A. PERKAMPUNGAN DI TEPI SUNGAI
Sungai Berau
yang panjangnya 292 Km, kemudian terbelah menjadi dua di Tanjung Redeb. Sungai
yang mengarah kekiri dengan nama sungai Kelai, panjangnya 254 Km dan yang
kekanan namanya sungai Segah, yang panjangnya tidak kurang dari 152 Km. maka
dengan demikian sungai Berau keseluruhan panjangnya kurang lebih 546 Km.
Sungai itu meliuk-liuk,
berkelok-kelok, ada yang mengecil ada yang melebar luas, alurnya indah bagaikan
se ekor ular naga jantan yang menanntang segala zaman. Tepian sungai itu
ditumbuhi oleh berbagai tumbuhan liar, seperti nipah yang dapat dijadikan atap
dan dinding rumah, pohon jingah, pohon buah sawan, buah ara, dan pohon rambai
parangat, rutun, singkil, pakis dan masih banyak tumbuhan lain yang tidak
mungkin dapat disebut semuanya disini. Sungai berau berbeda dengan
sungai-sungai dinegeri lain. Sungai Berau memiliki ribuan anak sungai kecil dan
besar. Monyet dan bekantan penghias sungai, melompat lompat dipohon rambai
parangat. Yang setiap pukul tujuh pagi, pukul lima sore monyet dan bekantan itu
ramai melompat kesana kemari sambil memakan pucuk-pucuk muda pohon parangat
itu, anaknya yang masih kecil lepas dari gendongan induknya, melatih kekuatan, lompatan dan pegangan tangannya
yang masih kecil, melompat dari ranting satu keranting lainnya, gerak
geriknyanya terus diikuti dan diawasi oleh induknya. Sedang malam hari binatang
yang suka ditonton orang itu tidur disana sampai esok pagi.
Begitu pula
burung kalibarau yang sering disebut orang cocokrowo, dengan suaranya yang
merdu dan nyaring itu selalu berteriak gembira ketika senja akan datang menutup
siang dan mandi-mandi dianak-anak sungai yang airnya bening, sedang di pohon
tinggi menjulang, burung tiung (beo) bernyanyi menyambut pagi dan malam hari.
Ditepi sungai berau itu juga tumbuh bergerombol pohon rumbia nan subur, dan
didekatnya ada pohon rambutan hutan yang merah ranum, rasanya manis, sedang
disantap oleh burung rangkai dan gagak yang rakus. Buaya dan biawak berenang
mecari mangsa, sedangkan buaya lainnya yang sudah kenyang berjemur di bibir
sungai dan diatas batang kayu yang tidak terlalu besar.
Pada zaman
dahulu kurang lebih pada tahun 1.400 masehi sudah ada tujuh banua dan rantau
yang sudah berdiri baik dipesisir pantai dan dipinggiran alur sungai berau.
Rantau atau kampung dan banua itu adalah sebagai berikut :
- Banua Marancang
- Banua Pantai
- Banua Kuran
- Banua Bulalung
- Banua Suwakung
- Rantau Bunyut dan
- Rantau Ullak
Ketujuh banua
dan rantau itu masing-masing mempunyai seorang pemimpin yang dipilih oleh
masyarakat di kampung dan banua itu sendiri sebagai ketua atau pemangku adat
yang sangat dipercaya dan menjadi
panutan semua orang yang ada di banua dan rantau itu. Aturan-aturan adat
masih diatur dengan sederhana dan menurut aturan mereka bersama dimasing-masing
tempat.
Ketujuh banua
dan rantau itu masih serumpun, yaitu rumpun melayu tua dan sudah sejak lama
saling kenal mengenal, namun kepemimpinannya masih terpisah belum bersatu.
Kalau ada upacara adat tahunan disalah satu kampung atau banua, ketujuh kampung
akan datang beramai-ramai berkumpul dengan membawa makanan masing-masing dan
tidak ketinggalan rombongan kesenian dan olah raga.
Kesenian
ditampilkan pada malam hari, seperti Bakarang-karangan, Badiwa, Gamdam Barras,
dan Putar Alam, serta Bajappin, Bajiak dan Mamanda, sedangkan olah raga seperti
adu betis yang dikenal dengan nama Babinti oleh para pemuda dan main galah,
logo, dan gasing dilaksanakan pada siang hari, serta yang paling meriah adalah
adu ayam. Acara tahunan seperti itu pastilah ramai sekali dan dilaksanakan
sampai seminggu lamanya.
Sedangkan para pemangku adat
duduk berdampingan sembari menikmati hidangan yang enak-enak yang disediakan.
Kata orang tua-tua dulu, kalau sudah minum air sungai berau, maka orang itu
pasti akan datang lagi kenegeri berau dan tidak akan dapat melupakannya biar
dimanapun ia berada.
B. PUAN DIPANTAI RANGGA BATARA
Maka
tersebutlah seorang tokoh yang cukup terkenal dirantau-rantau dan kampung-kampung,
banua di bumi berau, dan tak patut kalau kita melupakannya begitu saja, dia
adalah pemimpin Banua Pantai. Ia manusia biasa yang cukup berpengaruh disegani
dan dihormati oleh segenap rakyat negeri Pantai. Derajatnya hampir sama dengan
raja, namun sayangnya pada waktu itu belum terbentuk sebuah kerajaan, maka ia belum mendapat kedudukan sebagaimana
layaknya seorang raja yang memiliki tahta.
Orang itu suka bekerja keras
tidak mengenal lelah, pikirannya maju jauh kedepan selain memikirkan dirinya
juga selalu memikirkan orang banyak agar tidak kekurangan apabila datang musim
paceklik. Kebunnya luas ditanaminya kelapa, buah-buahan, umbi-umbian dan sayur
mayur. Orang kampungnya selalu membicarakannya sebagai orang yang patut menjadi
contoh dalam menanam penganan dan buah-buahan. Disamping itu orang itu juga
suka membantu orang lain yang lagi kesusahan atau yang sangat membutuhkan tanpa
pamrih, membantu orang lain dalam kesusahan atau orang yang bersenang-senang,
seperti pesta perkawinan dan pesta lainnya dalam lingkungan masyarakatnya. Dan
bila perlu ia akan bantu sampai dengan harta bendanya yang ia miliki pada waktu
itu. Itulah kelebihan yang sulit dapat di ikuti oleh siapapun, kecuali orang-orang
yang iklas dan berbudi luhur.
Orang
itu adalah Rangga Batara yang
dikenal pula dengan nama Puan Dipantai
yang artinya pemimpin yang mendiami negeri di tepi pantai. Puan Rangga Batara
selalu mewakili rakyatnya dalam setiap ada pertemuan sesama pemangku adat dan
juga selalu tampil apabila ada sesuatu permasalahan yang tidak mudah dicerna
dipecahkan oleh rakyatnya. Itulah Puan Rangga Batara, Puan Dipantai.
Dirumah
panggung yang cukup besar berlantai kayu budar dan batang nibung yang telah
dihaluskan berdinding kulit kayu, daun rumbia dan kajang yang telah dianyam dengan
halus serta beratapkan daun nipah milik Puan Rangga Batara yang berdiri kokoh ditepi
sungai. Dihuni oleh Puan Rangga Batara bersama tujuh orang putrinya. Nama
ketujuh putrinya itu diawali dengan gelar Kannik. Yang sulung namanya Kannik Saludai, sedangkan yang bungsu
namanya Kannik Barrau Sanifah.
Kannik
Barrau Saifah inilah yang kemudian hari sangat terkenal karena kecantikannya,
serta kepandaiannya yang dapat mengalahkan kepandaian berpikir kaum laki-laki
dizaman itu. Dan kemudian sempat dibuang kelautan dengan menggunakan rakit, dan
kemudian ditolong oleh seorang saudagar muda dari negeri kerajaan Berunai.
Bersama dengan saudagar itu Putri kannik Barrau Sanifah dibawa kembali ke Banua
Pantai yang menjadi suaminya.
Ketujuh
putri cantik itulah yang selalu mendampingi dengan setia ayahandanya Puan
Dipantai dikala senang ataupun dikala duka. Ketujuh Putri itu masing-masing memiliki
kelebihan dan kepandaian sendiri-sendiri, dan ketujuhnya pandai membuat masakan
buat ayahnya dan para tetamu yang datang ke Banua Pantai.
“Ayah”….
Ujar Kannik Barrau Sanifah di sela-sela kesepian diruang tamu ketika ayahnya
sendirian. “ Ayah semakin tua, ayah terlalu lelah….janganlah kami anak ayah
yang semua perempuan ini dianggap tidak mampu membantu ayah, kami semua siap
membantu ayah, walaupun pekerjaan itu seharusnya dikerjakan oleh laki-laki”
hening sejenak, ayahnya menatap wajah anaknya yang luar biasa itu.
“… yah…yah… ayah tahu anakku Sanifah,
tapi biar bagaimanapun kalian perempuan tetaplah sebagai perempuan anakku” ucap
Puan Rangga Batara kepada Sanifah anak bungsu kesayangannya itu. Dan lanjutnya
meyakinkan putrinya “ Ayahmu ini masih gagah, masih mampu, masih kuat, kalian
tidak perlu menghawatirkannya…” Puan Rangga Batara menghambur senyum, yang
disambut pula dengan senyum putrinya.
Kini putrinya sudah yakin, bahwa
ayahnya itu masih mampu mengurusi masyarakat kampung Banua Pantai dengan
bijaksana dan adil. Walaupun raut wajah beliau telah nampak termakan usia.
Puan
Dipantai lalu pergi meninggalkan putrinya yang asyik bersendau gurau, pergi berkeliling
kampung. Dijalan yang ia lewati banyak handai taulan, kawan, dan masyarakat
yang ia temui, masing-masing menceriterakan kebun dan hasil panen padi yang telah
selesai.
Hasil kebun dan ladang mereka
tahun ini sangat bagus, dapat menutupi keperluan mereka sehari-hari dalam
setahun.
Berjalan keliling kampung semacan
ini biasa dan sering dilakukan oleh Puan Dipantai Rangga Batara, sebagai wujud
kepeduliannya kepada masyarakat kampungnya.
C. INNI BARITU DAN INNI KABAYAN
Jauh di ujung
Rantau Ullak, jauh dari keramaian, dekat sebuah bukit kecil berdirilah sebuah
rumah sederhana ditepi sungai. Rumah itu tinggi, dengan menggunakan tongkat dan
tiang kayu ulin bundar, berdinding dau nipah dan kulit kayu tua, atapnya
terbuat dari daun nipah, sudah lusuh dan banyak lubang-lubang, sedangkan tangga
untuk naik kerumah itu terbuat dari kayu bundar yang sedang-sedang besarnya
ditatah ber tingkat-tingkat sedemikian rupa agar mudah diinjak untuk naik
kerumah itu.
Rumah
itu milik Inni Baritu yang tinggal
bersama istrinya Inni Kabayan. Inni
artinya Nenek atau kakek. Keduanya sudah berusia lanjut, tetapi tenaganya masih
kuat untuk bekerja dan masih sehat. Kedua suami istri ini adalah pasangan yang
sangat serasi dan kukuh, sampai usianya sekarang yang sudah tua itu, masih
bersemangat untuk kekebun yang hasilnya untuk menghidupi mereka berdua. Kalau
ada kelebihan dari hasil panen mereka, disedekahkanya kepada orang lain, atau
siapa saja yang datang kerumahnya akan selalu mendapatkan oleh-oleh dari kedua
Inni apabila tamunya pulang, apakah
pisang, nenas, jambu atau singkong. Walaupun sedikit pastilah ada yang
diberikannya kepada orang lain. Bahkan beras yang baru ditumbuknyapun kalau ada
yang memerlukan, Inni Kabayan akan mengalah, beras itu diberikannya kepada yang
sangat membutuhkan dan untuk mereka, yah tentu harus menumbuk padi kering lagi
yang selalu siap dan ada dibawah kolong rumahnya yang tinggi itu.
Inni
Baritu dan Inni Kabayan yang sudah dimakan usia itu sampai saat ini belum
mempunyai keturunan. Anak yang selalu diharapkannya hadir sejak dulu mereka
masih muda sampai sekarang belum juga hadir menemani mereka berdua. Sampai
sekarang mereka masih selalu berdoa kepada Tuhan agar mereka dikaruniai seorang
anak. Walaupun mereka tahu orang seusia mereka berdua tidak mungkin lagi dapat
melahirkan seorang anak, setidaknya Tuhan sang Pencipta Alam Smesta Raya ini
mendengar permintaan mereka untuk mendapatkan anak yang baik, berbudi, gagah
perkasa, pemberani, berwibawa, dapat mempersatukan rakyat selalu menjadi contoh
dan tauladan orang banyak, pandai pekerjakeras dan memiliki kemauan dan
pemikiran jauh kedepan serta pembela dan pelindung keluarga dan orang lain.
Harapan semacam itu kedua Inni sampaikan setiap mereka berdoa kepada Tuhan Sang
Pemberi.
Inni
Baritu turun ketepian sungai membersihkan perahunya yang lama tidak terpakai,
air didalam perahu yang hampir setengah itu ditimbanya sampai kering, kemudian
ikan-iakn kecil yang sudah busuk dilemparkanya ketengah sungai dan ikan busuk
itu langsung disambar ikan lain yang kelaparan. Perahupun menjadi bersih dan nyaman dilihat. Inni Baritu
berencana pergi menjala ikan, Inni kepingin makan udang galah yang sepitnya
biru panjang dan segar.
Maka pergilah Inni Baritu dengan
perahunya menuju kehulu sungai Lati Rantau Ullak, dimana disana banyak udang
besarnya. Jalapun dilemparkan. Dengan terbuka lebar dan bundar. Tak lama
kemudian udang galah segar menggelepar masih hidup dan sudah banyak diperahunya.
Begitulah
kehidupan mereka dialam yang kaya nan permai ini, alam yang penuh limpahan
rejeki dari sang pencipta. Semua sudah ada tersedia baik di air, didaratan
maupun di udara, tinggal kita saja lagi yang mau mengais mengambil dan
mencarinya. Tentu harus selalu menjaga dan melestarikan alam yang kita gunakan,
agar semua yang telah tersedia dimuka bumi ini tidak sia-sia menjadi habis dan
langka atau porak poranda.
Sungai
Berau yang kaya dengan berbagai ikan-ikanan, sedang dipinggirnya penuh dengan
tumbuhan yang hijau ranau dan subur. Lain lagi dengan daratannya, hutan
belantara lebat bagai hamparan jamrut dikatulistiwa. Pohon-pohon kayu besar
dililit oleh rotan yang panjang dan tua. Sedangkan damar berhamburan dibawah
pohon dan sebagian lagi masih melekat dikulit pohon kayu kapur, dihiasi lagi
dengan kayu hitam dan ulin yang mahal, dan semerbak harum dibawa angin
berkeliling dunia yang berasal dari kayu gaharu yang sudah tua. Digunung-gunung
batu yang tinggi banyak gua-gua sarang burung yang menyehatkan, dialah sarang
burung wallet. Sedangkan dihulu-hulu sungai emas masih bertaburan.
Alangkah indah dan bagusnya alam
semesta raya yang diciptakan oleh sang Pencipta alam Semesta Tuhan Yang Maha
Kuasa. Manusia tinggal memanfaat dan memelihara keseimbangannya.
Inni
Kabayan telah selesai menanak nasi dan merebus
serta membakar udang galah hasil tangkapan suaminya tercinta Inni Baritu.
Dengan nasi masih berasap dan mengepul itu, kedua suami istri itu lahap
menikmati hidangan yang ada, serta sebagai penarik dan menambah nikmatnya makan
mereka, dibuatnya irisan buah pelam muda dicampur dengan udang bakar dan tidak
lupa sebagai tambahan yang selalu tidak ketinggalan adalah sambal belacan.
Ach…..nikmatnya.
D. TITISAN DEWA TELAH DATANG
Dipagi yang cerah, ketika
matahari mulai mengintip melalui upuk timur, ternyata harus dikalahkan oleh
embun pagi yang tebal dan dingin menutupi kehadirannya untuk menerangi alam
semesta raya. Ayam sejak pukul lima pagi sudah ribut ingin keluar dari
kandangnya, sedangkan yang tidur bebas dipohon rambai dan jambu air dibelakang
dan samping rumah, kepalanya tengak-tengok kekiri kanan dan kebawah
memperhatikan tanah yang masih samara-samar. Begitu sedikit terang ayam itupun
terbang turun berhamburan dengan suara ributnya dan kejar-kejaran. Berkejaran,
yang lebih besar mematuk yang lebih kecil, sang jantan juga tidak ketinggalan
ribut mengejar sang betina yang malas-malasan dan terpaksa harus lari untuk
berolah raga pagi atau pasrah diam
menunggu sang jantan mengawininya. Ketika si pemilik ayam itu membawa
makanan, nasi dingin bercampur kerak nasi dan diaduk dengan dedak lalu
dihamburkan menjadi beberapa tumpukan, ayam-ayam itu lalu memakannya dengan
lahap bergerombol-gerombol. Ketika makanan yang tersedia sudah tinggal sedikit
mulailah ayam yang merasa lebih besar mematuki yang lebih kecil dengan harapan
makanan itu untuknya sendiri. Serakahnya.
Dilain
tempat Inni Baritu dihalaman dekat sumur asyik dengan parangnya, Inni mengasah
mandau diatas batu padas keras yang diambilnya dari sebuah gunung yang cukup
jauh. Batu padas itu memang bagus untuk dijadikan batu asahan, karena keras dan
kuat, parang, pisau, mandau cepat menjadi tajam. Setelah mandau dipegang bagian
matanya yang tajam, dan sudah tajam, mandau itu dikeringkan lalu dimasukkan
kedalam sarungnya. Sedangkan inni Kabayan istrinya sibuk didapur merebus air
dan merebus ubi untuk sarapan. Dapur atau atangnya terbuat dari kayu dilapisi
dengan batang pisang yang sudah dihaluskan dan diatasnya diberi tanah yang
cukup itu. Sudah banyak abunya bekas kayu yang dibakar ketika memasak
diatasnya.
Kedua
suami istri itu tak lama kemudian sambil mengobrol kesana kemari sudah
menikmati air kopi hangat dan ubi rebus yang dibuat dengan cekatan Inni
Kabayan. Alangkah nikmatnya ubi Rebus
dinikmati pada pagi hari ketika perut masih kosong, memang minta diisi,
ditambah lagi dengan kopi asli dari pekarangan rumah Inni sendiri.
“ Inni “ ujar Inni Baritu memecah
suasana pagi yang cerah
“ ya…ada apa “ sahut istrinya
yang setia
“ aku hari ini akan pergi
kekebun, rencanaku membersihkan kebun dan sepulangnya nanti aku akan membawa
bambu Pattung” ( bambu besar )
sambil menghirup kopi dicangkirnya yang semakin sedikit.
“
eeee….ia..ya..ya, tapi untuk apa pattung itu…Inni… dan Inni kan baru
sembuh dari sakit…tak usah mengangkat yang berat-berat dululah..” Tanya dan
pinta Inni Kabayan kepada suaminya.
Inni Baritu dalam beberapa hari
belakangan memang sering sakit-sakitan, walaupun sakitnya tidak sampai lama dan
berat, barangkali karena dipengaruhi oleh usia yang semakin lanjut. Inni Baritu
sering diserang flu dan kadang batuk-batuk, sesekali malarianya juga kambuh
mewarnai sakit tuanya itu.
“ ach Inni…Inni, bambu itu, yang untuk
dibuat dinding dapur kita yang sudah rusak itu” tunjuk Inni Baritu sambil
tersenyum…lanjutnya “ masa Inni sudah lupa, kan baru kemarin kita bincangkan
dan kita rencanakan…..”
Inni Kabayan tersipu-sipu oleh
karena kealpaan dan ingatan yang sudah berkurang banyak.
“ yah..yah …aku baru ingat……”
sembari tertawa kecil “ tapi Inni baru sembuh” tambahnya meyakinkan.
“…..lihat aku ….” Bergaya seperti orang yang kuat dan masih
muda “ tidak sakit lagi dan sehat-sehat saja “ ujar Baritu menambah.
Keduanya tertawa bahagia dipagi
ceria, Inni Kabayan pergi sejenak kebelakang dan kemudian datang lagi dengan
sepiring ubi rebus tambahan, asap pada ubi yang masih panas itu masih mengepul.
“ bakayanya Inni “ melihat
istrinya membawa ubi rebus itu.
“ mangka….” Sambar Inni Kabayan
“ ndada jua…”
Sampai
dengan pukul tujuh pagi embun masih tebal, dinginnya masih menusuk tulang dan
persendian, Inni Baritu bersiap-sipa pergi kekebun. Dengan terselip mandau
dipinggangnya dan air putih ala kadarnya, berangkatlah Inni Baritu kekebun
bersama dua ekor anjing
kesayangannnya, yaitu si Langsat
yang berbulu merah dan si Beruang
yang berbulu hitam. Kedua anjing itulah yang selalu dengan setia dan rajin
membantu majikannya untuk menghalau pemangsa tanaman seperti babi hutan dimalam
hari dan monyet, bangkui disiang hari.
Babi dan bangkui akan lari
terbirit-birit karena ketakutan oleh keberanian si langsat dan si beruang.
Langsat dan beruang tidak akan memberi ampun terhadap babi yang coba-coba
mendekati kebun majikannya itu. Bila perlu kalau babi berani melawan akan
digigitnya sampai luka parah dan mati, begitu pula dengan monyet dan bangkui.
Pada suatu
hari adalah datang se ekor bangkui yang cukup besar dan sangat pemberani,
bangkui itu pandai main silat untuk melepaskan serangan lawan dari arah
manapun, kepekaannya terhadap gerakan, pukulan yang akan menyerangnya cukup
bagus, maka tak heran monyet besar yang
bernama bangkui itu menjadi pemberani dan ditakuti oleh bangkui lainnya. Ia
seekor bangkui jantan dan terpaksa harus berhadapan dengan si langsat dan si
beruang, karena tidak mau pergi saat di salak/digonggong kedua anjing itu.
Masing-masing mencoba memperlihatkan keberaniannya. Akhirnya harus saling
serang menyerang. Kedua anjing kesayangan Inni Baritu tak sabar melihat
keberanian bangkui jantan itu, bahkan dengan kegagahannya bangkui turun ketanah
menghadapi lawan yang sedari tadi sibuk menggonggongnya. Telinga si bangkui
menjadi panas dan wajahnya geram melihat tingkah kedua anjing yang selalu datang
dan mengganggu ketenanganya berusaha menghalau pergi. Dasar anjing pengabdi
yang baik.
Tak lama kemudian mereka sudah terlibat saling
serang, terkaman langsat dan si beruang berkali-kali tak mengena, dapat
dihindari oleh bangkui yang pintar. Bahkan sebaliknya sempat beberapa kali
tangannya memukul bagian belakang anjing yang berang. Kedua anjing itu semakin
menggila. Untung saat mereka berdua menyerang bersamaan, si beruang dapat
menggigit bagian belakang bangkui, si bangkui berteriak keras kesakitan dan
balas menggigit pula, saat itulah si langsat juga punya kesempatan untuk
menggigit si bangkui yang lengah. Ketiga binatang yang saling serang itu
bergumul bergulingan dilerang bukit. Tidak tahan merasakan sakit yang luar
biasa sang bangkui melompat sekuatnya keatas pohon dan kedua anjing itu
terpental menjadi dua. Bangkui berlumuran darah, si beruang pun berlumuran
darah dirobek dengan taring bangkui. Sejak kejadian itu bangkui yang pemberani
itu tidak berani lagi mencoba-coba datang kekebun Inni Baritu, setelah
merasakan sakitnya gigitan si langsat dan si beruang.
Matahari
sudah mulai sampai kepertengahan langit diatas sana, menandakan para pekerja
sebaiknya beristirahat saat itu, Inni mendengar anjingnya menggonggong tiada
henti. “ ada apa si langsat dan si beruang menyalak tak henti-hentinya itu………”
tegur Inni dalam hati, sambil telinganya dipasang kuat-kuat, barangkali ada
suara makhluk lain selain kedua anjingnya.
“ langsat…..beruang…..!!!”
panggil Inni dari dekat pohon pisang. Kedua anjing itu masih juga tidak
berhenti dan tidak juga datang kepadanya setelah dipanggil beberapa kali.
“ ada apa…?” Tanya Inn Baritu
Inni lalu bergegas mendatangi
dimana suara anjing menggonggong itu, anjingnya menggonggong di arah rumpun
bambu pattung dipinggir sungai kecil, tapi anehnya kedua anjing itu
menggonggong sambil tengkurap ditanah seperti tidak bisa berdiri, seperti ada
yang aneh, seperti ada yang diberitahukannya.
“…aneh….kenapa kedua anjingku
itu….” Inni heran. Matanya tajam memeriksa setiap sudut dekat pohon bambu yang
subur dan besar-besar itu. Tak lama kemudian Inni terkejut bukan main,
terdengar suara tangisan bayi.
Merinding bulu kuduk Inni Baritu
mendengarnya, tapi ia kuatkan perasaannya yang tadi sedikit keder itu. Inni
mencoba mendekat dan meyakinkan suara tangisan itu.
“ Bayi
manusiakah…..tega-teganya…perempuan mana yang menyia-nyiakan anaknya sampai ada
dalam hutan seperti ini…..atau anak jin…..atau syetan yang gentayangan…..akh
sudahlah….atau barangkali titisan dewa dari kayangan…”
Kedua anjing si langsat dan si
beruang tetap tidak mau diam terus menggonggong bersahutan. Inni baru terus
mendekati rumpun bambu yang lebat itu……..” hah……..bayi manusia……” matanya
terbelalak kaget, heran, kagum dan bercampur aduk.
Bayi itu terbaring didalam
pecahan bambu pattung yang terbuka lebar sedemikian rupa, bercahaya berderang,
tapi mengambang tidak menyentuh apa-apa, baik kekiri, kenanan, atas, maupun
bawahnya, gelapnya rimbun bambu semakin mengagumkan Inni Baritu, bayi itu luar
biasa, berada didalam pecahan bambu, tapi tidak menyentuh bagian bambu, seolah
terletak diudara dalam keindahan bambu pattung. Kulit sang bayi yang keluar
dari bambu itu tidak tergores sedikitpun oleh bambu yang tajam.
Inni Baritu membuka matanya
lebar-lebar, yang dilihatnya memang bayi, kemudian diusapnya matanya beberapa kali,
kemudian dibukanya lagi untuk meyakinkan, tetap yang dilihatnya adalah bayi
itu-itu juga. Memang bayi….sejak tadi ya bayi itu tidak kemana-mana.
Dengan
kekuatan hati, bayi itu diambilnya dan digendongnya, merasa disentuh bayi itu
lansung diam dan hebatnya lagi bayi itu tersenyum, menandakan kesukaan setelah
disentuh manusia. Begitu pula dengan kedua anjing kesayangan Inni, setelah bayi
berada dalam gendongan tuannya, keduanya serentak diam dan mencium-cium kaki
tuannya.
Dan dengan tergopoh-gopoh, bayi
yang masih mungil itu dibawa Inni Baritu pulang menuju kerumahnya dengan
diiringi oleh teman setianya si langsat dan si beruang.
Diperjalanan pulang Inni Baritu
teringat akan dirinya yang sudah tua, namun belum juga mempunyai keturunan.
Biarlah bayi siapapun ini aku tak perduli aku akan memeliharanya, yah
memelihara semampuku, akan aku jadikan sebagai anakku…..Inni baritu tersenyum.
Berkali-kali bayi itu ditatapnya tak jua puas.
Sesampainya
dihalaman depan rumahnya “ Inni….Inni….” Inni Baritu berteriak memanggil
istrinya “Inni Kabayan….Inni…Inni
ambilkan kain…Inni…ambil kain…”
Inni Kabayan yang terkejut langsung
keluar dari dalam rumah, celingukan dari pintu rumah memperhatikan suaminya
yang baru datang dan membawa sesuatu yang menurutnya sangat aneh dan
mustahil…..dapat dari mana….
“ kain…..kain…untuk apa…dimana
kainnya “ bertanya kebingungan
Lagi Inni Kabayan lupa
“ kain Inni…kain…bayi kita ini
kedinginan, masuk angina Inni…”
Sahut Inni Baritu asal bicara,
membuat istrinya semakin tegang dan heran
“ kain…” pikir Inni Kabayan “
yang dimana…akh….okh….yah…yaah…”
Inni Kabayan berlari masuk dan
mengambil kurindan ( keranjang
terbuat dari anyaman rotan ) yang digantungnya agak tinggi dekat dapur. Didalam
kurindan itu disimpannya kain yang dibuatnya dari benang serat daun buah malaka
atau nenas beberapa hari lalu. Namun akh….kenapa kurindanku terasa berat
seperti ini, lalu diturunkannya dengan hati-hati agar jangan tumpah. Inni
Kabayan tersentak, terperangah kaget ketika dilihatnya, ketika ia melihat di
dalam kurindan itu, tempat ia menyimpang kain dan benang, tiba-tiba entah datang
dari mana sudah ada bayi perempuan yang molek rupanya dan bercahaya pula
didalamnya. Inni serta merta mengangkat dan menggendong serta membawanya
keluar. Kedua suami istri itu saling tatap keheranan, kagum bercampur baur dan
tidak mampu lagi dibayangkanya.
“… Inilah kebenaran dan kenyataan
dari doa-doa kita selama ini….”
Ujar inni Baritu kepada istrinya
yang tawakkal
“
Benar Inni, tanpa pirasat apa-apa tiba-tiba kedua bayi ini datang entah
dari mana asalnya”
“ Titian Dewa Inni….ini pasti
titisan dewa istriku…” Ini Baritu meyakinkan istrinya dan dirinya sendiri.
“ Titisan Dewa….okh …alangkah
molek parasnya Inni Baritu….”
Kedua
bayi mungil itu dibawa keduanya masuk kedalam rumah yang sudah agak miring
karena tuanya, lalu kedua bayi itu dibaringkan diatas kain yang belum selesai
sepenuhnya dibuat oleh Inni Kabayan. Kedua bayi itu seperti datang dari jauh
kelelahan, lalu tidur dengan pulasnya. Tidur pulas dihadapan Inni Baritu dan
Inni Kabayan yang masih terkagum-kagum atas kejadian keduanya. Inni Baritu dan
Inni Kabayan mengusap wajahnya mensyukuri kehadiran bayi laki-laki dan bayi
permpuan kerumahnya hari ini. Yang mereka tahu ini adalah anugrah sang pencipta
semesta alam yang luas ini kepada mereka dan kepada semua penduduk dimuka bumi.
Dalam tidur kedua bayi, mereka berdua saling berceritera pengalaman bagaimana
mereka menemukan bayi itu masing-masing, berkali-kali mereka berdecak kagum dan
heran atas kejadian dan kehadiran kedua bayi.
E. KANNIK BARRAU SANIFAH
Kabar dari
mulut kemulut terus sambung menyambung, akhirnya kabar itupun sampai juga
ketelinga Puan Dipantai Rangga Batara dan ketujuh putrinya di Banua Pantai.
Mendengar hal ihwal Inni Baritu dan Inni Kabayan yang tinggal jauh diujung
kampung Rantau Ullak menemukan bayi yang konon katanya adalah titisan dewa dari
kayangan. Alangkah moleknya kedua bayi itu kalau benar-benar ia bukan anak
manusia biasa, tetapi titisan dewa pikir Kannik Sanifah keheranan. Dan banyak
pula diantara orang kampung yang sudah datang kerumah Inni Baritu untuk melihat
bayi titisan dewa itu. Dan memang benar adanya, bukan sekedar kabar burung.
Di Banua
Pantai Kannik Barrau Sanifah bermusyawarah dengan ketujuh saudara dan ayahnya
Puan Dipantai Rangga Batara untuk berencana melihat bayi yang dikabarkan
titisan dewa yang telah menjadi buah bibir dimana-mana, bahkan sampai kekampung,
rantau dan banua lain.
Pagi sekali, atas ijin Puan
Dipantai ketujuh putri sudah berangkat menuju rumah Inni Baritu di Rantau Ullak.
Perjalanan cukup jauh, dan perjalanan
hanya dapat ditempuh dengan menggunakan
perahu menyusuri sungai Berau. Perahu yang digukan cukup besar, karena
disamping ketujuh putri yang naik ditambah lagi dengan beberapa orang lelaki
pendayung perahu dan penjaga keamanan. Tidak kurang dari empat jam perahu
didayung barulah sampai kerantau Ullak.
Inni Baritu
dan istrinya sangat kaget atas kedatangan tamunya yang tak diundang itu, tapi
mereka berdua juga sangat gembira mendapat kehormatan kunjungan ketujuh putrid
Banua Pantai. Ketujuh Putri dipersilahkan masuk untuk melihat bayi yang dipelihara
kedua Inni. Ketujuh Putri secara bergantian bertanya tentang hal ikhwal kedua bayi itu sampai berada dirumah Inni
Baritu dan istri, kedua Inni menjelaskan panjang lebar dengan terang dan
berurutan.
Setelah
mendapatkan penjelasan sedemikian rupa, ketujuh putri sudah yakin dan percaya
sepenuhnya, bahwa kedua bayi tersebut adalah bukan bayi sembarangan yang dicuri
atau diculik oleh Inni suami istri, atau bayi pemberian orang lain karena
kasihan melihat Inni berdua sampai tua masih belum mempunyai keturunan, tapi
kedua bayi itu benar-benar anugrah dari sang Pencipta kepada rakyat rantau
Ullak, Banua Pantai dan semua makhluk dimuka bumi. Dia adalah TITISAN DEWA.
Setelah percakapan cukup lama :
“ Inni jangan terkejut dan jangan
marah kepada kami tujuh bersaudara “
Kannik Sanifah ingin menyampaikan
sesuatu dari lubuk hatinya yang paling dalam, namun sejenak berhenti.
“ Tak akan marah….untuk apa kami
harus marah kepada putri, kalau tidak mengerti ujung pangkalnya Putri Kannik”
sahut Inni Baritu lugu, menentramkan suasana.
“ Begini Inni….” Timpal Kannik
Saludai kakak tertua ketujuh putri
“ maksud kedatangan kami kemari………disamping
ingin melihat kebenaran berita yang sampai kepada kami……..kami mohon kepada
Inni, kiranya kedua titisan dewa yang telah turun dinegeri kita ini, kami bawa
kerumah ayahanda Puan Dipantai untuk dirawat disana Inni.”
“ Aduuuh… Putri Kannik
Saludai….kami sampai setua ini belum pernah menimang anak, karena kami tidak
beranak Putri……berat rasanya Putri…kami harus memenuhi permintaan Putri..” Inni
Kabayan berkeluh menjelaskan keberatanya untuk melepaskan bayi yang beberapa
bulan sudah dirawatnya.
“ Benar Putri…” timpal Inni
Baritu “…kami sampai setua ini belum memiliki anak…Putri…..kedua bayi ini kami
yakin adalah pemberian yang kuasa kepada kami, setelah bertahun-tahun mendengar
doa-doa kami yang telah mulai renta “
Inni Baritu dan Inni Kabayan
sangat menghormati pimpinan Banua Pantai yaitu Puan Rangga Batara, sedang yang
datang saat ini kerumahnya adalah tujuh putri Puan Dipantai itu, oleh karena
itu keduanya harus memilih dua pilihan. Dan merekapun menyadari keadaan mereka
saat ini sebenarnya. Dari keadaan rumahnya yang serba sederhana, perabot rumah
untuk keperluan sang bayipun boleh dikatakan tidak dimilikinya, tambah lagi
dengan keadaan mereka yang sudah tua, tidak sekuat dulu lagi semasa masih muda.
Walaupun memang berat harus melepaskan kedua bayi yang sudah terlanjur
disayangi dan telah merasuk kedalam sukma yang paling dalam dari keduanya. Bayi
yang memiliki pamor dan cahaya itu benar-benar telah merasuk kedalam hati Inni
Baritu dan Inni Kabayan. Akh………
Inni
Kabayan menangis melihat kedua bayi yang molek, ia tidak mampu menahan rasa
dukanya ketika mendengar keinginan tuan putri yang sangat dihormatinya itu
tiba-tiba meminta kedua bayi yang ditemukan mereka dibelahan bambu dan kurindan
itu harus dibawa kerantau Ullak.
“ …Inni…..tak perlu
bersedih…..kedua bayi ini adalah titipan yang maha kuasa kepada kita…..maka
sepatutnyalah kita memeliharanya dengan sebaik-baiknya, dan kami yakin kedua
bayi ini kelak kemudian hari akan menjadi orang yang terpandang serta dipandang
orang lain”. Kannik Barrau Sanifah yang pintar mencoba menghalau kesedihan Inni
berdua.
Kannik Si Panjang Rumah ikut
bersuara dengan suaranya yang bulat besar dan nyaring.
“ kami tidak akan menyia-nyiakan
titisan dewa Inni…rencana kami selain kedua bayi ini yang kami bawa, Inni
berduapun kami sertakan untuk bersama-sama merawatnya di Banua Pantai….”
Kannik Saludai dengan menghambur
senyum turut meyakinkan
“ benar Inni percayalah….siapa
lagi kalau bukan kita yang bersama-sama menjaga dan merawatnya”
“ kami mengerti Putri…tapi kedua
bayi ini anak kami putri….”
Isak tangis Inni Kabayan yang
rambutnya telah memutih itu semakin keras, air matanya mengucur deras dipipinya
yang sudah keriput.
“ kalau memang demikian tak apa
juga Inni….kami hanya ingin berbagi
gembira, karena sudah mengetahui sebenarnya kedua bayi ini….dan ternyata memang
benar adalah titisan dewa dari kayangan untuk kemakmuran dan kejayaan negeri
kita tercinta…” ujar Kannik Sanifah tidak mau memaksakan kehendak mereka.
“ oh….anu…anu putri “ Inni Baritu
mencoba berbicara namun terputus-putus, sedangkan Inni Kabayan menatapnya
dengan tajam dan iba.
“ begini Putri…maaf kami…. kami bukan bermaksud apa-apa….kami
sangat menyayangi bayi ini….kami juga sangat menghormati pimpinan Banua Pantai
Puan Dipantai….kami juga sangat mencintai negeri ini….maksud saya…” Inni Baritu
tidak sanggup meneruskan ucapannya, ketika menatap pada istrinya yang diam
dengan tatapan kosong.
“ sudahlah Inni…tidak apa-apa “
sahut Kannik Sanifah datar berwibawa.
“ bukan itu…. maksud saya….kami
berdua menyadari keadaan kami yang serba terbatas putri…kamipun sudah tua
seperti ini, rasanya sudah tidak mampu juga untuk merawat sebaik mungkin kepada
kedua bayi ini putri…” kemudian Inni Baritu menatap istrinya yang masih diam
agar mengerti dengan maksudnya.
“ Maafkan aku Istriku….kita sudah
tua Inni…”
Inni Kabayan mengiyakan dengan isyarat
menganggukkan kepala…dan tangisnya semakin melemah namun sesenggukan.
“…Yah aku mengerti Inni….memang
setelah aku pikir sesaat tadi, kita sudah lemah dan tidak sekuat dulu waktu
kita masih muda…” Inni Kabayan tersenyum tersipu-sipu.
“…Jadi maksud Inni bagaimana?”
Tanya Kannik
“ Kedua bayi ini kami serahkan
pada kalian untuk merawat dan menjaganya “ jelas Inni Baritu kepada ketujuh
putri yang berada dihadapannya menghadapi bayi yang sudah bangun dari nyenyak
tidurnya.
“ Syukurlah kalau
demikian…..keiklasan jua yang menyambungkan rasa….kepedihan Inni berdua adalah
kebahagiaan semua masyarakat Banua Pantai tercinta, dikemudian hari pastilah
Inni sangat bersuka cita” Kannik Sanifah menyambung dengan kegembiraan.
Inni Baritu dan istrinya mulai
tersenyum iklas.
“…Terima kasih Inni…..terima
kasih…” ujar ketujuh putri Kannik bersamaan, dan kemudian saling tatap risih
lalu tertawa kecil bersama-sama.
Setelah
ijin dan berpamitan kepada kedua Inni, kedua bayi yang gagah dan cantik itu
kemudian dibawa oleh ketujuh Putri menuju kekediaman di Banua Pantai. Bayi
itupun tidak menolak dan tidak sedikitpun meronta, diam saja dan menatap siapa
yang menggendongnya dengan nanar, tangisan tidak terdengar. Sedang Inni tidak
mengatar, dan mereka tidak turut bersama bayi untuk tinggal dirumah Puan
Dipantai Rangga Batara. Mereka sudah berjanji kalau merasa rindu, mereka datang
berkunjung ke Banua Pantai untuk menjenguknya.
Ketika
rombongan putri sudah jauh dari rumah Inni suami istri, tiba-tiba Inni Baritu
dan Inni Kabayan mengejar dari belakang dan memanggil rombongan putrid.
“ Putri…Putri tunggu sebentar…!!
Rombongan berhenti menunggu
kehadiran orang yang memanggilnya dari arah belakang. Sembari tersengal-sengal
Inni Baritu berkata lebih dahulu
” Putri…bayi yang laki-laki beri
ia nama Baddit Dipattung”
“ Bayi perempuan beri ia nama Baddit
Dikurindan “ sambung Inni Kabayan
Ketujuh Putri saling tatap dan setuju dengan manggut-manggut…sedangkan
Inni berdua tersenyum puas mendapat sambutan yang begitu hangat dan suka cita.
“ Baddit Dipattung, Baddit
Dikurindan…..nama yang tepat, sesuai dengan kehadirannya”.ujur ketujuh putri
haru, bangga dan lalu tersenyum sumringah semua.
Sejak
itu Baddit Dipattung dan Baddit Dikurindan sudah mendiami rumah Puan Dipantai,
dirawat oleh ketujuh putri dengan baik selama bertahun-tahun.
Inni Kabayan dan Inni Baritu
selalu berdoa agar kedua anak titisan dewa itu kelak menjadi manusia yang
berguna bagi negerinya yang tercinta, agar menjadi orang yang pemberani,
berwibawa dan terkenal akan kepemimpinannya keseluruh pelosok dunia. Apabila
mereka berdua merasa rindu, mereka datang menjenguk kerumah Puan Dipantai dan
bermalam disana beberapa hari untuk melepaskan rasa rindu kepada anak angkatnya
Baddit Dipattung dan Baddi Dikurindan.
F. DIANGKAT MENJADI RAJA
Sejak masih
kecil Baddit Dipattung sudah memiliki perangai yang luar biasa dan bagus, yang
belum dimiliki oleh anak seusia dia pada waktu itu. Pembawaannya dan
pergaulannya terhadap sesama selalu disenangi oleh teman-teman sebayanya. Dalam
hampir setiap bermain ia selalu dijadikan pemimpin dalam permainan, mengapa
demikian? Karena teman-temannya percaya , Baddit Dipattung selalu bijaksana
dalam membagi tugas dalam bermain dan selalu saja tampil sebagai penengah dalam
setiap persoalan, baik sesama teman dalam satu permainan maupun dengan kelompok
lain. Baddit Dipattung apabila memiliki makanan, walaupun sedikit,
teman-temannya selalu diberi dan dapat bagian , walau hanya secuil sekalipun.
Kalau ada teman yang jatuh ia selalu datang dan cepat menolong. Apabila ada
temannya lagi sakit, ia selalu datang berkunjung dan mendoakan agar temannya cepat sembuh.
Kalau ada temannya yang berkelahi ia selalu melerainya dan sekaligus tampil
sebagai penengah dan memberi nasihat agar jangan berkelahi lagi, karena
berkelahi itu tidak ada manfaatnya, hanya meninbulkan kesengsaraan saja, apalagi
kalau sampai luka dan benjol-benjol kena bogem, kena jotos. Yang menderita kita
juga.
Begitu
indah kehidupan mereka semasa kanak-kanak.
Waktu terus berjalan hari
berganti hari, bulan berganti bulan, tahunpun berganti tahun, Baddit Dipattung
kini telah menjadi pemuda yang tampan, pemuda yang selalu dikagumi oleh para
gadis di tujuh banua dan rantau. Sedangkan para pemudanya sangat dekat dengan
Baddit Dipattung, karena dia suka berteman dan selalu mejaga perasaan orang
lain agar jangan sampai tersinggung. Baddit Dipattung tidak banyak bicara, ia
pandai menahan diri. Ia berbicara secukupnya, selain itu dia diam, karena ada
pepatah mengatakan “diam itu emas”. Tapi yang mengagumkan apabila ia ditantang
tanpa salah, ia dalam posisi benar, maka ia akan melawan habis-habisan.
Pada
tahun 1363 para pemimpin lima banua dan dua rantau yaitu Banua Marancang, Banua
Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung dan Banua Suwakung, serta Rantau Bunyut dan
Rantau Ullak, berkumpul dirumah Puan Dipantai Rangga Batara di Banua Pantai. Diantara
yang hadir adalah ketujuh putri kannik. Kannik Saludai mewakili Banua
Marancang, Jaya Pati dari Rantau Bunyut, Kahar janggi dan Kahar Pahlawan dari
banua Suwakung sedangkan Banua pantai langsung dipimpin oleh Puan Dipantai
Rangga Batara. Inni Baritu dan Inni
Kabayan sudah sangat tua, hadir sebagai orang pertama yang membawa Baddit
Dipttung dan Baddit Dikurindan, dan mewakili Rantau Ullak serta beberapa
pemimpin banua dan rantau lainya bermusayawarah dan mupakkat. Sepakat
mengangkat Baddit Dipattung menjadi Raja
Pertama Kerajaan Berau atau Berayu. Raja pertama tersebut dinobatkan dan
dianugerahkan gelar raja dengan nama ADJI
RADEN SURYANATA KESUMA berkedudukan di Rantau Ullak sungai Lati. Tempat itu
dipilih karena dianggap tempat yang paling aman, dan tanah datar untuk lahan
pertanian sangat luas serta tanahnya sangat subur. Rantau Ullak juga dikenal
dengan Ratau Pattung.
Sejak dinobatkannya Baddit Dipattung
menjadi Raja Pertama Berau dengan gelar Adji Suryanata Kesuma, maka sejak itu
kerajaan Berau telah berdiri dan merdeka.
Awalnya
kerajaan Berau hanya terdiri dari lima banua dan dua rantau, namun kemudian
hari dibawah kepemimpinan Adji Raden Suryanata Kesuma kerajaan Berau berkembang
semakin luas. Wilayah kerajaan Berau sampai Bulungan, Tidung, Tungku dan
sebagian Sabah Malaysia Timur (
sejarawan nasional Prof. Muhammad Yamin ), sedangkan kewilayah selatan
berbatasan dengan kerajaan Kutai.
Perdagangan
makin ramai, para pedagang ada yang sampai menetap dikerajaan yang dipusatkan
di muara sungai Lati itu, Rantau Ullak menjadi ramai, pertaniannya sangat maju.
Persahabatan antar kerajaan terus dikembangkan dan diperluas oleh Raja sampai
ke kerajaan Berunai, Makassar, dan pulau-pulau lain di Nusantara. Dengan
pesatnya perkembangan tersebut, rajapun perlu tenaga untuk mempertahankan
kerajaan, maka dibentuklah pasukan kerajaan yang diambil dari para pemuda yang
gagah berani untuk membela Negara. Laskar yang cukup kuat dilatih untuk
mempertahankan kerajaan Berau, apabila mendapat serangan dari luar. Laskar laut
diperkuat untuk menjaga wilayah pantai dan lautan yang luas, sedangkan laskar
darat untuk menjaga keamanan darat. Keamanan kerajaan, keamanan hutan, dan
keamanan pelabuhan saat para pedagang akan membawa hasil-hasil hutan harus
terjamin, aman, kalau perlu aman sampai ketempat tujuan.
Keamanan
seluruh wilayah kerajaan berjalan dengan baik, aman dan tentram. Raja-raja
Negara sahabat sudah sering datang berkunjung kekerajaan Berau, dengan tujuan
menjalin persahabatan dan sekaligus memperluas usaha perdagangan. Begitu pula
dengan Raja Berau, sering berkunjung kekerajaan sahabat, disana Raja Berau
banyak belajar, kemudian yang sesuai dengan keadaan dan budaya Berau diterapkan
di kerajaannya. Oleh karena itu kerajaan
Berau semakin tahun semakin maju dan mapan, baik dibidang pertahanan maupun
perdagangan, begitu juga dengan pertaniannya.
Pendek
ceritera Kerajaan Berau sejak awal berdirinya yang dipimpin oleh Titisan Dewa
Badditi Dipttung sudah kelihatan greget dan kiprah ditanah Borneo yang kaya dan
luas ini. Dan raja pertama ini pulalah yang kemudian hari menurunkan para
pemimpin dan raj-raja berikut sampai nusantara menjadi satu Negara besar
Republik Indonesia tercinta.
G. PAMATANG AMMAS
Pamatang Ammas
atau yang lebih dikenal dengan Hukum Adat Kerajaan Berau bermula dengan
diangkatnya Raja Berau yang pertama Baddit Dipattung yang kemudian diberi gelar
Adji Suryanata Kesuma.
Saat naik tahta pertama maka raja
berkatalah :
“ Adapun aku ini telah dangkita (
kalian ) jadikan Raja, maka dari itu kuminta supaya diadakan perbedaan dengan
ini, Banua atau saganap rakyatku “
Maka sahut si kannik Barrau
Sanifah, Kannik Saludai, orang-orang tua yang hadir dan para wakil-wakil dari
lima banua dan dua rantau :
“ akan menjadi perbedaan Patik
( saya ) dan Andika ( tuan ) yaitu daratan, pinggir laut, ulu dan laut,
semua menjadi hak tuanku”
Maka berkata lagi Adji Raden
Suryanata Kesuma
“…..Apa lagi…?
Sahut orang-orang tua sekalin
“…Adapun pakaian Andika dan
kebesaran Tuanku samasekali tidak dapat patik pakai, apa lagi isi negeri tuanku
“
Maka berkata lagi Raja Adji
Suryanata Kesuma kepada yang hadir mengangkatnya sebagai raja
“….Apa lagi….?
Sahut orang-orang tua sekalian
“ lamun patik mungkir tuanku
perintah, andika boleh mendenda patik sekalian yang bersalah, karena tiada
siapa-siapa yang dapat mendenda kecuali dari raja, selesainya dari raja.”
Apa-apa bicara semupakat dengan
kepala-kepala adat dinamai PAMATANG
AMMAS, sedang keputusan musyawarah raja, kepala-kepala adat dengan persetujuan
isi banua ( rakyat ) dinamai PEMUPAKATAN TANAH AIR.
Selesai *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar