Kamis, 26 Maret 2015

JUJURAN MENURUT HUKUM ADAT BANUA



Saprudin Ithur


J  U  J  U  R  A  N

MENURUT HUKUM ADAT

SUKU BERAU (BANUA)




1.    PENDAHULUAN

Dr. Alfian mendefinisikn kebudayaan adalah sebagai salah satu sumber utama dari system dan tata nilai yang dihayati dan dianut seseorang atau masyarakat yang selanjutnya membentuk sikap mental atau pola pikir. Menurut Drs. Sri Waluyo dalam ceramah penyuluhan kebudayaan/kesenian di Kabupaten Berau tahun 1991/1992 dengan judul “faktor-faktor penunjang dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan” adalah merupakan bagian internal yang tidak dapat dipisahkan dari pada kehidupan manusia. Hal-hal tersebut berupa antara moral, etik, sikap, mental, tingkah laku serta nilai-nilai hidup manusia. Oleh karena itu peninggalan nenek moyang kita berupa warisan kebudayaan tradisional seperti adat istiadat, tradisi serta kebudayaan lainnya harus dilestarikan serta dibina dan dikembangkan dan disesuaikan dengan tuntutan zaman tanpa menghilangkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia.
Garis-garis Besar Haluan Negara, TAP. MPR no. II/MPR/1983 merupakan ketetapan yang mempertegas dan lebih memperinci ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 mengenai pengembangan kebudayaan. Adapun isinya antara lain sebagai berikut :
1) Nilai budaya Indonesia yang mencerminkan nilai luhur bangsa harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga  diri  dan kebangsaan nasional dan memperkokoh jiwa persatuan;
2)  Kebudayaan harus dibina dan diarahkan pada penerapan nilai-nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila;
3)  Tradisi dan peninggalan sejarah yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebangsaan dan kemanfaatan nasional tetap dipelihara dan dibina untuk memupuk, memperkaya dan memberi corak khas kepada kebudayaan nasional.
Jujuran sangat dikenal dan masih akrab dengan masyarakat Berau adalah salah satu kebudayaan daerah yang perlu mendapatkan perhatian dalam perkembangannya, apalagi saat ini perkawinan/pernikahan dan perceraian ada kaitan dengan jujuran. Jujuran berasal dari kata  “jujur” yang mendapat akhiran “an”. Jujur adalah melakukan, berbuat, berkata-kata, bertindak, berjanji tidak melebihkan dan mengurangi apa yang sudah digariskan atau dipesankam/disampaikan, jujur dalam memegang janji, jujur dalam melaksanakan tugas, jujur dalam berkata-kata, dan seterusnya. Jujuran yang kita kupas disini adalah yang berkaitan dengan  hantaran pengantin laki-laki sebelum dilaksanakannya pernikahan dan peresmian/perayaan/pesta perkawinan.
Jadi jujuran adalah pemberian dari pihak calon mempelai laki-laki yang berbentuk uang dan barang lainnya sesuai dengan hasil musyawarah dan mupakat dalam satu pertemuan majelis kedua belah  pihak, yang dihantar oleh keluarga mempelai laki-laki kepada mempelai wanita diluar uang mahar. Besaran uang yang diantar tergantung pada hasil kesepakatan, yang berarti banyak uang yang diantar acara pesta perkawianan dilaksanakan dengan meriah, sedikit uang yang diantar pesta perkawinan disesuaikan dengan kemampuan, begitu. Sedangkan barang lainnya ada yang berbentuk tambahan dari uang yang diantar seperti beras, gula, tepung, minyak dan lain-lain, tetapi ada  berbentuk barang yang nantinya digunakan oleh kedua mempelai menjalani bahtera kehidupan seperti seperangkat tempat tidur, lemari, cincin emas, bopet, pakaian wanita.
Jujuran boleh dilaksanakan atau diadakan, tetapi boleh juga tidak dari pihak laki-laki. Hanya kalau tidak dilaksanakan sangat membuat aib keluarga mempelai wanita pada zamannya. Jujuran  tergantung pada kemampuan pihak laki-laki serta hasil musyawarah dan mupakat kedua belah pihak saat keluarga laki-laki melamar. Syahnya pernikahan tidak tergantung pada berapa banyak jujuran yang diantar oleh mempelai laki-laki. Oleh karena itu jauhkan anggapan bahwa menikahi wanita Berau harus  memberi jujuran yang memberatkan kaum laki-laki, tidak seperti itu, tetapi antaran jujuran hasil dari musyawarah mupakat kedua belah pihak keluarga calon mempelai. Diakui memang Jujuran identik dengan pernikahan laki-laki dengan wanita Berau. Jadi sekali lagi ketentuan berapa banyak jujuran yang diantar dari mempelai laki-laki adalah hasil musyawarah dan mupakat kedua belah pihak keluarga mempelai. Jujuran tidak ada unsur paksaan, kecuali wanita yang dilamar tidak mau menikah dengan laki-laki yang melamar. Bisa saja jujuran diminta semahal mungkin, dengan tujuan keluarga laki-laki menyatakan tidak sanggup, tidak berlanjut kejenjang pernikahan.
Memang pada akhir-akhir ini jujuran menjadi salah satu momok dan sebuah gengsi, ada diantara masyarakat Berau beranggapan jujuran besar, banyak, dan mahal itu dapat mengangkat gengsi dan derajat keluarga dimata masyarakat umum, dan menjadi buah bibir dan kebanggaan keluarga. Apabila demikian tentu dapat memberangus budaya musyawarah mupakat yang sudah tumbuh dan berkembang sejak nenek moyang dahulu. Tradisi jujuran adalah salah satu kekayaan budaya kebudayaan bangsa yang harus kita lestarikan keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang ada dimasyarakat. Banyak juga orang-orang tua suku Berau yang menikahkan anak gadisnya atau anak laki-lakinya tidak menggunakan jujuran, tidak ada masalah, pernikahan syah saja.


2.    SEJARAH

Pada masa kerajaan masih berdiri di Indonesia termasuk kerajaan Berau ( Sambaliung dan Gunung Tabur), Sriwijaya, Majapahit dan lain-lain sebenarnya jujuran sudah dikenal hanya bentuk dan modelnya berbeda dan sebutannyapun bukan jujuran seperti sekarang ini. Pada masa ini jujuran ada yang berbentuk jiwa, ada yang berbentuk keberanian atau kepahlawanan, dan ada pula yang berbentuk harta kekayaan.
a.  Yang berbentuk Jiwa dan Kepahlawanan.
Seorang pangeran atau seorang laki-laki yang gagah berani dan perkasa untuk mendapatkan wanita pujaannya seorang putri atau seorang  wanita cantik harus mampu melakukan pertarungan dengan mengalahkan raksasa, penyamun, perompak, atau orang jahat yang mengganggu keamanan kerajaan. Raja yang wilayah kerajaannya terusik keamanannya mengadakan sayembara untuk menumpas pengganggu keamanan dan ketentraman tersebut. Pengumuman disampaikan dengan terbuka, diumumkan keseluruh penjuru kerajaan. Siapa yang mampu mengalahkan atau menangkap perompak, penyamun, hantu atau raksasa yang mengganggu keamanan dan ketentraman kerajaan dijodohkan dengan Putri Raja, apa bila seorang wanita akan diangkat menjadi putri raja.
b.  Berbentuk keberanian dan ketangkasan
Kebanyakan seorang putri kerajaan baru mau dikawinkan apabila melihat langsung kehebatan dan ketangkasan calon suaminya dalam berolah senjata dan bertarung. Harapan putri dimasa akan datang pasti pada suatu saat suaminya mampu menggantikan ayahanda raja untuk menjadi raja. Putri meminta kepada ayahnya untuk mengadakan sayembara adu ketangkasan, yang paling hebat sebagai pemenang jadi suami putri. Dibuatlah sebuah gelanggang untuk adu ketangkasan berolah tubuh, berolah senjata dan tarung satu lawan satu. Diumumkan keseluruh penjuru negeri dan boleh pesertanya dari kerajaan lain. Sayembara itu selain ditonton langsung oleh putri sebagai calon mempelai wanita juga ditonton dan disaksikan masyarakat luas. Pemenangnya berhak mendapatkan putri kerajaan.
c.   Berbentuk harta kekayaan.
Apabila seorang raja atau seorang pangeran berangkat melamar putri kerajaan lain, rombongan yang diutus untuk melamar membawa bermacam hadiah dan persembahan kepada raja kerajaan yang dituju, ada yang berbentuk emas, perak, permata, kain yang mahal.  Adalah sebuah pertanda kerajaan yang datang melamar sebagai raja atau pangeran yang kaya dan makmur. Hadiah atau persembahan yang berbentuk harta dan kekayaan itu diberikan secara ikhlas kepada raja kerajaan yang dituju. Apabila diterima harta benda bawaan tersebut tentu menjadi milik kerajaan dan lamaran bersambut, apabila ditolak dapat menjadi permusuhan yang besar dan berkepanjangan bahkan  sampai menjadi peperangan kedua kerajaan, ditolak berarti merendahkan dan mempermalukan kerajaan lain yang berniat baik menyambung silaturahmi melalui perkawinan.


3.    PANCAR

Pada masa lalu pernikahan dilaksanakan dengan sederhana, pasangan pengantin tidak orang jauh-jauh, tetapi orang-orang yang masih sekampung, bertetangga, dan bahkan masih ada hubungan keluarga. Pada masa lalu wanita sulit untuk dilihat, malu-malu, sembunyi, kalau ketemu pemuda lajang langsung lari dan masuk rumah, maka dibutuhkan cara-cara pendekatan tersendiri untuk mengenal lebih dekat wanita yang diinginkan, salah satunya adalah pancar. Pancar adalah upaya mengenali secara dekat dengan cara memperhatikan lebih jauh perilaku atau watak serta kebiasaan, adat istiadat, keahlian, kemampuan, kepandaian, keterampilan, dan kesiapan sejauhmana kedewasaan seorang wanita calon mempelai. Dalam istilah pancar (bahasa Berau) ada beberapa tahapan  yang dilakukan pihak laki-laki dan keluarga laki-laki.
1) Bakumi-kumi
Bakumi-kumi adalah menanyakan langsung kepada orang tua gadis dengan kata-kata sindiran yang indah-indah. Yang melaksanakan bakumi-kumi orang tua laki-laki (ibu) langsung atau diwakilkan kepada keluarga dekat yang dipercaya untuk menyelidik. Kata-kata yang diucapkan diantaranya sebagai berikut : “Dapaikah  kami mulang karuma ini?”( dapatkah kami pulang kerumah ini) kata yang datang dari pihak laki-laki, dijawabnya dengan “ Dapai saja attuah, apalagi kita sarappun ini” (boleh saja, aplagi kita seketurunan ini) apabila pihak perempuan menyukai laki-laki yang dicalonkan untuk pasangan wanita-nya. Setelah melalui proses bakumi-kumi dilanjutkan dengan istilah
2) Bajarum-jarum
Bajarum-jarum adalah mulai menawarkan diri atau ingin mengetahui secara langsung hal ikhwal si Gadis yang ingin dilamar sebagai calon menantu, diketahui sampai dengan keahlian dan tingkat kedewasaannya. Wanita yang diutus bajarum-jarum minta dicarikan kutu dikepalanya, calon mempelai wanita harus piawai mencari kutu dan membersihkan kotoran kepala ketombe, waktu mengikis kulit kepala dirasakan benar oleh wanita utusan untuk menyelidik, kalau dirasakan pintar dan nyaman mengikis kepala, gadis itu di puji bagus kau nak, pintar kau nak, talla dapai balaki kau nak (sudah bisa menikah kau nak) dan pujian lain-lain, dianggap telah dewasa.  Kalau belum pandai mencari kutu, belum enak mengikis ketombe, tidak enak rasanya dikepala, maka gadis tersebut belum bisa dikawinkan, masih belum dewasa. Orang yang dicari kutunya akan berucap” dami karra dikuar-kuarnya kepalangku” artinya seperti kera menggaruk-garuk/menghambur-hambur kepalaku. Setelah selesi bakumi-kumi dan bajarum-jarum dilanjutkan dengan “Basusuran” atau melamar.


4.    S U M A’

Di Kabupaten Berau sejak jaman dulu, jaman kerajaan, sebelum ada istilah jujuran dikenal luas ada yang namanya Suma’. Suma’ adalah tanda jadi atau sebagi penebus diri wanita yang berupa seperti Gong, Tabak, (model Baki atau Talam), atau Tempayan (Guci). Suma diberikan kepada pihak keluarga wanita, apabila lamaran (Basusuran, badatang) dari pihak laki-laki sudah disepakati dan diterima.
Disayangkan sekali adat Pancar dan adat Suma’ sudah berakhir dan tidak dipakai lagi sejak tahun 1930-an, suma’ digantikan dengan kata baru yaitu Jujuran. Sedangkan Pancar dengan pengaruh modernisasi sudah dianggap ketinggalan zaman dan ditinggalkan. Kecuali didaerah pedalaman yang belum banyak dipengaruhi kaum pendatang, sampai tahun 1980-an masih menggunakan adat Suma’ sebagai tanda jadi atau pengganti hukum adat. Pengaruh kata jujuran yang masuk ke Kabupaten Berau pada masanya dulu di mungkinkan pengaruh oleh bahasa Banjar. Etnis yang lebih dahulu masuk ke Kerajaan Berau antara lain etnis Brunai, Tidung, Suluk (Bajau), Bugis, dan Banjar, kemudian disusul Cina, Sulawesi Tengah dan lain-lain. Jujuran berasal dari bahasa Banjar yang kemudian ditransper menjadi bahasa Berau. Suku Banjar sudah mendiami wilayah Berau sejak 130 tahun lalu yang sekarang sudah generasi kelima dan keenam dan menyatu dengan suku Berau, pengaruh bahasa Banjar sangat kental dalam mempengaruhi bahasa dan budaya Berau sejak lama. Suku Banjar sejak awal kedatangannya tinggal di Sukan, Rinding, kampung Banjar Jalan Pulau Derawan. Diantara  tokoh Banjar yang terkenal adalah Pambakal Ambi (Ramli) yang diutus oleh Sultan Sambaliung menjadi Pambakal (Kepala Kampung) pertama di Kampung Muara Lesan. Makamnya dipemakaman Muslim Jalan Pulau Semama. tokoh kedua adalah Syech Ali Djunaidi Al Banjari tokoh penyebar agama Islam, makamnya dikenal dengan makam kubah di jalan Pulau Derawan. Makam Syech Ali Djunaidi dikunjungi puluhan ribu orang setiap tahunnya, setiap dilaksanakan Haul dihadiri ribuan orang.


5.    MENYERAHKAN SUMA’

Cara menyebutkan kata Suma’ biasa saja, hanya perlu diketahui dalam membacanya pada hurup “a” akhir harus mendapat tekanan dan berhenti, oleh karena itu  pada akhir kata suma diberi tanda petik (‘) seperti ini suma’.
Suma’ artinya pemberian sesuatu yang berbentuk barang sebagai tanda jadi dan sebagai penebus diri wanita (calon mempelai wanita) dari laki-laki (calon mempelai laki-laki). Pemberian tersebut diterima oleh orang tua wanita atau perwakilannya disaksikan orang banyak dan disimpan sebaik mungkin.
Suma’ diberikan kepada pihak wanita apabila sudah ada kesepakatan dalam majelis musyawarah mupakat kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak laki-laki. Dalam artian lamaran dari pihak laki-laki sudah diterima oleh pihak perempuan. Suma’ berbentuk gong, tabbak, atau tempayan seperti dijelaskan diatas. Upacara penyerahan suma’ biasa diadakan acara tersendiri dan dihadiri sanak dan keluarga, kerabat kedua belah pihak dengan tujuan semua yang hadir mengetahui bahwa putrinya si Pulan sudah dilamar oleh seorang pemuda diikat dengan suma’ yang diantarkan itu. Tidak lama lagi peresmian pernikahan akan segera dilaksanakan dan syah menjadi suami istri.
Ada keterangan lain menyebutkan bahwa suma’ tersebut ya jujuran, sebelum dikenal istilah jujuran dalam bahasa Berau. Suma’ identik dengan jujuran, jujuran ialah suma’. Oleh orang Berau disebut dengan “mangatar Suma’” atau dikenal sekarang “mangatar jujuran”
Barang yang diatar masih sangat terbatas sesuai dengan keadaan pada masa itu, sangat berbeda dengan yang diantar pada saat ini lengkap dan mahal.
Pada awalnya suma’ hanya  pengganti wanita berupa gong, tabbak, tampayan. Kemudian lebih berkembang dengan disertakan uang, tempat tidur, kain serba selembar, dan pengganti wanita gong, tabbak, atau tempayan tersebut.


6.    SUMA’ DIKEMBALIKAN

Suma’ yang berbentuk gong, tabbak, atau tempayan sebagai pengganti wanita yang dinikahi harus dikembalikan pihak wanita apabila :
1) Suami tidak pernah menggauli istrinya yang sudah dinikahinya selama berumah tangga, sedangkan keduanya dianggap normal tidak kekurangan sesuatu apapun.
2) Selama berkumpul sebagai suami istri, istrinya tidak mau digauli sebagaimana suami istri, dengan alasan tidak menyukai suaminya, tidak mencintai suaminya, atau kawin paksa.
Maka dengan demikian suaminya yang syah itu merasa dirugikan atas tingkah dan prilaku istrinya, apabila istrinya diceraikan oleh suami, maka suma’ berbentuk gong, tabbak, atau tempayan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya (hak pihak laki-laki).
Dari keterangan yang lebih maju mengatakan hal yang sama, bahwa suma’ yang berbentuk barang harus dikembalikan,  sebab masih menjadi hak dari laki-laki yang belum mendapatkan apa-apa dari istrinya yang sudah dinikahinya, khusus hubungan suami istri. Sedangkan yang berbentuk uang tidak dikembalikan, karena sudah habis dipergunakan saat pesta perkawinan. Uang dianggap terbakar, karena belanjaan acara pesta perkawinan sudah dimasak dan dimakan bersama-sama. Pengembalian suma’ memang sudah biasa dilaksanakan pada masa-masa lalu


7.    JUJURAN

Sejak tahun 1930-an istilah jujuran sudah dikenal di masyarakat suku Berau (Banua’). Jujuran adalah pemberian atau hantaran dari pihak mempelai laki-laki yang berbentuk uang dan barang. Jujuran disampaikan diantar dengan upacara yang sangat meriah, masing-masing barang dipisah dihiasi dimasukan dalam tempat yang indah-indah, masing-masing barang dibawa oleh seorang ibu diarak dengan banyak pengikut. Saat ini mengantar jujuran sekaligus acara pernikahan kedua mempelai.
Sebelum adanya keputusan musyawarah, jujuran yang akan diserahkan kepada pihak wanita, pihak laki laki sudah melakukan beberapa tahapan :
a.    Pihak laki-laki badatang/melamar kepada pihak keluarga wanita. Kedua belah pihak bertemu bermusyawarah dirumah pihak wanita, musyawarah dengan tujuan melamar itu harus mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga wanita, artinya lamaran diterima. Apabila pihak wanita berkenan dan setuju dengan calon mempelai laki-laki, maka prosesi melamar tidak masalah karena sudah diterima. Dilanjutkan dengan membicarakan apa saja yang diminta pihak keluarga wanita, dan bagaimana kesanggupan dari pihak keluarga laki-laki. Musyawarah semacam ini tidak terlalu lama, tawar-menawar dan disesuaikan dengan kemampuan dari pihak laki-laki, selesai.
        Lain halnya dengan sejak awal pihak mempelai wanita tidak menyukai calon mempelai laki-laki karena sesuatu dan lain hal. Dalam majelis musyawarah  terjadi sangat alot, dan tidak akan ketemu dan tidak ada kesepakatan. Pihak wanita saat kedatangan tamu dari pihak laki-laki biasanya tidak menolak langsung, tetapi dengan bahasa yang halus menawarkan uang jujuran sangat tinggi yang diperkirakan memang tidak akan disanggupi oleh pihak keluarga laki-laki. Dengan tingginya uang jujuran diharapkan pihak laki-laki mundur teratur. Yang paling memalukan bagi keluarga wanita apabila pihak laki-laki menyanggupi berapa saja yang ditawarkan oleh pihak laki-laki. Akhirnya perkawinan itu seperti terjadi jual beli, dan harus dilaksanakan dengan terpaksa, karena sudah terlanjur malu. Bagi mempelai wanita setelah menikah ada dua kemungkinan terjadi : pertama, tidak mau berkumpul dengan suaminya, karena tidak suka dan tidak mencintai istilah anak muda saat ini bukan pilihan, berujung cerai; kedua, bisa berubah menjadi cinta karena kepandaian suaminya mendekati dan meyakinkan bahwa perkawinan mereka didasari cinta yang medalam dan tulus dari laki-laki, walaupun cintanya bertepuk sebelah tangan atau perasaan cintanya tidak diketahui sebelumnya oleh sang istri.
b.    Mengantar Jujuran
        setelah musyawarah mupakat, sudah disepakati besaran uang dan barang yang akan diantar dilanjutkan dengan menentukan hari untuk mengantar jujuran. Menentukan hari untuk mengantar jujuran walaupun ada kesepakatan lebih benyak pihak laki-laki yang menentukan hari dengan kesiapan penyiapan biaya untuk berbelanja dan lain-lain, walaupun pihak wanita juga berhak untuk menentukan waktu yang paling cocok, yang pasti waktu disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Jujuran yang diantar antara lain :
        1) Uang jujuran.
        2) Tempat tidur selengkapnya, sofa, bantal, guling, seprai, tambah kelambu apabila perlu;
        3) Kelengkapan pakaian wanita, dari baju, rok luar dalam(diganti dengan busana muslim), BH,
    Celana luar dalam, termasuk sepatu, sendal, tapih, anduk;
        4) Kelengkapan atau seperangkat alat mike-up
5) Kelengkapan alat-alat untuk mandi
6) Lemari atau bopet
7) Beras, Gula, Minyak dan lain-lain
8) Yang mampu ditambah dengan cincin emas, gelang emas, dan kalung emas
Mengantar jujuran ini tidak ada lagi suma’ seperti gong, tabbak, atau tempayan.
c.     Mengatar jujuran seperti sudah dijelaskan diatas dengan rombongan dan diterima dengan suka cita oleh keluarga wanita.
        Uang dan barang diserahkan dengan diantar dari pihak laki-laki dengan rombongan pembawa barang-barang jujuran, rombongan yang mengantar jujuran didominasi kaum perempuan ibu-ibu dan beberapa tokoh tua. Rombongan disambut oleh sanak keluarga pihak perempuan yang pada umumnya juga ibu-ibu dan beberapa tokoh tua, sekaligus menyaksikan penghitungan besaran uang jujuran dan barang lainnya. Uang yang diantar oleh perwakilan dari rombongan laki-laki menyerahkan kepada perwakilan mempelai wanita. Ditempat itu juga uang langsung dihitung dengan disaksikan para tamu undangan, setelah selesai dihitung diumumkan besarannya ditengah undangan sesuai dengan musyawarah mupakat majelis keluarga beberapa waktu yang lau. Penghitungan uang tidak dilakukan oleh satu orang saja, bisa saja dihitung berulangkali oleh yang lain membuktikan kebenaran uang yang diantar. Uang biasanya sebelum dihitung diletakkan diatas beras kuning yang dicampur dengan irisan daun pandan harum. Uang sudah diserahkan kepada keluarga, beras kuning dijadikan rebutan oleh ibu-ibu yang hadir, beras kuning tersebut diyakini bagus untuk dijadikan bahan pupur dingin tradisional.
        Setelah selesai serah dan terima jujuran (Soktukon, dalam tradisi Jawa) banyak yang langsung dilanjutkan dengan ijab kabul (pernikahan) kedua mempelai. Lagi-lagi semua pelaksanaan ini melalui musyawarah dan mupakat sebelumnya, tidak ada pemaksaan oleh pihak tertentu atau keinginan sepihak saja.


8.    KAWIN PAKSA

Kawin paksa adalah perkawinan yang tidak disetujui oleh kedua pasangan pengantin atau salah satu calon mempelai, tetapi tetap dilaksanakan oleh kedua orang tuanya. Alasan tidak saling mencintai itu bukan masalah, nanti setelah menikah keduanya saling mengenal, akrab dan akhirnya saling mencintai juga, itu alasan kebanyakan orang tua masa lalu, ternyata masih ada orang tua sekarang yang seperti itu. Banyak hal yang menyebabkan salah satu orang tua yang memaksakan anaknya untuk menikah atas keinginan orang tua, bukan berdasarkan saling kenal dan saling mencintai. Kawin paksa apabila calon istri atau suami atau keduanya tidak mau dijodohkan karena tidak sesuai dengan selera atau pilihan salah satu atau kedua calon mempelai, tetapi atas perjanjian atau persetujuan kedua orang tua masing-masing acara perkawinan tetap dilaksanakan.
Kawin paksa seperti tersebut diatas sampai sekarang masih terjadi bukan hanya pada suku Barrau (Banua) saja, tetapi terjadi pula pada suku-suku lain yang ada di Kabupaten Berau. Pada perinsipnya orang-orang tua menikahkan putra-putrinya pilihan mereka adalah untuk kebaikan dari pasangan tersebut dan menjaga agar  anaknya jangan sampai berbuat yang tidak sesuai dengan adat tradisi dan agama yang dianut. Walaupun  ada pula dikarnakan oleh harta dan kekayaan, keturunan, suku, martabat dan lain-lain.
Pada zaman orang-orang tua dulu pernikahan semacam ini tidak ada permasalahan yang berarti, karena pada umumnya putra-putri mereka menurut pada kehendak dan kemauan kedua orang tua , walaupun tidak semuanya berjalan lancar  sesuai dengan kemauan orang tuanya. banyak novel-novel roman karya besar seniman masa lalu menceriterakan bagaimana kawin paksa yang sangat menyakitkan dan menyedihkan, bahkan sampai memakan korban.  Sekarang ini sudah jauh berbeda dengan orang-orang tua dulu. Tentu kawin paksa tidak sepantasnya lagi dilakukan oleh orang-orang tua sekarang yang memiliki putra-putri yang sudah remaja atau dewasa.
Akibat kawin paksa kebanyakan kurang baik pada perjalanan hidup suami istri yang dijodohkan, sulitnya menjalin komunikasi kedua pasangan, cinta yang hilang, perasaan kasih sayang yang dipaksakan hanya karena menghormati orang, banyak yang berakhir dengan pisah dan perceraian. Ibunda Arbayah pada tujuh puluh tahun lalu juga dijodohkan oleh kedua orang tua, karena rasa takut kepada suaminya yang lebih dewasa ia selalu lari setiap didekati suaminya, berakhir dengan pisah yang tidak jelas, lalu bersuami yang kedua juga diakhiri dengan cerai, suami ketiga baru sampai akhir hayat dikandung badan. Kedewasaan seorang perempuan juga harus menjadi pertimbangan yang matang bagi dirinya sendiri maupun bagi orang tua ketika manikahkan putrinya.
Untuk jujuran kawin paksa atau tidak kawin paksa dalam pelaksanaannya sama saja, bahkan kawin paksa sering pada acara pernikahan dan pestanya dilaksanakan dengan sangat meriah, agar pandangan orang banyak acara pesta perkawinan itu seolah bukan kawin paksa karena sangat meriah.


9.    C E R A I  

Cerai adalah putusnya hubungan antara istri dan suami yang syah lahir dan bathin yang diperkuat dengan surat keputusan cerai dari pengadilan (Muslim Pengadilan Agama). Dengan demikian maka kedua suami istri tersebut tidak boleh lagi berhubungan sebagaimana suami istri, kecuali keduanya rujuk kembali dengan nikah ulang. Putus hubungan suami istri dimaksudkan disini bukan berarti putus hubungan silaturahmi. Apabila  mempunyai anak, tanggung jawab untuk membesarkan anak-anak menjadi tanggung jawab berdua sampai anak-anak dewasa dan mandiri.
Dalam hukum adat suku Barrau (Banua’), apabila terjadi perceraian ada Suma’ atau jujuran yang harus dikembalikan dan ada yang tidak dikembalikan, dilihat dari kasus perceraiannya :
1)  Jujuran yang tidak dapat dikembali.
      Yang dimaksud dikembalikan disini apabila pihak suami setelah keputusan cerai menuntut kembali jujuran yang dulu diberikan pada pernikahan dilaksanakan. Kasus ini terjadi karena didasari rasa kesal yang mendalam akibat dari perceraian tersebut, maka ia menuntut sampai masalah jujuran yang pernah diberikan diminta kembali. Jujuran yang tidak dapat diminta oleh suami yang telah cerai dengan istrinya antara lain :
a. Apakah hubungan suami istri berjalan baik selama sebelum terjadi perceraian;
b. Apakah semua hak seperti nafkah termasuk nafkah lahir dan nafkahbathin keduanya berjalan baik-baik saja sebelum terjadi perceraian.
Apabila semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, maka dalam hukum adat suku Barrau (Banua’) semua jujuran yang telah diberikan yang berbentuk uang maupun barang tidak dapat dikembalikan, walaupun si suami yang telah cerai itu menuntutnya kembali.
2)  Jujuran yang dikembalikan.  
      Dalam kasusu lain perkawinan menurut hokum adat Banu’ adapula jujuran yang dapat dikembalikan dan harus dikembalikan. Apabila dituntut oleh suami yang telah cerai. Jujuran yang dikembalikan adalah yang berbentuk benda atau barang, seperti dijelaskan sebelumnya pada nomor 5 mengenai Suma’ yang dikembalikan.
Jujuran dikembalikan apabila :
Dalam atau selama perkawinan (telah menikah) kedua suami istri tidak berjalan dengan baik seperti suami istri lajimnya, padahal keduanya tidak kurang suatu apa, artinya keduanya normal. Normal dalam arti dapat berhubungan sebagaimana suami istri, tetapi semuanya tidak pernah dilakukan, istrinya tidak mau dekat, tidak mau dengan suaminya, tidak pernah berhubungan sebagaimana layaknya uiami istri dengan berbagai alasan. Tidak mencintai, tidak suka, malu, suami bukan laki-laki pilihan, bukan selera, bukan kelasnya, karena kawin paksa yang akhirnya tidak pernah kumpul sebagai suami istri.
Hal tersebut diatas, apabila suaminya menceraikan istrinya, maka jujuran yang berbentuk benda atau barang dikembalikan apabila diminta. Apabila istrinya yang menceraikan, maka jujuran yang berbentuk benda atau barang yang tidak dibelanjakan harus dikembalikan, bila diminta oleh suaminya yang telah diceraikan. Sedang yang berbentuk uang sama seperti penjelasan sebelumnya, tidak dikembalikan, uang jujuran sudah habis dibelanjakan pada saat acara perhelatan pesta perkawinan kedua mempelai.


10. KESIMPULAN

a. Dengan melihat perjalanan sejarah JUJURAN sejak masa kerajaan sampai sekarang sebenarnya sudah ada, hanya bentuk dan sifatnya yang berbeda sesuai dengan perjalanan waktu dan tempatnya. Perubahan demi perubahan sesuai dengan keadaan kekinian.
b. Setelah mengetahui sejarah suma’ ada yang dapat dikembalikan dan ada yang tidak dapat dikembalikan, maka sebagai penerusnya jujuran juga demikian. Menurut adat Berau, tinggal melihat pada kasus dan kejadian mengapa terjadi perceraian tersebut.
c.  Yang dulu dikenal dengan SUMA’ sekarang JUJURAN adalah salah satu kekayaan budaya yang ada di Kabupaten Berau turut memperkaya hasanah budaya nasional Indonesia. Upacara adat perkawinan yang termasuk didalamnya mengantar jujuran harus tetap dipertahankan. Terkhusus bagi keluarga Barrau yang mampu dan berkelebihan sebaiknya saat mengadakan pesta perkawinan dengan menggunakan adat perkawinan Berau yang sesungguhnya, selain kebanggaan  masyarakat Berau juga sekaligus upaya pelestarian.





Informan :
1.    Nama                            : H. Usman Ayub (Almarhum)
Jenis Kelamin                 : Laki-laki
Umur                             : 65 Tahun
Pekerjaan                      : Pensiunan PNS Departemen Penerangan Kab. Berau
Alamat                          : Jl. P. Diguna Tanjung Redeb

2.    Nama                           : Syamsuddin (Almarhum)
Jenis Kelamin                 : Laki-laki
Umur                             : 76 Tahun
Pekerjaan                      :  -
Alamat                          : Jl. Yos Sudarso RT 14 Tanjung Redeb

3.    Nama                            : H. Abdurachman. DJ (Almarhum)
Jenis Kelamin                : Laki-laki
Umur                            : 67 Tahun
Pekerjaan                     : PNS Kandepdikbud. Kecamatan Tanjung Redeb
Alamat                          : Sambaliung

4.    Nama                            : Siti Rehan/ Inda Banci (Almarhum)
Jenis Kelamin             : Perempuan
Umur                            : 64 Tahun
Pekerjaan                   : Bidan Kampung
Alamat                          : Jl. Yos Sudarso RT 14 No. 2 Tanjung Redeb

5.    Nama                            : Kaccang
Jenis Kelamin             : Perempuan
Umur                            : 65 Tahun
Pekerjaan                   :  -
Alamat                          : Jl. Tendean Tanjung Redeb





2 komentar:

  1. Kita hidup untuk bahagia
    Jangan bahagia kita direnggut oleh jujuran.
    Terimakasih
    menang BERSAMA
    Hidup Adalah Perjuangan

    BalasHapus
  2. Tks. Jujuran adalah tradisi yang ada diseluruh Indonbesia dan diberbagai negara dibelahan dunia ini. Hanya nama dan cara pelaksanaannya yang berbeda. Tradisi yang kaya makna dan filosofi itu harus kita pertahankan dan kita lestarikan, tetapi tetap disesuaikan dg kekinian...oke...

    BalasHapus