Saprudin Ithur
Cerpen
MISTERI DIUJUNG PULAU
Belum terlalu siang, masih pukul sepuluh pagi acara pemakaman
bu Tika dan bayinya yang baru lahir telah selesai. Dengan upacara sederhana
disebuah pemakaman diujung pulau. Gundukan makam itu dirapikan, dilanjutkan
dengan membaca doa untuk keselamatan si pulan, kemudian air dalam ceret berwarna kuning disiramkan
disepanjang gundukan yang memanjang, tidak ketinggalan ditaburi bunga-bungaan
yang bercampur dengan irisan pandan harum. Seorang bapak setengah tua mendekati
gundukan makam yang telah ditinggalkan pelayat. Digundukan itu masih
menelungkup Bolo yang ditinggalkan istrinya Tika dan bayinya yang belum sempat
diberi nama. Tegur Bapak dengan hiba “ Sudahlah Bolo, jangan kau terlalu sedih,
cukup sudah…mari kita pulang” mendengar ajakan itu Bolo bukan beranjak
meninggal makam, tetapi tiba-tiba suara tangisnya meledak dengan
sekeras-kerasnya, tangisan itu mengejutkan semua pelayat yang berjalan kaki
pulang. Dalam tangisnya Bolo berucap “ Bapak!!! Eeeee….aku tidak menyesalkan
kepergian istri dan bayiku……tapi aku kesal pada orang yang berbuat jahat itu,
apa salah kami…apa dosa kami bapak, istriku Tika yang jadi korban jadi mangsa
Pajjat biadab itu” Bolo menghunjamkan kepala kegundukan pasir makam menangis
sejadi-jadinya.
Pajjat kata orang Bajau dan Berau, kuyang atau hantu kuyang
kata orang Banjar dan Kutai. Pajjat adalah manusia iblis atau manusia setan
jadi-jadian, kepala yang lepas dari tubuhnya terbang mencari mangsa. Saat terbang
pajjat bercahaya pijar seperti api dan berekor. Pajjat dikenal dengan pengisap
darah, yang paling disukainya adalah darah orang hamil dan darah orang
melahirkan, resikonya kematian bagi orang yang dihisap darahnya. Kalau sudah
keadaan terpaksa, sudah haus darah dan harus minum darah, pajjat tidak lagi
memilih, orang tua yang sedang sekaratpun bisa jadi santapannya.
Setelah puas menangis, suaranya mulai kendor dan serak-serak,
Bolo dituntun pulang oleh beberapa orang yang tadi kembali mendengar Bolo menangis
diatas gundukan istrinya, masih setia menunggu dipemakaman, mereka juga turut
terpukul atas kejadian yang menimpa istri dan bayi Bolo. “ nasibmu sudah
Bolo….kamu harus iklas dan sabar” bolo mendengarkan sembari masih terisak-isak.
Kabar kejadian yang sangat mengiris perasaan masyarakat Pulau
Derawan salah satu pulau wisata yang sangat terkenal itu tersebar keseluruh
penjuru kampung dan kampung-kampung lain seperti Kampung Tanjung Batu, dan
Kampung-Kampung yang ada di Pulau Maratua.
Sebaran kabar dari mulut kemulut, dari ceritera keceritera
yang mengerikan, pajjat tiap malam berkeliaran terbang diatas perkampungan, kampung
menjadi sepi. Begitu malam tiba anak-anak tidak boleh keluar rumah, ketakutan
dan kekawatiran semua orang tua melarang
anaknya bermain dihalaman rumah atau berlarian kesana kemari seperti
malam-malam biasa sebelumnya. Kampung jadi sepi, kampung jadi mencekam, kampung
mati diwaktu malam didalam rumah orang-orang tua berceritera bagaimana pajjat
mengisap darah. Orang yang sedang melahirkan dibantu oleh bidan, menurut kisah
yang mengetahui aksi pajjat darahnya manis dan harum, darah itulah menjadi
santapan pajjat, diminumnya sepuas-puasnya, saat melakukan aksinya pajjat tidak kelihatan, padahal
pajjat ada di saat seorang ibu sedang melahirkan. Kejadiannya mengejutkan,
tiba-tiba ibu yang melahirkan kehabisan darah meninggal bersama bayinya.
Makanya orang-orang dulu selalu menhidupkan api pada malam hari disekitar
rumahnya untuk mengusir iblis setan pajjat.
Heboh beritanya dan menyeramkan kejadiannya disebabkan oleh
kejadian pada satu bulan terakhir ini ada tiga orang meninggal korban dihisap
pajjat, orang-orang tua yang berani keluar malam, hampir tiap malam melihat api
pijar yang disebut pajjat itu terbang menyisir kampung pulau Derawan. Dihabarkan
pula pajjat dalam keadaan terpaksa harus minum darah tidak memilih orang hamil,
ibu melahirkan, darah anak-anak atau darah orang tuapun dihisapnya sebagai
pemulih dahaga. Habar inilah yang menyebabkan anak-anak tidak boleh keluar
rumah, orang-orang tua juga tidak berani keluar rumah, kampung benar-benar
menjadi sunyi senyap. Wisatawanpun enggan kelaur pada malam hari.
Oyong, Amat, dan Alus sepulang dari sekolahnya di SD Pulau
Derawan, dekat sebuah kerangka kapal nelayan yang belum jadi merasa terpanggil
untuk mengetahui kebenaran Pajjat yang menghebohkan, mereka bertiga
merencanakan sesuatu pada malam hari nanti, kebetulan malam gelap tidak ada
bulan. Oyong, Amat, dan Alus prihatin dengan kejadian munculnya pajjat yang membuat
ayah ketiganya tidak melaut, khawatir meninggalkan rumah dan keluarganya,
dengan demikian maka pendapatan orang tuanya tidak menutup kebutuhan
sehari-hari, melautnya hanya siang hari, pada sore hari sudah pulang. Mereka
bertiga, terutama si Oyong merasa ada yang aneh dan mengganjal dengan kejadian
demi kejadian di kampungnya. Menghubungkan antara hantu pajjat dengan kematian
ibu melahirkan.
Oyong, Amat, dan Alus tanpa sepengetahuan orang dirumahnya
selalu mengintai pajjat yang terbang bercahaya pijar seperti api yang membara
berkeliling diatas kampung, pajjat setiap malam selalu muncul, pada jam-jam
yang hampir sama antara pukul sepuluh sampai pukul sebelas malam. Setelah
melayang-layang mengelilingi kampung, kemudian menghilang seperti ditelan bumi,
pajjat itu tidak muncul lagi. Ada yang mengganjal dipikiran Oyang anak yang
pemberani itu, gaya dan gerak api pijar itu selalu sama mengelilingi pulau dan
kemudian menghilang, sedangkan kejadian kematian warga kampung yang melahirkan
dan yang hamil itu terjadi pada pagi hari, malam, dan siang hari. Apakah pada
siang hari pajjat muncul juga, ceritera yang didengar Oyong dari neneknya
pajjat muncul dan mencari mangsa hanya pada malam hari, tapi ibu melahirkan itu
pada siang hari, meninggal. Ah aku tidak bisa menjawabnya…semakin dipikirkan
semakin pusing….memang pajjat mencari mangsa pada siang hari. Waaahhhh… Oyong
menggerutu membuatnya tidak bisa tidur pulas.
Sekitar pukul Sembilan tiga puluh, Oyong keluar dari rumah
melewati pintu belakang, dilain tempat, Amat pada waktu yang sama dengan
mengendap-endap keluar dari jendela rumahnya melompat turun. Sedangkan si Alus
menutupi bantal dan guling dengan sarung, seolah dia sudah asyik tidur. Alus
keluar dari jendela depan rumah. Alus tidak perlu melompat, depan rumahnya ada
teras. Rumah ketiganya rumah kayu berbentuk panggung. Diluar ketiganya bertemu
dibawah pohon pelam besar sesuai janji yang sudah disepakati. Ketiganya
langsung bergerak dikegelapan malam melewati jalan setapak mengarah keujung
pulau yang tidak jauh dari pemakaman kampong. Suara burung hantu dan burung
laut nyaring bersahutan, suara kereriang dan suara cacing tanah menimpali
gelapnya malam membuat bulu kuduk ketiganya merinding. Mendengar suara binatang
mamal dan semakin dekat dengan pekuburan Amat hampir putus asa, langsung mau
putar haluan dan lari pulang, lebih baik pulang dari pada….hiiiii. Alus dan
Oyong dengan sigap menangkap tangannya, meyakinkan dengan berbisik meneruskan
penyelidikan yang sudah dilakukan sebelumnya.
Meneruskan perjalanan ketiga anak SD kelas lima itu saling
berpegangan bahu. Yang didepan Oyang, ditengah Amat dan dibelakang Alus,
sedangkan dibelakang Alus..…hiiiii…wah kacau nih. Pajjat muncul pasti si Alus
yang dimangsanya lebih dahulu. Alus harus berani, Oyong juga harus berani
mengapit temannya yang sudah kedodoran rasa beraniannya, ya siapalagi kalau
bukan si Amat. Tiba-tiba tinggal beberapa langkah lagi pekuburan , Alus melompat dan langsung merangkul Amat
didepannya dan menabrak Oyong yang berada paling depan. Ketiganya jatuh
bergulingan. Alus yang berada dibelakang menghayal pajjat, tiba-tiba kaget mendengar suara yang sangat keras tidak jauh
dari belakangnya. “ Aduh kalian ini bagaimana sih, itukan suara pelepah kelapa
kering yang jatuh” ujar Oyong sambil bangkit dari bergulingan ditanah pasir
dekat kuburan pulau Derawan meyakinkan. “masa Yong” tanya Alus tidak percaya.
“iya…kalau tidak percaya ayo kita” ujar Oyong lebih meyakinkan sembil menarik
tangan Alus untuk menunjukkan pelepah kelapa yang jatuh. “ iiih…tidak mau…tidak
mau” tolak Alus dengan suara pelan hamper berbisik. Akhirnya ketiganya tertawa
kelikikan dimalam gelap. Ketiganya membersihkan pasir dan daun-daun yang
mengotori dan melekat dikaki dan tangan. Dilangit terlihat dari sela-sela daun kelapa penuh
bintang, cuaca bagus, angin bertiup hanya sepoi-sepoi saja, burung hantu
terbang, kepakan sayapnya selintas terdengar. Suara sayapnya mengepak mengarah
kebarat menuju mesjid ditengah pulau.
Setelah pengalaman tadi bergulingan, sekarang ketiganya
semakin menjadi berani. Kurang lebih lima belas menit, Oyong, Amat, dan Alus
sudah sampai diujung pulau. Lalu mencari tempat yang cocok, dengan harapan
mereka mendapat tempat yang leluasa melihat gerak gerik pajjat yang sangat
menakutkan warga kampung nelayan itu. Jantung ketiganya berdetak lebih kencang
dari biayanya, perasaan khawatir, takut, ngeri, berani bercampur aduk seperti
adonan roti yang telah dicampur dengan tepung, gula, ragi dan lain-lain,
setelah dibakar dalam open maka jadilah roti sesuai selera. Ada kurang lebi
setengah jam belum ada tanda-tanda yang mencurigakan, atau kejadian aneh
disekitarnya. Pajjat yang ditunggu belum muncul. Dengan hati-hati tidak gaduh
dan berisik mereka bertiga bergeser ketempat yang lebi aman dan terlindung.
Tiba-tiba “ Amat, Alus lihat apa itu…seperti ada benda bergerak kearah pantai”
Oyong berbisik kepada kedua temannya memberitahu sembari menunjuk kearah
datangnya benda yang bergerak pelan ditengah kegelapan. Mereka bertiga berusaha
melihat lebih jelas dari dalam semak liar ditepi pantai, angin sedikit bertiu
agak kencang, sedang ditengah pulau masih terdengar suara burung laut berteriak
nyaring bersahutan dengan suara kalong yang berebutan makanan. Tidak sampai
seratus meter dari persembunyian tiga serangkai adalah pemakaman, diantaranya
adalah makam Tika ada disana. Beberapa burung yang bertengger diatas batang
yang terdampai dipantai terusik bangundan menjerit, menjadikan bulu kuduk
semakin merinding, detak jantung ketiganya semakin kencang. Apakah bayangan
hitam itu?
Tidak lama terdengar suara percakapan. Ternyata benda hitam
tadi yang mendekat adalah sebuah perahu kecil yang disebut orang kampung dengan
“keleyan” atau kano yang terbuat dari kayu berpenumpang tiga orang. Ketiganya
mendarat langsung menuju tempat yang bersih dan lebih luas, tidak lama kemudian
dikegelapan malam muncul cahaya terang dan pijar dari lokasi orang asing itu
berada dan terbang. Kemudian benda pijar itu terbang berputar-putar lanjut
mengelilingi hamper setengah pulau derawan. Tidak terlalu lama benda pijar itu
turun kembali ketempat semula. Ketiga orang asing dengan berbahasa yang asing
itu kembali keperahu dan pergi meninggalkan pantai terindah didunia, pantai
Derawan. Lamat-lamat perahu keleyan itu menghilang ditelan kegelapan.
Oyang, Amat dan Alus dengan gagah keluar dari persembunyainnya
dan menuju jalan setapak yang mereka lewati tadi. “ Pasti salah satu dari
mereka itu yang menjadi jadi-jadian” ujar Alus membuka pembicaran. “Tapi kenapa
mereka bertiga berkumpul” Oyong menyela “ kata nenekku untuk menjadi pajjat itu
sangat rahasia sekali dan takut diketahui orang lain…kenapa itu tidak” sambung
Oyong penuh tanda Tanya. “Aku juga merasa aneh terhadap orang asing itu,
mengapa sengaja dating kesini sekedar untuk menjadi pajjat dan menghisap darah
perempuan, yang lebih heran lagi waktunya begitu singkat. Kapan dia menghisap
darahnya”Amat menimpali percakapan itu heran dan penuh tanda Tanya. Pada jalan
setapak itu banyak melintas binatang kaki seribu sebesar jempol orang dewasa
warna hitam mengkilap, binatang itu keluar pada malam hari untuk mencari makan.
“Mat, Lus, besok kita temui pak Dodoi Polisi pembela masyarakat kecil dan
sayang pada anak-anak, kita laporkan semua kejadian yang kita lihat malam mini
padanya” ujar Oyong dengan percaya diri. “kenapa harus besok, malam ini saja”
sahut Amat tidak sabar. Ah Amat…besaok saja, sekarang sudah terlalu malam” Alus
memberikan pendapat. Ketiganya pulang kerumah masing-masing.
Masih rahasia penyelidikan pajjat yang dilakukan oleh Oyong,
Amat, dan Alus. Malam berikutnya ketiga anak pemberani itu sudah berada dibawah
pohon pelam yang rimbun, disana mereka berkumpul menunggu pak Dodoi. Oyong,
Amat dan Alus masih khawatir kalau pak Dodoi tidak percaya dengan ceritera
mereka dan tidak datang menemui mereka ditempat itu. Tapi ternyata tidak, pak
Dodoi datang dengan berseragam polisi, nampak gagah benar pak Dodoi malam ini.
Pak Dodoi tersenyum dan kemudian mereka berempat berangkat menuju ujung pulau.
Tidak lama setelah mereka sampai disana dan bersembunyi disemak-semak, dari
kegelapan nampak perahu kecil keleyan yang ditumpangi dua orang asing. Rupanya
mereka datang tidak bertiga lagi seperti malam sebelumnya, keduanya turun dari
perahu dengan santainya langsung menuju ketanah lapang ditempat kemarin malam.
Sebelum mereka berubah menjadi hantu kuyang si pajjat, dengan sigap pak Dodoi
keluar dari persembunyian berlari dengan cepat tanpa menimbulkan suara kearah
perahu kelean milik orang asing tersebut, dan memindahkan perahu tersebut
ketempat lain. Ketiga anak pemberani belum mengerti apa maksud pak Dodoi
memindahkan kelean itu. Pak Dodoi kembali ketempat persembunyian semula bersama
Oyong, Amat, dan Alus. Tidak lama kemudian ditempat kedua orang asing itu
muncul cahaya pijar sebesar kepala manusia mulai terlihat dari semak-semak dan
cahaya pijar itu terbang meninggi. “Wah…tuh… sudah jadi, pajjat-nya sudah jadi
dan terbang” bisik Oyong kepada pak Dodoi yang tepat berada disebelahnya
memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Cahaya pijar sebesar kepala itu terbang
mengudara dan bergerak menuju perkampungan sebelah selatan. Saat bersamaan pak
Dodoi didampingi Oyong, Amat dan Alus dengan mengendap-endap merayap ditepi
pantai mendekati tempat asal munculnya caya pijar sang pajjat. Kedua orang
asing itu masih ada disana tidak kemana-mana, kepalanya masih utuh tidak
terpisah dari tubuhnya seperti ceritera orang tua-tua, pajjat itu kepala yang
terbang sedangkan tubuhnya tinggal ditempat. “Jadi kepala siapa yang terbang
tadi” Tanya mereka masing-masing dalam hati.
“Ssssttt….kalian disini saja…tunggu disini saja yah…”
perintah pak Dodoi setengah berbisik. Pak Dodoi merayap dengan cepat mendekati
kedua orang asing itu, pistol ditangan siap tembak sewaktu-waktu dibutuhkan.
Begitu sudah dekat tinggal beberapa tindak saja, pak Dodoi berdiri dan langsung
berteriak dengan suara perintah…”angkat tangan !!!” teriak pak Dodoi,
mengejutkan kedua orang itu. Suara pak Dodoi memecah kesunyian malam, suaranya
juga sempat mengagetkan ketiga anak pemberani, ketiganya tersentak. Salah satu
orang asing itu langsung ditangkap dan kedua tangannya diborgol, sedangkan yang
seorang lagi lari secepat kilat kearah perahu dibibir pantai. Tetapi orang
asing itu tidak menyangka kalau perahunya sudah tidak ada ditempatnya. Saat
pikirannya limbung, harus melakukan tindakan apa untuk menyelamatkan diri,
Oyong dengan sigap mengambil potongan kayu yang ada didepannya lalu mendekati
orang asing itu dari arah belakang, dan memukulnya dengan keras, mengenai
bagian belakang tengkuk lehernya, orang itu rubuh menggelepar tiarap dipasir
pantai ujung pulau. ”Jangan lari…!!!” teriak pak Dodoi dari arah lain. “sudah
saya tangkap Pak” teriak Oyong dengan berani dan bangga, dibantu Amat dan Alus
memelintir tangan orang asing itu kearah belakangnya.
Kedua orang asing itu diborgol tangan dibelakang, dibawa ke
Pos Polisi Pulau Derawan diiringi oleh Oyong, Amat, dan Alus. Malam itu juga
masyarakat pulau Derawan langsung geger, semua bangun mendengar berita penangkapan
dua orang asing yang tidak dikenal, adalah pajjat yang merongrong masyarakat pulau
Derawan. Bahasa orang asing itu dimengerti oleh sebagian orang tua-tua asli
Pulau Derawan. Setelah diselidiki dengan berbagai pertanyaan ternyata mereka
bukan menjadi pajjat atau hantu kuyang seperti yang tersebar beritanya
diseluruh kampung, tetapi mereka berusaha menakut-nakuti orang sekampung agar
tidak melaut dengan cahaya pijar terbang sebesar kepala dikendalikan dengan
remot control. Mereka adalah penjahat, perompak yang kerjanya menangkap penyu
hijau dan penyu sisik. Binatang laut yang langka dan sangat dilindungi itu
disekitar gugusan pulau Derawan Pulau Panjang dan Pulau Maratua. Esok harinya
kapal penjahat ditangkap ditengah laut oleh sepasukan polisi, mereka bukan
hanya tiga orang tetapi lima belas orang jumlahnya.
Setelah penangkapan orang asing yang menjarah laut wisata
Berau Kalimantan Timur masyarakat pulau nelayan, pulau wisata terkenal didunia
itu tidak takut lagi keluar rumah siang ataupun malam, mereka melaut seperti
biasa mencari ikan dan hasil laut lainnya seperti biasa. Sedangkan kematian
yang sering dihubung-hubungkan dengan pajjat itupun tidak benar, mereka
meninggal karena kekurangan darah dan sebagian lagi meninggal karena sakit.
Oyong, Amat, dan Alus menjadi buah bibir, mereka bertiga menjadi pahlawan
dikampungnya, pahlawan yang menyelamatkan wilayah gugusan kepulauwan dari
penjarahan penyu yang merusak lingkungan dan tujuan wisata. Tiga serangkai
Oyong, Amat, dan Alus dijuluki “tiga anak pemberani” yang membuka rahasia dan
mistri ujung pulau. Hebaaattt….!!!!
Ditulis di Tanjung Redeb 2 Maret 2001.
Ditulis ulang pada tanggal 19-20 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar