Minggu, 31 Desember 2017

PRASASTI KERATON SAMBALIUNG



PRASASTI KERATON SAMBALIUNG
Oleh : Saprudin Ithur


Kerajaan Berau berdiri pada tahun 1400 berkedudukan di Rantau Pattung sungai Lati, salah satu anak sungai Kuran atau sungai Berau. Pilihan kedudukan kerajaan pertama Berau didaerah tersebut adalah mempertimbangkan keamanan dan tanahnya yang sangat subur. Wilayahnya datar yang basah, dan masuk air pasang surut, tanah datar dan basah itu sangat luas dan menghampar seluas mata memandang, tempat itu dijadikan persawahan yang subur oleh rakyat untuk mendukung kejayaan kerajaan Berau.

Raja pertama sangat dikenal dengan nama Baddit Di Pattung yang bergelar Adji Surya Natakasuma dengan didampingi permaisurinya Baddit Di Kurindan yang bergelar Adji Parmaisuri. Dalam legenda Berau Adji Surya Natakesuma berasal dari Bayi yang ditemukan dari pecahnya bambu besar yang dikenal dengan nama  bulu Pattung atau bambu Petung dikebun Inni Baritu, setelah ditemukan dan dipelihara bayi itu diberi nama Baddit Di Pattung, artinya bayi yang ditemukan dari pecahnya bambu petung. Sedangkan dirumah, istri Inni Baritu menemukan bayi didalam kurindan. Bayi perempuan itu diberi nama Baddit Di Kurindan. Kurindan adalah sebutan keranjang dalam bahasa Berau, keranjang yang terbuat dari anyaman rotan, Baddit Dikurindan artinya bayi yang pecah atau keluar secara gaib dari keranjang milik Inn Kabayan, istri Inni Baritu. Kedua bayi keturunan dewa itu kemudian hari setelah dewasa diangkat menjadi raja dan permaisuri pertama di kerajaan Berau.


     


Dalam perjalanan yang sangat panjang kurang lebih empat ratus tahun, kerajaan Berau terus berbenah dan memperbaiki tata pemerintahannya dengan menumbuh kembangkan dan melakukan perluasan pertanian.  Untuk memperluas wilayah pertanian dan terus mencari daerah yang subur, pusat kerajaan Berau dipindahkan ke Muara Sungai Bangun yang tidak seberapa jauh dari pusat kerajaan pertama di sungai Lati. Tahun 1800 pada masa pemerintahan Sultan Zainil Abidin, agama islam sudah menjadi agama resmi kerajaan.



Pada tahun 1810 kerajaan Berau pecah menjadi dua, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabbur. Kerajaan Sambaliung bersahabat dengan kesultanan Suluk dan kerajaan Bugis. Dari jalinan persahabatan itu terjadi saling kawin mawin, saling hormat-menghormati, dan saling berkunjung anatar satu kerajaan ke kerajaan lainnya.
Pada masa penjajahan Belanda, Raja Alam sebagai raja pertama Kesultanan Sambaliung yang berkedudukan di sungai Gayam melawan Belanda, mengusir pasukan Belanda yang masuk dan ingin mengembangkan sayapnya di tanah Barrau. Raja Alam sangat marah dengan kedatangan Belanda, apalagi ingin campur tangan diwilayah pemerintahannya.



Waktu perang melawan Belanda, pasukan Raja Alam didukung penuh oleh pasukan laut Suluk dan pasukan laut dari Bugis. Setelah beberapa tahun berperang mengusir Belanda dari tanah Barrau, berperang dilaut Tanjung Mangkalihat, di laut Dumaring, di laut Batu Putih pasukan Raja Alam terdesak dan mundur sampai masuk kepedalaman sungai Kelay. Keratonnya yang berada di sungai Gayam telah ditinggalkan.
Karena rakyatnya sering ditangkap dan disiksa oleh Belanda, Raja Alam harus bertanggung jawab, ia tidak tega melihat rakyatnya sering disiksa oleh pasukan Belanda. Akhirnya Raja Alam bersedia keluar dan berunding, namun apa yang terjadi, namun bukan hasil perundingan yang didapatnya, tetapi Raja Alam ditipu atas nama perundingan, dan di tangkap Belanda. Setelah ditangkap Raja alam kemudian dibuang ke Makassar. Pusat kerajaan di Tanjung di Sungai Gayam dibakar habis oleh pasukan Belanda.



UNTUK MENGHINDARI LAPUK DIMAKAN USIA

TUGU PRASASTI YANG ASLI DIAMANKAN DISAMPING KERATON

DENGAN DIBERI ATAP AGAR TERHINDAR DARI HUJAN DAN PANAS



Pada tahun 1902 keraton dibangun kembali oleh keluarga Raja Alam Sultan Muhammad Aminuddin, namun tidak di sungai Gayam lagi, melainkan diseberangnya  ditepi sungai Berau yaitu di Sambaliung, bangunan megah itu dinamakan dengan Keraton Sambaliung. Pada tahun 1937 Keraton Sambaliung dibangun bagian depannya agar lebih mewah dan megah oleh Belanda. Pembangunan dikerjakan oleh seorang tukang kayu yang sangat ahli berkebangsaan Tiongkok Cina. Ruang baru bagian depan tersebut dijadikan sebagai ruang administrasi dan ruang bendahara yang diawasi oleh Belanda.  
Dari persahabatannya dengan kerajaan Bugis dan kentalnya Islam dikeraton, maka untuk menghormati dan menghargai persahabatan, dihalaman keraton Sambaliung didirikan dua tonggak ulin yang dikenal dengan “Tugu Prasasti” berukuran 25 x 25 cm dengan tinggi empat meter. Disana bertuliskan prasasti atau peraturan Sultan dengan tulisan Arab gundul bahasa Melayu dan tulisan Lontar Bugis.

TERJEMAHAN 2 TUGU PRASASTI KERATON SAMBALIUNG

TUGU I
( PRASASTI BERHURUP ARAB DENGAN BAHASA MELAYU )

JIKA SULTAN ADA
DUDUK DIMUKA RUMAH ATAU
DIMUKA LAWANG SAKAPING
MAKA SIAPA SIAPA MAU MALIWATI
MAKA ITU URANG DUDUK DULU
TIDAK BULIH MALIWATI

TUGU II
( PRASASTI BERHURUP LONTAR BUGIS )

  1. APABILA SULTAN BERADA DIDEPAN ISTANANYA ATAU DIDEPAN PINTU GAPURA, MAKA BARANG SIAPA YANG LEWAT HARUS DUDUK DAHULU, KEMUDIAN MENERUSKAN LANGKAHNYA. TIDAK BOLEH BERJALAN SEBELUM MEMPERLIHATKAN DIRI KETIKA SULTAN SEDANG BERADA DILUAR. DEMIKIANLAH MENURUT ATURAN ADAT.
  2. TIDAK BOLEH BERSELISIH DIDALAM WILAYAH ISTANA, MESKIPUN ADA PERKARA YANG DIPERTENTANGKAN.
  3. TIDAK DIPERKENANKAN TERTAWA-KETAWA SAAT MEMANDANG KE ISTANA. DILARANG PULA ORANG DUDUK DIJALANAN DEPAN ISTANA, TETAPI DISAMPING ISTANA DIPERBOLEHKAN DUDUK
  4. TIDAK BOLEH MELIHAT-LIHAT KE ISTANA SULTAN, APABILA TIDAK ADA HAL YANG SEBAIKNYA DILIHAT.
  5. JANGAN MENUTUP ATAU MEMOTONG ARAH JALAN PEREMPUAN DITENGAH JALAN, MESKIPUN DIPANDANGANMU ADALAH SEORANG BUDAK.KALIAN PARA LELAKI MENEPILAH SEDIKIT, JIKA PERLU TURUNLAH DARI JALANAN APABILA ADA PEREMPUAN BERSAMA DENGAN IBUNYA YANG KAMU LIHAT, TURUNLAH DARI RUMAH.
  6. (MENUJU HALAMAN) MAKA LAKI-LAKI BERHENTI DAHULU DAN JANGAN LANGSUNG MEMOTONG ARAH JALANNYA.
  7. BAGI SIAPA SIAPA YANG TIDAK MELAKSANAKAN ATAU MENGABAIKAN, MAKA IA MENINGGALKAN PERATURAN YANG DITETAPKAN OLEH PETTA SULTAN LA MAPPATA(NG) KA SAMBALIUNG.

Untuk menghilangkan kepenatan, ketegangan selama berhari-hari bekerja, atau pusing, bingun mencari tujuan rekreasi sekaligus menghilangkan stress, sebaiknya pilihannya adalah berkunjung dan menyaksikan langsung tugu/tonggak yang bertuliskan prasasti dengan menggunakan tulisan Arab dan tulisan Lontar Bugis, datang saja langsung ke keraton Sambaliung Kabupaten Berau.
Menuju Kabupaten Berau sekarang sudah sangat mudah, dari Samarinda bisa naik pesawat dari bandara  Temindung langsung turun dibandara Kalimarau Berau, atau jalan darat dari Samarinda menuju Berau. Sedangkan dari Balikpapan, langsung saja naik pesawat dari bandara Sepinggan, bisa naik  pesawat Sriwijaya, Batavia, Trigana, atau Kalstar langsung menuju bandara Kalimarau Berau. Dari Tarakan juga bisa naik pesawat atau dari Tarakan menyeberang ke Tanjung Selor, dari sana langsung jalan darat menuju Tanjung Redeb Berau.
Dari Bandara Kalimarau Berau menuju Keraton Sambaliung dekat sekali, hanya berjarak 10 kilometer anda sudah  bisa menyaksikan langsung prasasti bertuliskan arab dan lontar. Kabupaten Berau juga tempat yang kaya dengan ikan dan surga mancing bagi pemancing mania seluruh dunia, yang ada dikawasan kepulauau Derawan dan sekitarnya.