Saprudin Ithur
J U J
U R A N
MENURUT HUKUM ADAT
SUKU BERAU (BANUA)
1. PENDAHULUAN
Dr. Alfian mendefinisikn
kebudayaan adalah sebagai salah satu sumber utama dari system dan tata nilai
yang dihayati dan dianut seseorang atau masyarakat yang selanjutnya membentuk
sikap mental atau pola pikir. Menurut Drs. Sri Waluyo dalam ceramah penyuluhan
kebudayaan/kesenian di Kabupaten Berau tahun 1991/1992 dengan judul “faktor-faktor
penunjang dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan” adalah merupakan bagian
internal yang tidak dapat dipisahkan dari pada kehidupan manusia. Hal-hal
tersebut berupa antara moral, etik, sikap, mental, tingkah laku serta
nilai-nilai hidup manusia. Oleh karena itu peninggalan nenek moyang kita berupa
warisan kebudayaan tradisional seperti adat istiadat, tradisi serta kebudayaan
lainnya harus dilestarikan serta dibina dan dikembangkan dan disesuaikan dengan
tuntutan zaman tanpa menghilangkan identitas atau kepribadian bangsa Indonesia.
Garis-garis Besar Haluan Negara,
TAP. MPR no. II/MPR/1983 merupakan ketetapan yang mempertegas dan lebih
memperinci ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 mengenai pengembangan kebudayaan.
Adapun isinya antara lain sebagai berikut :
1) Nilai budaya Indonesia yang
mencerminkan nilai luhur bangsa harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat
penghayatan dan pengamalan Pancasila, memperkuat kepribadian bangsa,
mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional dan memperkokoh jiwa
persatuan;
2) Kebudayaan harus dibina dan
diarahkan pada penerapan nilai-nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan
Pancasila;
3) Tradisi dan peninggalan
sejarah yang mempunyai nilai perjuangan bangsa, kebangsaan dan kemanfaatan
nasional tetap dipelihara dan dibina untuk memupuk, memperkaya dan memberi
corak khas kepada kebudayaan nasional.
Jujuran sangat dikenal dan masih
akrab dengan masyarakat Berau adalah salah satu kebudayaan daerah yang perlu
mendapatkan perhatian dalam perkembangannya, apalagi saat ini
perkawinan/pernikahan dan perceraian ada kaitan dengan jujuran. Jujuran berasal
dari kata “jujur” yang mendapat akhiran
“an”. Jujur adalah melakukan, berbuat, berkata-kata, bertindak, berjanji tidak
melebihkan dan mengurangi apa yang sudah digariskan atau
dipesankam/disampaikan, jujur dalam memegang janji, jujur dalam melaksanakan
tugas, jujur dalam berkata-kata, dan seterusnya. Jujuran yang kita kupas disini
adalah yang berkaitan dengan hantaran
pengantin laki-laki sebelum dilaksanakannya pernikahan dan
peresmian/perayaan/pesta perkawinan.
Jadi jujuran adalah pemberian
dari pihak calon mempelai laki-laki yang berbentuk uang dan barang lainnya
sesuai dengan hasil musyawarah dan mupakat dalam satu pertemuan majelis kedua
belah pihak, yang dihantar oleh keluarga
mempelai laki-laki kepada mempelai wanita diluar uang mahar. Besaran uang yang
diantar tergantung pada hasil kesepakatan, yang berarti banyak uang yang
diantar acara pesta perkawianan dilaksanakan dengan meriah, sedikit uang yang
diantar pesta perkawinan disesuaikan dengan kemampuan, begitu. Sedangkan barang
lainnya ada yang berbentuk tambahan dari uang yang diantar seperti beras, gula,
tepung, minyak dan lain-lain, tetapi ada
berbentuk barang yang nantinya digunakan oleh kedua mempelai menjalani
bahtera kehidupan seperti seperangkat tempat tidur, lemari, cincin emas, bopet,
pakaian wanita.
Jujuran boleh dilaksanakan atau
diadakan, tetapi boleh juga tidak dari pihak laki-laki. Hanya kalau tidak
dilaksanakan sangat membuat aib keluarga mempelai wanita pada zamannya. Jujuran tergantung pada kemampuan pihak laki-laki
serta hasil musyawarah dan mupakat kedua belah pihak saat keluarga laki-laki
melamar. Syahnya pernikahan tidak tergantung pada berapa banyak jujuran yang
diantar oleh mempelai laki-laki. Oleh karena itu jauhkan anggapan bahwa
menikahi wanita Berau harus memberi
jujuran yang memberatkan kaum laki-laki, tidak seperti itu, tetapi antaran
jujuran hasil dari musyawarah mupakat kedua belah pihak keluarga calon
mempelai. Diakui memang Jujuran identik dengan pernikahan laki-laki dengan
wanita Berau. Jadi sekali lagi ketentuan berapa banyak jujuran yang diantar
dari mempelai laki-laki adalah hasil musyawarah dan mupakat kedua belah pihak
keluarga mempelai. Jujuran tidak ada unsur paksaan, kecuali wanita yang dilamar
tidak mau menikah dengan laki-laki yang melamar. Bisa saja jujuran diminta
semahal mungkin, dengan tujuan keluarga laki-laki menyatakan tidak sanggup,
tidak berlanjut kejenjang pernikahan.
Memang pada akhir-akhir ini
jujuran menjadi salah satu momok dan sebuah gengsi, ada diantara masyarakat
Berau beranggapan jujuran besar, banyak, dan mahal itu dapat mengangkat gengsi
dan derajat keluarga dimata masyarakat umum, dan menjadi buah bibir dan
kebanggaan keluarga. Apabila demikian tentu dapat memberangus budaya musyawarah
mupakat yang sudah tumbuh dan berkembang sejak nenek moyang dahulu. Tradisi
jujuran adalah salah satu kekayaan budaya kebudayaan bangsa yang harus kita
lestarikan keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma yang
ada dimasyarakat. Banyak juga orang-orang tua suku Berau yang menikahkan anak
gadisnya atau anak laki-lakinya tidak menggunakan jujuran, tidak ada masalah,
pernikahan syah saja.
2. SEJARAH
Pada masa kerajaan masih berdiri
di Indonesia termasuk kerajaan Berau ( Sambaliung dan Gunung Tabur), Sriwijaya,
Majapahit dan lain-lain sebenarnya jujuran sudah dikenal hanya bentuk dan
modelnya berbeda dan sebutannyapun bukan jujuran seperti sekarang ini. Pada
masa ini jujuran ada yang berbentuk jiwa, ada yang berbentuk keberanian atau
kepahlawanan, dan ada pula yang berbentuk harta kekayaan.
a. Yang berbentuk Jiwa dan
Kepahlawanan.
Seorang
pangeran atau seorang laki-laki yang gagah berani dan perkasa untuk mendapatkan
wanita pujaannya seorang putri atau seorang
wanita cantik harus mampu melakukan pertarungan dengan mengalahkan
raksasa, penyamun, perompak, atau orang jahat yang mengganggu keamanan
kerajaan. Raja yang wilayah kerajaannya terusik keamanannya mengadakan
sayembara untuk menumpas pengganggu keamanan dan ketentraman tersebut.
Pengumuman disampaikan dengan terbuka, diumumkan keseluruh penjuru kerajaan.
Siapa yang mampu mengalahkan atau menangkap perompak, penyamun, hantu atau
raksasa yang mengganggu keamanan dan ketentraman kerajaan dijodohkan dengan
Putri Raja, apa bila seorang wanita akan diangkat menjadi putri raja.
b. Berbentuk keberanian dan
ketangkasan
Kebanyakan
seorang putri kerajaan baru mau dikawinkan apabila melihat langsung kehebatan
dan ketangkasan calon suaminya dalam berolah senjata dan bertarung. Harapan putri
dimasa akan datang pasti pada suatu saat suaminya mampu menggantikan ayahanda
raja untuk menjadi raja. Putri meminta kepada ayahnya untuk mengadakan sayembara
adu ketangkasan, yang paling hebat sebagai pemenang jadi suami putri. Dibuatlah
sebuah gelanggang untuk adu ketangkasan berolah tubuh, berolah senjata dan
tarung satu lawan satu. Diumumkan keseluruh penjuru negeri dan boleh pesertanya
dari kerajaan lain. Sayembara itu selain ditonton langsung oleh putri sebagai
calon mempelai wanita juga ditonton dan disaksikan masyarakat luas. Pemenangnya
berhak mendapatkan putri kerajaan.
c. Berbentuk harta kekayaan.
Apabila
seorang raja atau seorang pangeran berangkat melamar putri kerajaan lain,
rombongan yang diutus untuk melamar membawa bermacam hadiah dan persembahan
kepada raja kerajaan yang dituju, ada yang berbentuk emas, perak, permata, kain
yang mahal. Adalah sebuah pertanda
kerajaan yang datang melamar sebagai raja atau pangeran yang kaya dan makmur.
Hadiah atau persembahan yang berbentuk harta dan kekayaan itu diberikan secara
ikhlas kepada raja kerajaan yang dituju. Apabila diterima harta benda bawaan
tersebut tentu menjadi milik kerajaan dan lamaran bersambut, apabila ditolak
dapat menjadi permusuhan yang besar dan berkepanjangan bahkan sampai menjadi peperangan kedua kerajaan,
ditolak berarti merendahkan dan mempermalukan kerajaan lain yang berniat baik
menyambung silaturahmi melalui perkawinan.
3. PANCAR
Pada masa lalu pernikahan
dilaksanakan dengan sederhana, pasangan pengantin tidak orang jauh-jauh, tetapi
orang-orang yang masih sekampung, bertetangga, dan bahkan masih ada hubungan
keluarga. Pada masa lalu wanita sulit untuk dilihat, malu-malu, sembunyi, kalau
ketemu pemuda lajang langsung lari dan masuk rumah, maka dibutuhkan cara-cara
pendekatan tersendiri untuk mengenal lebih dekat wanita yang diinginkan, salah
satunya adalah pancar. Pancar adalah upaya mengenali secara dekat dengan cara
memperhatikan lebih jauh perilaku atau watak serta kebiasaan, adat istiadat,
keahlian, kemampuan, kepandaian, keterampilan, dan kesiapan sejauhmana
kedewasaan seorang wanita calon mempelai. Dalam istilah pancar (bahasa Berau)
ada beberapa tahapan yang dilakukan
pihak laki-laki dan keluarga laki-laki.
1) Bakumi-kumi
Bakumi-kumi
adalah menanyakan langsung kepada orang tua gadis dengan kata-kata sindiran
yang indah-indah. Yang melaksanakan bakumi-kumi orang tua laki-laki (ibu)
langsung atau diwakilkan kepada keluarga dekat yang dipercaya untuk menyelidik.
Kata-kata yang diucapkan diantaranya sebagai berikut : “Dapaikah kami mulang karuma ini?”( dapatkah kami
pulang kerumah ini) kata yang datang dari pihak laki-laki, dijawabnya dengan “
Dapai saja attuah, apalagi kita sarappun ini” (boleh saja, aplagi kita
seketurunan ini) apabila pihak perempuan menyukai laki-laki yang dicalonkan
untuk pasangan wanita-nya. Setelah melalui proses bakumi-kumi dilanjutkan
dengan istilah
2) Bajarum-jarum
Bajarum-jarum
adalah mulai menawarkan diri atau ingin mengetahui secara langsung hal ikhwal
si Gadis yang ingin dilamar sebagai calon menantu, diketahui sampai dengan
keahlian dan tingkat kedewasaannya. Wanita yang diutus bajarum-jarum minta
dicarikan kutu dikepalanya, calon mempelai wanita harus piawai mencari kutu dan
membersihkan kotoran kepala ketombe, waktu mengikis kulit kepala dirasakan
benar oleh wanita utusan untuk menyelidik, kalau dirasakan pintar dan nyaman
mengikis kepala, gadis itu di puji bagus kau nak, pintar kau nak, talla dapai
balaki kau nak (sudah bisa menikah kau nak) dan pujian lain-lain, dianggap
telah dewasa. Kalau belum pandai mencari
kutu, belum enak mengikis ketombe, tidak enak rasanya dikepala, maka gadis
tersebut belum bisa dikawinkan, masih belum dewasa. Orang yang dicari kutunya
akan berucap” dami karra dikuar-kuarnya kepalangku” artinya seperti kera
menggaruk-garuk/menghambur-hambur kepalaku. Setelah selesi bakumi-kumi dan
bajarum-jarum dilanjutkan dengan “Basusuran” atau melamar.
4. S U M A’
Di Kabupaten Berau sejak jaman
dulu, jaman kerajaan, sebelum ada istilah jujuran dikenal luas ada yang namanya
Suma’. Suma’ adalah tanda jadi atau sebagi penebus diri wanita yang berupa
seperti Gong, Tabak, (model Baki atau Talam), atau Tempayan (Guci). Suma
diberikan kepada pihak keluarga wanita, apabila lamaran (Basusuran, badatang)
dari pihak laki-laki sudah disepakati dan diterima.
Disayangkan sekali adat Pancar
dan adat Suma’ sudah berakhir dan tidak dipakai lagi sejak tahun 1930-an, suma’
digantikan dengan kata baru yaitu Jujuran. Sedangkan Pancar dengan pengaruh
modernisasi sudah dianggap ketinggalan zaman dan ditinggalkan. Kecuali didaerah
pedalaman yang belum banyak dipengaruhi kaum pendatang, sampai tahun 1980-an
masih menggunakan adat Suma’ sebagai tanda jadi atau pengganti hukum adat.
Pengaruh kata jujuran yang masuk ke Kabupaten Berau pada masanya dulu di
mungkinkan pengaruh oleh bahasa Banjar. Etnis yang lebih dahulu masuk ke
Kerajaan Berau antara lain etnis Brunai, Tidung, Suluk (Bajau), Bugis, dan
Banjar, kemudian disusul Cina, Sulawesi Tengah dan lain-lain. Jujuran berasal
dari bahasa Banjar yang kemudian ditransper menjadi bahasa Berau. Suku Banjar
sudah mendiami wilayah Berau sejak 130 tahun lalu yang sekarang sudah generasi
kelima dan keenam dan menyatu dengan suku Berau, pengaruh bahasa Banjar sangat
kental dalam mempengaruhi bahasa dan budaya Berau sejak lama. Suku Banjar sejak
awal kedatangannya tinggal di Sukan, Rinding, kampung Banjar Jalan Pulau
Derawan. Diantara tokoh Banjar yang
terkenal adalah Pambakal Ambi (Ramli) yang diutus oleh Sultan Sambaliung
menjadi Pambakal (Kepala Kampung) pertama di Kampung Muara Lesan. Makamnya
dipemakaman Muslim Jalan Pulau Semama. tokoh kedua adalah Syech Ali Djunaidi Al
Banjari tokoh penyebar agama Islam, makamnya dikenal dengan makam kubah di
jalan Pulau Derawan. Makam Syech Ali Djunaidi dikunjungi puluhan ribu orang
setiap tahunnya, setiap dilaksanakan Haul dihadiri ribuan orang.
5. MENYERAHKAN SUMA’
Cara menyebutkan kata Suma’ biasa
saja, hanya perlu diketahui dalam membacanya pada hurup “a” akhir harus
mendapat tekanan dan berhenti, oleh karena itu
pada akhir kata suma diberi tanda petik (‘) seperti ini suma’.
Suma’ artinya pemberian sesuatu
yang berbentuk barang sebagai tanda jadi dan sebagai penebus diri wanita (calon
mempelai wanita) dari laki-laki (calon mempelai laki-laki). Pemberian tersebut
diterima oleh orang tua wanita atau perwakilannya disaksikan orang banyak dan
disimpan sebaik mungkin.
Suma’ diberikan kepada pihak
wanita apabila sudah ada kesepakatan dalam majelis musyawarah mupakat kedua
belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak laki-laki. Dalam artian lamaran
dari pihak laki-laki sudah diterima oleh pihak perempuan. Suma’ berbentuk gong,
tabbak, atau tempayan seperti dijelaskan diatas. Upacara penyerahan suma’ biasa
diadakan acara tersendiri dan dihadiri sanak dan keluarga, kerabat kedua belah
pihak dengan tujuan semua yang hadir mengetahui bahwa putrinya si Pulan sudah
dilamar oleh seorang pemuda diikat dengan suma’ yang diantarkan itu. Tidak lama
lagi peresmian pernikahan akan segera dilaksanakan dan syah menjadi suami
istri.
Ada keterangan lain menyebutkan
bahwa suma’ tersebut ya jujuran, sebelum dikenal istilah jujuran dalam bahasa
Berau. Suma’ identik dengan jujuran, jujuran ialah suma’. Oleh orang Berau
disebut dengan “mangatar Suma’” atau dikenal sekarang “mangatar jujuran”
Barang yang diatar masih sangat
terbatas sesuai dengan keadaan pada masa itu, sangat berbeda dengan yang
diantar pada saat ini lengkap dan mahal.
Pada awalnya suma’ hanya pengganti wanita berupa gong, tabbak,
tampayan. Kemudian lebih berkembang dengan disertakan uang, tempat tidur, kain
serba selembar, dan pengganti wanita gong, tabbak, atau tempayan tersebut.
6. SUMA’ DIKEMBALIKAN
Suma’ yang berbentuk gong,
tabbak, atau tempayan sebagai pengganti wanita yang dinikahi harus dikembalikan
pihak wanita apabila :
1) Suami tidak pernah menggauli istrinya yang sudah dinikahinya selama
berumah tangga, sedangkan keduanya dianggap normal tidak kekurangan sesuatu apapun.
2) Selama berkumpul sebagai suami istri, istrinya tidak mau digauli
sebagaimana suami istri, dengan alasan tidak menyukai suaminya, tidak mencintai
suaminya, atau kawin paksa.
Maka dengan demikian suaminya
yang syah itu merasa dirugikan atas tingkah dan prilaku istrinya, apabila
istrinya diceraikan oleh suami, maka suma’ berbentuk gong, tabbak, atau
tempayan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya (hak pihak laki-laki).
Dari keterangan yang lebih maju
mengatakan hal yang sama, bahwa suma’ yang berbentuk barang harus
dikembalikan, sebab masih menjadi hak
dari laki-laki yang belum mendapatkan apa-apa dari istrinya yang sudah
dinikahinya, khusus hubungan suami istri. Sedangkan yang berbentuk uang tidak
dikembalikan, karena sudah habis dipergunakan saat pesta perkawinan. Uang
dianggap terbakar, karena belanjaan acara pesta perkawinan sudah dimasak dan
dimakan bersama-sama. Pengembalian suma’ memang sudah biasa dilaksanakan pada
masa-masa lalu
7. JUJURAN
Sejak tahun 1930-an istilah
jujuran sudah dikenal di masyarakat suku Berau (Banua’). Jujuran adalah
pemberian atau hantaran dari pihak mempelai laki-laki yang berbentuk uang dan
barang. Jujuran disampaikan diantar dengan upacara yang sangat meriah,
masing-masing barang dipisah dihiasi dimasukan dalam tempat yang indah-indah,
masing-masing barang dibawa oleh seorang ibu diarak dengan banyak pengikut.
Saat ini mengantar jujuran sekaligus acara pernikahan kedua mempelai.
Sebelum adanya keputusan musyawarah,
jujuran yang akan diserahkan kepada pihak wanita, pihak laki laki sudah
melakukan beberapa tahapan :
a. Pihak laki-laki badatang/melamar
kepada pihak keluarga wanita. Kedua belah pihak bertemu bermusyawarah dirumah
pihak wanita, musyawarah dengan tujuan melamar itu harus mendapatkan
persetujuan dari pihak keluarga wanita, artinya lamaran diterima. Apabila pihak
wanita berkenan dan setuju dengan calon mempelai laki-laki, maka prosesi
melamar tidak masalah karena sudah diterima. Dilanjutkan dengan membicarakan
apa saja yang diminta pihak keluarga wanita, dan bagaimana kesanggupan dari
pihak keluarga laki-laki. Musyawarah semacam ini tidak terlalu lama,
tawar-menawar dan disesuaikan dengan kemampuan dari pihak laki-laki, selesai.
Lain halnya dengan sejak
awal pihak mempelai wanita tidak menyukai calon mempelai laki-laki karena
sesuatu dan lain hal. Dalam majelis musyawarah
terjadi sangat alot, dan tidak akan ketemu dan tidak ada kesepakatan.
Pihak wanita saat kedatangan tamu dari pihak laki-laki biasanya tidak menolak
langsung, tetapi dengan bahasa yang halus menawarkan uang jujuran sangat tinggi
yang diperkirakan memang tidak akan disanggupi oleh pihak keluarga laki-laki.
Dengan tingginya uang jujuran diharapkan pihak laki-laki mundur teratur. Yang
paling memalukan bagi keluarga wanita apabila pihak laki-laki menyanggupi
berapa saja yang ditawarkan oleh pihak laki-laki. Akhirnya perkawinan itu
seperti terjadi jual beli, dan harus dilaksanakan dengan terpaksa, karena sudah
terlanjur malu. Bagi mempelai wanita setelah menikah ada dua kemungkinan
terjadi : pertama, tidak mau
berkumpul dengan suaminya, karena tidak suka dan tidak mencintai istilah anak
muda saat ini bukan pilihan, berujung cerai; kedua, bisa berubah menjadi cinta karena kepandaian suaminya
mendekati dan meyakinkan bahwa perkawinan mereka didasari cinta yang medalam
dan tulus dari laki-laki, walaupun cintanya bertepuk sebelah tangan atau
perasaan cintanya tidak diketahui sebelumnya oleh sang istri.
b. Mengantar Jujuran
setelah musyawarah
mupakat, sudah disepakati besaran uang dan barang yang akan diantar dilanjutkan
dengan menentukan hari untuk mengantar jujuran. Menentukan hari untuk mengantar
jujuran walaupun ada kesepakatan lebih benyak pihak laki-laki yang menentukan
hari dengan kesiapan penyiapan biaya untuk berbelanja dan lain-lain, walaupun pihak
wanita juga berhak untuk menentukan waktu yang paling cocok, yang pasti waktu
disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Jujuran yang diantar antara lain :
1) Uang jujuran.
2) Tempat tidur
selengkapnya, sofa, bantal, guling, seprai, tambah kelambu apabila perlu;
3) Kelengkapan pakaian
wanita, dari baju, rok luar dalam(diganti dengan busana muslim), BH,
Celana luar dalam, termasuk sepatu, sendal,
tapih, anduk;
4) Kelengkapan atau
seperangkat alat mike-up
5) Kelengkapan
alat-alat untuk mandi
6) Lemari atau
bopet
7) Beras,
Gula, Minyak dan lain-lain
8) Yang mampu
ditambah dengan cincin emas, gelang emas, dan kalung emas
Mengantar
jujuran ini tidak ada lagi suma’ seperti gong, tabbak, atau tempayan.
c. Mengatar jujuran seperti
sudah dijelaskan diatas dengan rombongan dan diterima dengan suka cita oleh
keluarga wanita.
Uang dan barang
diserahkan dengan diantar dari pihak laki-laki dengan rombongan pembawa
barang-barang jujuran, rombongan yang mengantar jujuran didominasi kaum
perempuan ibu-ibu dan beberapa tokoh tua. Rombongan disambut oleh sanak
keluarga pihak perempuan yang pada umumnya juga ibu-ibu dan beberapa tokoh tua,
sekaligus menyaksikan penghitungan besaran uang jujuran dan barang lainnya.
Uang yang diantar oleh perwakilan dari rombongan laki-laki menyerahkan kepada
perwakilan mempelai wanita. Ditempat itu juga uang langsung dihitung dengan
disaksikan para tamu undangan, setelah selesai dihitung diumumkan besarannya
ditengah undangan sesuai dengan musyawarah mupakat majelis keluarga beberapa
waktu yang lau. Penghitungan uang tidak dilakukan oleh satu orang saja, bisa
saja dihitung berulangkali oleh yang lain membuktikan kebenaran uang yang
diantar. Uang biasanya sebelum dihitung diletakkan diatas beras kuning yang
dicampur dengan irisan daun pandan harum. Uang sudah diserahkan kepada
keluarga, beras kuning dijadikan rebutan oleh ibu-ibu yang hadir, beras kuning
tersebut diyakini bagus untuk dijadikan bahan pupur dingin tradisional.
Setelah selesai serah dan
terima jujuran (Soktukon, dalam tradisi Jawa) banyak yang langsung dilanjutkan
dengan ijab kabul (pernikahan) kedua mempelai. Lagi-lagi semua pelaksanaan ini
melalui musyawarah dan mupakat sebelumnya, tidak ada pemaksaan oleh pihak
tertentu atau keinginan sepihak saja.
8. KAWIN PAKSA
Kawin paksa adalah perkawinan
yang tidak disetujui oleh kedua pasangan pengantin atau salah satu calon mempelai,
tetapi tetap dilaksanakan oleh kedua orang tuanya. Alasan tidak saling
mencintai itu bukan masalah, nanti setelah menikah keduanya saling mengenal,
akrab dan akhirnya saling mencintai juga, itu alasan kebanyakan orang tua masa
lalu, ternyata masih ada orang tua sekarang yang seperti itu. Banyak hal yang
menyebabkan salah satu orang tua yang memaksakan anaknya untuk menikah atas
keinginan orang tua, bukan berdasarkan saling kenal dan saling mencintai. Kawin
paksa apabila calon istri atau suami atau keduanya tidak mau dijodohkan karena
tidak sesuai dengan selera atau pilihan salah satu atau kedua calon mempelai,
tetapi atas perjanjian atau persetujuan kedua orang tua masing-masing acara
perkawinan tetap dilaksanakan.
Kawin paksa seperti tersebut
diatas sampai sekarang masih terjadi bukan hanya pada suku Barrau (Banua) saja,
tetapi terjadi pula pada suku-suku lain yang ada di Kabupaten Berau. Pada perinsipnya
orang-orang tua menikahkan putra-putrinya pilihan mereka adalah untuk kebaikan
dari pasangan tersebut dan menjaga agar
anaknya jangan sampai berbuat yang tidak sesuai dengan adat tradisi dan
agama yang dianut. Walaupun ada pula
dikarnakan oleh harta dan kekayaan, keturunan, suku, martabat dan lain-lain.
Pada zaman orang-orang tua dulu
pernikahan semacam ini tidak ada permasalahan yang berarti, karena pada umumnya
putra-putri mereka menurut pada kehendak dan kemauan kedua orang tua , walaupun
tidak semuanya berjalan lancar sesuai
dengan kemauan orang tuanya. banyak novel-novel roman karya besar seniman masa
lalu menceriterakan bagaimana kawin paksa yang sangat menyakitkan dan
menyedihkan, bahkan sampai memakan korban. Sekarang ini sudah jauh berbeda dengan
orang-orang tua dulu. Tentu kawin paksa tidak sepantasnya lagi dilakukan oleh
orang-orang tua sekarang yang memiliki putra-putri yang sudah remaja atau
dewasa.
Akibat kawin paksa kebanyakan
kurang baik pada perjalanan hidup suami istri yang dijodohkan, sulitnya
menjalin komunikasi kedua pasangan, cinta yang hilang, perasaan kasih sayang
yang dipaksakan hanya karena menghormati orang, banyak yang berakhir dengan
pisah dan perceraian. Ibunda Arbayah pada tujuh puluh tahun lalu juga
dijodohkan oleh kedua orang tua, karena rasa takut kepada suaminya yang lebih
dewasa ia selalu lari setiap didekati suaminya, berakhir dengan pisah yang
tidak jelas, lalu bersuami yang kedua juga diakhiri dengan cerai, suami ketiga
baru sampai akhir hayat dikandung badan. Kedewasaan seorang perempuan juga
harus menjadi pertimbangan yang matang bagi dirinya sendiri maupun bagi orang
tua ketika manikahkan putrinya.
Untuk jujuran kawin paksa atau
tidak kawin paksa dalam pelaksanaannya sama saja, bahkan kawin paksa sering pada
acara pernikahan dan pestanya dilaksanakan dengan sangat meriah, agar pandangan
orang banyak acara pesta perkawinan itu seolah bukan kawin paksa karena sangat
meriah.
9. C E R A I
Cerai adalah putusnya hubungan
antara istri dan suami yang syah lahir dan bathin yang diperkuat dengan surat
keputusan cerai dari pengadilan (Muslim Pengadilan Agama). Dengan demikian maka
kedua suami istri tersebut tidak boleh lagi berhubungan sebagaimana suami
istri, kecuali keduanya rujuk kembali dengan nikah ulang. Putus hubungan suami
istri dimaksudkan disini bukan berarti putus hubungan silaturahmi. Apabila mempunyai anak, tanggung jawab untuk
membesarkan anak-anak menjadi tanggung jawab berdua sampai anak-anak dewasa dan
mandiri.
Dalam hukum adat suku Barrau
(Banua’), apabila terjadi perceraian ada Suma’ atau jujuran yang harus
dikembalikan dan ada yang tidak dikembalikan, dilihat dari kasus perceraiannya
:
1) Jujuran yang tidak dapat
dikembali.
Yang dimaksud dikembalikan
disini apabila pihak suami setelah keputusan cerai menuntut kembali jujuran
yang dulu diberikan pada pernikahan dilaksanakan. Kasus ini terjadi karena
didasari rasa kesal yang mendalam akibat dari perceraian tersebut, maka ia menuntut
sampai masalah jujuran yang pernah diberikan diminta kembali. Jujuran yang
tidak dapat diminta oleh suami yang telah cerai dengan istrinya antara lain :
a. Apakah hubungan suami istri
berjalan baik selama sebelum terjadi perceraian;
b. Apakah semua hak seperti
nafkah termasuk nafkah lahir dan nafkahbathin keduanya berjalan baik-baik saja
sebelum terjadi perceraian.
Apabila
semuanya berjalan lancar dan baik-baik saja, maka dalam hukum adat suku Barrau
(Banua’) semua jujuran yang telah diberikan yang berbentuk uang maupun barang
tidak dapat dikembalikan, walaupun si suami yang telah cerai itu menuntutnya
kembali.
2) Jujuran yang dikembalikan.
Dalam kasusu lain
perkawinan menurut hokum adat Banu’ adapula jujuran yang dapat dikembalikan dan
harus dikembalikan. Apabila dituntut oleh suami yang telah cerai. Jujuran yang
dikembalikan adalah yang berbentuk benda atau barang, seperti dijelaskan
sebelumnya pada nomor 5 mengenai Suma’ yang dikembalikan.
Jujuran
dikembalikan apabila :
Dalam atau
selama perkawinan (telah menikah) kedua suami istri tidak berjalan dengan baik
seperti suami istri lajimnya, padahal keduanya tidak kurang suatu apa, artinya
keduanya normal. Normal dalam arti dapat berhubungan sebagaimana suami istri,
tetapi semuanya tidak pernah dilakukan, istrinya tidak mau dekat, tidak mau dengan
suaminya, tidak pernah berhubungan sebagaimana layaknya uiami istri dengan
berbagai alasan. Tidak mencintai, tidak suka, malu, suami bukan laki-laki pilihan,
bukan selera, bukan kelasnya, karena kawin paksa yang akhirnya tidak pernah
kumpul sebagai suami istri.
Hal tersebut
diatas, apabila suaminya menceraikan istrinya, maka jujuran yang berbentuk
benda atau barang dikembalikan apabila diminta. Apabila istrinya yang
menceraikan, maka jujuran yang berbentuk benda atau barang yang tidak
dibelanjakan harus dikembalikan, bila diminta oleh suaminya yang telah
diceraikan. Sedang yang berbentuk uang sama seperti penjelasan sebelumnya,
tidak dikembalikan, uang jujuran sudah habis dibelanjakan pada saat acara
perhelatan pesta perkawinan kedua mempelai.
10. KESIMPULAN
a. Dengan melihat perjalanan
sejarah JUJURAN sejak masa kerajaan sampai sekarang sebenarnya sudah ada, hanya
bentuk dan sifatnya yang berbeda sesuai dengan perjalanan waktu dan tempatnya.
Perubahan demi perubahan sesuai dengan keadaan kekinian.
b. Setelah mengetahui sejarah suma’ ada yang dapat dikembalikan dan
ada yang tidak dapat dikembalikan, maka sebagai penerusnya jujuran juga
demikian. Menurut adat Berau, tinggal melihat pada kasus dan kejadian mengapa
terjadi perceraian tersebut.
c. Yang dulu dikenal dengan
SUMA’ sekarang JUJURAN adalah salah satu kekayaan budaya yang ada di Kabupaten
Berau turut memperkaya hasanah budaya nasional Indonesia. Upacara adat
perkawinan yang termasuk didalamnya mengantar jujuran harus tetap
dipertahankan. Terkhusus bagi keluarga Barrau yang mampu dan berkelebihan
sebaiknya saat mengadakan pesta perkawinan dengan menggunakan adat perkawinan
Berau yang sesungguhnya, selain kebanggaan
masyarakat Berau juga sekaligus upaya pelestarian.
Informan
:
1. Nama :
H. Usman Ayub (Almarhum)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Pensiunan PNS Departemen
Penerangan Kab. Berau
Alamat : Jl. P. Diguna Tanjung Redeb
2. Nama :
Syamsuddin (Almarhum)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 76 Tahun
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Yos Sudarso RT 14 Tanjung Redeb
3. Nama :
H. Abdurachman. DJ (Almarhum)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 67 Tahun
Pekerjaan : PNS Kandepdikbud. Kecamatan
Tanjung Redeb
Alamat : Sambaliung
4. Nama :
Siti Rehan/ Inda Banci (Almarhum)
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 64 Tahun
Pekerjaan : Bidan Kampung
Alamat : Jl. Yos Sudarso RT 14 No. 2 Tanjung Redeb
5. Nama :
Kaccang
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Tendean Tanjung Redeb
Kita hidup untuk bahagia
BalasHapusJangan bahagia kita direnggut oleh jujuran.
Terimakasih
menang BERSAMA
Hidup Adalah Perjuangan
Tks. Jujuran adalah tradisi yang ada diseluruh Indonbesia dan diberbagai negara dibelahan dunia ini. Hanya nama dan cara pelaksanaannya yang berbeda. Tradisi yang kaya makna dan filosofi itu harus kita pertahankan dan kita lestarikan, tetapi tetap disesuaikan dg kekinian...oke...
BalasHapus