu meranti dan kapur, kulit kayu, rotan dan daun biru diambil dari
hutan sekitar Tulung Jantui. Rumah adat Sanggarahan Tulung Jantui sudah
selesai.
Selama gotong
royong ibu-ibu dan remaja wanitanya bertugas memasak air membuat minuman dan
merebus umbi-umbian seperti singkong dan talas/keladi, serta merebus jagung.
Oleh karena itu wanita dilibatkan dalam pertemuan rapat tersebut, tetapi tidak
kalah pentingnya kaum perempuan juga boleh menyampaikan pendapat, saran dan
masukan dalam rapat di rumah ketua adat tersebut. Banyak ibu-ibu Tulung Jantui
yang memberikan saran dan masukan yang baik dan diterima dalam pertemuan dan
rapat-kampung. Artinya wanita Tulung Jantui sejak nenek moyong sudah member
andil dalam setiap kegiatan dan pembangunan di kampungnya.
D. PESTA
PANEN DAN BELIAN
Pesta panen kali
ini dilaksanakan besar-besaran di Tulung Jantui, yang dikenal dengan istilah
Tarintingan. Tarintingan kali ini dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam,
mengundang kampung-kampung dekat dan kampung jauh untuk datang ke Tulung Jantui
bersama-sama bersukaria, syukuran, memeriahkan pesta Tarintingan yang meriah.
Di kampung Tulung Jantui benar-benar makmur, padi melimpah, buah-buahan melimpah
ranum masak memerah dan menguning dimana-mana disekeliling kampung dan dihutan
luas…pokoknya melimpah. Dengan banyak buah yang masak tersebut banyak binatang
seperti babi, rusa, kijang, beruang, dan lain-lain juga berpesta makan
buah-buahan yang berhamburan disekitar pohonnya. Binatang itu tidak liar seperti
biasanya, mudah ditangkap untuk dijadikan lauk hidangan pesta. Ada daging, ada
nasi baru, ada nasi ketan yang dibuat lemang menjadi santapan mewah, kueh yang
mereka buat sebagai santapan ringan ditambah dengan makan buah yang ranum manis
dan segar. Teh asli yang dibuat dari rebusan kulit kayu dicampur dengan gula
asli pula. Gula mereka terbuat dari perahan tebu merah dan tebu abu-abu yang
sangat manis. Pemanisnya juga ada dari madu asli yang baru dipungut dari pohon
bangris. Orang-orang tua tidak minum teh, tapi minum kopi asli yang dambil dari
kebun yang tidak jauh dari perkampungan. Buah kopi dipilih yang sudah masak
saja yang dipetik, kopi yang baru dipetik itu langsung ditumbuk dilesung,
sebagian kulitnya terkelupas tetapi tidak mau habis masih melengket karena
basah oleh kulit kopi yang sudah masak. Lalu dijemur barang sehari dua hari
dipanas matahari, kulitnya yang menempel dibiji kopi sudah kering baru ditumbuk
lagi. Setelah ditumbuk ini kulitnya sudah terpisah dari biji kopi, baru ditampi
untuk memisahkan biji kopi dengan kotoran kulitnya, selanjutnya biji kopi sudah
siap untuk digoreng diwajan tanpa minyak atau air. Biji kopi yang digoreng sampai menjadi hitam, biji kopi
yang sudah hitam tersebut langsung dimasukkan kedalam lesung ditumbuk lagi sampai
halus. Untuk memisahkan yang sudah halus dengan yang masih kasar mudah sekali……ya
dengan cara diayak, yang masih kasar ditumbuk kembali. Tapi waktu perayaan
pesta panen oleh ibu-ibu kopi yang sudah halus itu tidak diayak lagi, kopi yang
telah ditumbuk halus itu langsung diseduh dengan air panas dicampur dengan madu,
gula aren, atau gula tebu. Waw….cita rasanya kopi ini berbeda sekali…sungguh…sulit
dibayangkan, diseduh atau diminum waktu masih panas aromanya menyebar
kemana-mana….pokoknya sulit untuk menceriterakan nikmat dan harum cita rasanya
kopi kampung asli Tulung Jantui tersebut.
Proses
menanam padi di Tulung Jantui sangat
unik dan memakan waktu cukup lama, mereka menanam padi gunung. Tahapan untuk
dapat menanam padi gunung tidak mudah. Pertama membuka hutan dengan merintis
semak belukarnya dilanjutkan dengan menumbang pohon sampai bersih. Merintis
semak belukar tersebut adalah cara untuk mempermudah saat menumbang pohon, akar
yang bergelayutan, rotan yang merangkai dan mejalar menaiki pohon dipotong
sampai bersih, kayu-kayu kecil sampai sebesar lengan orang dewasa dipotongi
agar tidak menghalangi saat menumbang pohon yang besar-besar, pohon besar yang
ditumbang rebah dengan mudah tidak ada tali-temali rotan dan akar yang menahan
saat pohon tumbang. Setelah pohon tumbang semua, dahan-dahan pohon yang tumbang
dipotongi, supaya ranting, dahan dan daun rata. Pohon yang tumbang dan sudah
diratakan itu dibiarkan selama satu bulan agar menjadi kering. Setelah kering
baru dibakar. Saat membakar tumbangan kayu besar-besar itu maka api menyala
sampai membumbung tinggi menjulang empat lima meter menjilat-jilat mengikuti
tiupan angin. Waktu membakar tersebut angin tidak kencang api tidak
membesar dihawatirkan api tidak memakan
seluruh daun, ranting, dahan, dan batang. Anginpun dipanggil oleh pemilik lahan
yang sedang membakar dengan cara bersiul-siul khusus memanggil angin….maka
anginpun datang dan apipun menjilat-jilat menjulang tinggi dengan membakar
semua yang ada ditempat itu. Setelah selesai dibakar tiga empat hari kemudian
lokasi bakaran itu baru dingin dan baru bisa diinjak, tetapi disana sini masih
banyak asap dan bara api yang sangat panas. Dahan ranting, dan daun yang belum
terbakar habis dikumpulkan untuk dibakar kembali. Setelah bersih baru dilakukan
penebaran benih padi dengan cara menugal. Tanah dilubangi dengan tugal,
dilubang sedalam tiga sampai lima centi meter itu dimasukkan benih padi
sebanyak tiga sampai tujuh bulir padi dan ditutup untuk menghindari dimakan
burung yang ada disekitar hutan tersebut. Saat hujan datang bulir padi basah,
tumbuh menyembul keluar dipermukaan tanah. Selama empat bulan batang padi itu
bertumbuh sampai setinggi orang dewasa. Padi bunting dan kemudian mengeluarkan
buah lengkap dengan tangkainya dibagian pucuk padi. Dua bulan kemudian atau
usia padi enam bulan buah padi sudah menguning masak siap untuk dipanen. Jadi
proses menanam padi dari merintis, menumbang, membakar, menugal sampai panen
padi tidak kurang memakan waktu selama Sembilan bulan. Wajar setelah panen
untuk melepas lelah diadakan syukuran dan bersuka ria, orang Dayak mengadakan
acara pesta panen yang mereka sebut dengan Tarintingan.
Pesta panen di
Kampung Dayak Ahi Jantui ada tiga tingkatan ada yang kecil, sedang, dan meriah.
Pesta panen yang kecil atau yang paling rendah dilaksanakan hanya satu hari
saja namanya Tutung Gagang. Tutung Gagang dirayakan hanya satu hari dengan
memanjatkan doa kepada penguasa alam semesta agar panen tahun depan lebih baik
dari yang sekarang, kampung dijauhkan dari bala dan penyakit, dilanjutkan
dengan makan-makan dan petuah para tetua adat, selesai. Tidak mengundang
kampung lain dalam acara pesta panen tersebut, hanya dirayakan dalam satu
kelompok atau satu kampung saja. Sedangkan yang tengah atau yang sedang
dilaksanakan satu sampai tiga hari namanya Kosokan, acara ini mengundang
kampung-kampung tetangga yang dekat dekat saja. Dalam acara hampir sama dengan
pesta panen yang kecil ditambah dengan acara kesenian pada malam hari, siang
hari dimeriahkan dengan olah raga gasing dan logo. Acara yang besar dirayakan
dengan sangat meriah namanya Tarintingan. Pada acara Tarintingan mengundang
semua kampung yang serumpun dan kampung lain yang dekat dan yang jauh-jauh.
Pada acara pesta panen semacam ini dihadiri sampai ribuan orang. Selama
perayaan manusia tumpah ruah memenuhi kampung Jantui yang menyelenggarakan
pesta. Masing-masing rumah penduduk yang dekat dengan rumah adat menjadi wadah
penampungan para tamu, selebihnya tamu ditampung dirumah sederhana yang dibuat
dan dibangun khusus untuk acara. Rumah adat dipersiapkan sedemikian rupa dengan
hiasan dan dekorasi tradisional yang sangat khas. Kampung Jantui juga berhias.
Sepanjang Kampung Jantui bersih,
rumah-rumah yang disiapkan sebagai tempat penampungan para tetamu juga
disiapkan dan dihiasi dengan berbagai hiasan yang terbuat dari irisan tipis
kayu yang memanjang seperti mi yang keriting. Pokoknya kampung Jantui menjadi
meriah dan cantik. Rumah yang ada di kampung Jantui semua rumah panggung dengan
lantai papan, dinding kulit kayu meranti, dan atap dari daun biru dan daun
nipah. Rumah adat juga sama, berbentuk rumah panggung yang tinggi dan lebih
besar dari rumah-rumah orang sekampung, dengan perbedaan tersebut, setiap orang
yang melintasi rumah adat Sanggarahan semua tahu itu adalah Sanggarahan. Setiap
dilaksanakan acara pesta panen yang dikenal dengan Tarintingan itu membuktikan
bahwa hasil panen, buah-buahan dan binatang buruan melimpah.
Pada siang hari
dan malam hari sangat ramai, semua orang terkonsentrasi pada tempat-tempat
keramaian tertentu. Siang hari mereka berkumpul semua ditanah lapang tempat
lomba belogo, begasing atau begalah, sedangkan pada malam hari berkumpul
dipanggung hiburan menari bersama dan menari bergantian dari masing-masing
kampung, setelah tarian selesai aplus dengan tepuk tangan terdengar gemuruh. Mereka
sangat menyukai dan mencintai keseniannya sendiri. Mereka bangga dengan
kebudayaannya sendiri, sebagai bukti ya seperti sekarang ini, mereka mengadakan
acara pesta budaya Tarintingan dengan mengundang kampung-kampung menunjukkan
bahwa mereka memiliki kebudayaan yang patut dipertontonkan sekaligus sebagai
upaya pelestarian budaya mereka. Acara
pesta panen semacam ini adalah wahana silaturahmi, kekerabatan, kekeluargaan,
dan persaudaraan. Kesempatan semacam ini mereka jadikan sebagai tempat bertukar
pikiran, bertukar informasi dan bertukar pengetahuan selain sebagai hiburan
relaksasi. Mereka benar-benar hanya bergembira, bersukaria, tertawa dengan
kemeriahan yang ada, melupakan semua pekerjaan yang melelahkan. Hari ini dalam
acara Tarintingan upacara budaya pesta panen yang meriah. Pertemuan ini juga
kesempatan bagi para muda mudi berkenalan dan bercengkrama yang akhirnya sampai
menyatu dalam kepelaminan. Perkawinan adalah alat pemersatu yang sangat kuat
diantara mereka dan mendekatkan sanak keluarga yang sudah jauh dan
terpisah-pisah. Jadi Pesta adat atau upacara adat seperti pesta panen bukan
sekedar hanya untuk ramai-ramai, tapi maknanya lebih dari itu. Luar
biasa….itulah cara orang Dayak untuk membangun persatuan dan kesatuan sejak
jaman nenek moyang.
Malam berikutnya
acara kesenian dilaksanakan di rumah adat, yang dikenal dengan nama Sanggarahan.
Persembahan kesenian saklral khusus dilaksanakan dirumah adat yaitu kesenian Belian. Kesenian yang bernilai sakral
yang dikenal dengan Belian itu tidak boleh dilaksanakan disembarang tempat,
dilaksanakan hanya boleh dirumah adat. Upacara adat belian ada dua macam yaitu :
yang pertama namanya Belian Kinyambat, belian ini dilaksakan setiap
acara pesta panen, jadi dilaksanakan biasanya setahun sekali bertepatan dengan
acara pesta panen; yang kedua namanya
Belian Kuwaro, Belian ini adalah
belian pengobatan tradisional Dayak Ahi dilaksanakan sesuai kebutuhan, boleh
sekali setahun, boleh dua kali setahun dan boleh lebih dari tiga kali setahun.
Apabila terjadi musibah penyakit yang menimpa masyarakat Dayak Ahi Tulung
Jantui harus dilakukan pengobatan secara khusus atau beramai-ramai, maka Belian
Kuaro dilaksakan dirumah adat. Apabila terjadi hal-hal diluar kemampuan
manusia, seperti diserang atau diganggu makhluk gaib atau diserang musuh secara
gaib, diserang dengan penyakit yang tidak seperti biasanya, maka pengobatan
tradisional Belian Kuwaro dilaksanakan sebagai penyembuh yang paling efektif.
Sebelum Belian
dilaksanakan harus disiapkan terlebih dahulu antara lain daun pinang muda, daun
kelapa, daun tuak atau daun enau. Semua daun tersebut diikat menjadi satu
dibuat sedemikian rupa, ada yang dibentuk seperti manusia lalu digantung
ditengah Sanggarahan. Sebelum matahari tenggelam sampai senja usai, sebelum
acara belian dimulai pada malam hari, dukun didamping orang pintar yang
menguasai belian juga melakukan ritual awal dengan berdiri tegak diteras depan
Sanggarahan melakukan prosesi awal dengan Mandau terhunus diangkat
tinggi-tinggi seolah menjolok atau menusuk langit, lalu digerak-gerakkan
seperti menari diudara menyampaikan hal ikhwal dilaksanakannya upacara adat Belian
dengan Bemamang. Bemamang adalah berkata-kata yang bernilai sastra tinggi dan
sakral seolah menyanyikan nyanyian yang panjang dengan bait-bait yang sangat
teratur dengan bahasa dewa-dewa untuk
menyampaikan apa saja niat dilaksanakannya Belian tersebut kepada Dewa dan Jin
sahabat sang dukun, serta kepada arwah nenek moyong yang terpandang jaman
dahulu. Bemamang tersebut cukup lama dilakukan oleh sang dukun. Bahasa yang
digunakan dalam bemamang adalah bahasa asli Dayak Ahi disebut mereka dengan bahasa
Gait Dewa-Dewa. Saat bemamang pendamping menyalakan api yang ditaburi
harum-haruman seperti irisan tipis kayu gahru atau api ditaburi dupa,
disekitarnya ditaburi minyak wangi. Asap yang menyebar disekitar sanggarahan
beraroma mistis yang sangat harum, menjadikan bulu kuduk berdiri merinding.…..Nuansa
malam Belian tersebut menjadi berubah dengan malam-malam lain yang diisi dengan
pertunjukan tari bersama, tari tunggal dan tari masing-masing dari grup yang
dibawa dari kampung para tetamu ada tari Lembu Tutung, tari pailukan, tari
Sa’latan, dan tari Pelanduk.
“Sa’ke….ling kutirajung teleng ngeliyanan
akunyiban tangatakute, ikam segala bamaya ulun balianan ulun ruh ulun balianan
kama dawan tigenit e….ling ku nya’ling ngeteling salung sam em.. mata’ ulun
balian seren balian parago……”ini salah satu bait bemamang. Lalu dukun menyiram-nyiramkan air disekitar
ia bemamang. Membasuh muka, kaki, atau tangan semua yang tadi siang bekerja
kena miang, kena gatal agar tidak merasa gatal dan miang lagi. Dilanjutkan
dengan menari berputar-putar mengelilingi gantungan daun pinang muda, daun
kelapa muda, dan daun tuak sambil masih bemamang diiringi alunan musik yang
terdiri dari gendang, gong, suling dan takung. Tarian itu nanti pelan, lambat,
berikut kencang dan cepat, sang dukun menghentak-hentakkan kaki kelantai yang
terbuat dari kayu/papan, suara hentakan kaki itu terdengar sampai jauh,
terdengar disekeliling sanggarahan dimana banyak tamu yang berada diluar saja.
Daun tuak adalah
daun enau, disebut daun tuak karena air enau yang disadap bisa dibuat tuak yang
memabukkan, oleh karena itu suku Dayak Ahi menyebutnya dengan pohon tuak,
daunnya juga disebut dengan daun tuak. Belian dilakukan semalam suntuk dengan menari
dan bemamang. Dukunnya satu saja yang lainnya bisa ikut-ikutan menari
mengelilingi daun-daun yang digantung mengikuti dukun. Penabuh musik apabila
lelah digantikan dengan yang lain, agar alunan musik tetap mengalun. Pada
tengah malam biasanya ada yang kerasukan jin atau makhluk halus, makhluk gaib.
Yang kemasukan jin itu ada yang sampai lari masuk hutan, mencabut pohon,
mencabut pohon yang berduri, menarik rotan yang berduri sangat tajam, lalu
ditariknya sampai kedekat rumah adat. Kemudian masuk lagi ke rumah adat
menari-nari dengan gagah dan lincahnya. Yang kemasukan jin itu kemudian
disembuhkan oleh dukun Belian. Setelah sembuh tidak luka sedikitpun walau tadi
dia memegang dan menarik rotan yang berduri halus dan sangat tajam
Belian pengobatan
atau Belian Kuwaro tidak jauh berbeda dengan Belian Kinyambat seperti yang
telah diceriterakan diatas, yang berbeda adalah ketika Bemamang awal untuk
menyampaikan niat melaksanakan Belian menceriterakan tentang hal ikhwal penyakit
yang diderita oleh si pulan dari awal mulai sakit sampai sekarang saat. Setelah
selesai bemamang dilanjutkan dengan pengobatan. Penyakityang ringan cukup
dieluskan kencur atau kunyit yang telah disiapkan pada tempat yang terasa
sakit, apabila sakitnya berat menggunakan ayam atau babi. Kalau sakitnya karena
keturunan, maka keluarga wajib melakukan ritual khusus yaitu ritual keturunan
seperti memberi makan buaya atau member makan jin dipohon besar dengan media
telur, beras kuning dan lain-lain sesuai dengan adat.
Pada acara pesta panen besar yang dikenal dengan
nama Tarintingan ini dilaksanakan selama satu bulan, puluhan kampung dan
puluhan rombongan yang datang ke Tulung Jantui. Rumah penduduk Jantui yang ada
disekitar rumah adat atau Sanggarahan dijadikan tempat penampungan rombongan
tamu, satu rumah dengan satu rombongan. Satu rombongan dari satu kampung ada
yang datang hanya sepuluh orang, tetapi tidak sedikit yang datang lebih lima
puluh orang dalam satu rombongan satu kampung. Satu rumah tidak muat, sebagian
ditampung dirumah khusus penampungan tamu yang dibuat orang Jantui sebelum upacara
pesta panen dilaksanakan. Pesta Tarintingan kali ini, Tulung Jantui dihadiri
para tetapu tidak kurang dari seribu orang. Kampung Tulung Jantui menjadi
sebuah kota yang sangat ramai dalam waktu lima belas hari. Tulung Jantui memang
hebat dan sangat makmur yang didukung daerahnya sangat subur. Padi yang ditanam
dengan hasil panennya melimpah ruah. Semua lumbung padi disepanjang kampung
penuh dengan padi yang sudah kering dan sudah dibersihkan. Untuk makan tamu
satu minggu belum menghabiskan satu lumbung padi yang ada disepanjang kampung.
Begitu pula dengan buah-buahan, terlihat dimana-mana disepanjang kampung,
dihutan sekitar kampung semua sudah ranum dan masak siap untuk dimakan. Orang
Tulung Jantui tidak mampu menghabiskan buah-buahan yang ada dan banyak tersebut,
dengan diadakannya pesta semacam ini buah-buahan bisa dimakan dengan
beramai-ramai. Pada masa itu padi dan buah-buahan tidak ada yang dijual, karena
tidak ada yang membeli. Kalau tidak dimakan buah yang sudah masak itu jatuh bergelimpangan dibawah pohonnya sebagian
dimakan oleh beruang, babi, rusa, kijang, monyet, orang utan, tupai, musang,
burung, kalong, kelelawar dan lain-lain. Yang lainnya hanya busuk begitu saja.
Yang dimakan oleh binatang dibawa pergi jauh, saat buang kotoran sebagian bijinya
masih utuh ditinggalkan ditanah yang lembab. Biji-biji buah-buahan tersebut
tumbuh lagi, lima tahun kemudian berbuah juga seperti yang ada dikampung Jantui.
Penyebaran buah-buahan banyak yang dilakukan oleh binatang melalui kotoran
binatang.
E. PAK
ANA BERBURU MENDAPAT MONYET BERANGAT
Pesta panen Tarintingan sudah berjalan lima belas
hari. Siang dan malam Tulung Jantui selalu ramai, ditanah lapang yang disiapkan
untuk adu ketangkasan seperti begasing dan belogo meriah dengan sorak sorai dan
tepuk tangan. Dimalam hari demikian pula, panggung pertunjukan masing-masing
kampung dengan berbagai tarian yang dibawakan juga meriah, penuh canda tawa
ria, sorak sorai dan tepuk tangan. Sekian hari pula keluarga pak Ana
menyaksikan keramaian dikampungnya sampai kehabisan ikan, keluarga pak Ana
kehabisan lauk pauk untuk makan beberapa hari kedepan. Pagi sekali pak Ana
sudah meminta ijin kepada istrinya berangkat kehutan berburu binatang. Niat pak
Ana dalam hatinya binatang apa saja yang didapat tidak masalah yang penting
cepat pulang, dibersihkan dan dimasak istri tercintanya, malam masih sempat
menyaksikan pertunjukan beberapa kampung yang datang kekampungnya. Padahal
musim buah, buah elai, buah durian, buah rambai, buah langsat, buah lahung,
buah kerantungan, buah tarap, buah keledang yang sudah kelewat masak jatuh
berserakan dibawah pohonnya. Seharusnya binatang banyak yang asyik memakan
buah-buahan tersebut, tapi ketika pak Ana berburu saat ini tidak ada satu
binatangpun yang berkeliaran memakan buah-buahan baik yang ada diatas pohonnya
maupun yang berhamburan dibawahnya. Binatang-binatang itu seolah sudah tahu
kalau pak Ana datang untuk menangkapnya, mereka sudah pergi dan bersembunyi
disemak belukar semuanya. Satu jam sudah berjalan ditengah hutan tidak menemukan
binatang buruan, dua jam berjalan memutar dan berbelok-belok tidak ditemukan
juga binatang buruan, entah sudah berapa jam sudah pak Ana berjalan dengan
menenteng sumpit dan anak sumpitnya, dengan madau terselip dipinggangnya,
gagang sumpit selain untuk menyumpit buruan juga bisa untuk menumbak buruan
karena ada mata tumbaknya, tetapi masih sia-sia belum digunakan. Tiba-tiba
diatas pohon rambai ada seekor monyet yang dikenal oleh orang Dayak Ahi monyet Berangat. Melihat berangat yang lagi
asyik makan buah rambai, pak Ana menyiapkan sumpitnya yang bermata paling tajam
dan beracun. Dengan cekatan pak Ana langsung meniup sumpitnya.....dan tepat
mengenai belakang monyet berangat. Berangat seolah tidak merasakan apa-apa,
tetapi beberapa waktu kemudian makan ditangannya jatuh satu persatu, makanan
yang didalam mulutnya juga jatuh satu persatu, berangat itu terkulai lemah dan
jatuh. Racun pada mata sumpit yang mengenai monyet berangat berpungsi dengan
baik dan dalam waktu cepat sudah menjalan keseluruh tubuh monyet. Monyet jatuh
ketanah langsung diambil oleh pak Ana. Dengan gembira pak Ana membawa pulang
hasil buruannya langsung menuju kerumah. Rumah pak Ana hanya berjarak sekitar
lima ratus atau tujuh ratus meter saja dari rumah adat.
Walaupun tidak ada acara khusus rumah adat tetap
ramai tempat berkumpulnya tokoh-tokoh adat yang mengikuti acara pesta
Tarintingan di kampung Jantui. Saat ini ada acara basusuran yaitu tokoh-tokoh adat berceritera tentang nenek moyang
mereka jaman dulu, satu sama lain saling sambung menyambung bergantian. Ibu-ibu,
bapak-bapak, remaja putra dan putri yang belum pernah mendengar basusuran berdesakan mendengar ceritera basusuran nenek
moyang mereka tempo dulu. Para pendengar asyik mendengarkan kisah yang sambung
menyambung diceriterakan tokoh-tokoh adat masing-masing kampung. Ceritera
mereka dibumbui dengan lelucon, senda gurau, dengan gerakan tangan, kaki,
berdiri dan berjongkok, bahkan dibumbui dengan lantunan lagu seperti nyanyian
belian dengan syair-syair bahasa yang sudah sangat kuno. Sulit meninggalkan tempat duduknya masing-masing kalau
ceriteranya belum selesai....ya seperti terhipnotis begitu oleh kisah
tokoh-tokoh adat yang piawai.
Sesampainya pak Ana dirumah istrinya tidak ada,
makanan tidak ada, nasi ataupun sayur tidak ada, maka dipanggilnya keponakan
untuk memanggil istrinya. Istri pak Ana dipanggil tidak mau pulang, dipanggil
kedua kali tidak mau pulang, dipanggil ketiga kali juga tidak mau pulang. Istri
pak Ana ada dirumah adat di Sanggarahan. Tidak ada pesan dan tidak ada alasan
yang disampaikan melalui keponakannya. Istri pak Ana tetap tidak pulang asyik
sekali didalam rumah adat. Saat yang bersamaan melintas ular yang sangat
berbisa ular berwarna kuning yang dikenal dalam bahasa Ahi ular Kunyit
dihadapan pak Ana, dengan sigap pak Ana memukul ular kunyi itu sampai mati,
lalu dililitkannya dipinggang monyet berangat yang sudah terkulai mati. Antara
marah, dongkol, lapar, kesal dengan istrinya yang tidak mau pulang, tetapi
hatinya yang mendidih itu tidak diperlihatkan dengan keponakannya yang masih
kecil. Dengan pikiran yang macam-macam, melayang-layang jauh sampai kelangit
antara sadar dan tidak sadar monyet yang sudah mati dililit ular kunyit
pinggangnya yang juga sudah mati ditariraikannya. Seolah monyet berangat itulah
yang menari-nari, pak Ana menari menarikan monyet berangat sampai
terguncang-guncang, ikat pinggang ular kunyit dipinggang monyet juga
bergoyang-goyang, terguncang-guncang mengikuti gerakan monyet. Pak Ana
menarikan monyet tersebut sampai berputar-putar.....tiba-tiba terdengar ledakan
yang sangat dahsyat dari dalam perut bumi, bumi meledak, bumi
berguncang-guncang, bumi bergetar-getar. Air keluar dari mana-mana, kelaur dari
pohon kayu, keluar dari tiang rumah, keluar sampai diatap rumah. Semua orang
histeris, semua orang berteriak ketakutan. Ada yang berlari tidak menentu arah,
berpegangan di pohon kayu, berpegangan dimana saja agar tidak rubuh oleh guncangan
bumi yang meledak beberapa kali. Pak Ana sadar dan menghentikan tariannya
bersama monyet ditangan, ia kaget dengan kejadian aneh tersebut, pak Ana sempat
terpental dan terguling dan berdiri lagi. Tiba-tiba rumah adat Sanggarahan
dilihatnya dari kejauhan bergerak turun bersama tanah disekitarnya, bersama
pohon-pohon disekitarnya, lingsap, belebui, lungsur, masuk kebumi. Setelah
runtuh masuk kedalam bumi tempat itu langsung digantikan air yang sangat deras
keluar dari perut bumi. Rumah adat bersama ratusan orang didalamnya hilang
tenggelam ditelan bumi dan kemudian ditutup oleh air hingga rata. Air terus
menyembur dimana-mana lingsap semakin luas, runtuh masuk kebumi semakin luas,
satu persatu rumah kampung hilang dan tenggelam, rumah yang dibuat untuk menampung
para tamu juga tenggelam. Suara teriakan orang meminta tolong terdengar
dimana-mana, teriakan anak-anak meminta tolong ibunya, tangisan anak-anak
terdengar sangat nyaring, orang semua menjadi histeris, kemudian tenggelam
hilang ditelan bumi. Orang-orang tua, ibu-ibu, remaja putra dan remaja putri lari
berhamburan kesana kemari tidak tentu arah dan tujuan ingin menyelamatkan diri,
kemudian jatuh masuk kedalam lobang yang mengngangnga lebar dan sangat besar
itu bersama semua yang ada diatasnya. Suara gemuruh bercampur dengan suara
teriakan histeris terus terdengar semakin kencang, bumi diseluruh Jantui
bergetar, runtuh, talungsur, lingsap, lebui semakin luas, sudah seluas mata
memandang, Sudah ratusan meter tanah
tenggelam dengan membawa material dan semua yang ada diatasnya, ayam,
anjing, kucing, pohon-pohon, manusia, rumah adat, rumah orang Dayah Ahi, batu,
tanah, semua ikut masuk kedalam bumi dan tenggelam, lingsap. Wah wah.... kejadian ini sangat mustahil, kejadian yang
belum pernah terjadi sebelumnya, kejadian yang luar biasa, orang Dayak Ahi
sudah mendiami Jantui dan sekitarnya selama ratusan tahun belum pernah
merasakan, belum pernah tahu, belum pernah mendengar kejadian yang luar biasa
semacam ini sebelumnya, kutukan apa yang menimpa orang Dayak Ahi tiba-tiba
terjadi tanah tenggelam masuk kedalam bumi langsung ditutup air serata tanah
dan dataran yang ada.
F. DIKEJAR
AIR
Air mengejar mengarah kerumah pak Ana, dengan
sigapnya pak Ana langsung mengambil beliung, tugal dan tanaman rumput induk
padi langsung lari meninggalkan rumahnya. Beliung adalah sejenis kapak
tradisional orang Dayak, tugal adalah kayu sepanjang dua meter dengan ujungnya
yang ditajamkan sebagai alat untuk menusuk bumi sedalam tiga sampai lima senti
meter lalu lubangnya dimasukkan benih padi, sedangkan rumput induk padi adalah
rumput seperti padi yang biasa ditanam orang Dayak sebelum menugal atau menanam
padi sebagai raja atau induk padi, pindah kemana saja induk padi juga dibawa
serta pindah dan ditanam.
Dengan membawa beliung, tugal, induk padi dan menggendong
keponakan, pak Ana lari meninggalkan rumahnya untuk menghindari air yang
mendekati rumahnya, rumah yang dibangunnya dengan jerit payah, rumah yang
disayanginya kemudian lingsap longsor seketika masuk kedalam bumi seperti rumah
adat dan rumah semua milik orang kampung Jantui. Kemanapun larinya pak Ana air
yang keluar dari dalam bumi mengejarnya, bersamaan dengan itu tanah yang
dilintasi juga runtuh masuk kedalam bumi menjadi sungai disepanjang jalur yang
dilalui pak Ana. Lebih satu kilo meter pak Ana lari, air terus mengejarnya dari
belakang. Akhirnya pak Ana tidak sanggup lagi lari, badannya sudah kecapean
yang luar biasa, lelah yang tidak tertahankan. Ia sadar dirinya juga akan mati
dan tenggelam bersama air yang mengejarnya, lingsap kedalam bumi. Bersama orang
sekampungnya, bersama pengunjung yang datang merayakan pesta panen
dikampungnya, bersama istrinya yang tidak mau pulang walaupun sudah
dipanggilnya, dan masuk kedalam bumi.
Mata beliung ia hantamkan ketanah yang keras bagaikan batu padas, beliung
menancap ke bumi, tugal ia hantamkan
kepermukaan tanah menancap juga kebumi. Yang terjadi adalah suatu keajaiban
bagi pak Ana, air yang bagaikan bah yang mengejarnya berhenti seketika tidak mengejarnya lagi. Seolah
air tersebut menunggu perintah majikannya yaitu pak Ana. Karena girangnya pak
Ana melihat kejadian itu, ia langsung menari-nari ditempat itu, berputar-putar,
meliuk-liuk, berteriak melengking keras sekali, dengan menghentak-hentakkan
kaki kebumi. Tarian yang ditarikan pak Ana adalah tarian kolaborasi dari tarian
Lembu Tutung, tari sa’latan, tari tradisional Dayak Ahi dan tarian Belian yang
berputar-putar dengan lincah. Ia menari cukup lama dilakukannya sendirian,
keponakan hanya diam menyaksikan pamannya yang mabuk dan kerasukan jin tersebut.
Sekitar tempat ia menari berputar-putar tersebut menjadi kolam yang airnya
tidak dalam, dalamnya hanya selutut. Sekeliling kolam tertata rapi. Melhat kejadian
itu pak Ana sangat gembira lalu ia naik keatas batu dan disana ia terus
menari-nari dan berputar-putar. Batu yang pipih lebar yang menjadi pijakan itu
juga seolah menari mengikuti gerakan pak Ana. Tempat ia menari terakhir batunya
menjadi rata, rapi, licin seperti diketam berlapis-lapis. Setelah puas menari
pak Ana kelelahan yang luar biasa, ia duduk dan istirahat bersandar pada pohon
kayu yang sangat besar dan dilihatnya disekitar itu menjadi kolam yang sangat
indah, airnya bening tempatnya menari-nari itu kemudian hari diberi nama Batu
Langkup. Kampung Jantui sudah menjadi danau yang sangat luas, seluas lapangan
bola. Tempat pak Ana berlari dan dikejar air menjadi sungai yang lebar dan
dalam sampai ketempat ia menari terakhir di Batu langkup.
G.
LARANGAN
Banyak pantangan ketika berada dalam hutan
belantara Kalimantan, khususnya hutan ditanah Berau : yang pertama, saat berada dalam hutan, sudah selesai membuat pondok
untuk beristirahat tidak boleh membakar sesuatu yang berbau sangat menyengat,
seperti membakar ikan kering peda dan membakar terasi. Apabila dilakukan dalam
waktu tidak lama akan datang imbut
atau angin kencang lokal, hanya terjadi ditempat itu saja. Angin kencang itu
menerbangkan atap pondok, terpal, tikar, kain, sarung dan lain-lain. Makhluk
gaib ditempat itu marah karena terganggu oleh bau yang sangat menyengat
tersebut, para jin dan makhluk gaib ditempat itu mengusir manusia yang membuat
pondok untuk istirahat dan harus segera pindah dari tempat itu. Solusinya
dengan melakukan ritual kecil berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa pemilik alam
semesta dilanjutkan dengan menyampaikan permohonan maaf kepada segenaf makhluk
gaib, jin, setan, hantu yang ada ditempat itu atas kealpaan dan ketidaktahuan dengan
tidak melakukan hal tersebut lagi. Sebab diseluruh jagad raya alam semesta ini
ada pemiliknya dan ada penghuninya termasuk makhluk gaib yang tidak dapat
dilihat oleh mata manusia; yang kedua,
tertawa atau bergurau yang berlebihan selama berada didalam hutan. Apabila
terjadi biasanya pada malam hari tempat tidur atau pondok tempat tinggal sementara
digoyang dan diguncang dengan keras oleh sesuatu yang tidak jelas asal
muasalnya, tetapi yang menggoyang dan mengguncang pondok tidak diketahui, atau
tidak kelihatan. Artinya makhluk gaib, jin, atau hantu yang tinggal disekitar
tersebut merasa bising, dan terganggu oleh oleh ulah manusia yang datang
kedaerah itu. Malam itu juga manusia yang berada ditempat itu segera pindah dan
meninggalkan tempat tersebut, kalau tidak semalam suntuk tidak bisa istirahat
karena diganggu sepanjang malam; ketiga,
berada didalam hutan sombong, atau berkata-kata meremehkan orang halus,
meremehkan makhluk gaib yang berada didalam hutan. Pada waktu tidur manusia yang
sombong itu dipindahkan makhluk gaib ketempat lain yang cukup jauh dari tempat
semula, orang yang dipindahkan tetap tidur nyenyak, sedangkan manusia yang ada
ditempat itu tidak mengetahui kejadian tersebut, pindah secara gaib. Solusinya
hanya dicari pada besok hari setelah siang datang dengan cara dicari dengan
sekuat tenaga sekaligus dengan memanggil-manggil nama yang bersangkutan. Ketika
yang bersangkutan sadar dari tidurnya baru bisa ditemukan. Kejadian ini sangat
menakutkan dan mengerikan, apabila dicari dan dipanggi tidak ditemukan, ada
kemungkinan ia hilang menjadi gaib; keempat,
melakukan hal-hal diluar kebiasaan orang, melanggar sumpah, melanggar adat,
atau menari-narikan binatang dengan niat tertentu seperti yang dilakukan oleh
pak Ana dengan menari-narikan monyet dengan tali pinggang ular yang keduanya sudah
mati, sangat tabu dan sangat dilarang
apalagi ditambah dengan niat jahat dan marah kepada istrinya yang tidak mau
pulang, maka terjadi.....pasti terjadi.......datang gempa, bumi bergoyang, tanah
lingsap, tanah lebui, tanah longsor, tanah tenggelam masuk kedalam bumi, air
keluar dari dalam bumi dengan sangat deras. Akibatnya ya seperti yang terjadi
pada perkampungan suku Dayak Ahi di Kampung Tulung Jantui, hilang ditelan bumi
atas amarahnya Pak Ana kepada Istrinya. Satu yang berbuat akibatnya harus
ditelan pahit dan dirasakan oleh seluruh orang kampung Jantui........................................
Kampung Jantui tinggal ceritera, Batu Langkup menjadi Legenda.
H.
ATURAN
DALAM ACARA PESTA PANEN
Aturan dalam acara pesta antara lain :
1.
Semua
orang dan kampung yang diundang wajib datang. Apabila tidak datang dianggap
orang yang tidak punya adat;
2.
Orang
kampung yang punya hajat mengadakan pesta adat berkewajiban mengikuti semua
kegiatan dikampungnya termasuk melakukan gotong royong dalam semua pekerjaan
sebelum sampai selesai acara;
3.
Acara
sudah dibuka semua ikut bersenang-senang, bersuka ria, menari bersama. Tuan
rumah sebagai pelaksana merasa puas dan sangat dihormati apabila semua tamu
mengikuti acara bersama, menari bersama, makan bersama, minum bersama. Selama acara masih dilaksanakan, orang kampung, para
tamu boleh keluar dan masuk kampung. Artinya bebas mau keluar dan masuk kampung
untuk menyaksikan acara yang berlangsung;
4.
Waktu
acara sudah ditutup, pesta panen ditutup, berdasarkan adat suku Dayak Ahi
Tembudan tidak ada satu orangpun yang boleh masuk dan keluar kampung. Artinya dilarang
keras ada yang meninggalkan kampung, tidak boleh menggosok tanah, tidak boleh
memotong rotan, tidak boleh menebang pohon, tidak boleh membunuh binatang.
Apabila melanggar aturan tersebut dianggap manusia yang tidak punya adat. Dulu
bisa sampai dihukum denda membayar gong atau guci kuno, bahkan ada selain denda
juga sampai diusir dari kampung. Hukuman ini sangat berat dan sangat
dipermalukan dihadapan orang banyak. Biasanya orang yang sudah diusir tidak
akan kembali kekampung asalnya, kecuali sudah mendapat ijin dari kepala Adat
setempat.
Orang
kampung boleh keluar dan masuk kampung lagi, boleh memotong rotan, boleh
membunuh binatang lagi setelah acara yang tadi ditutup dibuka kembali secara
adat.
JAS MERAH ( JAngan Sampai MEninggalkan Sejarah)
BalasHapusBatu Langkup, Kampung Jantui, Bukti Sejarah,
Tetaplah menulis pak sapridin...!!!
Mohon maaf baru buka komentar.
HapusYYa Pa, Siap.
Legenda Batu Langkup sudah saya bukukan.
Info kisah ini dari Kepala Adat Pa Banyak