Selasa, 26 Mei 2015

CERITA ASAL USUL PULAU-PULAU DI KAB. BERAU











PUTRI NAGA DAN

NAKHODA MUDA




KISAH ASAL USUL TERJADINYA
PULAU-PULAU DI KABUPATEN BERAU
KALIMANTAN TIMUR































  1. TANJUNG UJUNG


Konon pada ribuan tahun yang lalu di Pulau Sumatra itu ada sebuah Tanjung yang jauh menjorok kelaut, Tanjung itu dikenal oleh para Saudagar dan para pelaut ulung dengan nama Tanjung Ujung. Di daratan Tanjung Ujung itu ada sebuah gunung yang menjulang tinggi sekali.
            Daerah pesisir pantai Tanjung Ujung itu sangat indah, pasirnya memutih berkilauan, ombak lautnya memecah memukul pantai bergulung-gulung berkejar-kejaran. Sedang lautnya biru bagai sinar bintang gemerlapan, batu-batu karang bersusun rapi bagai berdinding. Keindahan alam yang menakjubkan itu penuh keajaiban, semuanya diciptakan dengan kemulyaan Tuhan yang maha pencipta keindahan.
            Digunung yang tinggi itu hidup dua ekor ular naga yang sangat besar, besarnya sebesar batang pohon kelapa, bahkan lebih besar lagi. Mereka hidup sangat baik rukun dan damai, tidak pernah cekcok atau bertengkar apalagi berkelahi satu dengan lainnya.
Dua ekor naga itu adalah sebagai suami istri, pasangan yang tak pernah putusnya. Setiap mereka pergi selalu bersama-sama dan berdua serta pulangnya pun tak pernah terpisah. Boleh dikatakan setiap saat mereka selalu berdua. Mereka  biasa mencari makan di laut, daerah Tanjung Ujung. Perburuan di darat untuk mencari makan hanya dilakukan sesekali. Sehingga tidak mengherankan jika merekapun membuat sarang tak jauh dari laut. naga betina tidak pernah diganggu oleh binatang lainnya. Apabila ada yang berani mengganggu maka naga jantan akan marah. Mengerikan sekali akibatnya apabila sang naga sampai marah. Jika di daratan maka pohon-pohon akan banyak yang ditumbangkannya, begitupun jika di laut hempasan ekornya bisa menimbulkan ombak tinggi di lautan.
Kehidupan kedua ular naga yang serba damai dan serba rukun itu berjalan berpuluh-puluh tahun lamanya, namun ada satu yang mereka sangat sayangkan, yaitu kehidupan mereka yang sudah berjalan sekian lama namun belum juga dikaruniai anak seekorpun, sebagai penerus mereka nantinya.
“Hai suamiku,” ujar sang istri naga lembut.
“kehidupan kita serba berkelebihan, tapi aku sedih sekali.” Berdiam ia sejenak, berpikir. “ karena kita belum juga dikaruniai anak”. Lanjutnya.
Keluh sang istri ini sangat mengibakan rasa sang suami.
Dengan kepala yang besar serta leher yang panjang ia termangu, lalu ia bercakap;
“akupun demikian juga istriku, tapi kitakan tak boleh putus asa.” Ucapan yang sangat tulus dan ikhlas, serta penuh wibawa, lalu selanjutnya :
“baiklah istriku, mulai besok kita coba naik ke puncak gunung itu.” Ujar sang suami sambil menjulur-julurkan lidah kearah gunung tersebut. “Untuk bertapa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar merestui apa yang kita inginkan.” ujar sang suami naga itu memberikan semangat.
Dengan air mata berlinang sang istri meneguhkan batin agar bersemangat teguh dengan persiapan yang serba sederhana, maka berangkatlah dua makhluk Tuhan ini ke gua Ilham. Dengan rasa tafakur dua ekor naga itu berdiam diri dengan rasa tulus hatinya memohon berkah dari yang Maha Kuasa.
Gunung itu masih terletak di daerah Tanjung Ujung. Gunung Ilham ini konon sangat tinggi sekali, sampai-sampai mega-mega awan putih hamir terjangkau jua rasanya. Demikian jika kita berada di sana terasa hati tak ingin pulang ke tempat semula. Bertahun-tahun sudah terlewati tak terasa lama. Kedua naga itu terus bertapa tanpa ada rasa putus asa. Sampai-sampai kulit tubuh keduanya terkupas dan berganti dengan kulit yang lebih indah berkilau karena tak pernah terkena hawa panas atau terik matahari. Tapi rupanya kilau itu tak beberapa lama, sebab tubuhnyapun lama-kelamaan mulai ditumbuhi lumut hijau.
Rupanya Yang Maha Kuasa tak membiarkan begitu saja setiap permohonan makhluknya dengan tak diduga-duga, semua apa yang telah di mohonkan terkabul jua. Perut sang istri membesar dan terus membesar lalu melahirkan anak. Kebahagiaan yang sangat mendebarkan dan juga mengejutkan. Keanehan pada makhluk ini membuat mata keduanya terbelalak. Sang bayi yang lahir bukanlah seekor ular ataupun naga melainkan bayi perempuan anak manusia. Keduanya sangat prihatin, tapi apalah hendak dikata, karena semua adalah takdir Yang Kuasa.
Dengan sabar dan tenang keduanya merawat sang bayi dengan penuh kasih sayang, karena mereka tahu semua itu bukanlah keinginan mereka tapi sang Pencipta. Kita sebagai makhluknya hanya bisa memohon dan meminta. Naga jantan dan betina tidak mengeluh dengan kelahiran sang jabang bayi walau tidak serupa dengan mereka sedikitpun. Sang bayi dipelihara dengan penuh kasih sayang.
Sejak bayinya lahir, sang betina tidak pernah pergi ke manapun. Ia hanya berdiam di tempat kediamannya, yaitu di rumah pertapa yang sejak lama tidak pernah ia tinggalkan lagi. Ia selalu merawat dan menjaga serta melindungi sang anak dari gangguan dan serangan dari mahkluk lain ataupun binatang lain. Uniknya lagi, apabila hujan turun maka sang ibu mengangkat kepalanya agak tinggi lalu melebarkan kepalanya untuk melindungi sang anak dari derasnya air hujan, kepala itu seolah menjadi payung. Demikianlah berulang-ulang dilakukan oleh sang ibu sepanjang masa membuai dan membesarkan anaknya. Sedangkan dilain pihak sang ayah, yang tidak lain adalah naga jantan selalu turun gunung pergi ke laut mencari  makan apabila persediaan makan mereka mulai menipis.
“istriku jagalah anak kita baik-baik janganlah terjadi apa-apa padanya.” Kata sang suami dengan tegas memohon pada sang istri ketika ia hendak turun ke laut guna mencari makan.
“yah, yah…pastilah aku menjaga dan merawatnya dengan hati-hati.” Sahut sang naga betina sembari menganggukkan kepala.
Dengan rasa penuh lega sang suami pergi, bergerak dengan lincah. Sedang kepalanya diangkat agak meninggi agar mata dan hidungnya tidak tersangkut benda-benda tajam ataupun ranting-ranting kayu. Matanya tajam dan liar, hidungnya mengendus-endus, lidahnya menjulur-julur, badannya meliuk-liuk mengikuti alur jalan yang ia lewati sedang ekornya mengibas-ngibas ke kiri dan ke kanan. Setiap ia turun dan naik jalan tak pernah berubah laksana jalan raya menuju kebun. Sampai-sampai bekasnya menjadi licin dan mengkilap kena gesekan perutnya yang licin dan bergeret.
Sesampainya di laut ia lalu menyelam mencari buruannya dan tak lama berselang ia akan muncul lagi ke permukaan laut dengan menggigit sesuatu di mulutnya. Kemudian akan ia bawa ke gua di mana naga betina berada. Begitulah terus berulang-ulang hingga tujuh belas tahun lamanya.



B. PERGI KEPANTAI

Sang anak yang awalnya masih kecil kini telah besar. Parasnya cantik elok dan rupawan. Hidungnya mungil melekat rapi, matanya bening bercahaya penuh romansa, raut mukanya mulus bak sutra, rambutnya panjang tergerai sampai ke betis. Badannya tinggi langsing bergerak indah, pokoknya seperti dewi turun dari kayangan, begitulah cantiknya putri remaja ini.
Rambut putri naga yang selalu licin dan rapi itu bukanlah tersisir dengan sisir yang kita kenal saat ini melainkan dengan tulang-tulang ikan. Sebelum tulang-tulang itu dipergunakan pastilah dibersihkan terlebih dahulu agar tidak berbau lagi. Sedangkan pakaiannya tidaklah seperti apa yang kita pakai. Ia hanya menggunakan kain yang berasal dari kulit binatang. Dengan kulit itu ia menutupi tubuh cantiknya, sebab ia adalah putri dari sepasang naga raksasa.
Sekarang karena putri naga sudah besar dan lincah maka kedua orang tuanya sudah sering meninggalkannya sendirian selama mereka mencari makan. Selama ditinggalkan sang putri hanya bermain sendirian menunggu hingga mereka datang. Sang ayah sangatlah sayang dengan putri semata wayangnya itu. Hingga ia membuatkan mahligai yang sangat besar tinggi menjulang indah dan gemerlapan. maksudnya agar sang putri dapat memandang hingga ke kejauhan. Jika ayah ibunya pergi dan lama tak kembali ia akan naik hingga ke puncak mahligainya. Dari sana tampaklah nun jauh di sana laut lepas dengan ombak yang tak henti-hentinya pasang-surut hingga di bibir pantai. Percikan ombak yang memantulkan cahaya matahari terlihat berkilau gemerlap membuat hati sang putri menjadi tergerak.
“ah, mengapa tak nampak jua ayah dan ibu?” keluh putri sedikit kesal. Dengan mata tak berkedip sang putri menatap dengan nanap. Ia tertarik sekali melihat kilau air laut dari kejauhan. Karena rasa penasaran sudah tidak bisa ia tahan lagi maka sang putrid memutuskan untuk turun dari mahligai dan bergegas menuruni gunung menuju arah pantai melewati jalan yang sering dilalui oleh orang tuanya.

Baaaarrrr……! Putri terkejut, jantungnya berdetak kencang mendengar suara yang sangat mengejutkan itu. Kaget, heran dan penasaran bercampur menjadi satu.
“apakah itu suara ayah dan ibu?”
Ia lalu berdiam diri sejenak menunggu dan mencari dari mana asalnya suara itu, matanya liar menatap kiri dan kanan.
Setelah perasaannya tenang, lalu ia melangkah lebih cepat dan
Baaaaaarrrrrr…….. biaaaaarrrrrr…….. suara itu lebih nyaring dari yang sebelumnya dan sangat dekat. Putri terkesiap, rasa lepas jantungnya yang kedua kali. Kembali putri mencoba menenangkan perasaan dirinya sendiri.
“ itu bukan suara ibu, juga bukan suara ayah” ucapnya keheranan dalam hati.
Dengan perasaan ngeri dan takut bukanlah membuatnya putus asa, namun menambah semangat dirinya yang selalu ingin tahu itu.
Putripun mempercepat kembali langkah-langkahnya lalu sampai ketempat terbuka dan terang. Sampailah putri ketepi pantai…. Waw…
Barrrrrrrr……….biyuuuuurrrrrr….. suara ombak menyapu pantai dan memukul batu-batu karang yang tumbuh diman-mana. Putrid Naga tersenyum dan geli menggelitik hatinya, dan merasa malu pada dirinya sendiri, ternyata suara yang menggemuruh  dan mengerikan tadi bukanlah aneh, itu hanya suara ombak menggulung pantai dan memukul batu dan ombak itu pecah berbuih putih.
Pantai itu panjang terhampar sekuat mata memandang, pasirnya putih berkilau-kilau dari kejauhan. Semak-semak berpayung pohon bakau dibatas pantai dan daratan. Pohon ketapang berdaun lebar juga menghiasi pantai nan elok. Pohon-pohon itu bagus bergerombol-gerombol lebat bergoyang-goyang melambai ditiup angina sepoi-sepoi dari laut. disana dan disana itu, sedikit jauh nampak tumpukan batu-batu karang kekar berdiri menambah semaraknya keindahan pantai Tanjung Ujung.
            Rupanya demikianlah kehendak alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Putri Naga saat ini sedang menikmati hasil karya besar sang pencipta alam semesta Tuhan Yang Maha Agung.
Diraupnya pasir pantai itu kedalam genggamanya penuh-penuh, digenggamnya erat-erat, lalu diremasnya kuat-kuat menggeresek, lalu dihamburkannya kembali, lalu digenggamnya lagi passir putih itu berkali-kali dan dilemparkanya jauh-jauh kehamparan ombak yang berbuaih. Sebagian pasir yang halus balik menerpa wajahnya. Ia kaget waw….
Ia berjalan beberapa langkah dari tempatnya terpana, telapak kakinya perih sakit terpijak benda-benda tajam. “ aduh …” ringisnya. Putri mengaduh kesakitan, putrid terinjak benda-benda tajam. Oh … ternyata yang diinjaknya adalah siput-siput laut. Siput-siput itu banyak bentuknya seperti bekecot tapi kecil, siput itu punya supit dan berkaki, siputnya lucu-lucu. Siput itu bisa menyembunyikan tubuhnya masuk kedalam cangkangnya. Tapi yang lebih lucu lagi ternyata siput-siput itu tidak punya cangkang atau rumah sendiri seperti bekecot. Apabila badannya sudah besar dan tidak muat lagi dengan cangkang yang sekarang, dia akan keluar dan mencari cangkang atau rumah yang baru yang lebih besar. Siput itu bisa mendapat cangkang yang sudah ditinggalkan kosong, atau siput itu harus berjuang merampas cangkang binatang atau siput lain. Fungsi utama cangkangnya adalah untuk melindungi siput dari serangan binatang pemangsa. Wow aneh bukan……. Tapi hebat sekali……..  
Semula Putri tidak merasa aneh melihat benda yang tadi menyakitkan kakinya. Putri duduk memijit-mijit telapak kakinya yang terasa perih. Kini rasa sakitnya telah hilang, lalu Putripun beranjak berjalan lagi, sembari berlari-lari kecil kegirangan. Karena girang dan gembiranya Putri sampai lupa segalanya. Lupa ayah ibunya dan lupa……………………
Biyyyyyyuuuuuurrrrrrrrr……………biyuuuuuuuurrrrrrrrrrr………….
Suara itu hampir bersamaan dari tengah laut yang dalam, muncul timbul tenggelam dua ekor ular naga yang sudah sangat dikenal oleh sang Putri.
Ayah ibunya datang, Putri tekejut kaget bukan kepalang, tubuh terasa hendak terhenyak kedalam pasir, ingin rasanya ia berlari sekencang-kencangnya dan bersembunyi diantara batu-batu karang, namun kedua orang tuanya sudah lebih dahulu mengetahui. Dan pula penciuman kedua ekor ular naga itu sangat tajam..
Putri yang jelita itu hanya dapat berdiam saja dan memperhatikan keduanya berjalan dan melata. Keduanya sudah semakin mendekat dengan Putri. Sesekali Putri melihat pada tubuhnya sendiri, sangat jauh sekali perbedaannya, tidak ada sedikitpun yang serupa dengan kedua orang tuanya.
“ Aneh………” bisiknya dalam hati
“ kenapa ……” tanyanya pula dalam hati
Batinnya membatin, mengeluh dan berjuta pertanyaan yang muncul berganti-ganti.
Dan Putri sempat sesumbar dalam hati “ Apabila ada yang menyerupai aku, aku akan turut dengannya………”
            Walau badan Putri sudah besar seperti sekarang ini, Putri belum pernah bertemu dengan manusia yang serupa dengannya.
Apabila sang Putri mengingatkan itu semua, hatinya perih dan duka terasa mengiris. Bayangkan sejak kecil Putri tidak pernah berteman dan bermain dengan teman sejenisnya atau sesama manusia sebayanya. Akhir-akhir ini putri sering merasa kesepian karena kesendiriannya.
Walaupun demikian waktu yang ia lalui sudah begitu panjang, Putri bercengkerama dengan kedua orang tuanya, atau dengan dinding-dinding gua sahabatnya yang setia menemaninya tanpa senda gurau.
Saat kedua orang tuanya sudah dekat, hayal Putri yang jauh sampai keangkasa puri dewata itu pudar seketika. Agar ayah dan ibunya tidak marah dengannya, sang Putri mendahului berujar
“ Ayah, Ibu, ijinkanlah saya bermain-main disini…kalau lagi kesepian sendirian “
Ujar Putri memelas memohon kepada kedua orang tuanya.
Kedua ular naga yang besar itu saling tatap nanar tak berkedip.
Sang naga betina mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar dengan lidahnya menjulur-julur setuju atas permintaan anaknya yang semata wayang. Lalu keduanya mengangguk bersamaan.
Putri tersenyum menyambut anggukan kedua orang tuanya, Putri melompat-lompat dan bertepuk tangan kegirangan. Berlari kesana-kemari dan berteriak….dan tertawa.
Kemudian mereka pulang bersama-sama dengan bahagia.



C. BULAN DAN BINTANG


            Malam datang, riuh redah burung bersenda gurau, bersiul-siul dan mengepakkan sayapnya didahan-dahan tidak terdengar lagi, beristirahat melepas lelah seharian mencari makan dan membuat sarang. Telah berganti dengan kecipak ayam hutan menyambut malam yang pekat. Sedang burung hantu membuka matanya lebar-lebar, berbunyi guk..guk..guk…guk kemudian melebarkan sayapnya siap untuk beraksi dimalam tiba. Hatinya riang malam telah datang, matanya terang setelah tidur seharian. Berisik daun bergesek tertiup angin malam menghanyutkan perasaan yang penuh dengan hayal, terlena mungkin dalam kedinginan.
Kera tepekur bersingkup mengecilkan badan, agar dingin menjadi hangat dan tertidur pulas hendaknya. Karena sepinya malam sesekali terdengar jua suara menggelegar ombak memukul pantai dan karang terhampar dan jauh di bawah.
Kerlap kerlip bintang jauh di atas sana, kecil besar ada yang terang, ada pula yang gemerlap samara-samar. Bersamaan dengan sinar bulan purnama benderang menghadap pada bumi kita. Sesaat sinar bulan tepat pada sela-sela daun dan ranting, maka pancaran sinar itu sampailah ke tanah tempat kita berpijak.
Sesaat kembali sinar bulan itu menembus celah-celah daun dan tepat mengenai raut wajah sicantik putri ular naga. Putri  terbangun menggosok-gosok matanya dan tersenyum manis.
“oh…..bulan indah nian kau saat ini.” ucap putri memuji sang rembulan.
Perasaan putripun gundah pikirannya mengawang-awang cakrawala. Melayang-layang jauh tinggi ke angkasa, bersama dengan bidadari malam. Matanya tajam menatap langit terang yang sangat tinggi bersama purnama riang.
“oh bulan, bahagianya kau saat-saat begini, kau selalu ditemani bintang-bintang dan awan selalu melindungimu bersenda gurau di langit sana. Diwajahmu tampak sangat senang sekali” Keluh putri berkali-kali
“kau bagai dewi ratu malam.” Puji putri.
“lain pula dengan aku. Aku tak pernah punya teman tak pernah punya kawan untuk bersenda gurau menghibur hati yang sedang gundah sedang tubuhku semakin hari semakin membesar pula.”
Putri naga yang cantik tanpa solek ini duduk termangu tersipu pilu, meneteskan air mata meratap menangis mengingat akan nasibnya.
“mengapa aku dilahirkan tidak seperti ayah dan ibu?” gundahnya dalam hati.
Tangisnya ia redam sekuatnya, tak terasa air mata mengalir tak mampu terbendung lagi oleh putri naga jelita. Bibir yang bagai roti manis bersusun, mata yang berkilau berbinar-binar, pipi yang licin bagai sutra kini berubah jadi basah berkerut bermandi duka.
“oh bulan…oh  bintang…jangan kau menghilang, mendekatlah kemari.” Ucap putri dalam pikirannya. Tiba-tiba terdengar, “hosssss….hoossss…..” suara nafas ayahnya mengejutkan sang putri dari lamunan dan tangis.
Cepat-cepat disekanya air mata yang membasahi pipinya tadi agar kesedihannya tidak diketahui oleh kedua orang tuanya.
Ia simpan semua rasa duka dan sedih. Kedua orang tuanya tidak perlu mengetahui hal ihwal tersebut. Begitulah hari-hari remajanya saat ini dilaluinya dengan kedukaan. Kedukaan hamba Tuhan yang sejenis dengan Siti Hawa nenek moyang manusia, dan ia seorang perempuan yang pasrah dengan takdir Yang Kuasa.
Ditatapnya lagi bulan dan bintang yang sejak tadi mengintipnya dari sela-sela dedaunan yang membangunkan lamunan sampai jauh ke seberang lautan.
Lalu pelan-pelan putri merebahkan lagi tubuhnya ke atas tikar tumpukan daun-daun yang tersusun berserakan bagai kasur empuk. Daun-daun kayu itu sejak dulu menjadi alas tidurnya, apabila daun-daun itu telah tua dan hancur digantinya dengan yang baru, demikian seterusnya.
“kalau saja ada tubuh yang serupa aku melalui daerah ini tentulah aku akan ikut ke mana saja ia pergi.” Khayalnya. “Bukan aku berniat meninggalkan ibu…..tapi aku berbeda dengan ibu dan berbeda dengan ayah”
Aku ingin sekali mencari teman, berteman seperti kera-kera, seperti burung-burung, seperti binatang-binatang hayal putri dalam mimpi-mimpi indah. Kini ia telah lelap kembali dalam tidurnya…..



D. NAHKODA MUDA

Saat pajar mulai menyinari bumi tercinta. Lembayung sutra diufuk timur menerpa hening, lautpun terpancar oleh terang berkilauan samar-samar. Dibawah sana, jauh di kaki gunung terdengar riuh binatang hutan bersorak gembira. Makhluk-makhluk membuka mata, walau rasa dingin masih menyelimuti sekujur badan membuat malas untuk bergerak dan berpindah tempat.
Mereka ingin menikmati pagi menyambut siang setelah tidur semalaman. Tapi dingin masih terasa menyusp kedalam tubuh-tubuh dan tulang sumsum membuat malas dan terus mendengkur tidur berselimut embun.in yang membuatnya malas untuk bergerak.
tan bersorak gembira. makhluk-inatang-binatang hayal putri  masibnya.
 Tapi cahaya kemerahan yang dibawa matahari tak ingin tidur lagi ia ingin terus bersinar semakin terang.
Di tengah laut nun jauh disana, di perahu layar seorang juru mudi berdiri tegap memandang lurus kehaluan dengan nanap. Layar terkembang terombang-ambing berirama di atas gelombang, mengikuti irama gerak laut yang luas.
Nahkoda kapal yang masih muda belia bangun, kaget ketika tiba-tiba sebuah sinar membias terang masuk ke dalam kamar dan menyentuh muka.
Nahkoda muda itu mengusap-usap mata berkali-kali, lalu berdiri membengkok-bengkokkan tubuhnya  agar terasanyaman, matanya sempat berkunang-kunang karena terkejut tadi.
“ah…..siang rupanya” ucapnya pelan lalu tersenyum. Ia keluar dari kamar, santapan pagi sudah tersedia di atas meja.
Nahkoda muda itu menghirup air hangat, ah……..segar sekali, masuk sampai tenggorokan yang mengering, sedang tubuhnya masih terasa dingin. Setelah membersihkan badan dan berpakaian rapi, sang nahkoda berjalan menuju ke haluan kapal bersenandung kecil…..tanjung membayang nampak jauh di sana dihaluan kapal. Nahkoda memegang-megang kepalanya berpikir keras, mencoba mengingat-ingat, tanjung apakah gerangan yang nampak jauh di depan sana.
Maklum pada jaman dahulu belum ada kompas ataupun alat-alat modern seperti saat ini. Kapal hanya berpedoman pada bintang-bintang dan tanda-tanda alam lainnya, maka tanjung yang menjorok kelaut juga bagian tanda daerah yang dilintasinya. Siang hari juru mudi berpedoman pada mata angin dan matahari.
Matahari kini sudah meninggi, nahkoda masih berdiri di haluan kapal, belum puas. Tidak puas rasanya kalau belum melampaui tanjung yang semakin mendekat dengan haluan kapalnya.







Nahkoda kaget ketika sementara tanjung yang sejak tadi dipandangnya dari kejauhan tadi kini berada di samping perahu layarnya
“binatangkah atau manusia yang berjalan di tepi pantai di ujung tanjung itu?” tanyanya dalam hati meragukan.
Belum puas rasanya lalu diusapnya matanya belum juga jelas.
“kamir, coba tolong ambilkan keker!” teriaknya pada seorang pembantu kelasi kapal.
Kamir sambil bergegas berlari-lari kecil begerak mengambil di kamar nahkoda. Sesampainya kamir, kekerpun di arahkan ke pinggir pantai. Hatinya berdebar-debar karena kaget.
“manusia rupanya itu…” ucap nahkoda dengan perasaan kaget dan kegum.
Hati siapa yang tidak akan kaget jika melihat seorang putrid berdiri dan berjalan serta melambai-lambai di tempat yang sepi itu.
Sepi tanpa penghuni jauh dari rumah ataupun kampong apalagi dengan keramaian. Entah berapa jam lagi atau berapa hari lagi waktu yang diperlukan untuk sampai ke sebuah kampong yang terdekat.
Apalagi kalau hanya ditempuh dengan berjalan kaki mengikuti pinggiran pasir pantai.
Sebab itulah perasaan siapapun tak akan tega melihat tanpa menolongnya. Setiap orang menyangka pastilah ia telah karam pada sebuah perahu dan gadis itu selamat sampai ke tepian atau ia telah tersesat di dalam hutan, karena selalu menyususri sungai  maka tersesatlah ia di tempat itu.
Dan sekarang gadis itu berada di tepi pantai sendirian tanpa arah dan tujuan. Tenggorok kering terhempas hangatnya matahari, perut mengepis tanpa isi sedikitpun, kasihan nasib gadis itu.
Semua  orang pasti berbisik begitu.
“ Kasihan wanita itu……..” ucap nakhoda membatin.
            Putri Naga pada saat ini juga seperti biasanya ia bermain-main sambil menunggu datangnya ayah dan ibu yang pergi sejak pagi mencari makan kedasar laut atau entah kemana. Waktu itu sang Putri melihat sebuah benda yang terapung menurut penglihatannya, oleh karena penasaran, heran dan gembira tanpa terasa Putri menggerakkan tangannya melambai kearah benda yang semakin membesar dan terapung itu. Putri melambaikan beberapa kali kearah benda asing itu. Yah benda terapung tadi itu.
Kemudian  benda terapung itu semakin mendekat dan semakin mebesar, mulailah kain-kain layer kelihatan dan kain itu seolah membalas lambaian Putri ditepi pantai. Kain layar yang lebar membesar dan menggelembung bulat merekah seolah ingin mengajak Putri Naga bermain bersamanya. Putrid yang sejak tadi tidak beranjak dari tempatnya itu mesem-mesem dan kemudian ia tertawa geli sambil kembali melambai-lambaikan tangannya lebih cepat dan pasti.
            Ketika  diperahu layer yang terkembang Nakhona berteriak “ Turunkan layer…cepat turunkan layar…..” memerintah anak buah kapal.
Dengan cepat dan cekatan anak buah kapal bekerja menurunkan layer-layarnya. Sekejap saja kain layar itu sudah turun dan beres. Semua mata mereka yang berada dalam perahu layer saudagar yang mewah itu tertuju pada Putri yang asyik berdiri terpaku dipantai. Putrid terpaku keheranan mendengar suara-suara berbicara sayup-sayup masuk ketelinganya, suara-suara itu berbicara seperti dirinya.
Putri diam sejenak, kupingnya yang bekerja lebih keras.
Diarah perahu layer terdengar “ ada apakah gerangan Nakhoda Muda memerintahkan untuk menurunkan kain layar “ Tanya Kamir memberanikan diri.
“ itu lihat olehmu ada seseorang melambai-lambai meminta tolong……” balas Nakhoda menjelaskan, dan telunjuk Sang Nakhoda memberitahu kearah seseorang yang masih jauh dipinggi sana. Awak kapal perpandangan satu dengan lainya, lalu bersamaan mengangguk-angguk mengerti mengapa perahu layer mereka berhenti dan menurunkan layarnya.
“ Haluan kapal kekiri arahkan ke ujung tanjung itu “
Perintah Nakhoda setengah berteriak.
            Perasaan berdebar iba itu pasti ada, setelah nampak jelas yang dituju dan seolah tidak yakin dengan penglihatan mereka sendiri, tapi adalah benar dan kenyataan.
“ Seorang Putri rupanya….” Ucap Nakhoda.
Biyuuuurrrrr…….. jangkar dijatuhkan, dan sampan diturunkan.
Nakhoda lebih dulu turun dan melompat kedalam sampan. Nakhoda Muda berdiri dengan gagahnya dibantu dengan dua orang anak buah kapal sebagai pendayung.
Sampai meluncur dengan mulus, terombang ambing bersama gelombang, melaju kearah pantai Tanjung Ujung.
            Sedangkan dilain tempat, sang Putri sudah tidak sabar menunggu, ia berlari sedikit ketengah sampai air sedalam lutut. Mata Putri liar menatapi ketiga orang manusia yang kini telah berada didepannya.
“ Hai…” sapa Nakhoda mendahului “ perkenankan kami untuk memperkenalkan diri dan hendak bertanya “ tutur nakhoda dengan sopan.
Sedang Putri lama diam saja, apa yang harus dilakukan Putri bingun. Nakhoda memaklumi keadaan Putri yang gelagapan dan canggung itu. Lalu perlahan-lahan Putri menganggukkan kepala setuju.
“ Aku seorang Nakhoda yang sedang berlayar dan yang berdua ini adalah anak buah kapalku”. Nakhoda Muda menjelaskan “ ee.. sedang Putri sendiri dari manakah gerangan sampai berada ditempat sejauh ini “ ? Tanya Nakhoda ingin mengetahui keberadaan Putri.
Putri tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia bertanya
“ Bolehkah saya ikut….”   Ucapannya terhenti, dadanya berdebar-debar takut kalau-kalau………
Nakhoda dan temannya saling berpandangan mengangguk setuju atas permintaan orang yang memang niatnya mau ditolong.
“ Kami siap menolong , apalagi seperti tuan Putri seorang diri ditempat yang jauh seperti ini” ujar Nakhoda dengan sedikit gagap.
Putri melirik kepada tema-teman Nakhoda dan tersenyum, senyum manis sekali. Putri naik kedalam sampan, terbayang dibenaknya keceriaan yang sudah lama ia dambakan, sekilas ada rasa dawai dihatinya. Hayalnya dulu ingin ikut denganh siapapun yang serupa dengannya, atau pergi kemanapun kini telah dating. Tubuh putrid terasa melayang,  mata cerah batinnya bahagia, putrid mencoba melirik beberapa kali memperhatikan perawakan dan wajah yang mengaku sebagai Nakhoda yang ada didekatnya. Nakhoda Muda berpakaian indah dan gagah sekali bagai arjuna dalam ceritera pewayangan, atau seorang Pangeran dalam ceritera kerajaan. Lau Putri tersenyum sendiri melihat keadaan dirinya dengan pakaian yang melekat seadanya ditubuhnya. Sejak kecil dulu Putri Naga tidak pernah mengenakan pakaian yang terbuat dari kain seperti yang melekat pada tubuh sang Nakhoda dan anak buahnya itu. Putri hanya memiliki kulit-kulit binatang, yang tertutuppun hanya bagian-bagian tertentu saja. Wow jauh berbeda.
Putri lagi-lagi tersenyum dan tersenyum saja. Nakhoda juga tersenyum karena sudah berkesempatan menolong seorang putrid yang malang ini. Sang Nakhoda belum sempat banyak bertanya asal usul wanita yang dibawanya, bersala dari mana, tujuannya kemana. Yang penting ia sebagai nakhoda sudah bertindak yang benar, menolong orang lain yang sepantasnya harus ia tolong.
            Sesampainya di kapal, sampan dinaikkan keatas haluan kapal dan kain-kain layar yang lebar dan panjang itu kini dinaikkan kembali dengan megah dan mengudara diatas tiang perkasa, mengembang lebar ditiup angin mengembang lebar - lebar sekali. Dengan hembusan angi yang kencang kapal layar kini melaju diatas air.
Putri tersenyum manis, lalu menuju kesebuah kamar untuk membersihkan diri, lalu berganti pakaian yang sejak tadi sudah disiapkan oleh sang Nakhoda.  Kini barulah kelihatan Putri sebenarnya, sang Putri tak sekotor dan awut-awutan seperti tadi, kulitnya putih bersih dan licin berbalur-balur urat sperti lukisan. Walaupun banyak goresan pendek dan panjang berkas tergores duri dan ranting.
Putri menyisir rambutnya pelan-pelan, terasa lemah dan lembut sisir yang ia gunakan, dan sisir itu tidak mengoyak atau menyakiti kulit kepala lagi.
            Sementara diluar Nakhoda Muda siap menunggu kedatangan Putri. Hatinya tersentak ketika melihat pemandangan yang jauh berbeda dari sangkaannya semula. Wow sang Putri yang keluar dari kamar sangat cantik, raut wajahnya halus menandakan ketulusan dan kejujuran hatinya. Nakhoda menatap nanar, haru dan tersenyum tanpa berkedip. Nakhoda berusaha mengendalikan diri agar kaget, kagum dan gelagapan tidak terlihat dihapan wanita yang sudah ditolongannya.
Yah…yah…. Kini perasaannya tersentuh…………………
Hidung mancung melekat mungil, mata tajam mempesona cahayanya bening sebening embun dipagi hari, tubuhnya langsing dengan rambut yang panjang melambai-lambai terurai mewangi.
“ Siapakah  Putri ini sebenarnay  ? Tanya Nakhoda memecah keheningan.
Putri mengacuhkan pertanyaan itu, ia tenang-tenang saja walaupun mendengar pertanyaan Nakhoda Muda yang duduk tidak seberapa jauh. Pelan-pelan Putri mendekat dan menghadap kearah Nakhoda dan duduk. Nakhoda tampak kikuk. Lalu bibirnya bergerak dan bercerita panjang dengan terputus-putus.
“ Aku adalah anak dari dua ekor ular naga yang sangat besar dikawasan Tanjung Ujung itu, mungkin aku telah ditakdirkan oleh yang kuasa menjadi anaknya. Oleh karena itu sejak kecil aku tidak pernah mengenal manusia seperti kalian semua, baru sekarang ini aku tahu bahwa aku tidak sendiri aku serupa dengan kalian Nakhoda. Aku ingin hidup bersama manusia , biarlah ayah dan ibuku hidup sesame mereka. Aku terlalu lama hidup sendiri, aku tidak ssnggup lagi hidup sendiri dan selalu menyendiri dudalam hutan atau ditepi pantai Tanjung Ujung. Memang tempat itu sangat damai dan sangat tepat untuk tempat tingagal kedua orang tuaku, tapi dengan diriku……”
Berdiam sejenak. Nakhoda juga diam menunggu kalimat apa lagi yang baakal meluncur dari bibir halusnya Putri. Lalu lanjutnya……
“ sekali lagi tuan, aku ingin hidup bersama manusia…. manusia seperti kalian, oleh karena itulah aku putuskan untuk pergi dari tempatku di Tanjung Ujung. Pergi apabila ada manusia yang maumengajakku kemana saja perrginya, aku ingin hidup sebagaimana manusia Nakhoda…. “
Ucapkan Putri lemah lembut seperti orang yang sedang mengadu dan sekaligus memohon dengan kata-kata yang terputus-putus, dan patah-patah. Dan kemudian Putri itu menangis terisak-isak. Nakhoda yang duduk dan mendengarkan semua ucapan Putri masih kaku dengan memanku tangan, merasuk perasaannya sampai kelubuk hatinya paling dalam. Tanpa terasa titik jua air matanya sang Nakhoda Muda meresapi apa yang dirasakan Putri yang sekarang sudah berada didepannya. Luar biasa apa yang Putri dirasakan Putri, bisik kata hatinya haru.
Nakhoda tunduk menekuri kisah yang telah disampaikan Putri. Kata demi kata dan kalimat demi kalimat ceritera itu diikuti dengan cermat, seolah tidak yakin dirinya mendengar kisah semacam itu, kisah nyata seperti kisah dalam mimpi, tapi ini benar dan kenyataan. Kini keduanya hanya diam sama-sama meresapi perasaan masing-masing. Pelan-pelan Putri menyeka air matanya yang bening sebening salju yang sejak tadi membasahi pipinya. Pipinya telah kering, tinggal isaknya yang masih sesenggukan.
Dengan segala hormat dan dengan segala kekagumannya sang nakhoda terarik dengan sang Putri Naga yang baru saja dikenalnya, yang kini masih sesenggukan menahan tangis didepan matanya sendiri. Dengan waktu yang sesingkat itu Nakhoda Muda sudah menaruh hati pada gadis yang baru ditolongnya, seoarng wanita yang sering dianggap oleh kaum pria sebagai kaum yang lemah. Perasaan ingin memiliki, perasaan ingin melindungi, perasaan ingin…… perasaan kasih sayang benar-benar  dengan sekonyong-konyong tumbuh kuat dihati sang Nakhoda. Entahlah, apakah itu memang perasaan lelaki atau kehentak sang pemilik alam semesta ini.
“ oh ya Putri…..sudahlah jangan lagi kamu menangis, sekalah sampai kering air matamu, ………semua itu sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melindungi, Tuhan yang Menuntun manusia, tak perlu kau sesali…..aku berjanji akan membawa, menjaga, melindungi, dan menemanimu untuk selama-lamanya “.
Ucap Nakhoda pelan bernada prihatin penuh perasaan, tapi pasti.
Putri tersenyum, matanya bening bercahaya penuh harapan menatap Nakhoda Muda. Nakhoda Muda itu juga turut tersenyum. Keduanya tersenyum untuk dunia.
Dan keduanya terbawa dalam hayalnya masing-masing jauh sampai keatas awan, atau lebih jauh lagi sampai dilangit biru…………………………………..?



  1. M U R K A

Menjelang sore perahu layer sudah menjauh dari Tanjung Ujung, tapi perasaan Putri masih saja was-was kalau-kalau kedua orang tuanya dua ekor ular naga itu dating menyusul dan melihat Putri berada didalam Kapal layer yang megah ini. Maka perahu layar yang masih nampak mengapung, pastilah kedua ular naga tersebut curiga.
Dan dengan kecepatan yang luar biasa kedua ekor naga itu pastilah mampu dan dapat dengan mudah mengejar Kapal Layar yang hanya mengandalkan  kekuatan angina saja. Kecepatan kedua ekor naga besar dan kuat itu berenang diatas air laut tak terkalahkan, bahkan kecepatan bisa sampai dua kali kecepatan perahu layar. Itulah sebabnya Putri membatin, ia tetap was-was.
Tatapan Putri liar. Sesekali Putri menoleh kebelakang meyakinkan kedua ekor naga tidak berada dibelakang kapal mereka yang melaju kearah timur.
            Ketika ia menoleh lagi kebelakang, apa yang Putri lihat ?
Apa yang tadi membuat pikirannya was-was, ternyata sekarang menjadi kenyataan. Dengan kecepatan bagai perahu bermesin temple, timbul tenggelam dua ekor naga ayah ibu Putri mengejar meluncur dengan kecepatan tinggi, dan terus  semakin nampak dan jelas.
Seperti ingin terlambung keudara tubuh Putri, lesu lelah, dadanya berdegup kencang, ah….
Mata sang Putri yang tadinya cerah, terang bercahaya, kini liar tajam terbelalak, sedangkan degup jantungnya yang tadi sangat setabil kini bangkit dan berdebar-debar, perasaannya tak menentu, apa yang bakal terjadi. Apalah nanti yang terjadi, perahu layar yang kini sedang ditumpanginya. Pikirannya sangat kacau balau.
Bakal terjadi dan sangat gawat, perasaan tersebut bukan hanya di tanggung oleh sang Putri, tapi sang Nakhoda Muda, juga anak buah kapal. Nakhoda memerintahkan kepada semua anak buahnya untuk segera menaikkan kain layar tambahan, kecepatan kapal semakin kencang.
Ah…teman-teman tidak hanya sampai disitu saja usaha sang Nakhoda, ia juga memerintahkan agar anak buahnya membantu kecepatan kapal dengan dayung-dayung besar. Anak buah kapal sebagian mendayung dikiri kanan perahu layar yang melaju itu.   
            Angin barat bertiup kencang, kain layar melambai-lambai menggelembung. Para pendayung yang kuat, sibuk dengan tugasnya masing-masing. Nakhoda mondar mandir kesana kemari, benak perasaannya semakin gugup dan ngeri, ngeri dan takut semakin menjalar kedalam tubuh yang gagah perkasa.
Keperkasaan Nakhoda Muda sirna seketika, saat ini bagai tiada kekuatan lagi pada dirinya yang berotot keras itu. Sebab bukan aneh lagi, dia yang dating mengejar bukanlah manusia yang mudah untuk ditandingi, tapi mereka adalah sepasang ular naga besar dan bertenaga sepuluh kali lipat manusia, bahkan lebih dari itu. Dan tempatnya bukan didaratan, dengan mudah kita mencari tempat yang aman atau tempat berlindung dari serangannya.
            Kalaulah sebuah tragedy yang maha dahsyat terjadi didaratan, masih bisa kita menghindar, atau melawan secara tipu muslihat, atau paling tidak menyingkir. Atau dengan membunuh musuh secara perlahan-lahan, yang artinya melukai lawan didaerah pital yang akhirnya membuatnya mati dengan perlahan-lahan.
Tapi saat ini, yang akan terjadi, tidak seperti apa yang dibayangakan diatas, saat ini berada ditengah laut yang luas, laut yang bebas dari dan tidak ada tempat berlindung atau bersembunyi. Dan yang lebih kacau lagi, kecepatan perahu layer sangat terbatas dan tidak mungkin secepat kilat perahu sebesar ini dapat ketepi pantai. Dan hanya satu-satunya cara adalah berupaya mempercepat lahunya perahu layer mereka, yah…. Ditambah dengan kecepatan dayung anak buah kapal. Paling tidak kecepatan perahu layer, lebih cepat dari kecepatan kedua ekor naga yang mengejar mereka.
            Manusia boleh merencanakan apa saja, tapi Tuhan jua maha punya dan menetapkan. Manusia semua ingin selamat dan lolos dari segala kejadian. Yang jelas tidak ada satu manusiapun yang menginginkan kematiannya dalam siksa yang berat atau dalam kesengsaraan. Jadi serahkan, jadi Tuhan jualah yang menentukan kematian segala makhluk di alam semesta.
            Tenaga para pendayung anak buah kapal sedikit demi sedikit semakin menyusut dan berkurang. Apapun alasannya kemampuan dan kekuatan seseorang tetap terbatas. Kecepatan perahu semakin berkurang, perahu layer terasa semakin lambat. Perahu layar terombang ambing gelombang, sedang haluan kapal sudah tidak lurus lagi, membelok kekiri dan kenan menhindari kejaran sang naga raksasa.
            Kedua naga itu semakin dekat dan semakin dekat, kalau diperhatikan betapa marahnya kedua ekor naga itu, gerakannya garang dan liar. Ketika kepalanya timbul, mulutnya terbuka lebar, sedang lidahnya yang bercabang dua itu menjulur panjang, taringnya panjang sangat mengerikan. Waw…sangat menakutkan sekali.
            Putri naga berusaha mencari tempat, berusaha bersembunyi agar tidak kelihatan oleh kedua orang tuanya. Namun apa daya, perasaan, pirasat, dan penciuman kedua naga itu sangat tajam, kemampuan menciumnya lebih kuat dari penciuman manusia.
Kedua ekor makhluk melata itu menyangka, anak semata wayang yang disayanginya itu diculik manusia dari tempatnya, oleh karena itu amarah sang naga teramat sangat dan tidak terbendungkan.
            “Haluan kanan 45 derajat……” teriak nakhona,…keras
Juru mudi yang lincah itu dengan sigap mengikuti perintah atasannya, membelokkan haluan kapal yang dikemudikannya mengikuti perintah tuannya. Kedua naga itu berubah, sekarang jadi berada disebelah kanan perahu layar.
Naga besar itu sudah sangat dekat, dekat sekali dengan…….. ahk..
            Awak kapal, Nakhoda, juga sang Putri yang kesemuanya berada dalam kapal semakin panic. Perahu mereka terombang ambing, belok kiri dan belok kanan menghindari kedua naga raksasa. Angin kencang menghantam kain layar, kecepatan perahu layar sedikit lebih baik dan naga sedikit tertinggal. Naga semakin menggila dan ganas. Perahu layar tak tentu arah, belok kekiri dan kekanan, dan beberapa kanan sempat berbalik arah untuk menghidari kejaran naga.
Wah…wah….semakin gawat, kekuatan naga itu itu tidak menurun, kecepatannya untuk mengejar masih seperti tadi. Tenaga kedua naga itu memang luar biasa. Mungkin karena cintanya kepada putri.
            Nakhoda Muda tidak mau menyerah begitu saja, ia lakukan upaya penyelamatan itu dengan sekuat dan semampu pengalamannya mengendalikan perahu layar dilautan yang membesarkanya………... aku harus berusaha…..aku jangan putus asa…..   

   

  1. PENDETA  SAKTI


Tekadnya telah bulat dan benar-benar berniat baik untuk menolong sang Putri, ditambah lagi denga perasaan batinnya yang tidak mungkin dapat berbohong, Nakhoda yang gagah itu telah terpaut hatinya untuk menyayangi dan mengasihi sang Putri Naga yang cantik jelita.
            Angin barat terus bertiup dengan kencang menghantam lebarnya kain layar yang mengembang menantang badai yang tidak pernah lelah dan diam. Layar terkembang bagai serakan awan putih dilangit biru, melampai-lambai kencang menojol gembung kedepan.
Apa hendak dikata perahu tergantung pada hembusan angin. Angin  barat yang kencang, maka perahu layar melaju kencang kearah timur. Perahu belum bisa dan tidak bisa melaju kalau harus melawan arah angina. Akhirnya angina barat berhembus ketimur, maka perahu layarpun kencang menuju ketimur saja.
            Seseklai kecut juga nyali sang Nakhoda Muda melihat kenyataan seperti ini, kejadian ini semua diluar pikiran sehatnya. Dan baru pertama kali ia dan parahu layarnya dikejar naga, dan dua ekor naga sekaligus seperti sekarang. Ini kejadian luar biasa dan pengalaman yang luar biasa. Dan akhirnya ia pasrahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Penolong.
            Pada saat kegelisahan, ketakutan dan kepanikan penumpang kapal, jauh ditepi sana, dibibir pantai, diatas sebuah batu karang besar dan tinggi, sejak lama selalu berdiam diri dan tenang bersemadi, kini berdiri tegak, heran melihat kejadian nun jauh ditengah laut. Heran melihat sebuah perahu layar  sejak tadi tidak menentu arah haluannya. Sedangkan semua kain-kain layarnya terbuka lebar ditiup angina kencang. Orang ini jadi curiga dan bertanya-tanya, apakah gerangan yang terjadi. Mata tua namun tajam bersinar bercahaya tegak menatap lurus kearah kapal layar itu. Orang tua bersarung putih, berselempang putih, bersurban kepala putih dan dengan jangkut panjang sudah putih yang sudah bertahun-tahun berada disana mensucikan diri ditempat yang sepi dan damai itu berdiri tegak dari duduk semadinya. Dia adalah seorang pendeta besar yang memiliki ketajaman rasa, perasaan batinnya sangat kuat dan peka.
            Yang ditatapnya semakin dekat kearah batu karang dimana dia berada. Membuat sang pendeta sakti itu harus melalukan sesuatu yang terbaik. Sekarang telah nampak, parahu layar itu bukan kandas digusung pasir dilaut sana, melainkan dikejar dua ekor binatang melata yang sangat besar dan mengamuk ganas dan liar.
Dan semakin membahayakan, tidak jauh di belakang perahu layar dua ekor naga besar timbul tenggelam terus semangat mengejar. Dan sudah dekat sekali, sang naga besar itu mencoba menghantam dinding palkah kapal yang terbuat dari kayu itu. Ekornya yang panjang dan kuat terlihat mengibas dan air berhamburan menyiram kapal. Kapal oleng…wah..wah … semakin kacau.
            Tanpa terasa sang Pendeta, yah…. didalam hatinya berbicara….aku wajib menolong sesame makhluk yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pendeta masih bertanya-tanya, siapakah yang lebih dahulu berbuat salah, sampai terjadi semacam ini.


Dua ekor ular naga yang besar itu sampai mengejar kapal layar, yang pasti didalamnya banyak manusia. Ataukah kedua naga itu memang sengaja ingin menangkap manusia-manusia yang ada dalam kapal perahu layar itu, untuk dijadikan santapan yang paling nikmat. Atau ………..
            Sang Pendeta sakti itu pelan-pelan namun pasti, mengayunkan tongkatnya…” yang harus kutolong adalah manusia yang ada dalam kapal layar itu”……yah memang yang harus ditolong Pendeta adalah manusia, jauh lebih terhormat dan berharga apabila yang ia tolong manusia dari pada makhluk lainnya. Walaupun makhluk apapun dimuka bumi ini juga berhak hidup bebas dialam terbuka ini. Manusia diciptakan Tuhan sesempurna-sempurnanya penciptaan, lebih sempurna dari makhluk lain termasuk kedua ekor naga.
            Dengan kesaktiannya sang Pendeta melemparkan tongkatnya. Tongkat sakti milik Pendeta itu melayang diudara begitu cepat, bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Melayang sempurna mengarah kekepala naga yang mengejar perahu layar yang mendekat kebatu karang dimana dia berada, ketika kapal layar membelok kekiri, maka nampak jelaslah naga itu dimata sang Pendeta, dan……..
            Seketika itu juga kepala naga jantan tertembus tongkat Pendeta yang melesat sangat cepat itu, dan naga kaget dan kesakitan yang luar biasa, sakit yang tak terhingga. Naga jantan yang kesakitan itu berteriak dan menggelepar-gelepar.  Melihat suaminya tertembus panah kayu tongkat yang sangat dalam dan bercucuran darah, naga betina menghentikan pula pengejaran. Pengejaran berubah seketika menjadi jeritan kesakitan yang memilukan, naga jantan berputar-putar meliuk-liuk menggelinding berguling-guling ditempat. Pengejaran sudah berhenti. Kedua naga tidak tahu kemana sudah perginya perahu layar yang membawa putrinya itu. Air laut bersimburan seperti hujan disekitar naga jantan. Karena sakitnya yang tidak terperikan yang dirasakan oleh naga jantan, iapun tidak mampu berpikir apa-apa, melainkan hanya menahan rasa sakitnya saja. Kepala tertancap tongkat Pendeta Sakti dan retak dengan mengucurkan darah yang banyak. Dengan kesakitan yang tak terperikan dan dengan kucuran darah segar berhamburan ditengah laut sang naga jantan terus berenang kemana saja tak menentu arah, berenang sekuat-kuatnya dan sejadi-jadinya. Nasib yang malang ini harus menimpa dirinya dalam waktu seketika.
Naga betina melihat suaminya seperti naga jantan gila dan liar, dengan sedih yang mendalam, dengan berlinangan air mata, memutuskan kembali kegua Tanjung Ujung. Dan dibiarkannya suaminya, dan dibiarkannya perahu layar megah itu membawa kemana saja Putrinya pergi.
………Nakhoda Muda, awak kapal, dan harta kekayaan dagangan Nakhoda selamat dari malapetaka. Putri naga juga selamat. Mereka semua selamat. Nakhoda lega, awak kapal lega, Putri cantik pun lega. Mereka sudah dapat tersenyum, mereka telah terhindar dari bahaya yang akan memangsanya.
            Pendeta dengan mendekapkan tangannya didada, bersyukur kepada sang pencipta yang maha melindungi, atas keselamatan yang diberikan kepada manusia yang berada dalam perahu layar yang telah ditolongnya. Sang Pendeta tersenyum puas, ia lalu kembali ketempatnya semula dan duduk bersila kembali bersemedi membersihkan diri dari perbuatan dosa.
            Tak berselang lama, setelah perahu layar mereka benar-benar tidak dikejar lagi oleh kedua ekor naga raksasa itu, didalam terdengar  Putri menangis terisak-isak. Dan kemudian tangisan itu semakin keras dan sekeras kerasnya. Tetes demi tetes mengucur air mata bening dari sudut-sudut mata yang sayu dan mulai membengkak itu.
Putri harus memilih dan memutuskan satu diantara dua pilihan yang sangat sulit, bersat lagi dengan kedua orang tuanya yang melata itu yang sangat jauh berbeda dengan dirinya, atau turut serta dengan Nakhoda dan berkumpul dengan manusia yang sama dengannya.
Putri saat melihat kejadian tadi sangat prihatin, bagaimana keadaan ayahnya dan betapa sedih ibunya yang telah ia tinggalkan, ditambah lagi luka parah yang diderita oleh ayahnya.
“ Aku harus memilih hidup bersama manusia……yang sama dengan aku….” Keputusan itu terdengar rintih dan bergetar keluar dari mulut Putri.
…..” aku harus memilih hidup bersama manusia “ …….ucapnya sekali lagi.
“…….ayah…………Ibu…Ular naga raksana yang kucintai…………….maafkan……aku…. maaf…aku…maafkan aaaakkuuuu…” ucapnya terputus-putus dalam tangis yang menderanya.
“ terima kasih ayah…terima ksih ibu…. Terima kasih…… selamat jalan….. selamat tinggal ayah….ibu…. maafkan aku…maafkan Putri…..”  suara tangisan itu lama-lama menjadi sesenggukan dan …….
Walaupun kau adalah binatang melata dan bersisik, engkaulah yang melahirkankuuuuu…..kalianlah membesarkanku….ayah….ibu aku sering berpikir kenapa kita berbeda….berbeda bentuk dan berbeda rupaaaaa…..” kemudian hilang dan diam…sepi…sepi sekali.


Kemudian Putri berdiri dan berjalan keburitan perahu layar yang megah dan besar itu, Nakhoda dengan cemas …. kawatir mengikuti dari belakang. Diburitan kapal dengan menatap jauh ke lekuk batas lautan, dengan suara keras….. “ Ayah….ibu …aku telah menemukan manusia seperti aku, aku ingin hidup seperti mereka….maafkan aku…maafkan aku……………..
“ Selamat jalan ayah …….selamat tinggal ibu……” Putri lemas dan…..langsung dipeluk oleh Nakhoda dari belakang. Putri dibopong masuk kedalam.
Demikian tangis kasih dan teriakan kecintaan seorang anak kepada kedua orang tuanya, yang harus meninggalkan dunianya yang berbeda.
Kapal perahu layar terus melaju menuju ketimur matahari dan kemudian berbelok keutara, meninggalkan kesan-kesan duka, derita, menjadi bahagia… tersenyumlah…..tersenyumlah untuk semua.
Akhir dari ceriteranya, Nakhoda Muda yang gagah dan kaya itu masih lajang, dan kemudian hari nakhoda Muda menikah dengan Putri Naga itu. Mereka ditakdirkan sampai tua hidup damai dan sentosa.




  1. TERJADINYA PULAU DI LAUT BERAU


Akibat dari amukan sang naga jantan yang terluka parah itu kejadiannya sangat luar biasa, ajaib, dan diluar kemampuan berpikirnya manusia biasa. Karena menanggungkan rasa sakit yang tidak terkirakan, naga jantan terus berenang menuju ke timur dan sampai kedaratan Berau di Kalimantan Timur. Didaratan itu ular naga jantan mengamuk dan mengobrak abrik daratan dipesisir pantai, maka terjadilah sebuah keajaiban dengan kekuatan yang maha dahsyat. Daratan itu terputus-putus menjadi lautan dan meninggalkan sisa daratan disana sini. Sisa-sisa daratan itu yang kemudian hari dikenal dengan pulau-pulau elok dan menawan di Kabupaten Berau Propinsi Kalimtan Timur, yang dikenal dengan kawasan kepulauan Derawan.
Pulau-pulau itu dijadikan tempat bertelurnya penyu hijau dan penyu sisik. Lautnya biru, dibawahnya dihiasi dengan tumbuhan terumbu karang yang cantik dan menakjubkan, daratan pulau ditumbuhi berbagai jenis pohon dan lamun. Aku takjub dengan keindahan itu, aku ingin berkali-kali datang kesana.
            Pulau-pulau yang bagus, indah, dan menawan itu antara lain :
  1. Pulau Derawan
  2. Pulau Maratua
  3. Pulau Kakaban
  4. Pulau Sangalaki
  5. Pulau Panjang
  6. Pulau Semama
  7. Pulau Rabu-rabu
  8. Pulau Bilang-Bilangan
  9. Pulau Balikukup
  10. Pulau Manimbora
  11. Pulau Kaniungan Besar
  12. Pulau Kaniungan Kecil
  13. dan pulau-pulau di Muara Sungai Berau, termasuk pulau lungsuran naga




T  a  m  a  t

PEMBAKAL AMBI KEPALA KAMPUNG PERTAMA DI MUARA LESAN



SAPRUDIN ITHUR


PAMBAKAL AMBI

(RAMLIE BIN ACHMAD)









PAMBAKAL KAMPUNG MUARA LESAN

PERTAMA

PRIODE 1908-1938











Menurut pertanggalan atau almanak Muhammadiyah, tanggal 2 Oktober 2014 lalu adalah Milad Muhammdiyah yang ke 102 (Organisasi Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912) berdasarkan hitungan tahun Masehi. Dalam rangka Milad Muhammadiyah tersebut Lembaga Pendidikan  Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah  Muhammadiyah Tanjung Redeb yang dikenal dengan STIT Muhammadiyah akan melaksanakan perhelatan besar yaitu melaksanakan Wisuda mahasiswa pada tanggal 18 November 2014. Berkenaan dengan Milad Muhammadiyah yang ke 102 tersebut penulis akan menceriterakan sebuah kisah besar perjalanan hidup seorang tokoh muda yang dikenal dengan nama Pambakal Ambi. Pambakal pertama Kampung Muara Lesan dipedalaman sungai Kelay, dibawah pemerintahan Kesultanan Sambaliung, tokoh Kaum Muda (sebutan Muhammadaiyah) tempo dulu. Kisah ini diangkat bukan menelusuri perjalanan organisasi Muhammadiyahnya, tetapi mengangkat kisah perjalanan hidup Ramlie bin Achmad sebagai tokoh masyarakat yang memegang amanah ditugaskan Sultan Sambaliung menjadi seorang Pambakal di Kampung Muara Lesan tempo dulu. Kisahnya sebagai berikut :

Seorang tokoh Banjar yang tidak dapat dilupakan dalam perjalanan sejarah Berau khususnya Keraton Sambaliung pada dekade 1880-an adalah seorang pemuda lajang yang sangat dikenal akan keberanian, kepandaian dan kepiawaiannya dalam bergaul dan dialah orang pertama yang mampu menghimpun kelompok-kelompok masyarakat pedalaman sungai Kelai yang masih sederhana serta hidup berpindah-pindah. Sebagian dari mereka masih primitif, tinggal di gua-gua batu, dibanir-banir kayu, atau dipondok ( lapau ) kecil ditepi sungai dan dekat pohon-pohon  besar ditengah hutan belantara. Mereka selalu merasa curiga dengan orang baru, dan masih belum mampu bergaul dengan orang luar atau pendatang.
Pemuda itu adalah RAMLIE yang dikenal kemudian dengan panggilan Pambakal AMBI. Ambi panggilan sehari-hari, nama sebenarnya adalah Ramli, sedangkan pambakal adalah nama lain dari Kepala Kampung pada zaman itu. Tidak kurang dari tiga puluh tahun memimpin masyarakat pedalamaan sungai Kelai penyambung lidah dan sekaligus mewakili Sultan Kesultanan Sambaliung. Ramli adalah seorang tokoh kaum muda Muhammadiyah yang panatik. Dan dialah tokoh kaum muda pertama menelusuri sungai Kelai. Dan berdomisili di kampung Muara Lesan yang dibukanya bersama beberapa orang rekan yang sengaja dibawa kesana sampai dengan akhir hidupnya pada tahun 1938 dan dimakamkan dikampung Banjar, Batumiang. Seyogyanya Pambakal Ambi mendapatkan penghargaan yang tinggi dari Kaum Muda (Muhammadiyah), karena beliau termasuk orang pertama yang mengembangkan Muhammadiyah di tanah Berau Bumi Batiwakkal.
Semua hasil hutan  dari pedalaman sungai kelai ditampung di Kampung Muara Lesan  di rumah Pambakal Ambi, dan kemudian dengan disaksikan oleh masyarakat setempat barang tersebut dilelang kepada para pedagang yang memang sudah datang di Kampung Muara Lesan itu. Begitulah pembakal Ambi yang hampir dari separuh hidupnya membina masyarakat pedalaman sungai Kelai menjadi wakil penyambung lidah dari Sultan Sambaliung, dan sekaligus mewakili Kontruliur pemerintahan Hindia Belanda di wilayah sungai Kelai yang sudah bercokol di tanah Banua Berau.
           

  1. SUNGAI KELAI MASA DOELOE

Sungai Kelai yang panjangnya lebih dari 254 Km meliuk-liuk, menukik dan berbelok-belok sampai menembus kewilayah perbatasan dengan sungai Sangkulirang dan sampai keperbatasan  Kutai serta hampir bertemu dengan ujung sungai  Segah di hulu, mempunyai puluhan anak sungai diantarannya  sungai Inaran, sungai Long Gie, sungai Lesan, dan banyak sungai kecil lainnya. Sungai yang panjang itu seolah ekor naga raksasa yang memukul dan mengibas membelah hutan, rawa, dan belukar ditengah padang nan luas. Sungai Kelai yang airnya kadang bening dan kadang keruh itu tumpah dan masuk kesungai Berau yang dulu dikenal dengan Kuran dan kemudian bersama dengan air sungai Segah tumpah kelaut bebas melalui muara Lungsuran Naga, muara Pegat, dan Muara Kasai.
Kiri kanan sungai Kelai hutannya lestari, menghijau, memenuhi pinggiran sungai, sampai ranting dan daun-daun jatuh kesungai. Biawak, berang-berang, ular taddung, dan ular sawa (piton), banyak berkeliaran hulu hilir dan memotong menyeberangi sungai. Lain lagi dengan buayanya. Buaya kecil, dan besar sering terlihat ditengah sungai, bahkan dimana ada tempat-tempat bersih dan terang, pantai pasir, pantai koral disana buaya-buaya itu mendarat dan berjemur dengan mulutnya mengngangnga menyerap panas matahari. Diranting ranting kayu hinggap bermacam-macam burung, ada burung hijau pemakan ikan, ada burung tampurukan, dan burung kalibarau yang suka mandi disungai setiap pagi dan sore dengan kicaunya yang menawan. Dipohon-pohon besar ada burung tiung, burung rangkai, burung enggang, burung elang, burung gagak, bekantan, uat-uat, kukang, bangkui, orang utan, dan lain lain. Sedang didaratnya ada babi, kijang, payau (rusa), pelanduk (kancil), beruang, badak, Rimaung daan (macan dahan), landak, musang, bekantan, puluhan jenis monyet, ratusan jenis semut, puluhan jenis kupu-kupu. Dipohon bangris yang tinggi menjulang, dicabang-cabangnya bergelantungan sarang lebah madu yang sangat manis.
Perjalanan satu-satunya pada saat itu dari Tanjung Tuan Cools menuju Kampung Muara Lesan hanyalah melalui jalur sungai dengan menggunakan perahu yang didayung  atau didorong dengan tanggar (kayu panjang). Untuk sampai ke Muara Lesan ditempuh selama tujuh hari tujuh malam, kalau air sungai Kelai lagi banjir sampai sepuluh malam baru sampai di Kampung Muara Lesan, sedangkan turun atau lusung dari Muara Lesan ke Tanjung ditempuh selama tiga hari tiga malam, lebih cepat karena mengikuti arus air sungai yang turun kehilir dengan cepat.
Di Tanjung Tuan Cools ditumbuhi pohon yang subur berbunga warna merah indah sekali. Pohon yang berbunga indah itu dikenal masyarakat Berau dengan nama pohon Raddab, oleh karena itu Tanjung Tuan Cools itu juga disebut Tanjung Raddab. Tuan Cools adalah seorang pengusaha Kayu berkebangsaan Britis, England, atau kita kenal dengan negara Inggris. Pengusaha kayu tersebut didatangkan khusus oleh Hindia Belanda.
Kota-kota yang ramai pada saat itu baru Teluk Bayur, Gunung Tabur dan Sambaliung, serta Kampung Banjar di Batumiang. Dihilir sungai Berau ada kampung Sukan, kampung Batu-Batu, kampung Marancang. Sedangkan Keraton Istana Raja Alam tahun 1810 di sungai Gayam telah lenyap tanpa penghuni dan sudah menjadi hutan, yang tertinggal hanya tiang atau tongkat keraton yang tinggi besar dari pohon kayu ulin. Tiang kayu ulin peninggalan Raja Alam masih terlihat sampai tahun 1980 di sungai Gayam.
Sungai Kelai nan indah dan permai diapit oleh hutan yang lebat dan tebing-tebing batu terjal sampai saat ini masih menjadi saksi abadi bagi orang-orang yang hilir mudik melintasi sungai  selama ratusan tahun.


  1. SANG PERANTAU     

Pada saat jaman masih sangat sulit, jalan-jalan darat di pulau Borneo masih sangat terbatas, kehidupan masyarakatpun masih serba kekurangan dan apa adanya, sedangkan penjajahan Belanda masih mencengkeram dengan kuat dibumi Nusantara tanah tercinta. Dari negeri Amuntai pergilah seorang pemuda untuk mengadu nasib dinegeri orang,  dia adalah pemuda Ramlie yang tampan, berperawakan tinggi, gempal, hidung sedikit mancung, dan kepala suka digundul berkulit bersih kuning langsat. Dia lincah, pandai bercakap-cakap, tidak pemalu, cakap, dan mudah akrab dengan siapa saja. Ramlie berangkat dari kampungnya di Amuntai Kalimantan Selatan berkisar tahun 1899 dalam usia kurang lebih 32 tahun ( lahir tahun 1867 di Amuntai ) dengan menumpang kapal menuju kearah Timur dan kemudian melanjutkan ke wilayah utara Kalimantan Timur, sampai di Tarakan, kemudian melanjutkan perjalanan ke Bulungan. Singgah beberapa lama di Bulungan. Melalui hulu sungai Bulungan Ramlie dengan berjalaan kaki menembus kesungai Segah dan turun ke Tanjung Tuan Cools (Sekarang Tanjung Redeb). Dan kemudian tinggal di Tanjung. Selama di Tanjung Ramlie sering bertandang ke Keraton Sambaliung. Para sesepuh Sambaliung mengenal Ramlie sebagai pemuda yang berani, cakap, sopan, dan pandai bergaul. Selama pergaulan itu Ramlie menguasai bahasa Banua (Berau). Kemudian Ramlie Bergabung dalam kelompok Kaum Muda yang sekarang dikenal dengan organisasi Muhammadiyah baik yang ada di Tanjung maupun yang ada di Sambaliung. Sedangkan Keluarga dekatnya dari Amuntai Saat namanya menganut aliran kaum Tua (Nahdathul Ulama) di Tanjung dan berhubungan  dengan Sultan Gunung Tabur.

  1. TUGAS KEPEDALAMAN SUNGAI KELAI

Kemudian karena ketangkasan dan kemampuannya, Ramlie diutus oleh Sultan Sambaliung untuk mewakili sultan di pedalaman sungai Kelai. Sebagai perpanjangan tangan sultan dipedalaman sungai Kelai. Tugas mulia dari Sultan Sambaliung disambut dengan suka cita oleh Ramlie. Ramlie sebagai pendatang baru bangga sekali mendapat kepercayaan langsung dari Sultan. Satu penghargaan yang tiada tara yang diberikan oleh Sultan kepadanya. Tugas itu ia sampaikan kepada keluarga dekatnya Saat dan beberapa kerabatnya. Mereka semua dengan suka cita mendukung Ramlie dan memberi semangat untuk segera melaksanakan tugas dari Sultan Sambaliung.
Survey kepedalamanpun mulai dilaksanakan, dengan tujuan mencari lokasi baru yang cocok dijadikan tempat pemukiman baru., sebagai kepanjangan tangan sultan di pedalaman. Setelah beberapa waktu maka ditemukanlah tempat yang cocok. Berada ditengah-tengah. Tidak terlalu kehulu sungai dan tidak terlalu kehilir, maka dipilihlah  Muara Sungai Lesan sebagai tanah baru  yang sangat subur.
Didalam sungai Lesan didiami suku Dayak Lebo/Lebu, di hulu sungai Kelai didiami suku Dayak Punan, dihilirnya didiami suku Dayak Kenyah dan suku Dayak Ga’ai. Muara Lesan berkedudukan ditengahnya. Muara Lesan dibuka menjadi perkampungan baru oleh tiga serangkai empat penjuru diluar suku-suku Dayak dipedalaman sungai Kelay tersebut diatas.
Kemudian mereka menetap dan berkedudukan di Muara Lesan. Berkedudukan di Muara Lesan sebagai kampung yang baru dibuka, Ramlie sebagai kepanjangan tangan dari Sultan Sambaliung dipercayakan untuk mengatur enam belas kampung sebagai Pembakal dipedalaman sungai Kelay itu.
Kampung dan suku yang diaturnya terdiri dari    :

1.      Kampung Merasa, suku kenyah.
2.      Kampung Long Keluh, suku kenyah.
3.      Kampung  Busang Lalu, suku kenyah.
4.      Kampung Salungun, suku kenyah.
5.      Kampung Longgi, suku kenyah.
Raja Suku Kenyah seorang gagah berani Long Bang Ping dengan gelar Aji Muda.
6.      Kampung Lesan Dayak,  suku Segai ( Ga’ai ).
Kepala Adatnya adalah Anyi
7.      Kampung Long Duhung, suku Punan.
Kepala Adat, Leh Haun dengan wakilnya,  Bang Wahis
8.      Kampung Long Keluh, suku Punan
9.      Kampung Long Lamcin ( pohon salak ), suku Punan
Kepala adat, Bang Halok
10.  Kampung Long Pelai, suku Punan
Kepala Adat, Taman Jiang. Dengan wakilnya, Leh Talong.
11.  Kampung Long Sului, suku Punan.
Kepala Adat, Jiu Tulus.
12.  Kampung Puntian, suku Lebbu
13.  Kampung Merapun, suku Lebbu
14.  Kampung Merabbu, suku Lebbu
15.  Kampung Perenggun, suku Lebbu
16.  Kampung Mapulu, suku Lebbu
17.  Kampung Muara lesan, terdiri dari suku campuran bukan Dayak.

Ramlie membangun rumah di Muara Lesan, yang cukup besar pada masa itu, dengan ukuran 16 x 16 meter, kemudian setelah lebih ramai Ramlie membangun lagi sebuah rumah  yang sama besarnya dengan yang sudah ada.
Rumah pertama dijadikan tempat tinggal keluarga Ramlie, sedang rumah yang kedua dijadikan tempat penampungan warga yang datang, atau tamu dari Sambaliung dan para pedagang yang menjual dan membeli dagangan disana. Sedangkan dibagian belakang rumah besar itu di jadikan gudang penampungan hasil bumi dari pedalaman sungai Kelai
Para tamu yang datang ke Muara Lesan sangat dihormati, mereka dijamu selama berada disana. Penjamuan kepada tamu tidak dibeda-bedakan, baik tamu yang datang dari Tanjung, Sambaliung, maupun datang dari pedalaman. Hanya Suku Punan pada masa itu belum makan nasi, mereka masih makan sagu yang tumbuh dihutan dekat dengan tempat tinggal mereka.
Pambakal Ambi bertugas di Muara Lesan  tidak kurang dari 30 tahun sampai dengan akhir hayatnya. Selama 30 tahun di pedalaman Ramlie sempat beristri lima orang dan menurunkan ratusan cucu dan cicit yang tersebar diberbagai kota dan Kampung.
  1. TIGA SERANGKAI EMPAT PENJURU

Distrik kesulitan untuk mengontrol atau mengawasi wilayah pedalaman sungai Kelai, apalagi upayanya gagal dalam mendekati masyarakat Dayak yang masih belum mau berkomunikasi dengan masyarakat atau orang luar. Paling-paling kalau ada kunjungan kepedalaman yang mau bertemu hanya satu dua orang saja, padahal hasil bumi dari pedalaman sungai Kelai cukup besar. Dari perdagangan hasil bumi seperti rotan, sarang burung putih, getah kalapiyai, damar, dan lilin madu belum ada hasilnya buat pemerintahan Hindia Belanda dan Kesultanan Sambaliung. Lebih jelasnya pajak belum dapat dipungut dengan maksimal dari hasil yang besar dari pedalam sungai Kelai itu. Akhirnya pihak Kerajaan Kesultanan Sambaliung dan pihak Hindia Belanda yang masih berkuasa di tanah Berau mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
Dengan kedatangan tiga serangkai yaitu Ramlie, Majur, dan Kasim berasal dari Banjar yang sudah berpengalaman menjelajahi pedalaman Kalimantan khususnya pedalaman Kalimantan Selatan dan pedalaman Kalimantan Timur sering berpetualang dan melanglang buana di pedalaman sungai Mahakam, pedalaman Bulungan dan pedalaman Berau, dan khususnya Ramlie yang juga dikenal dengan nama Ambi itu menguasai beberapa bahasa Dayak pedalaman, seperti bahasa Segai/ Ga’ai, Punan, Lebbu, Basaf dan Kenyah. Ramlie sangat mudah berkomunikasi dengan beberapa suku Dayak yang mendiami dikisaran pedalaman sungai Kelai. Dengan berbagai pertimbangan yang matang dari pihak distrik yang membawahi wilayah sungai Kelai dibawah koordinasi Pemerintahan Hindia Belanda dan Kesultanan Sambaling bersepakat untuk menunjuk perwakilan di Pedalaman sungai Kelai. Kesultanan Sambaliung menunjuk dan menugaskan Ramlie sebagai perwakilan di Pedalaman sungai Kelai. Dengan penugasan tersebut Ramli membawa orang-orang yang dapat dipercaya untuk membangun kampng. Muara Sungai Lesan sebagai pilihan tepat untuk membangun kampung sebagai perwakilan Distrik dan Kesultanan Sambaliung.
Rombongan berangkat menuju Muara Sungai Lesan yang ditempuh tidak kurang dari tujuh hari tujuh malam. Rombongan tersebut kemudian hari dikenal dengan sebutan empat penjuru. Mengapa yang membangun Kampung Muara Lesan itu di kenal dengan empat penjuru ?
Karena rombongan yang membuka dan membangun kampung Muara Lesan pertama itu terdiri dari empat suku, yaitu :

1.      Suku Banjar terdiri dari Ramli, Majur, dan Kasim.
2.      Suku Banua ( Berau ) sebagai pemilik Berau terdiri dari  Amang Jauhar, Unduk, dan Parrang.
3.      Suku Bugis  terdiri dari H. Ramang, Ambo Rio, dan Wak Supu  
4.      Suku Cina ( Tiong Hoa ) terdiri dari Muksin dan Cungi.

Untuk mengisi dan menambah penduduk Kampung  yang baru dibuka oleh tiga serangkai empat penjuru itu, Ramlie kemudian hari membawa kawan-kawannya yang lain untuk tinggal disana sekaligus membantu tugas-tugasnya. Yang dibawa bersamanya ke Muara lesan antara lain Guru Agama Sarua ( Keili ),  Mamanga ( Keili ), Anja, Bujang Jaliha, Amma Kil (Tidung), Lahaking (cina). Mereka terdiri dari pekerja keras, pedagang dan pengusaha pada masa itu.
Kemudian hari H. Ramang dikenal dengan Pengulu, Imam, dan Khatib. Sedangkan Muksin, Cungi, dan Lahaking menjadi pedagang tersohor dipedalaman sungai Kelai.


  1. HASIL HUTAN DILELANG DI MUARA LESAN

Perjalanan dari Tanjung menuju ke Muara Lesan dan lain-lain kampung hanya melalui jalur sungai. Dari Tanjung ke Muara lesan ditempuh dengan perahu yang muatan sampai dua ton di dayung (Bassai) oleh tujuh orang selama 7 hari. Pada malam hari beristirahat di pantai pasir (gusung) sungai Kelay sambil menyalakan api untuk memasak dan menghangatkan kaki yang seharian terendam air dalam perahu. Kalau tidak dilakukan seperti itu, kaki menjadi gatal dan terkupas tipis dan balancat (gatal-gatal).
Kalau musim banjir perjalanan menuju ke Muara Lesan sampai sepuluh hari dengan mendayung, dibantu dengan tanggar, dan kait dari dahan kedahan yang menjulur disungai deras itu. Sedangkan kembali dari Muara Lesan menuju Tanjung hanya ditempuh dalam waktu tiga hari saja. Lebih cepat, karena mengikuti arus sungai kehilir.
Para pedagang mulai ramai hilir mudik dari Tanjung tuan Cools ke Kampung Muara Lesan. Dari Tanjung mereka membawa garam , gula, tembakau, kain, dan lain-lain keperluan orang-orang dipedalaman. Dari Muara Lesan para pedagang membawa hasil hutan seperti getah ampau, getah putuk, getah kalapiyai, lilin madu, rotan saltup, rotan segah/segai, rotan semambu, kayu gaharu, sarang burung walet, damar kepala tupai, damar tulang, damar mata kucing, damar daging. Damar daging adalah damar dari pohon kayu agatis, damar yang paling mahal dan paling dicari. Cula badak juga laku dan sangat mahal.
Hasil itu sebelum dibeli oleh para pedagang, oleh Ramli dikumpulkan di Kampung Muara Lesan, dan apabila sudah cukup, semua hasil itu di lelang secara terbuka dihadapan rakyat dan para pedagang yang datang. Para pedagangpun berebut untuk mendapatkan dagangan yang menguntungkan itu. Setelah lelang selesai hasil hutan  dibawa ke Tanjung tuan Cools (Tanjung Redeb).
Timbangan yang dipergunakan saat itu Kati, satu kati sama dengan enam on. Sedangkan kain dijual dengan ukuran Jar, bukan ukuran meter seperti sekarang. Satu Jar sama dengan 80 cm


  1. MENGHADIRI PESTA ADAT

Hampir setiap kampung orang-orang Dayak, setelah panen padi mereka mengadakan keramaian, sebagaimana pesta adat, dengan tujuan mengucapkan terima kasih dan mengucap syukur kepada Tuhan yang dikenal mereka dengan Matau.  Suku Lebbu, suku Segai, suku Kenyah, dan suku Punan belum memiliki agama yang tetap. Mereka masih beragama adat. Agamanya sesuai dengan adat masing-masing suku. Boleh jadi sebagai agama adat kepercayaan yang mereka alami selama hidup. Matau adalah Tuhan mereka.
Mereka masih kuat percaya pada gunug-gunung, kayu besar, burung-burung, seperti burung elang, burung talangjan dan lain-lain. Sedangkan misi Kristen masuk kepedalaman sungai Kelay pada dekade tahun lima puluhan. Dan kemudian hampir seratus persen mereka menganut agama baru, yang dikenal dengan agama Kristen dan Katolik  itu. Sebagian lainnya masih bertahan dengan agama lama, dan sebagiannya yang kawin dengan para pendatang masuk agama Islam.
Pesta-pesta adat habis panen yang mereka laksanakan seperti suku Ga’ai dengan Bakudung, suku Lebbu Irau, Punan dengan Mengenai, Kenyah dengan Irau. Dalam acara tersebut juga dihadirkan tari-tarian, musik sampe, nyanyian, dan kesenian bertutur (mengenai), serta acara pengobatan dan lain-lain. Acara Irau dan Bakudung ini dilaksakan sampai  tiga bulan, selama tiga bulan itu pula mereka  bergembira, dan makan daging buruan bersama-sama.
Ramlie yang dikenal dengan Pambakal Ambi setiap acara selalu diminta hadir bersama mereka. Pambakal setiap kesempatan selalu berusaha untuk hadir memenuhi undangan. Oleh karena itulah Pambakal Ambi sangat dikenal dikalangan mereka dan sangat dihormati seperti seorang sultan. Orang Pedalaman sungai Kelay tidak banyak mengenal Sultan dan para pejabat keraton Sambaliung, kecuali yang mereka kenal adalah Pambakal Ambi yang selalu dekat dengan mereka. memperhatikan mereka, Berkumpul membaur bersama mereka  pada saat diadakan perhelatan adat yang dikenal dengan irau dan bekudung serta acara lain-lainnya itu. Bahkan sampai Pambakal Ambi memperistri salah satu gadis suku Lebbu yang cantik sebagai istri keempat.


  1. MASA-MASA TERAKHIR

Pambakal Ambi berkuasa lebih dari tiga puluh tahun di Muara Lesan sebagai pembawa misi Sultan Sambaliung untuk menangani orang-orang pedalaman sungai Kelay yang masih tertinggal dan primitif. Muara Lesan satu-satunya kampung yang bukan kampung suku Dayak dan sudah beraga Islam.
Batas patok suku Dayak di pedalaman sungai Kelay dimulai dari Lesan Dayak, Long Demit. Dari Long Demit itu sampai ke hulu-hulu sungai adalah wilayah orang dayak. Wilayah ini diatur sejak Kerajaan Sambaliung dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda. Batas wilayah tersebut sangat dihormati oleh semua pihak, dan belum pernah dirubah sampai dengan sekarang pada masa Pemerintah Republik Indonesia. Apabila demikian maka, hak wilayah, hak adat, dan hak-hak lainnya masih dikuasai, dan dipegang oleh suku Dayak Kelay, baik memanfaatkan, mengelola, maupun menikmati hasil kekayaannya. Sebab sejak zaman nenek moyang suku Dayak telah menyatu dengan hutan, menyatu dengan alam, mereka hidup dan mati dipedalaman tidak terpisahkan dengan alam dan hutan. Sedangkan dari Long Demit Lesan Dayak kehilir adalah wilayah orang Banua (orang Berau) sampai kemuara Lungsuran Naga.
Pambakal Ambi mempunyai kekayaan dan harta yang cukup banyak di Muara Lesan. Disamping itu Pambakal juga laki-laki yang jantan dan sejati dengan lima orang istri.

1.      Istri pertama Bulkis namanya, wanita suku Banua, dinikahinya pada tahun 1904      mendapat anak empat orang :
-          Baki ( Laki-laki )
-          Djafar ( Laki-laki ) Meninggal disembelih Jepang
-          Tiki ( Perempuan )
-          Syamsuddin ( laki-laki ) 1912-Januari 2002
2.      Istri Ke dua Hadidjah wanita suku Banua. Mendapat anak tiga orang :
-          Arbi ( perempuan )
-          Ranti ( Perempuan )
-          Masih ( perempuan )
3.      Istri ke tiga Saudah wanita suku Banua.mendapat anak satu orang
-          Kalsum ( Perempuan ) meninggal
4.      Istri ke empat Didjah wanita suku Lebbu. Mempunyai satu anak, meninggal.
5.      Istri ke lima Siti Aisyah wanita muda suku Bugis. Mempunyai anak dua orang
-          Yahya ( laki-laki ) lahir tahun1932
-          Muhammah Ardi ( Laki-laki ) lahir tahun 1934
Pambakal Ambi mempunyai cucu lima puluh enam orang dan  buyut lebih seratus orang, yang sekarang tersebar di kampung Muara Lesan, Tanjung Redeb, Sambaliung, Teluk Bayur, Tepian Buah, Gunung Tabur, Talisayan, Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Pasir, dan lain-lain.
Pada Tahun 1938 Saat itu Samsuddin putra terakhir dari istri pertama berusia 26 tahun, Yahya putra pertama dari Istri ke lima berusia 6 tahun dan Ardi dari istri ke lima baru berusia 4 tahun, ayahnya pambakal Ambi sakit-sakitan. Pada saat itu istri pertama, istri ke dua, istri ketiga, dan istri ke empat sudah tiada lebih dahulu menghadap yang kuasa. Istri pertama Bulkis dimakamkan di Sambaliung, istri kedua, ketiga, dan keempat dimakamkan di Kampung Muara Lesan lama.
Kemudian pada puncaknya, sakit Pambakal semakin parah dan di bawa turun dari Muara Lesan menuju ke kampung Banjar, Batumiang  Tanjung Redeb. Rombongan yang mengantar ke Kampung Banjar itu antara lain Djapar, Samsuddin, Mansur, Ranti, Yahya, Ardi dan bersama ibunda Siti Aisyah istri terakhir Pambakal Ambi. Djapar, Samsuddin, dan Mansur setelah mengantar beberapa hari kemudian kembali ke Muara Lesan.
Penyakit yang diderita oleh Pambakal Ambi semakin parah, dan akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir dipangkuan Istrinya yang masih muda Siti Aisyah dan kedua putranya yang masih kecil Yahya dan Ardi pada usia 64 tahun. Jenazah dimandikan dan dimakamkan di Kampung Banjar Batumiang dengan upacara pemakaman yang sangat sederhana. Beliau Wafat pada tahun 1938 dengan meninggalkan beribu kisah dan berjuta kenangan yang pahit maupun yang manis dan tetap dikenang sepanjang jaman. Makam Pambakal Ambi dengan nama sebenarnya Ramlie Bin Achmad sekarang masih terpelihara dengan baik, dirawat oleh anak cucu di tepi jalan Pulau Semama samping surau Darussalam.
Setelah Beliau meninggal kekuasaan diambil alih oleh salah satu menantu tertua, yaitu pamanda Riduan suami Tiki putri kedua dari istri pertama almarhum.
Bagaimana dengan masyarakat pedalaman ?. Mereka benar-benar merasa kehilangan, mereka setelah mengetahui berita Pambakal Ambi meninggal yang tua-tua menangis mengenang jasa serta kebaikan Pambakal. Dan mereka katakan tidak ada lagi orang yang dapat menggantikan orang sebaik Pambakal  itu.
Istri kelima dengan menghidupi dua orang anak laki-laki itu kemudian hari menikah lagi dengan seorang pria yang bertanggung jawab melahirkan anak laki-laki Kadir namanya. Pada akhir hidupnya Siti Aisyah menetap di Kampung Muara Lesan, meninggal dan dimakamkan pula disana.