Rabu, 24 Agustus 2016

BADDIL KUNING



SAPRUDIN ITHUR
BADDIL
KUNING

BADDIL KUNING DI KESULTANAN GUNUNG TABBUR SANGAT DIHORMATI, DIKERAMATKAN, DAN DIJADIKAN PUSAKA KERAJAAN. KEBERADAANNYA SAMPAI SAAT INI MASIH TERPELIHARA DENGAN BAIK DIRUMAH PUTRI. BADDIL KUNING DIJADIKAN SALAH SATU GAMBAR LAMBANG KERAJAAN KESULTANAN GUNUNG TABBUR


Luas wilayah kerajaan Berau tidak terhingga didaratan Borneo. Dari Tanjung Mangkalihat berbatasan dengan Kerajaan Kutai sampai ke Kina Batangan berbatasan dengan Kerajaan Berunai, dilaut berbatasan dengan Selat Makassar dan kerajaan Suluk di Filipina. Lautannya sangat luas, apalagi daratannya lebih luas lagi. Bangsa Dayak yang ada di pedalaman sungai Segah dan pedalaman sungai Kelay sangat setia kepada kerajaan Berau. Orang-orang Dayak tidak rela wilayahnya di ganggu dan dirambah oleh bangsa-bangsa lain yang datang dari hutan belantara Borneo. Mereka berani dan rela menumpahkan darah yang terakhir untuk mempertahankan wilayah kerajaan Berau. Begitu pula bangsa Dayak yang ada di dalam sungai Bulungan dan didalam sungai Melinau, mereka rela berkorban untuk mempertahankan wilayah kerajaan sampai nafas penghabisan. Kerajaan Berau sangat dikenal oleh negeri-negeri tetangga sebagai wilayah yang kaya dengan hasil hutan ikutan, rakyatnya makmur. Rumah-rumah mereka berdiri ditepi-tepi sungai disepanjang sungai Berau, sungai Segah, sungai Kelay, sungai Bulungan, sungai Melinau dan sungai-sungai lainnya diwilayah kerajaan Berau. Untuk menjaga keamanan dan mengambil hasil keuntungan jual beli di setiap perkampungan, kerajaan mengirim para utusan kesana. Disana para utusan itu langsung menyatu dengan masyarakat setempat. Yang masih jejaka langsung diberikan jodoh ditempat baru tersebut, yang sudah berkeluarga langsung disiapkan rumah oleh kepala adat atau kepala suku ditempat tugasnya. Beberapa bulan sekali pasukan kerajaan mengunjungi wilayahnya untuk menemui para petugas kerajaan yang telah ditempatkan, mengambil hasil pembagian hasil dari rakyatnya yang setia. Tetapi karena luasnya wilayah dan masih sulitnya transportasi, rakyat seumur hidupnya belum tentu bisa bertemu langsung dengan Sultannya. Tetapi cerita-cerita tentang kehebahatan, kepiawaiannya sang pemimpin para sultan dipusat kerajaan sering didengar rakyat melalui utusan kerajaan yang datang ke kampung-kampung seluruh wilayah kerajaan. 
Pada masa pemerintahan Sultan yang ke empat belas dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin tahun 1779 sampai dengan tahun 1800 masehi, kerajaan Berau yang dikenal pada masa itu dengan nama kerajaan Berayu sudah sangat maju. Pertanian dan perkebunan digalakkan. Hasil pertanian melimpah, hasil perkebunan juga melimpah. Daerah pertanian pasang surut yang sangat subur ada di dataran Marancang, dataran Kuran, dan dataran Bangun. Di tempat itu digalakkan pertanian, hasil pertanian melimpah ruah. Diperbukitan Paribau dan sekitarnya sangat subur ditanami buah-buahan. Buah durian, buah elai, buah tiwadak (cempedak), buah nangka, buah malaka (nenas), buah gaddang (pepaya) melimpah. Ubi dan keladi juga tumbuh subur dengan menghasilkan umbinya yang besar-besar. Hutan Berayu masih sangat lebat, hasil ikutan kehutanan sangat banyak dan beragam. Hasil hutan ikutan ada rotan, ada damar, ada getah kalapiai, dan ada lilin madu. Hasil pertanian dan perkebunan sebagian dijual ke negara tetangga yang membutuhkan seperti kesultanan Suluk, kesultanan Berunai. Pada musim kemarau di Salebes, hasil pertanian dan perkebunan kerajaan Berayu dikirim sampai ke negeri Bugis. Hasil hutan seperti damar, lilin madu, getah kalapiai menjadi barang dagangan yang sangat popular pada masa kesultanan Berayu.
Sultan Zainal Abidin suka berburu, pada waktu senggang sultan berangkat berburu bersama kerabat dan orang-orang yang sama menyukai berburu dihutan. Berangkatlah rombongan menuju hutan belantara dibelakang Marancang. Sultan dengan gagahnya mengendari kuda, sedangkan para pendamping dan hulubalang berjalan kaki didepan disamping dan dibelakang Sultan. Sultan yang senang berdiskusi, kesempatan semacam ini dijadikannya ajang diskusi santai dan rilek. Dari percakapan panjang itu Sultan Zainal Abidin banyak mendapat informasi. Terus terang saja informasi yang ia dapatkan sekarang ini tidak pernah ia dapatkan pada saat Sultan menjalankan roda pemerintahan. Pada umumnya pejabat kesultanan sampai rakyat biasa tidak berani menyampaikan sesuatu yang terlalu spesipik dan mendasar, dapat dikatakan tabu kalau menyampaikan sesuatu yang dianggap tidak patut, tidak sopan, tidak pantas, tidak memiliki tatakrama dan sebagainya. Tetapi saat perjalanan berburu, sembari menikmati alam nan asri, berbagai cerita muncul dengan sendirinya dan mengalir apa adanya, tanpa aling-aling. Karena dalam perjalanan semacam ini, salah sebut, salah kata tidak melanggar hukum dan kepatutan. Malah sebaliknya hal-hal semacam itu menjadi bahan lelucon dan bahan tertawaan. Sebenarnya kalau boleh dibilang, Sultan mencuri informasi dalam kesempatan semacam ini.
Perjalan masuk hutan lebat itu sudah cukup lama, sudah beberapa jam. Apabila dalam perjalanan ada rumput, kayu atau tali temali menghalangi perjalanan sultan dan rombongan, tugas para pendamping untuk membersihkan semak belukar itu. Ditengah hutan belantara yang pohonnya besar-besar, dengan akar-akar yang berjuntai besar dan panjang, dibawahnya bersih. Hanya tebalnya hamparan daun kering yang membuat suara berisik saat rombongan melintas tempat itu, kaki-kaki mereka menginjak daun-daun kering. Daun pohon-pohon besar dan tinggi itu menutup langit. Cahaya matahari sulit menembus tebalnya dedaunan. Apabila didorong angin sinar matahari sesekali tembus sampai ketanah berbentuk bundar, berbentuk segitiga, berbentuk segi empat miring dan tidak beraturan. Sinar matahari itu berlari kesana kemari mengikuti gerakan daun-daun yang didorong angin. Wah atraksi yang sangat menakjubkan dan mengesankan……..
Sesudah sampai pada suatu tempat yang nyaman, aman, diketinggian, dekat dengan sungai, rombongan berhenti. Para pendamping dan hulubalang yang berpengalaman langsung bekerja membuat tenda tempat untuk berlindung dan berteduh apabila datang hujan, untuk tempat peraduan apabila malam telah larut.
Perlu diceritakan tenda yang dimaksud bukan tenda seperti milik pramuka, seperti milik tentara, atau seperti milik anak-anak yang bermain disamping rumahnya dengan mendirikan tenda yang sudah terangkai. Tenda disini harus membuat dari potongan kayu-kayu yang tersedia dihutan, sedangkan atapnya disusun dari daun palm hutan yang lebar sedemikian rupa. Sedangkan untuk dinding juga dari daun-daun yang tersedia dihutan. Jadi tenda itu ya membuat rumah kecil ditengah hutan yang biasa disebut pondok….begitu. untuk membuat pondok sementara tersebut  membutuhkan waktu satu sampai dua jam sudah siap untuk di tempati Sultan, untuk rombongan lainnya membuat disekeliling tenda Sultan.
Ketika para pembantunya sedang bekerja membuat tenda Sultan dengan beberapa orang yang memang ahli berburu sudah bergerak mencari binatang buruan. Sampai sore tidak ada satu binatangpun yang muncul, seperti kijang, kancil, rusa, banteng, landak, rimaung daan dan binatang lainnya tidak ada yang melintas, apalagi yang sengaja muncul dihadapan para pemburu. Malampun tiba, setelah selesai makan malam, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk merebahkan kepala….wah…wah…wah tertidur pulas semua. Ya maklum karena kelelahan berjalan kaki dan menyiapkan tenda, setelah makan ya langsung tidur. Nikmaaaattttt……
Esok harinya perburuan kembali dilaksanakan, dengan demikian segala persiapan sudah dilakukan sejak pagi-pagi sekali. Satu jam sudah lewat, dua jam sudah dilalui, tiga jam sudah dilampaui, tidak ada satu binatangpun yang didapat, jangankan di tangkap atau ditombak yang melintas seperti kilat saja tidak ada yang terlihat. Benar-benar kurang beruntung perburuan kali ini. Biasanya sudah beberapa ekor pelanduk (kancil), beberapa ekor kijang (menjangan), dan payau (rusa) sudah didapat. Bahkan banteng sang binatang yang sangat pemberani dan kuatpun dengan ketangkasan Sultan serta rombongan dengan mudah melumpuhkannya. Lagi-lagi masih kurang beruntung, mungkin setelah makan siang keberuntungan akan tiba.
Kenyataannya tetap saja sama seperti kemarin, pagi tadi dan siang ini. Jangankan menemui binatang buruan, suara payau yang melengking, suara teriakan rimaung daan (macan dahan) pun tidak terdengar. Pada saat yang ditunggu-tunggu, tiba-tiba anjing-anjing yang dibawa rombongan berburu itu menyalak dan menggonggong tidak jauh dari tempat rombongan pemburu. Suara anjing-anjing yang menggonggong itu berkumpul disuatu tempat. “Ach kita kalah cepat dengan anjing-anjing itu” bisik Sultan tanpa memperhatikan kiri kanan. Sultan Zainal Abidin dan rombongan memperkirakan anjing-anjing mereka yang terlatih itu sudah lebih dahulu menangkap buruan, tanpa memberi kesempatan kepada para pemburu yang sudah bernafsu untuk segera mendapatkan binatang buruan. Begitu rombongan tiba ditempat anjing-anjingnya menggonggong semuanya terkejut, yang digonggong kuyuk (anjing) itu adalah benda berwarna Kuning. Sultan langsung memerintahkan beberapa orang untuk memeriksa benda kuning tersebut. Ternyata senjata yang terbuat dari kuningan, meriam kuningan berbadan langsing sepanjang satu meter lebih. “Baddil Kuning Baginda Sultan” lapor mereka setelah memeriksa secara seksama, kemudian mengangkatnya. Sultan memerintahkan Baddil Kuning itu dinaikkan diatas kuda. Selanjutnya langsung memerintahkan kepada semua rombongan pemburu sore ini juga kembali ke keraton.
Belum jauh dari tempat itu anjing-anjing kembali menggonggong dengan keras dan ribut sekali. “Apalagi yang di ributkan anjing-anjing itu” ujar sultan bertanya-tanya. Diperintahkan beberapa orang hulubalang untuk memeriksa kembali tempat tadi, dimana ditemukannya meriam kuningan. Ternyata masih ada, yaitu tempat meletakkan meriam kuningan, berupa sebuah batu tua panjang empat puluh senti meter, bagian ujung batu itu melengkung keatas. Seolah bantal tempat berbaringnya Baddil Kuning. kaki Baddil Kuning yang disebut orang Berau dengan bantalan meriam atau Bantalan Baddil Kuning. Bantalan itu juga dinaikkan diatas kuda yang seharusnya ditunggangi Sultan. Setelah bantalan Baddil Kuning diambil dan dibawa, anjing-anjing itu tidak lagi menggonggong, semua diam dan tenang.
Pada saat bersamaan, saat Baddil Kuning dibawa oleh Sultan menuju Keraton, semua burung tidak ada yang bersuara, kereriang hutan juga tidak ada yang bersuara, monyet yang biasa ribut berebut makanan juga sepi, binatang lain juga sepi, semuanya hening, lengang, kosong tanpa suara. Barangkali ini adalah sebuah pertanda sebagai penghormatan yang paling tinggi bagi seluruh penghuni alam, penghuni hutan, dengan diangkutnya Baddil Kuning bersama bantalannya menuju kediaman Sultan Barrau. 

A. Penyakit Melanda Kerajaan Berau
Kerajaan Barrau yang sudah maju itu, beberapa tahun kemudian dengan tiba-tiba saja dilanda penyakit menular, penyakit yang sangat mematikan. Penyakit tersebut dikenal dengan nama penyakit Sampar-sampar, penyakit itu mirip dengan penyakit kolera. Penyakit melanda sampai dipusat kerajaan di Marancang. Sultan sangat masgul, bingung apa yang harus dilakukan untuk menghentikan penyakit yang menular itu. Di Banua Pantai, Banua Suwakung, dan beberapa Banua dan Rantau lainnya dibagian hilir sungai Barrau sudah lebih dahulu diserang penyakit sampar-sampar tersebut, disana sudah banyak yang menjadi korban. Orang yang kena penyakit sampar-sampar itu menangis kesakitan dan teriak-teriak dikarnakan tubuhnya terasa panas seperti dibakar api. Mendengar jeritan dan tangisan yang sangat memilukan itu, Sultan benar-benar tidak berdaya. Ia kumpulkan semua pejabat kerajaan yang masih sehat tidak kena penyakit sampar-sampar untuk mencari jalan keluar melawan penyakit, tidak ada satu keputusanpun yang dapat diambil. Setiap malam sultan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Memohon ampun, memohon petunjuk untuk menghentikan penyakit yang menimpa rakyatnya tersebut.
Pada malam Jumat, setelah lelap dalam peraduan, Sultan bermimpi. Dalam mimpi itu sultan mendapat petunjuk gaib “Coba Baddil Kuning itu kau mandikan, airnya dibuang di hulu sungai” seperti itu mimpi sultan. Saat itu Sultan terperanjat, kaget dan terbangun. “Ini jelas sebuah petunjuk….ya petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Penguasa Alam Semesta” bisik sultan dalam pikirannya. Kata-kata itu tidak mau hilang dari pikiran Sultan. Dan Sultan yakin ini memang sebuah petunjuk dari penguasa alam yang maha luas.
Siang harinya langsung diadakan upacara permandian. Baddil Kuning dimandikan, digosok-gosok sampai bersih, mengkilat dan kuning cerah, air permandian itu dimasukkan kedalam tempayan. Lalu air permandian itu dibawa menuju kehulu sungai dengan sebuah perahu kerajaan, didampingi dengan beberapa buah perahu lainnya. Sesampainya ditempat tujuan yang telah ditentukan, langsung dipimpin Sultan, semua rombongan berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar penyakit yang menimpa seluruh rakyat Barrau segera sembuh. Air permandian Baddil Kuning itu ditumpah kesungai Barrau yang dikenal juga dengan nama sungai Kuran. Bersamaan dengan air sungai itu bercampur menjadi satu dengan air permandian Baddil Kuning.
Dari hulu sampai hilir semua masyarakat Berau menggunakan air sungai sebagai jalan menggunakan perahu, digunakan untuk mandi, untuk mencuci, untuk air minum, air untuk menanak nasi dan lain-lain. Hanya dalam tempo dua tiga hari saja tersebarlah habar dari semua Banua dan Rantau bahwa penyakit sampar-sampar sudah hilang, semua yang sakit sudah sembuh semua. Begitu mendengar habar dan berita tersebut, betapa bahagia dan suka cita Sultan Zainal Abidin langsung bersyujud dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berterima kasih kepada Tuhan, bahwa penyakit Sampar-sampar yang menimpa rakyat telah sirna, sembuh semuanya.
Sejak saat itu derajat Baddil Kuning naik, yang biasanya hnaya dibiarkan begitu saja tergeletak dibelakang pintu, sekarang tempatnya dipindahkan kedalam kotak yang telah disiapkan dengan baik. Kemudian dibungkus dengan kain kuning. Ditempatkan di Balairung dimana Sultan biasa menerima tamu dan kerabat. Dengan demikian maka Baddil Kuning atau Meriam Kuning itu tidak boleh lagi disembarangkan, tidak boleh lagi diletakkan disembarang tempat, menjadi dihormati.

B. Perampokan Besar-Besaran
Mendayung perahu dari muara sungai Berau, namanya Muara Lungsuran Naga, Muara Pegat, dan Muara Kasai mencapai satu hari atau dua kali air pasang baru sampai ke pusat pemerintahan Kerajaan Berau di Marancang. Perahu yang ditumpangi besar dan sarat membawa muatan tidak mampu didayung ketika air surut. Pada saat air surut perahu diikat dipohon atau dahan-dahan pohon yang menjulur kesungai menunggu air sungai pasang kembali. Begitu air mulai pasang, barulah perahu didayung lagi menuju kehulu. Waktu air surut, air sungai mengalir dengan deras, perahu besar tidak mampu didayung melawan arus. Kecuali perahu kecil, tetap bisa mengarungi sungai walaupun melawan arus yang sedang surut. Satu kali surut dan satu kali pasang dalam waktu satu hari satu malam, sekali surut dan sekali pasang. Artinya air pasang selama enam sampai sepuluh jam, begitu pula sebaliknya. Tenggang waktu keduanya air sementara bertahan, saat puncak kedalaman bertahan beberapa waktu, baru surut lagi. Begitu pula waktu surut sekali, air bertahan sebelum mulai pasang kembali. Waktu bertahan saat surut itu, air dari hulu tetap turun seperti air surut, karena dorongan air dari hulu sungai yang terus turun dan keluar kelaut. Dengan demikian maka perjalanan melalui sungai cukup memakan waktu, tetapi tidak ada jalan lain kecuali melalui jalur sungai.
Hubungan antara kampung dengan pusat kekerajaan Kesultanan Berayu semuanya melalui jalur sungai. Jadi jalur transportasi pada masa lalu semua menggunakan sungai dan atau laut. Untuk mempercepat lajunya perahu, biasanya ditambah dengan layar, semakin lebar kain layar yang dibuka dan dibentangkan, serta ditambah dengan hembusan angin yang kencang dapat mempercepat jalannya perahu. Tetapi sebaliknya, apabila tidak ada angin maka kekuatan mendayunglah yang menjadi andalan. Dayung terus….
Sambil mendayung, anak-anak bermain sambil menyanyi apa saja sebagai upaya menghibur diri. Wanita dewasa memasak air untuk disuguhkan kepada kaum lelaki yang gigih dan perkasa mendayung perahu. Air yang dimasak tidak repot, tinggal mengambil air sungai yang ada langsung dimasak. Diperahu sudah disiapkan sejak sebelum berangkat kayu kering untuk menyalakan api, gula, dan kopi. Teh yang digunakan adalah kulit kayu Sappang atau kulit kayu Ulin yang sudah dibersihkan dan dikeringkan, kedua kulit tersebut direndam diair panas atau direbus, airnya berubah warna seperti teh. Menjelang siang, matahari sudah berada diatas kepala, kaum wanita menanak nasi dan membakar ikan. Para lelaki yang mendayung, sambil melerai rasa penat juga menghibur diri dengan menyanyi. Nyanyian itu sampai saat ini masih sangat popular yaitu Dindang Babassai. Nyanyian itu berupa susunan pantun, pantun-pantun yang dinyanyikan sesuai dengan kejadian saat itu, apa yang ada saat itu, apa yang dirasakan saat itu, atau isi nyanyian itu menyindir anak-anak, menyindir pemuda yang lemah dalam mendayung perahu, menyindir kaum wanita atau memuji kecantikannya. Sesekali orang separahu tertawa gelak mendengarkan lagu berpantun Dindang Babassai tersebut, apabila isi nyanyiannya lelucon dan lucu. Pemuda yang disindir kembali mendayung denganh kuat, wanita yang dipuji kecantikannya menutup wajah malu ter-sipu-sipu. Sedangkan anak-anak yang mendengarkan Dindang Babassai sambil bermain adu tangkas jari, sebagian tertidur dengan pulas.
Hembusan angin masih seperti tadi, mendorong kain layar dengan kencang. Kain itu seperti hendak lari lebih cepat dari perahu yang ditariknya, menggelembung cembung di dorong angin. Nyanyian Dindang Babassai terus bersambung, begitu ujung pantun hampir selesai disambut dengan yang lain, pasti isi nyanyiannya tidak mau kalah. Penat mendayung tidak dirasa, ceria terlihat kental dalam senyum dan gelak tawa. Air sungai tetap mengalir, air pasang masih mendorong kehulu, pohon asam perangat masih menghiasi sepanjang sungai, daun nipah masih melambai-lambai, sedangkan bekantan asik memetiki pucuk pohon perangat yang segar dan hijau. Agai, Ulai, lihatlah burung itu, burung kalibarau, burung tiung masih bersiul menyanyikan lagu-lagu keindahan alam, mudahnya memetik buah yang ranum. Lihatlah burung tiung, burung enggang, terbang dengan gagahnya menyeberangi sungai Kuran yang luas. Lihatlah burung putih leher panjang itu, terbang tinggi bergerombol, sesekali membentuk formasi panah, sesekali membentuk formasi hurup M, sesekali membentuk dua baris berbanjar, yah pongah sekali burung-burung itu.
Pasukan kerajaan penjaga muara secara bergiliran menjaga pintu masuk melalui muara Kasai, muara Pegat, dan muara Lungsuran Naga. Pasukan tersebut menggunakan perahu kecil yang bisa muat tiga sampai lima orang menjaga keamanan muara. Selain menjaga keamanan muara saat ada perahu atau kapal layar yang akan masuk menuju kerajaan, juga melaporkan kejadian atau serangan orang jahat datang dari luar. Saat ada kejadian dimuara sungai menghadap yang kelaut itu, dengan sigap dan tangkas mereka langsung menuju kekota untuk melaporkan kepada baginda raja Sultan di Marancang, dan tindakan apa yang harus segera dilakukan oleh kerajaan.
Pagi yang cerah, matahari mengintip disela awan disudut langit paling bawah, sejajar dengan laut. Pancar kemerahan memecah menembus awan, awan putih itu berganti warna, bingung menyebut warna awan itu, merah bukan, putih juga bukan. Warna itu menjadi putih bercampur hitan, ada bias merah saat cahaya matahari melawan, menusuk menembus awan tebal. Semburat cahaya itu lolos menembus lubang awan yang lebih tipis. Ach cahaya elok itu tembus menghantam pohon-pohon mangrove yang tumbuh lebat diujung tanjung muara Lungsuran Naga. Kemudian cahaya itu naik dengan cepat bersama dengan matahari yang semakin meninggi. Aduh…yang naik itu mataharinyakah, atau bumi yang berputar melawan arah matahari yang menimbulkan keanggunan matahari menyinari bumi. Yaccchhhh…habis dah…..mataharinya sudah keluar, tak sanggup lagi menatapnya…..
Dari kejauhan di muara Lungsuaran Naga, muara sungai Berau yang paling luas dan besar terlihat sebuah kapal perahu layar yang sangat besar dan megah….penjaga muara memperhatikan dengan seksama. Kapal layar itu pasti tidak berani masuk sungai dimalam hari, pasti kapal baru yang belum pernah masuk ke sungai Kuran. Kapal itu bergerak menuju muara, berarti berniat masuk kedalam sungai Kuran melalui muara Lungsuran Naga. Kapal besar itu sangat mencurigakan, sebelum terlambat, harus segera dilaporkan kepada Baginda Raja Sultan Zainal Abidin.
Laporan baru sampai kepada Baginda Raja, kapal perompak yang besar sudah menyampaikan pengumuman. Isi pengumuman itu semua orang yang ada didarat, disungai jangan melakukan perlawanan, apabila melakukan perlawanan semua masyarakat akan dibunuh dan semua rumah akan dibakar. Mendengar pengumuman tersebut, dan melihat pasukan digeladak kapal yang sudah siap siaga dengan senjata lengkap. Pasukan kerajaan Barrau tidak sempat mengambil sikap dan merencanakan perlawanan. Dari pada mati konyol melawan pasukan laut yang sudah siap siaga dengan senjata dan meriamnya yang diarahkan ke kota kesultanan Barrau Marancang. Sultan langsung mengambil sikap, memerintahkan kepada rakyatnya agar tidak melakukan perlawanan. Meriam perompak yang diarahkan ke kesultanan Barrau itu terdiri dari meriam penghancur dan meriam api yang siap membakar semua rumah penduduk yang berada disepanjang sungai Marancang. Sebenarnya rakyat Sultan Zainal Abidin siap melawan, siap bertempur sampai titik darah yang terakhir apabila diperintah Sultan. Sedangkan Sultan berpikir lain, demi keselamatan rakyatnya, demi keselamatan anak-anak penerus kerajaan, demi keselamatan semua, maka diperintahkan kepada semua pasukan dan rakyatnya agar tidak melalukan perlawanan. Biarlah harta mereka ambil asal jangan rakyat dibantai semua oleh para perompak Lanun yang terkenal sangat ganas baik dilaut maupun didarat itu.
Dengan tidak ada perlawanan, pasukan perampok dengan pongahnya langsung turun dengan senjata lengkap dan pakaian lengkap. Semua orang diperintahkan keluar dari rumah masing-masing dan dikumpulkan dihalaman keraton. Sultan Zainal Abidin sudah menyingkir ketempat lain. Semua harta milik rakyat berupa emas, perak, kuningan, keramik, tempayan, tombak dan barang berharga lainnya dirampas. Diangkut kekapal perompak, kapal perompak sampai sarat. Semua harta yang ada dalam keraton juga diangkut semua.
Melihat suasana sudah aman, sultan secara diam-diam kembali dan masuk kekeraton. Memeriksa satu persatu semua barang yang ada didalam keraton. Terakhir Sultan Zainal Abidin sempat  membuka lemari tempat menyimpan barang yang dikeramatkan, yaitu Baddil Kuning. Ternyata barang keramat tersebut juga diambil perompak, Baddil Kuning sudah tidak berada ditempatnya lagi. Sultan berupaya mengambil kembali Baddil Kuning, namun tidak mungkin dengan cara kekerasan. Harus mencari cara yang terbaik dan termulia, tetapi tidak harus mengorbankan rakyatnya yang sudah tidak berdaya. Harta mereka sudah habis dirampas perompak Mundu berasal dari Solok.
Perompak tidak pernah mengenal Sultan Zainal Abidin seperti apa rupa wajahnya, kesempatan ini dimanfaatkan Sultan untuk menyamar dengan berpakaian biasa, berpakaian rakyat biasa. Ditepi sungai rombongan perompak bersiap-siap untuk meninggalkan kerajaan Barrau di Banua Marancang. Saat itulah Sultan langsung menuju pelabuhan kecil, langsung naik kekapal. Perompak mengusir orang yang datang dan naik kekapalnya. Tetapi ada yang aneh terjadi pada saat Sultan naik dan berdiri ditepi kapal, kapal perompak yang sudah sarat dengan barang rampasan itu tiba-tiba miring. Sultan diusir dari kapal, tetapi orang yang diusir tetap naik lagi dan meminta ijin untuk dibawa bersama rombongan. Nakhoda memperhatikan orang yang memaksa ikut dan naik kekapalnya, aneh dan luar biasa. Begitu orang itu menginjakkan kaki dipinggir kapal, kapal langsung miring seolah ingin terbalik bahkan kemungkinan bisa tenggelam. Berat tubuh  manusia itu jadi perhatian sang nakhoda, berat tubuhnya lebih dua ratus kilogram, bahkan mencapai setengah ton, buktinya begitu orang itu menginjakkan kaki ditepi kapal, kapal langsung goyang dan miring. Pasti orang sakti mandraguna orang yang mau turut serta dengan rombongan para perompak ilanun mundu dari tanah Solok. Dari pada terjadi sesuatu, orang yang meminta dibawa ke Solok itupun diijinkan turut bersama berlayar menuju Solok dengan sarat tidak boleh membuat onar didalam kapal. Persyaratan itu diterima oleh Sultan yang menyamar orang biasa. Nakhoda, pemimpin perompak dan awak kapal yakin dan percaya orang itu jujur dengan kata-katanya.
Siang berganti malam. Malampun telah berganti siang. Perjalanan menuju Solok sudah lebih separo jalan, artinya tidak sampai dua malam lagi rombongan sudah tiba ditujuan. Pimpinan perompak bertanya pada orang yang turut di kapalnya. “Sampai dinegeri Solok anda mau kemana” dengan santai Sultan menjawab “aku minta ditempatkan dirumah yang tidak ada dapurnya, turunkan saja aku dirumah tanpa dapur” yang mendengar semua tertawa. Rumah yang tidak ada dapurnya, aneh…..
Sesampainya di negeri Solok, nakhoda ingat, satu-satunya rumah yang dimaksud orang yang menumpang kapalnya itu pasti Mesjid. Ya Mesjid adalah rumah yang tidak ada dapurnya. “Silahkan tuan, itu rumah tanpa dapur, silahkan tuan tinggal disana” setengah mengejek kepada Sultan yang turun dengan sigap dan santai. “terima kasih tuan-tuan, saya suka tinggal disana” sembari menunjuk sebuah Mesjid ditepi pantai. Ketika turun, menginjakkan kaki ditepi kapal, kapal tidak oleng, kapal tidak miring, bergerak sedikitpun tidak. Tidak sama pada saat Sultan naik kekapal tiga hari yang lalu, langsung miring, seolah berat tubuhnya mencapai setengah ton.
Ditempat tinggal barunya itu Sultan Zainal Abidin langsung akrab dan langsung dikenal masyarakat sekitarnya. Orang baru tersebut sangat alim dan dikenal dengan orang alim dari negeri seberang. Setelah beberapa bulan tinggal di negeri Solok, Sultan sudah pasih berbahasa Solok, Sultan mengajar mengaji dan mengajar agama. Mengajarkan Sembahyang dengan baik dan benar, mengajarkan Tauhit dan Akhlak yang mulia. Muridnyapun banyak, ia dikenal dengan Orang Alim Dari Negeri Seberang.
Pada suatu saat Orang Alim Dari Negeri Seberang menyampaikan sesuatu, yang menurut muridnya sedikit janggal. Baddil Kuning yang dibawa dari negeri seberang harus dipelihara dan tidak boleh dirusak, karena Baddil Kuning itu datang dari jauh dan sangat dihormati dinegeri seberang. Khabar itu sampai ketelinga Raja Solok, tetapi tidak dihiraukan.
Orang Alim memanggil salah satu muridnya. Segera sampaikan kepada raja kalian “Benda Baddil Kuning jangan dirusak-rusak, apabila dirusak buah-buahan dinegeri ini menjadi pahit”. pesan guru langsung disampaikan kepada Raja Solok. Raja Solok hanya tersenyum, tidak memperdulikan pesan dari orang alim yang tinggal dirumah tanpa dapur. Tetapi sebaliknya Raja menjadi heran, apa perdulinya orang alim itu dengan benda Baddil Kuning yang dirampas anak buahnya dinegeri seberang. Mereka tidak percaya dengan pesan tersebut.
Raja Solok yang tidak percaya ingin menguji kebenaran pesan yang pernah diterimanya melalui  murid orang alim. Diperintahkan kepada anak buahnya untuk memotong Baddil Kuning. Saat memotong datang lagi utusan dari Mesjid, mengingatkan agar jangan merusak Baddil Kuning. Raja langsung memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan memotong Baddil Kuning. Raja berpikir dari mana orang alim itu tahu, kalau dikeraton saat ini sedang memotong Baddil Kuning. Apakah orang alim itu punya mata-mata dalam keraton ini, atau memiliki kelebihan yang luar biasa, kekuatan mata hati yang sangat tajam bisa melihat apa saja yang kami lakukan disini. Siapa orang alim itu sebenarnya. Akh…sudahlah, untuk apa aku pikirkan sejauh itu. Yang pasti, orang alim itu orang biasa-biasa saja.
Tidak sampai sebulan setelah kejadian itu, buah-buahan mulai masak. Apa yang terjadi. Memang benar yang terjadi. Begitu dimakan benar semuanya pahit, buah yang ada dikota semua menjadi pahit, buah yang ada di desa dan kampung semuanya pahit, bahkan buah yang ada didalam hutan juga rasanya sangat pahit. Sepahit menggigit biji buah langsat…benar-benar menjadi pahit. Buah-buahan tidak ada yang bisa dimakan.
Menghubungkan dua kejadian antara merusak Baddil Kuning dengan pahitnya buah-buahan. Mengingat pesan yang disampaikan murid orang alim yang tinggal di Mesjid, menjadikan raja solok menjadi bingung, ketir, dan ketakutan. Jangan-jangan nanti padi yang sedang menguning juga menjadi pahit. Apabila bulir buah padi semuanya menjadi pahit, rakyat negeri Solok bisa kelaparan, kekurangan pangan, beras tidak tersedia. Wah gawat…sangat berbahaya……”orang alim itu harus segera dipanggil menghadap aku dikerajaan ini”. Ujar raja dalam hati.
Matahari semburat, cahaya mulai menerangi alam semesta. Dengan pelan-pelan tapi pasti, cahaya itu semakin terang dan terus terang. Matahari mulai menampakkan diri sedikit demi sedikit, separo, dan nampak sepenuhnya. Waw matahari itu seperti berlari kecil meninggalkan bumi, dan saat ini ia tampil dengah pongah dan gagahnya. Pagi itu Raja Solok sudah bangun, bangun dengan seribu pertanyaan. Titik terakhir pertanyaan yang ada dikepalanya adalah “apa yang terjadi apabila bulir-bulir padi rakyatku semua menjadi pahit, padahal bulir padi tersebut bagian dari buah..ackh keterlaluan…apabila aku harus mengorbankan rakyat…hanya gara-gara kesombonganku yang tidak sungguh-sungguh mendengarkan pesan dan nasihat orang lain yang sebenarnya adalah rakyatku sendiri, yang sangat perduli dengan Rajanya”. Hari ini orang alim itu harus aku panggil…..
Setelah mendapat berita orang alim diundang Raja Solok untuk menghadap, orang alim bersiap-siap, menuju ke keraton Solok didampingi beberapa orang muridnya yang setia. Sesampainya di hadapan Raja, mulailah terjadi perbincangan. Pembicaraan panjang lebar, kehilir dan kehulu, kelaut dan kedarat, tetapi pertanyaan sebenarnya belum juga disampaikan oleh Raja. Sultan Zainal Abidin diajak makan bersama. Waktu makan itupun perbincangan sangat lancar dan cair. Orang alim tidak menampakkan sedikitpun rasa curiga kepada Raja. Sebaliknya Raja Solok semakin yakin bahwa orang yang bercakap-cakap dengan dirinya adalah orang pandai dan berbudi pekerti mulia. Jawabannya sang tamu sangat santun, dengan tata kerama bahasa yang bagus, guyonannyapun sangat familier dan pantas. “Siapa orang ini sebenarnya” Tanya Raja dalam hatinya, “pasti bukan orang alim biasa, hebat dan pandai sekali menyusun kata-kata”.
Sudah terlalu banyak pujian yang harus Raja berikan kepada sang tamu, walaupun pujian itu semua hanya disimpan dalam hati, tetapi raja secara sadar harus memberikan pujian berkali-kali. Pikirannya berputar-putar, mencari celah, mencari tanya yang tepat agar dapat dibongkar siapa sebenarnya tamu dihadapannya. Yah…ia patut dihormati.
Selesai makan perbincangan masih terus berlanjut. Raja semakin yakin kepada tamunya. Apalagi ketika memaparkan negeri yang jauh, tamunya sangat mengenal wilayah negeri seberang, sampai diperbatasan Kina Batangan, bercerita kerajaan Bugis, bercerita kerajaan Kutai, sampai bercerita kerajaan Berunai, mengenal sekali dengan prilaku jahat orang dari negeri Solok, perompak-perompak lanun mundu yang menjarah dilaut sampai kewilayah kerajaan Barrau. Setelah Raja Solok yakin akan menjalin persahabatan dan persaudaraan kenegri seberang, barulah Sultan Zainal Abidin mengakui dirinya sebenarnya. “Aku adalah Sultan Zainal Abidin dari kerajaan Barrau yang berkedudukan di Marancang”. Mendengar pengakuan tersebut betapa kagetnya Raja Solok. Raja langsung memerintahkan kepada para pembantunya untuk menyiapkan tempat tinggal yang bagus dan pantas, menyiapkan pasukan khusus untuk menjaga keamanan Sultan Zainal Abidin.
Sultan Zainal Abidin menolak dengan halus. “Aku masih ingin tinggal bersama murid-muridku di Mesjid dan memakmurkan Mesjid bersama mereka”. Keinginan Sultan dikabulkan oleh Raja Solok untuk masih tinggal di Mesjid. Tetapi apapun alasannya, raja Solok sangat malu dengan tamunya, seharusnya ia bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan tamu terhormatnya. Walaupun Sultan Zainal Abidin tinggal di Mesjid bersama muridnya, tetapi sudah tidak seperti biasanya, penjagaan keamanan Sultan tetap dilakukan oleh Kerajaan Solok.
Raja Solok merasa khawatir dan iba dengan Sultan Zainal Abidin, selama ini tinggal ditempat yang tidak layak bagi seorang Sultan. Sebagai penggantinya Sultan diberi pasukan dan pengawal. Kemudian dibuatkan sebuah kapal besar dan megah. Lalu Sultan dipulangkan kenegerinya di negeri Banua Marancang bersama dengan pengawal dan harta benda untuk rakyat kerajaan Barrau yang dulu dirampas hartanya. Baddil Kuning yang dikeramatkan juga dikembalikan kenegeri Barrau bersama Sultannya Zainal Abidin.
Saat keberangkatan Sultan Zainal Abidin menuju negeri seberang kerajaan Barrau di Banua Marancang dilepas langsung oleh Raja Solok. Raja Solok berkali-kali menyampaikan minta maaf kepada Sultan Barrau. Jalinan persahabatan dan persaudaraan dibangun dengan saling menghargai dan saling menghormati satu sama lainnya. Raja Solok berjanji tidak ada lagi rakyatnya yang boleh merampok kewilayah kerajaan Barrau dengan alasan apapun.
Murid-murid orang alim sultan Zainal Abidin banyak yang menangis berpisah dengan sang guru yang berhati mulia, yang selalu berkata-kata dengan kehalusan budi pekerti, seorang guru yang selalu menyayangi anak-anak dan remaja, menghormati sebaya dan yang lebih tua. Apabila muridnya ada yang sakit, orang alim tersebut selalu menengok dan mendoakannya agar cepat sembuh, dan seterusnya. Kenangan manis itulah yang membuat para muridnya harus menangis terisak-isak dihadapan Rajanya dan gurunya, karena hari ini mereka harus berpisah dengan sang guru yang berhati lurus dan berakhlak mulia. Selamat jalan semuanya…selamat jalan negeri Solok…aku harus kembali kenegeriku…membangun negeriku kembali. Kerajaan Solok yang ditinggal oleh Sultan Zainal Abidin, bersama murid-murid Sultan Zainal Abidin, raja Solok  melakukan perubahan, membangun kasih sayang, membangun kelembutan, membangun moral mulia, menghormati sesama, sedikit demi sedikit raja merubah kebiasaan rakyatnya untuk menjadi orang baik, menjadi pedagang dikota, menjadi pedagang antar pulau, menjadi nelayan, pekerja, pekebun dan lain-lain. Untuk merubah kebiasaan lama sebagai perompak, lanun, mundu, menjarah kapal-kapal yang melintas, menjarah rantau dan banua, menjarah harta benda dan memperkosa orang yang lemah, menjadi manusia yang lebh baik, pekerja keras dengan tidak merampok lagi
Pengawal Sultan Zainal Abidin yang ikut bersamanya kekerajaan Barrau, kemudian hari menjadi cikal bakal orang-orang Solok yang mendiami Pulau Derawan dan sekitarnya. Orang Solok dan Bajau yang tinggal dipesisir dan pulau ditugaskan Sultan sebagai penjaga laut, penjaga pulau dan pantai, mengamankan laut dan pulau-pulau diwilayah pemerintahan kesultanan Barrau. Sejak itu pula persahabatan dan jalinan persaudaran antara kesultanan Barrau dan kerajaan Solok berjalan dengan baik, hubungan keduanya semakin meningkat, hubungan dagangpun berjalan dengan lancar pula.
Pusat kerajaan Barau di Marancang oleh Sultan Zainal Abidin dipindahkan ke Muara Bangun. Disana dibuka lahan pertanian dan perkebunan, dibangunan keraton, dibangun Mesjid, dibangun komplek pemakaman. Kemudian perangkat kerajaan dibenahi, pembagian hasil diseluruh Banua dan Rantau (kota dan desa) diatur dengan arif dan bijaksana dengan syarat tidak boleh membebankan seluruh rakyatnya. Rakyat harus hidup sejahtera, keamanannya dilindungi oleh kerajaan. Hukum dan aturan yang digunakan kerajaan adalah hukum dan peraturan Islam.
Pada usia sepuh, Sultan Zainal Abidin menghadap Tuhan Yang Maha Esa dengan tenang dan senyum. Beliau Mangkat, rakyatnya yang setia melepaskan Sultan dengan berkabung selama tujuh hari tujuh malam. Sultan dimakamkan dipuncak bukit ditepi sungai Bangun. Makam itu sekarang dikeramatkan oleh rakyatnya dan seluruh masyarakat Barrau. Makam Sultan Zainal Abidin dikenal dengan makam Marhum Dibangun, dikenal pula sebagai Makam Keramat di Sungai Bangun.
C. Makam Keramat
Percaya atau tidak itu tidak masalah, bagi yang ingin membuktikan kebenarannya silahkan datang ke Makam Keramat Marhum Di Bangun. Yang ingin bernazar ke makam keramat biasanya membawa kain kuning yang bagus 2 meter, beras kuning, lilin, laddup (beras yang dioseng-oseng sampai merekah), membawa minyak harum, apabila perlu bawa kemenyan. Kain kuning diikatkan di mesan dan ditaburi minyak harum. Lalu silahkan berdoa sesuai dengan keinginan. Bagi yang belum punya anak, bagi yang belum punya jodoh, bagi yang ingin rejeki bertambah silahkan datang dan berdoa di Makam Keramat Marhum Di Bangun. Buktikan kehebatan Makam Keramat tersebut. Yang sudah berhasil silahkan dating lagi, dengan melepaskan rindu dan ucapan terima kasih.

D. Baddil Kuning
Baddil Kuning yang dikeramatkan dan memiliki sejarah panjang di Kerajaan Barrau, disimpan turun temurun oleh keturunan sultan Barrau sampai sekarang. Saat ini Baddil Kuning tersimpan dengan baik di kediaman Putri Sultan Achmad Maulanan di lokasi Situs Keraton Gunung Tabbur. Rumah kediaman Putri Sultan disebut masyarakat Gunung Tabur dengan Keraton. Dikeraton yang dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948, Sultan Achmad Maulana bersama Permaisuri dan putra-putrinya tinggal disana sampai akhir hayat beliau. Baddil Kuning disimpan dalam lemari dan terawatt dengan baik, posisi Baddil Kuning berdiri didalam lemari tersebut. Dibungkus dengan kain kuning, berlapis-lapis dan rapat. Tamu tidak diperkenankan memegang apalagi membuka bungkus Baddil Kuning. Memegang sebaiknya seijin Putri, karena tugas putri merangkap sebagi juru kunci dan menyampaikan nazar setiap yang datang kekeraton.
Keraton Gunung Tabur yang asli pada bulan Januari 1945 terbakar habis saat sekutu melakukan penyerangan dan pengeboman di Teluk Bayur, Tanjung Redeb, Gunung Tabur, dan Sambaliung, untuk melumpuhkan kekuatan tentara Jepang yang sempat berkuasa selama lima tahun di Nusantara. Kejadian tersebut sangat mengiris perasaan rakyat Barrau, menyiksa dan menyengsarakan rakyat Barrau terutama yang berdomisili di Teluk Bayur, Tanjung Redeb, Gunung Tabbur, Sambaliung, Merancang dan Sukkan.
Baddil Kuning yang ada di kediaman Putri sampai saat ini masih terpelihara dengan baik dan dikeramatkan. Bagi yang percaya dan untuk lebih meyakinkan silahkan berkunjung kerumah Putri Gunung Tabbur, sekaligus berkunjung ke Museum Batiwakkal, melihat tiang sisa bangunan Keraton yang terbakar, pemakaman Sultan, dan Mesjid Tua Keraton Gunung Tabbur. Pasangan Baddil Kuning juga ada di Keraton Sambaliung.

Kamis, 04 Agustus 2016

TUGU RAJA ALAM



MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU

ASAL NAMA KOTA TANJUNG REDEB

Tanjung berarti tanah atau daratan yang menjorok kelaut atau menjorok ketengah sungai. Contohnya Tanjung Mangkalihat, Tanjung Batu, Tanjung Bohe yang berada di tepi laut. Tanah atau daratan yang luas menjorok kelaut itulah yang disebut dengan Tanjung. Sedikit berbeda dengan Tanjung Redeb atau Tanjung Selor misalnya, Tanjungnya berada dalam sungai, tanah atau daratan yang menjorok dalam sungai, tetapi biasanya yang disebut Tanjung itu adalah akibat dari sungai terbelah menjadi dua. Tetapi ada juga yang lain.  Contoh : akibat belokan sungai, belokan sungai yang menjorok disebut Tanjung sedangkan seberangnya yang terkikis disebut Teluk.
Tanjung Redeb adalah Tanjung hasil belahan dari satu sungai, yaitu sungai Berau atau Kuran yang membelah menjadi dua sungai, atau sungai Berau bercabang dua. Dari sungai Berau bercabang dua tersebut menjadi sungai Segah dan sungai Kelay. Ujung awal dimulainya sungai membelah, atau daratan yang menjorok diapit dua sungai membentuk Tanjung, disebut Tanjung. Yang kemudian hari Tanjung itu dikenal  dengan nama Tanjung Redeb.
Kenapa Tanjung Redeb ?
Tanjung sudah dibahas diatas, sedangkan kata Redeb kita bahas sekarang. Redeb berasal dari nama pohon, yaitu pohon Dadap atau dikenal juga dengan pohon Raddab dalam bahasa Banua (Berau). Pohon Raddab itu tumbuh subur diujung Tanjung, tinggi dan besar, waktu musim berbunga, pohon Raddab berbunga lebat sampai menutupi semua daunnya yang berwarna hijau. Bunga pohon Raddab berwarna merah. Dilihat dari tengah sungai, bunga merah itu indah sekali.
Pada masa lalu masyarakat Berau belum mengenal kendaraan darat seperti sepeda, motor, maupun mobil. Mereka hanya mengenal perahu atau kapal,  jadi perahu adalah alat transportasi satu-satunya yang paling modern pada masa itu, perahu yang diberi kain layar disebutnya perahu layar. Lalu lalang perahu di sungai Berau, ada yang masuk menyusuri sungai Kelay atau masuk menyusuri sungai Segah, bunga dadap atau raddab  yang tumbuh diujung tanjung itu terlihat indah sekali. Maka tanjung yang semula belum punya nama itu disebut mereka dengan Tanjung Raddab, Tanjung yang ada pohon Raddab-nya.
Bahasa Berau Tanya : “Andai mana dangkita”  jawab :”andai Tanjung” Tanya : “Tanjung apa” jawab : “Tanjung Raddab”
Dengan berjalannya waktu, setelah merdeka mulailah berdatangan suku bangsa lain ke Tanjung Raddab. Petugas pemerintah seperti guru, polisi, tentara, pengadilan, kejaksaan, bahkan Bupati berganti-ganti. Mereka yang datang pada umumnya mengganti hurup “a” pada kata Raddab menjadi hurup “e” dan mengurangi “d” yang dobel menjadi satu”d” saja. Karena para pendatang menganggap kata Raddab itu adalah bahasa asli Banua (Barrau) yang sebenarnya adalah Redeb. Sepengetahuan mereka orang Banua tidak bisa menyebut hurup “e”, hurup “e” berubah menjadi hurup “a” dalam bahasa Banua.  Maka berubahlah kata Raddab itu menjadi Redeb. Beberapa kali pergantian pejabat Bupati sepakat kata Raddab berubah menjadi Redeb dalam bahasa Indonesia. Akhirnya semua instansi yang ada di kota Tanjung Redeb sepakat  menyebut kota Tanjung Redeb sampai saat ini.
Ternyata pemahaman diatas adalah pemahaman yang keliru, benar-benar keliru. Pohon tersebut namanya adalah pohon Dadap, dalam bahasa Banua (Berau) disebut dengan Pohon Raddab, seharusnya tidak boleh dirubah atau di Indonesia-kan menjadi Redeb, dengan demikian maka otomatis merubah arti dan makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Raddab tersebut.
Oleh karena itu seharusnya segera dikembalikan nama asli kota Tanjung Redeb tersebut menjadi Kota Tanjung Raddab, yang berasal dari kata Pohon Dadap atau pohon Raddab. Karena  sampai saat ini belum ditemukan arti kata Redeb sebenarnya, kecuali berasal dari kata Raddab. 


RAJA ALAM

Kalimantan Timur memiliki sejarah yang sangat universal dengan kerajaan Kutai, sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu di masing-masing daerah Kabupaten Kota juga mempunyai sejarah kerajaan atau kesultanan masing-masing, seperti kesultanan Paser, Kerajaan Kutai, kesultanan Bulungan, dan Kesultanan Berau. Belum lagi sejarah masa penjajahan Belanda. Perlawanan rakyat terhadap Belanda, seperti peristiwa perlawanan Raja Alam melawan Belanda di Kesultanan Tanjung yang sekarang dikenal dengan kesultanan Sambaliung, penyerangan sekutu di Balikpapan, Tarakan dan sempat membombardir Keraton Gunung Tabur dan Keraton Sambaliung di Tanah Berau. Dengan  ditandai runtuhnya Keraton Gunung Tabur pada bulan Januari tahun 1945, penyerangan itu dilakukan oleh tentara sekutu pada perang dunia ke dua untuk melumpuhkan tentara Jepang. 
Mari kita mulai berbicara sejarah singkat Kerajaan Berau.  Kabupaten Berau memiliki dua orang tokoh yang memiliki nama besar dalam perjalanan sejarahnya. Nama besar tersebut sampai saat ini masih mengaung dan selalu menjadi buah bibir dimana-mana. Tokoh Besar tersebut adalah Baddit Dipatung yang diberi gelar Adji Surya Natakasuma  Raja Pertama Berau yang mampu menyatukan rakyat Berau, nama besar Adji Surya Natakasuma diabadikan sebagai nama Korem yang berkedudukan di Samarinda dengan nama Korem Adji Surya Natakasuma, dan Sultan Alimuddin dikenal dengan Sultan Raja Alam  yang dianggap membangkang terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dan berperang melawan kolonial Belanda. Nama besar Raja Alam diabadikan olek Batalion 613 Tarakan dengan nama Batalion 613 Raja Alam.
Selain itu Berau juga mempunyai seorang tokoh perempuan yang sangat Legendaris  dalam ceritera-ceritera rakyat Berau, dia adalah Legenda Putri Kannik Sanifah. Ketika Ayahandanya bersama rakyat Negeri Pantai sudah panik dan nyaris kalah melawan pasukan julung-julung yang menyerang negerinya.Kannik Sanifah tampil dengan akal pikirnya yang cerdas dan cemerlang, dapat memukul mundur pasukan julung-julung yang bagaikan monster memenuhi sungai dan menyeranga rakyat. Namun sayang nasibnya tidak secantik dan seelok parasnya. Ia kemudian difitnah, dan dikucilkan oleh masyarakatnya sendiri dan kemudian dibuang ketengah lautan.
Baddit Dipatung dalam legenda rakyat diceriterakan sebagai titisan Dewa. Waktu masih bayi ditemukan oleh seorang kakek, namanya  Inni Baritu disebuah bambu besar  yang terbelah diantara ruas-ruasnya. Dibelahan bambu itulah bayi ditemukan yang kemudian dikenal dengan nama Baddit Dipatung( pecah / keluar dari bambu besar/petung ). Dirumah istri Inni Baritu yang dikenanl dengan nama Inni Kabayan dalam waktu yang nyaris bersamaan menemukan bayi dikeranjang ( kurindan ). Keranjang itu tempat Inni Kabayan menyimpan benang dan kain yang dibuatnya sendiri. Bayi tersebut kemudian diberi namaBaddit Dikurindan.Kedua bayi yang ditemukan Inni Kabayan dan Inni Baritu itu kemudian dipelihara oleh tujuh putri Puan Dipantai Rangga Batara sampai dewasa.
Setelah dewasa Baddit Dipatung dan Baddit Dikurindan oleh rakyatnya yang terdiri dari tujuh Banua yaitu rakyat Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Rantau Suwakung , dan Rantau Bunyut sepakat untuk menjodohkan kedua titisan Dewa itu menjadi suami istri dan kemudian Baddit Dipatung diangkat menjadi Raja pertama dengan gelar Adji Surya Natakasuma  ( 1400 – 1432 ) didampingi oleh istri tercintanya Baddit Dikurindan yang bergelar Adji Permaisuri. Baddit Dipatung inilah cikal bakal yang menurunkan raja-raja dan sultan kerajaan Berau yang kemudian terbagi menjadi dua  kesultanan, yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Raja kedua Adji Nikullam 1432-1461, raja ketiga Adji Nikutak 1461-1492, raja keempat Adji Nigindang 1492-1530, raja kelima Adji Panjang Ruma 1530-1557, raja keenam Adji Tumanggung Barani 1557-1589, raja ketujuh Adji Sura Raja 1589-1623, raja kedelapan Adji Surga Balindung 1623-1644, raja kesembilan Adji Dilayas 1644-1673.
Pada masa raja ke- 9 Raja Adji Dilayas mempunyai putra dua orang yang berbeda ibu. Permaisuri pertama melahirkan anak si Amir namanya yang kemudian bergelar Adji Pangeran Tua. Setelah Permaisuri wafat, Adji Dilayas kawin lagi dengan Ratu Agung.Perkawinan ini melahirkan pula seorang putra Hasan namanya, kemudian bergelar Adji Pangeran Dipati.Setelah Ayahda Adji Dilayas wafat kedua putranya sama-sama ingin menjadi raja. Maka Atas kesepakatan, wilayah Kerajaan Barrau atau Kuran di bagi menjadi dua yaitu :
  1. Daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Barrau, dari Tanjung Mangkalihat, Teluk Sumbang sampai kehulu sungai Kelay menjadi kekuasaan Adji Pangeran Tua, sedangkan;
  2. Daerah sebelah Utara sungai Kuran, dari hulu sungai Segah sampai perbatasan Bulungan menjadi kekuasaan Adji Pangeran Dipati.
  3. Sedangkan yang menjadi Raja Kerajaan Barrau diatur secara bergantian dari pihak Adji Pangeran Tua maupun Adji Pangeran Dipati, sampai dengan keturunannya.
Hasil musyawarah berlanjut pada pengangkatan raja yang ke- 10 kerajaan Barrau.
Raja Kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua ( 1673-1700 ), sedangkan Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat pemerintahan Pangeran Tua ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab yang bernama Mustafa.Sedangkan sebelumnya masih menganut kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.
Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.
Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning ( 1700-1720 )sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya. Disini Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan mulai timbulnya keretakan dan perpecahan.
Setelah Adji Kuning wafat baru Hasanuddin diangkat menjadi raja ke – 13 dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin. Sultan Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun  (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya  diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770 ). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja Barrau.
            Sultan Muhammmad Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu Datu Amiril Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu Syaifuddin, dan Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok, sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.
Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum Di Kuran.  Karena ketika beliau wafat tahun 1767 dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung  sekarang. Sedangkan Sultan Zainal   Abidin   kawin  dengan   Adji   Galuh    putri   kesultanan     Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara.            
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam.Tata pemerintahan diatur sedemikian rupa.Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat jabatan Menteri, Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.
            Atas kesepakan untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di pindahkan ke Muara Bangun.Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan cocok untuk pertanian.Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan pemakaman didekat istana itu.
            Orang-orang Solok yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di Tabbangan dan orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.
Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat pada tahun 1800 dimakamkan di Muara  Bangun dan selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun. Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat dengan baik dan tangga untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar pengunjung yang datang kemakam tersebut bisa dengan nyaman.Makam asli masih menggunakan mesan batu alam tempo dulu tanpa ukiran.Disekitarnya banyak makam-makam tua bermesan batu alam pula, serta makam masyarakat Kampung Bangun di sekitarnya.  
            Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800 -  1834). Kejadian ini sangat menyinggung perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kedua kali, karena seharusnya dari keturunannya yang menjadi raja.
Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja Alam memerintah selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat pemerintahan di Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur  yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi menjadi dua kesultanan yaitu Kesultanan Tanjung, yang kemudian hari dikenal dengan kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.
            Disamping permasalahan keluarga dan keturunan sebagai pemicu perpecahan juga andil besar dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan strategi adu domba, salah satu keturunan menjadi sahabat belanda dan pihak keturunan lain dijauhi Belanda. Akhirnya Raja Alam dianggap sebagai perompak dan bajak laut yang selalu mengganggu kapal-kapal Belanda dan kapal dagang yang dilindungi pasukan Laut Hindia Belanda di kawasan selat Sulawesi antara Tanjung Mangkaliat dengan Tanah Kuning. Akhirnya Raja Alam ditangkap dan dibuang ke Makassar.

PERANG MELAWAN ANGKATAN LAUT BELANDA

Seperti diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa Belanda sudah datang ke Nusantara sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya adalah berdagang, namun lama kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah, dengan menguasai wilayah-wilayah subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke Nusantara, Belanda menggunakan politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan Belanda memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di Nusantara.
Bangsa Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau ( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900, Berayu menurut sejarawan Indonesia ) pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19. Dengan kehadiran Belanda di Barrau,  Raja Alam merasa terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan Belanda. Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke Barrau, Raja Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Orang Belanda dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.
Permaisuri Raja Alam seorang putri yang berasal dari kesultanan Wajo yang bernama Andi Nantu. Raja Alam bersahabat dengan raja-raja di Makassar. Sedangkan Sultan Hasanuddin raja Makassar merupakan musuh bebuyutannya Belanda. Sultan Hasanuddin tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda di Makassar. Sejak perjanjian Bongaya antara Makassar dan Belanda tahun 1667 ditandatangani, Hasanuddin tetap tidak mau mengakui penjajah Belanda dan tetap mengadakan perlawanan. Pada masa itulah orang-orang Bugis banyak meninggalkan tanah kelahirannya  dengan menggunakan perahu pinisi mencari tanah baru dirantau orang. Banyak yang sampai di Pulau Borneo, masuk ke Paser, Kutai dan Barrau.
Pada masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun 1810 banyak mendapat simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela Raja Alam ( di Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).
            Dengan persahabatan Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan kurang bersahabat dengan Sultan Gunung Tabur dan Belanda, itu merupakan alasan yang kuat bagi Belanda untuk menekan Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan ketika Belanda mampu mengambil simpati Sultan Muhammad Badaruddin Sultan Gunung Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling bahu membahu dalam perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.
            Raja Alam mendapat sambutan baik dari luar maupun dari rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan dan keberaniannya semakin mendapat simpati. Raja Alam seorang raja yang memiliki semangat juang dan cinta tanah air. Ia tetap mempertahankan  Barrau, Raja Alam tidak rela Barrau disentuh dan diinjak oleh orang asing. Dan semua rakyat pengikutnya dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk raja dan daerah mereka. Dukungan dari rakyat Bugis dan dukungan dari raja Solok  dari keturunan kakek  buyutnya membuat Raja Alam semakin kuat. Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan keraton Raja Alam, sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan Lungsuran Naga, Laut Batu Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta Tembudan. Pantai dan laut antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung Mangkalihat di kuasainya. Dengan kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing yang akan masuk mendekati Tanjung Mangkalihat diusir, kecuali kapal yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk, kapal-kapal Belanda juga diusir.
Raja Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan perahu-perahu perang Bugis yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih. Batu Putih dipimpin oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin. Selain bantuan dari Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin oleh Syarif Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja Alam mendapat bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang berasal dari tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.
            Melihat gelagat Raja Alam yang semakin memperkuat armada laut dan pertahanannya, kesempatan baik untuk memecah belah rakyat Barrau, Belanda dengan akal liciknya bersahabat dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin. Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan tipu muslihat orang kulit putih.
Ketegangan antara kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan Belanda semakin memanas dan memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk menjalin persahabatan dan hubungan perdagangan, namun pihak Raja Alam menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip tanah Barrau tidak boleh dikotori dan diinjak-injak oleh orang asing yang berkulit putih seperti Belanda.
            Pada tahun 1833 beberapa armada Belanda didatangkan dari Makassar menuju Barrau dengan persenjataan lengkap. Dengan tidak disangka-sangka oleh pasukan Belanda, ditengah perjalanan saat melewati laut Batu Putih di hadang pasukan armada laut Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih sederhana dibanding dengan Belanda. Pasukan Raja Alam yang gagah berani  dapat memukul mundur armada Belanda yang sengaja didatangkan itu. 
            Dengan dilakukannya penyerangan itu  Raja Alam dianggap oleh Belanda sebagai Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh sebagai perompak lanun dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat yang mendukungnya, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah perjuangan. Bagi yang mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah patriot-patriot pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.
            Awal tahun 1834 secara tidak terduga tiba sebuah kapal perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan menempuh perjalanan panjang dari Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan kemudian berputar menuju Barrau di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai realisasi perjanjian antara Sultan Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang menjanjikan bantuan kepada Kerajaan Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan imbalan keuntungan perdagangan, atau karena terganggu keamanan pasukan Belanda yang melintasi wilayah Batu Putih dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin putra Raja Alam dan mengharuskan mereka mundur dan kembali ke Makassar. Alasan Belanda pasukannya melintasi Batu Putih adalah mengawal keamanan perdagangan rakyat dengan Hindia Belanda.
            Kedatangan Belanda dimanfaatkan oleh Sultan Barrau, dengan ajakan bersahabat dan mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dengan bersumpah setia kepada Guberneman. Dan Belanda berjanji akan membantu Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan setiap ada pemberontakan.
Sesuai kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan April 1834 menyiapkan pasukan Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet De Heldin, De Briik Siwa, Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang dilengkapi dengan perahu-perahu laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet. Pasukan itu bergerak melintasi laut Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat. Gemuruh kapal perang yang siap dengan tentara laut pilihan dan senjata semi modern sudah mendekati Mangkalihat, pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk Sumbang sudah mengetahui gelagat kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi tidak bisa disampaikan kepada pemimpin pasukan di Batu Putih karena keterbatasan transportasi. Informasi kedatangan pasukan laut Hindia Belanda tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus melintasi Pulau Kaniungan Besar, menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung Perepat dan mendekati Pulau Manimbora. Disana pasukan laut Batu Putih siap menghadang
            Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut menyerang Batu Putih, dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling bahu membahu pasukan Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan Hindia Belanda menerjang kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah beberapa buah kapal pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan, dengan gagah berani pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia Belanda yang sudah menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi modern, sedangkan pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan satu persatu ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak, parang yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur. Setelah perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat. Dengan amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama peperangan di laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang berjatuhan, untungnya putra Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri bersama beberapa orang pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda meneruskan peperangannya ke benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan dengan gagah berani, tetapi sama saja mereka kalah hebat dan kalah persenjataan. Benteng Dumaring di tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang pahlawan yang tersungkur mencium bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju muara Lungsuran Naga dan masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai Kuran tentara laut Belanda dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.
            Syarif Dakula yang telah lebih dahulu bergerak kesungai Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima Limboto yang bertahan diperairan sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan laut Belanda. Perang pecah kembali di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran Petta dan Panglima Limboto. Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam peluru pasukan laut Belanda. Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan diri ketepi sungai dan lari masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya semua kapal yang menahan pasukan Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan diri berenang disungai ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sangat memilukan. Pertahanan Batu Putih sudah patah, pertahanan di Dumaring sudah dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah, tinggal pertahanan terakhir di sungai Gayam.
Ibu Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan didampingi putranya Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan mereka pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur pasukan Belanda. Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat menyerang setelah memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di Dumaring, perang sungai di sungai Kuran.
            Pasukan Raja Alam yang telah dipersiapkan itu hancur cerai berai, akhirnya ibu kota dan pusat pemerintahan di Sungai Gayam dapat dikuasai Belanda. Sedangkan Raja Alam bersama sebagian pasukannya mundur kepedalaman sungai Kelay, keraton Raja Alam di sungai Gayam dibakar oleh pasukan Belanda. Tidak ada satu rumahpun yang tertinggal semua dibakar habis dengan maksud pasukan Raja Alam tidak bisa menyusun kekuatan lagi.
Raja Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan semangat membara untuk mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih tersisa dan melakukan perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja Alam bersama putranya Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu pasok makanan oleh suku Dayak Ga’ai, Punan, dan Lebbo. Melihat gelagat pergerakan pasukan Raja Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda, pasukan laut dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai Barrau. Belanda menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.
Sultan Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih sudah memindahkan Istananya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan menjaga keamanan dan menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam disungai Gayam yang sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk dalam wilayah kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam. Keinginan Belanda pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan pasukan Belanda untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai Kelay, namun dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan masih berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh saudara sendiri.
Belanda menangkap rakyat yang tidak berdosa dan menyiksanya dengan maksud agar Raja Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama raja alam tidak mau keluar dan menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa oleh tentara belanda, dalam kurun waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang menjadi bulan-bulan tentara Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan kembali, agar dilihat oleh rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay. Melihat banyak rakyatnya yang disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan terharu, walaupun pengorbanan rakyatnya  adalah bagian perjuangan mempertahankan tanah air.
Sebagai Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya, akhirnya Raja Alam dengan gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi undangan Belanda untuk berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya dalam perundingan  yang telah diskenario Belanda, Raja Alam ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut, dan mengganggu keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut Sulawesi. Kemudian Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi Djalaluddin, putrinya Ratu Ammas Mira, Syarif  Dakula bersama anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar, karena Raja Alam tidak mau mengakui kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke Makassar  Syarif Dakula memberontak dan mengamuk dalam kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan istrinya Ratu Ammas Mira dipulangkan ke Batu Putih.
            Menurut tokoh Dayak Ahi di Tembudan yang mendukung perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan Kapiten Tembaga mereka bahu membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan dan mempertahankan Batu Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka berperang habis-habisan untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak Ahi diperitahkan membuat benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu Putih dibumi hanguskan oleh Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal pasukan Raja Alam, laskar tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di Linggo dan Tembudan mundur masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya. Semangat membara dengan pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling bahu membahu, namun senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus kalah. Selama perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring, Linggo, Tembudan dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan rakyatnya Dayak Ahi dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan selalu maju paling depan.
            Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning mengirim surat ke pada Hindia Belanda di Banjarmasin, permohonan itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya di Barrau walaupun dengan syarat harus mengakui dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.
            Pada tanggal 24 Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di Sungai Gayam telah hancur porak poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam tidak mungkin kembali ke Tanjung Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda. Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan Belanda,  Raja Alam membangun pemerintahan di  sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan rakyatnya.
Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional. Raja Alam di makamkan di sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum di Rindang. Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Batu Putih itu sampai sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama Batalion 613 Raja Alam  Tarakan.
            Raja Alam meninggalkan sejarah yang telah ditorehnya, seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan, kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah melupakan  perjuangan Raja Alam sampai kapanpun.


TUGU RAJA ALAM

Dari sejarah dan perjuangan Raja Alam sepanjang hayat untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan cinta tanah air yang tidak terbantahkan tersebut, sudah sepantasnya oleh masyarakat Kabupaten Berau, oleh Pemerintah Kabupaten Berau mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang setinggi-tingginya dan yang paling terbaik. Penghargaan dan penghormatan tersebut menjadikan sebagai simbol Kebanggaan masyarakat Kabupaten Berau yang tangguh, pantang menyerah, pemberani, perkasa, pekerja keras, pantang putus asa, rela berkorban, berjuang sepanjang hayat, cinta tanah air, bersatu untuk membangun Berau. Simbol semangat itu direalisasikan dan diabadikan dengan membangun sebuah Tugu Besar TUGU RAJA ALAM  setinggi 50 meter, dengan lokasi di Ujung Tanjung kota Tanjung Redeb. Dibawah tugu Raja Alam itu ditulis SELAMAT DATANG DIKOTA TANJUNG REDEB KOTA SANGGAM atau WEL COME TO TANJUNG RADDAB CITY dan Sejarah Perjuangan Raja Alam. Patung besar itu, dibagian dalam ada ruang, ruang itu dijadikan untuk semacam Museum mini untuk memajang foto-foto Raja Alam dan sejarah Raja Alam dan foto Bupati dari pertama sampai dengan sekarang dilengkapi dengan keterangan masa tugasnya.
Jadi fungsi Tugu Raja Alam selain sebagai simbol kebanggaan masyarakat Berau yang tangguh dan pekerja keras, juga dijadikan tempat rekreasi, hiburan, pendidikan dan ilmu pengetahuan masyarakat yang berkunjung kesana.

Penulis adalah :
Kepala Bidang Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Berau
Episode 2015-2016