Kamis, 26 Maret 2015

CERPEN MISTERI DIUJUNG PULAU



Saprudin Ithur
Cerpen 

MISTERI DIUJUNG PULAU

Belum terlalu siang, masih pukul sepuluh pagi acara pemakaman bu Tika dan bayinya yang baru lahir telah selesai. Dengan upacara sederhana disebuah pemakaman diujung pulau. Gundukan makam itu dirapikan, dilanjutkan dengan membaca doa untuk keselamatan si pulan, kemudian  air dalam ceret berwarna kuning disiramkan disepanjang gundukan yang memanjang, tidak ketinggalan ditaburi bunga-bungaan yang bercampur dengan irisan pandan harum. Seorang bapak setengah tua mendekati gundukan makam yang telah ditinggalkan pelayat. Digundukan itu masih menelungkup Bolo yang ditinggalkan istrinya Tika dan bayinya yang belum sempat diberi nama. Tegur Bapak dengan hiba “ Sudahlah Bolo, jangan kau terlalu sedih, cukup sudah…mari kita pulang” mendengar ajakan itu Bolo bukan beranjak meninggal makam, tetapi tiba-tiba suara tangisnya meledak dengan sekeras-kerasnya, tangisan itu mengejutkan semua pelayat yang berjalan kaki pulang. Dalam tangisnya Bolo berucap “ Bapak!!! Eeeee….aku tidak menyesalkan kepergian istri dan bayiku……tapi aku kesal pada orang yang berbuat jahat itu, apa salah kami…apa dosa kami bapak, istriku Tika yang jadi korban jadi mangsa Pajjat biadab itu” Bolo menghunjamkan kepala kegundukan pasir makam menangis sejadi-jadinya.
Pajjat kata orang Bajau dan Berau, kuyang atau hantu kuyang kata orang Banjar dan Kutai. Pajjat adalah manusia iblis atau manusia setan jadi-jadian, kepala yang lepas dari tubuhnya terbang mencari mangsa. Saat terbang pajjat bercahaya pijar seperti api dan berekor. Pajjat dikenal dengan pengisap darah, yang paling disukainya adalah darah orang hamil dan darah orang melahirkan, resikonya kematian bagi orang yang dihisap darahnya. Kalau sudah keadaan terpaksa, sudah haus darah dan harus minum darah, pajjat tidak lagi memilih, orang tua yang sedang sekaratpun bisa jadi santapannya.
Setelah puas menangis, suaranya mulai kendor dan serak-serak, Bolo dituntun pulang oleh beberapa orang yang tadi kembali mendengar Bolo menangis diatas gundukan istrinya, masih setia menunggu dipemakaman, mereka juga turut terpukul atas kejadian yang menimpa istri dan bayi Bolo. “ nasibmu sudah Bolo….kamu harus iklas dan sabar” bolo mendengarkan sembari masih terisak-isak.
Kabar kejadian yang sangat mengiris perasaan masyarakat Pulau Derawan salah satu pulau wisata yang sangat terkenal itu tersebar keseluruh penjuru kampung dan kampung-kampung lain seperti Kampung Tanjung Batu, dan Kampung-Kampung yang ada di Pulau Maratua.
Sebaran kabar dari mulut kemulut, dari ceritera keceritera yang mengerikan, pajjat tiap malam berkeliaran terbang diatas perkampungan, kampung menjadi sepi. Begitu malam tiba anak-anak tidak boleh keluar rumah, ketakutan dan kekawatiran  semua orang tua melarang anaknya bermain dihalaman rumah atau berlarian kesana kemari seperti malam-malam biasa sebelumnya. Kampung jadi sepi, kampung jadi mencekam, kampung mati diwaktu malam didalam rumah orang-orang tua berceritera bagaimana pajjat mengisap darah. Orang yang sedang melahirkan dibantu oleh bidan, menurut kisah yang mengetahui aksi pajjat darahnya manis dan harum, darah itulah menjadi santapan pajjat, diminumnya sepuas-puasnya, saat melakukan  aksinya pajjat tidak kelihatan, padahal pajjat ada di saat seorang ibu sedang melahirkan. Kejadiannya mengejutkan, tiba-tiba ibu yang melahirkan kehabisan darah meninggal bersama bayinya. Makanya orang-orang dulu selalu menhidupkan api pada malam hari disekitar rumahnya untuk mengusir iblis setan pajjat.
Heboh beritanya dan menyeramkan kejadiannya disebabkan oleh kejadian pada satu bulan terakhir ini ada tiga orang meninggal korban dihisap pajjat, orang-orang tua yang berani keluar malam, hampir tiap malam melihat api pijar yang disebut pajjat itu terbang menyisir kampung pulau Derawan. Dihabarkan pula pajjat dalam keadaan terpaksa harus minum darah tidak memilih orang hamil, ibu melahirkan, darah anak-anak atau darah orang tuapun dihisapnya sebagai pemulih dahaga. Habar inilah yang menyebabkan anak-anak tidak boleh keluar rumah, orang-orang tua juga tidak berani keluar rumah, kampung benar-benar menjadi sunyi senyap. Wisatawanpun enggan kelaur pada malam hari.
Oyong, Amat, dan Alus sepulang dari sekolahnya di SD Pulau Derawan, dekat sebuah kerangka kapal nelayan yang belum jadi merasa terpanggil untuk mengetahui kebenaran Pajjat yang menghebohkan, mereka bertiga merencanakan sesuatu pada malam hari nanti, kebetulan malam gelap tidak ada bulan. Oyong, Amat, dan Alus prihatin dengan kejadian munculnya pajjat yang membuat ayah ketiganya tidak melaut, khawatir meninggalkan rumah dan keluarganya, dengan demikian maka pendapatan orang tuanya tidak menutup kebutuhan sehari-hari, melautnya hanya siang hari, pada sore hari sudah pulang. Mereka bertiga, terutama si Oyong merasa ada yang aneh dan mengganjal dengan kejadian demi kejadian di kampungnya. Menghubungkan antara hantu pajjat dengan kematian ibu melahirkan.
Oyong, Amat, dan Alus tanpa sepengetahuan orang dirumahnya selalu mengintai pajjat yang terbang bercahaya pijar seperti api yang membara berkeliling diatas kampung, pajjat setiap malam selalu muncul, pada jam-jam yang hampir sama antara pukul sepuluh sampai pukul sebelas malam. Setelah melayang-layang mengelilingi kampung, kemudian menghilang seperti ditelan bumi, pajjat itu tidak muncul lagi. Ada yang mengganjal dipikiran Oyang anak yang pemberani itu, gaya dan gerak api pijar itu selalu sama mengelilingi pulau dan kemudian menghilang, sedangkan kejadian kematian warga kampung yang melahirkan dan yang hamil itu terjadi pada pagi hari, malam, dan siang hari. Apakah pada siang hari pajjat muncul juga, ceritera yang didengar Oyong dari neneknya pajjat muncul dan mencari mangsa hanya pada malam hari, tapi ibu melahirkan itu pada siang hari, meninggal. Ah aku tidak bisa menjawabnya…semakin dipikirkan semakin pusing….memang pajjat mencari mangsa pada siang hari. Waaahhhh… Oyong menggerutu membuatnya tidak bisa tidur pulas.
Sekitar pukul Sembilan tiga puluh, Oyong keluar dari rumah melewati pintu belakang, dilain tempat, Amat pada waktu yang sama dengan mengendap-endap keluar dari jendela rumahnya melompat turun. Sedangkan si Alus menutupi bantal dan guling dengan sarung, seolah dia sudah asyik tidur. Alus keluar dari jendela depan rumah. Alus tidak perlu melompat, depan rumahnya ada teras. Rumah ketiganya rumah kayu berbentuk panggung. Diluar ketiganya bertemu dibawah pohon pelam besar sesuai janji yang sudah disepakati. Ketiganya langsung bergerak dikegelapan malam melewati jalan setapak mengarah keujung pulau yang tidak jauh dari pemakaman kampong. Suara burung hantu dan burung laut nyaring bersahutan, suara kereriang dan suara cacing tanah menimpali gelapnya malam membuat bulu kuduk ketiganya merinding. Mendengar suara binatang mamal dan semakin dekat dengan pekuburan Amat hampir putus asa, langsung mau putar haluan dan lari pulang, lebih baik pulang dari pada….hiiiii. Alus dan Oyong dengan sigap menangkap tangannya, meyakinkan dengan berbisik meneruskan penyelidikan yang sudah dilakukan sebelumnya.
Meneruskan perjalanan ketiga anak SD kelas lima itu saling berpegangan bahu. Yang didepan Oyang, ditengah Amat dan dibelakang Alus, sedangkan dibelakang Alus..…hiiiii…wah kacau nih. Pajjat muncul pasti si Alus yang dimangsanya lebih dahulu. Alus harus berani, Oyong juga harus berani mengapit temannya yang sudah kedodoran rasa beraniannya, ya siapalagi kalau bukan si Amat. Tiba-tiba tinggal beberapa langkah lagi pekuburan ,  Alus melompat dan langsung merangkul Amat didepannya dan menabrak Oyong yang berada paling depan. Ketiganya jatuh bergulingan. Alus yang berada dibelakang menghayal pajjat, tiba-tiba kaget  mendengar suara yang sangat keras tidak jauh dari belakangnya. “ Aduh kalian ini bagaimana sih, itukan suara pelepah kelapa kering yang jatuh” ujar Oyong sambil bangkit dari bergulingan ditanah pasir dekat kuburan pulau Derawan meyakinkan. “masa Yong” tanya Alus tidak percaya. “iya…kalau tidak percaya ayo kita” ujar Oyong lebih meyakinkan sembil menarik tangan Alus untuk menunjukkan pelepah kelapa yang jatuh. “ iiih…tidak mau…tidak mau” tolak Alus dengan suara pelan hamper berbisik. Akhirnya ketiganya tertawa kelikikan dimalam gelap. Ketiganya membersihkan pasir dan daun-daun yang mengotori dan melekat dikaki dan tangan. Dilangit  terlihat dari sela-sela daun kelapa penuh bintang, cuaca bagus, angin bertiup hanya sepoi-sepoi saja, burung hantu terbang, kepakan sayapnya selintas terdengar. Suara sayapnya mengepak mengarah kebarat menuju mesjid ditengah pulau.
Setelah pengalaman tadi bergulingan, sekarang ketiganya semakin menjadi berani. Kurang lebih lima belas menit, Oyong, Amat, dan Alus sudah sampai diujung pulau. Lalu mencari tempat yang cocok, dengan harapan mereka mendapat tempat yang leluasa melihat gerak gerik pajjat yang sangat menakutkan warga kampung nelayan itu. Jantung ketiganya berdetak lebih kencang dari biayanya, perasaan khawatir, takut, ngeri, berani bercampur aduk seperti adonan roti yang telah dicampur dengan tepung, gula, ragi dan lain-lain, setelah dibakar dalam open maka jadilah roti sesuai selera. Ada kurang lebi setengah jam belum ada tanda-tanda yang mencurigakan, atau kejadian aneh disekitarnya. Pajjat yang ditunggu belum muncul. Dengan hati-hati tidak gaduh dan berisik mereka bertiga bergeser ketempat yang lebi aman dan terlindung. Tiba-tiba “ Amat, Alus lihat apa itu…seperti ada benda bergerak kearah pantai” Oyong berbisik kepada kedua temannya memberitahu sembari menunjuk kearah datangnya benda yang bergerak pelan ditengah kegelapan. Mereka bertiga berusaha melihat lebih jelas dari dalam semak liar ditepi pantai, angin sedikit bertiu agak kencang, sedang ditengah pulau masih terdengar suara burung laut berteriak nyaring bersahutan dengan suara kalong yang berebutan makanan. Tidak sampai seratus meter dari persembunyian tiga serangkai adalah pemakaman, diantaranya adalah makam Tika ada disana. Beberapa burung yang bertengger diatas batang yang terdampai dipantai terusik bangundan menjerit, menjadikan bulu kuduk semakin merinding, detak jantung ketiganya semakin kencang. Apakah bayangan hitam itu?
Tidak lama terdengar suara percakapan. Ternyata benda hitam tadi yang mendekat adalah sebuah perahu kecil yang disebut orang kampung dengan “keleyan” atau kano yang terbuat dari kayu berpenumpang tiga orang. Ketiganya mendarat langsung menuju tempat yang bersih dan lebih luas, tidak lama kemudian dikegelapan malam muncul cahaya terang dan pijar dari lokasi orang asing itu berada dan terbang. Kemudian benda pijar itu terbang berputar-putar lanjut mengelilingi hamper setengah pulau derawan. Tidak terlalu lama benda pijar itu turun kembali ketempat semula. Ketiga orang asing dengan berbahasa yang asing itu kembali keperahu dan pergi meninggalkan pantai terindah didunia, pantai Derawan. Lamat-lamat perahu keleyan itu menghilang ditelan kegelapan.
Oyang, Amat dan Alus dengan gagah keluar dari persembunyainnya dan menuju jalan setapak yang mereka lewati tadi. “ Pasti salah satu dari mereka itu yang menjadi jadi-jadian” ujar Alus membuka pembicaran. “Tapi kenapa mereka bertiga berkumpul” Oyong menyela “ kata nenekku untuk menjadi pajjat itu sangat rahasia sekali dan takut diketahui orang lain…kenapa itu tidak” sambung Oyong penuh tanda Tanya. “Aku juga merasa aneh terhadap orang asing itu, mengapa sengaja dating kesini sekedar untuk menjadi pajjat dan menghisap darah perempuan, yang lebih heran lagi waktunya begitu singkat. Kapan dia menghisap darahnya”Amat menimpali percakapan itu heran dan penuh tanda Tanya. Pada jalan setapak itu banyak melintas binatang kaki seribu sebesar jempol orang dewasa warna hitam mengkilap, binatang itu keluar pada malam hari untuk mencari makan. “Mat, Lus, besok kita temui pak Dodoi Polisi pembela masyarakat kecil dan sayang pada anak-anak, kita laporkan semua kejadian yang kita lihat malam mini padanya” ujar Oyong dengan percaya diri. “kenapa harus besok, malam ini saja” sahut Amat tidak sabar. Ah Amat…besaok saja, sekarang sudah terlalu malam” Alus memberikan pendapat. Ketiganya pulang kerumah masing-masing.
Masih rahasia penyelidikan pajjat yang dilakukan oleh Oyong, Amat, dan Alus. Malam berikutnya ketiga anak pemberani itu sudah berada dibawah pohon pelam yang rimbun, disana mereka berkumpul menunggu pak Dodoi. Oyong, Amat dan Alus masih khawatir kalau pak Dodoi tidak percaya dengan ceritera mereka dan tidak datang menemui mereka ditempat itu. Tapi ternyata tidak, pak Dodoi datang dengan berseragam polisi, nampak gagah benar pak Dodoi malam ini. Pak Dodoi tersenyum dan kemudian mereka berempat berangkat menuju ujung pulau. Tidak lama setelah mereka sampai disana dan bersembunyi disemak-semak, dari kegelapan nampak perahu kecil keleyan yang ditumpangi dua orang asing. Rupanya mereka datang tidak bertiga lagi seperti malam sebelumnya, keduanya turun dari perahu dengan santainya langsung menuju ketanah lapang ditempat kemarin malam. Sebelum mereka berubah menjadi hantu kuyang si pajjat, dengan sigap pak Dodoi keluar dari persembunyian berlari dengan cepat tanpa menimbulkan suara kearah perahu kelean milik orang asing tersebut, dan memindahkan perahu tersebut ketempat lain. Ketiga anak pemberani belum mengerti apa maksud pak Dodoi memindahkan kelean itu. Pak Dodoi kembali ketempat persembunyian semula bersama Oyong, Amat, dan Alus. Tidak lama kemudian ditempat kedua orang asing itu muncul cahaya pijar sebesar kepala manusia mulai terlihat dari semak-semak dan cahaya pijar itu terbang meninggi. “Wah…tuh… sudah jadi, pajjat-nya sudah jadi dan terbang” bisik Oyong kepada pak Dodoi yang tepat berada disebelahnya memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Cahaya pijar sebesar kepala itu terbang mengudara dan bergerak menuju perkampungan sebelah selatan. Saat bersamaan pak Dodoi didampingi Oyong, Amat dan Alus dengan mengendap-endap merayap ditepi pantai mendekati tempat asal munculnya caya pijar sang pajjat. Kedua orang asing itu masih ada disana tidak kemana-mana, kepalanya masih utuh tidak terpisah dari tubuhnya seperti ceritera orang tua-tua, pajjat itu kepala yang terbang sedangkan tubuhnya tinggal ditempat. “Jadi kepala siapa yang terbang tadi” Tanya mereka masing-masing dalam hati.
“Ssssttt….kalian disini saja…tunggu disini saja yah…” perintah pak Dodoi setengah berbisik. Pak Dodoi merayap dengan cepat mendekati kedua orang asing itu, pistol ditangan siap tembak sewaktu-waktu dibutuhkan. Begitu sudah dekat tinggal beberapa tindak saja, pak Dodoi berdiri dan langsung berteriak dengan suara perintah…”angkat tangan !!!” teriak pak Dodoi, mengejutkan kedua orang itu. Suara pak Dodoi memecah kesunyian malam, suaranya juga sempat mengagetkan ketiga anak pemberani, ketiganya tersentak. Salah satu orang asing itu langsung ditangkap dan kedua tangannya diborgol, sedangkan yang seorang lagi lari secepat kilat kearah perahu dibibir pantai. Tetapi orang asing itu tidak menyangka kalau perahunya sudah tidak ada ditempatnya. Saat pikirannya limbung, harus melakukan tindakan apa untuk menyelamatkan diri, Oyong dengan sigap mengambil potongan kayu yang ada didepannya lalu mendekati orang asing itu dari arah belakang, dan memukulnya dengan keras, mengenai bagian belakang tengkuk lehernya, orang itu rubuh menggelepar tiarap dipasir pantai ujung pulau. ”Jangan lari…!!!” teriak pak Dodoi dari arah lain. “sudah saya tangkap Pak” teriak Oyong dengan berani dan bangga, dibantu Amat dan Alus memelintir tangan orang asing itu kearah belakangnya.
Kedua orang asing itu diborgol tangan dibelakang, dibawa ke Pos Polisi Pulau Derawan diiringi oleh Oyong, Amat, dan Alus. Malam itu juga masyarakat pulau Derawan langsung geger, semua bangun mendengar berita penangkapan dua orang asing yang tidak dikenal, adalah pajjat yang merongrong masyarakat pulau Derawan. Bahasa orang asing itu dimengerti oleh sebagian orang tua-tua asli Pulau Derawan. Setelah diselidiki dengan berbagai pertanyaan ternyata mereka bukan menjadi pajjat atau hantu kuyang seperti yang tersebar beritanya diseluruh kampung, tetapi mereka berusaha menakut-nakuti orang sekampung agar tidak melaut dengan cahaya pijar terbang sebesar kepala dikendalikan dengan remot control. Mereka adalah penjahat, perompak yang kerjanya menangkap penyu hijau dan penyu sisik. Binatang laut yang langka dan sangat dilindungi itu disekitar gugusan pulau Derawan Pulau Panjang dan Pulau Maratua. Esok harinya kapal penjahat ditangkap ditengah laut oleh sepasukan polisi, mereka bukan hanya tiga orang tetapi lima belas orang jumlahnya.
Setelah penangkapan orang asing yang menjarah laut wisata Berau Kalimantan Timur masyarakat pulau nelayan, pulau wisata terkenal didunia itu tidak takut lagi keluar rumah siang ataupun malam, mereka melaut seperti biasa mencari ikan dan hasil laut lainnya seperti biasa. Sedangkan kematian yang sering dihubung-hubungkan dengan pajjat itupun tidak benar, mereka meninggal karena kekurangan darah dan sebagian lagi meninggal karena sakit. Oyong, Amat, dan Alus menjadi buah bibir, mereka bertiga menjadi pahlawan dikampungnya, pahlawan yang menyelamatkan wilayah gugusan kepulauwan dari penjarahan penyu yang merusak lingkungan dan tujuan wisata. Tiga serangkai Oyong, Amat, dan Alus dijuluki “tiga anak pemberani” yang membuka rahasia dan mistri ujung pulau. Hebaaattt….!!!!

Ditulis di Tanjung Redeb 2 Maret 2001.
Ditulis ulang pada tanggal 19-20 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar