Selasa, 24 Maret 2015

KISAH BURUNG ENGGANG



BURUNG ENGGANG SIMBOL BUDAYA DAYAK
PAKET WISATA ALAM DAN BUDAYA

Oleh :    Saprudin, M. Si
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Berau

Burung Enggang adalah salah satu burung kebanggaan masyarakat Kalimantan. Sejak zaman nenek moyang dulu burung enggang sudah dihormati, bahkan sebelum mengenal agama, Burung Enggang dipercaya memiliki kekuatan tertentu dan memiliki kelebihan tertentu oleh orang-orang yang mendiami pulau Kalimantan. Yang pasti burung enggang selalu terbang tinggi, diantara pohon-pohon yang tinggi, diantara pucuk-pucuk pohon yang tinggi, akan buah-buahan, badan dan bulunya selalu bersih, sarangnya tinggi dalam lubang kayu pohon besar, memiliki suara yang sangat nyaring dan keras. Setiap burung enggang dewasa mau terbang memberi tanda lebih dahulu dengan suara yang khas nyaring dan diakhiri dengan suara teriakan yang keras, baru ia terbang dengan gagah dan pongahnya. Suara diawali dengan suara putus-putus, dilanjutkan dengan semakin cepat, semakin cepat, cepat sekali, begitu menjelang terbang suaranya berubah menjadi lebih keras dan pecak seperti suara teriakan cepat putus-putus. Guk………guk……..guk..…guk....guk.... guk...guk..gukgukgukgukkakkakakkakkakkakkak.
Alam sudah memberi informasi dengan baik kepada semua binatang dimuka bumi, naluri semua binatang sangat bagus dan selalu tepat kemana mereka harus pergi, ke utara, ke selatan, ke barat, atau ke timur. Kemana meraka harus mencari makan, dimana pohon yang menyiapkan makanan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Pada saat-saat tertentu pergerakan semua binatang itu sangat menentukan. Kalau kalong pada sore hari menjelang malam terbang kearah barat, berarti diarah barat itu tersedia makanan yang melimpah, maka babi yang tinggal didarat juga akan bergerak menuju kebarat, dikuti binatang lain yang suka memakan buah. Tidak perduli dengan aral yang melintang dan menghalangi perjalanan mereka. Menyeberang sungai, melintasi gunung tinggi dan terjal, atau apapun tetap mereka pergi kearah yang sesuai dengan naluri mereka harus pergi kearah sana. Begitu pula binatang pemakan rumput dan daun-daunan. Mereka paham benar, lagi-lagi berdasarkan nalurinya dimana rumput dan daun makanan mereka tersedia yang segar dan subur, meraka berangkat bersama-sama menuju hutan atau padang rumput yang subur dan segar itu.
Ketika musim bunga maka lebah dan kelulut semakin jadi, bersarang di mana-mana di pohon-pohon banggris yang tinggi menjulang atau dipohon selain bangris yang menjadi tempat  lebah biasa hinggap dan bersarang. Selama musim bunga, maka madu banyak tersedia disarang-sarang lebah dan kelulut. Mereka mengumpulkan madu dari jutaan bunga dipohon-pohon besar dan pohon kecil ditengah hutan belantara luas, dan di tepi-tepi sungai. Madu yang dihisap oleh lebah dan kelulut diangkut menuju sarangnya masing-masing. Pada musim bunga tersebut banyak madu tersimpan, maka saat yang bersamaan lebah muda menetas dari telur disarangnya. Madu akan berkurang disarang lebah dan kelulut itu apabila musim anaknya jadi. Madu yang tersedia itu menjadi makanan utama anak lebah dan anak kelulut. Anak-anak lebah itu hidup dengan sehat karena ketersediaan makanan yang melimpah. Alam menyediakan bunga yang siap dihisap oleh jutaan lebah dan kelulut. Ternyat dibalik itu semua, fungsi lebah menjadi fungsi ganda, madu bunga diangkut kesarangnya sebagai makanan anak-anak lebah, kaki lebah yang menyentuh bunga, bunga bergoyang menggerakkan kepala putik. Serbuk yang ada dikepala putik itu gugur kebenang sari dalam bunga, sebagian benda yang sangat kecil (serbuk)  dikepala putik itu menempel di kaki dan tubuh lebah dibawa berpindah-pindah kebunga yang lain. Lebah ternyata secara tidak langsung sudah melakukan penyerbukan dan pembuahan pada bunga-bunga itu. Bungapun menjadi buah. Seperti itu alam berperoses secara alamiah terus menerus. Buahnya setelah masak dimakan tupai, dimakan berbagai jenis primata, dimakan berbagai jenis unggas, dibawah pohon, buah yang jatuh dimakan landak, dimakan babi dan lain-lain. Para pemakan buah itu menjadi penyemai tumbuhan dan biji-bijian yang terbaik ketampat lain, bahkan ada yang sampai puluhan dan ratusan kilometer. Ditempat yang jauh setelah melakukan perjalanan panjang unggas, perimata, babi, landak buang kotoran (berak), biji yang masih utuh yang dikeluarkannya itu tumbuh ditempat baru, menjadi pohon buah baru yang kemudian siap lagi untuk memberi makan anak lebah, kelulut, unggas, perimata dan binatang lainnya. Seperti itu cara menanam dan bertumbuh secara alamiah selama jutaan tahun di bumi kita.
Dalam  proses jutaan tahun itu ada beberapa jenis binatang yang tidak mampu beradaptasi maka seluruhnya mati dan punah, seperti yang terkenal Dinosaurus. Begitu pula dengan tumbuhan yang tidak mampu menyesuaikan dengan cuaca atau alam berikutnya ia akan punah dengan sendirinya. Tetapi ada juga binatang dan tumbuhan punah disebabkan oleh manusia, kita beri contoh saja Badak Berau-Kalimantan bercula satu. Di wilayah Berau, enam puluh tahun lalu masih ada badak, tetapi karena terus diburu, dibunuh untuk diambil culanya (tanduknya) akhirnya punah. Jadi sekarang Badak yang pernah hidup dihutan Berau telah punah. Sangat disayangkan, tapi mau bilang apa, kenyataannya memang sudah punah.
Pelaku pembunuhan badak lebih delapan puluh persen dilakukan oleh orang asli Indonesia sendiri, alas an klasiknya karena kebutuhan ekonomi. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya badak itu dalam kehidupan dimuka bumi. Selebihnya dilakukan oleh para pemburu penghobi petualang dihutan, mereka adalah  orang-orang Belanda yang pernah menjajah Nusantara. Orang asli Indonesia satu pun tidak ada yang menyimpan cula badak yang sangat dicari itu, tetapi empat puluh persen di beli oleh orang-orang Belanda, selebihnya dijual kepada para pengepul. Oleh para pengepul dijual kembali. Sayang, tidak ada pencacatan jual beli cula badak selama ratusan tahun itu. Akhirnya badak punah, culanya tidak diketahui rimbanya kemana dijual dan digunakan untuk apa, cula badak Berau-Kalimantan yang hebat dan menghebohkan itu juga punah bersama Badak yang melegenda.
Terus terang saja pengalaman punahnya badak Berau-Kalimantan, tidak ada satupun yang bertanggung jawab, hanya semata-mata karena ketidaktahuan masyarakat Berau pada masa lalu tentang pentingnya kehidupan flora dan faunan dimuka bumi ini. Sedang manusia tidak bisa mengganti badak baru, badak Berau-Kalimantan, mengganti saja tidak bisa apalagi untuk menciptakan badak baru yang dapat hidup kembali di wilayah hutan Kalimantan umumnya dan Kabupaten Berau khususnya. Badak Berau-Kalimantan tinggal cerita tanpa pembuktian dan terbarukan lagi. Semua ini semata-mata  kesalahan manusia yang tidak pandai menjaga alam dan kehidupan dialamnya.
Begitu pula dengan peralatan  asli orang Kalimantan, seperti Mandau, anjat, tudung (topi seraung) yang asli dan berusia ratusan tahun banyak yang hilang tidak jelas kemana perginya. Barang-barang tua itu hilang dan lenyap tidak diketahui lagi. Informasi dari keturunan (anak cucu) orang Dayak Ga’ai yang pernah menjadi para pemimpin di Bumi Berau putus dan hilang jejak. Informasi yang putus itu ada kemungkinan memang disengaja diputus oleh penjajah Hindia Belanda pada masa itu. Akhirnya barang yang sudah Belanda ambil, dengan cara mereka beli dengan murah, mereka rampas dengan paksa, atau hadiah para raja Dayak Ga’ai kepada pejabat Belanda putus informasi. Suku Dayak Ga’ai kehilangan jatidiri, kehilangan kekuatan, kehilangan keberanian, kehilangan jiwa kepahlawanan, kehilangan jiwa cinta tanah air, kehilangan kesaktian, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan segalanya selama penjajahan Belanda. Ada kemungkinan peralatan seperti dijelaskan diatas dan cula badak Berau-Kalimantan itu masih ada di negeri Belanda, semoga ada di salah satu Museum Belanda.
Selanjutnya kalau terus diburu dan dibunuh juga akan punah seperti Rusa (Payau) karena dagingnya dikonsumsi, tanduknya dijual, ditambah lagi tidak dilakukan penangkaran yang baik, berikutnya buaya muara dan buaya sungai, kalau terus diburu dan dibunuh maka tidak menutup kemungkinan akan punah, beberapa jenis unggas seperti burung Kalibarau (cocokrowo), burung murai (junggit batang), burung Tiung (beo), burung enggang, burung Temengang (Bahasa Dayak), dan burung Teba’un atau Tebun (bahasa Dayak). Yang saat ini paling dan sangat menghawatirkan dan segera akan punah adalah burung Teba’un atau Tebun. Burung tersebut paling dicari dan paling diburu karena bendol dipucuk kepalanya (tembolok) dihargai oleh para pengepul sangat mahal, satu one-nya dihargai Rp 15.000.000, dengan harga mahal dan menggiurkan tersebut, para pemburu burung Teba,un terus melakukan perburuan diseluruh penjuru hutan Kalimantan termasuk hutan Berau.
Apabila terus dibiarkan, tinggal menunggu waktu, burung Tebaun/Tebun yang memiliki tembolok atau bendolan dikepalanya pasti segera punah. Sampai saat ini juga belum diketahui pasti kemana barang itu di bawa dan digunakan untuk apa. Hanya ada informasi yang belum dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan mengatakan bahwa tembolok burung Tebun itu dijual dan dibawa ke Thailan dan Filipina. Informasinya bendolan itu dikerik dan dijadikan bahan campuran tertentu, yang jelas obat-obatan. Kalau benar informasi itu berarti pengolahan obat-obatan tersebut melanggar Undang-Undang Perlindungan Satwa Langka dan di lindungi.
Mereka (orang Dayak) tidak lagi merasa tabu dan melanggar adat dalam melakukan perburuan unggas tersebut. Sebenarnya burung enggang, burung Temengang, dan burung Tebun adalah burung-burung yang tidak boleh diambil habis, karena bulu-bulu burung tersebut bagian dari simbol-simbol kepercayaan orang Dayak sejak nenek moyang. Mereka menari melambangkan simbol-simbol tarian burung-burung tersebut, gerak sayapnya, kelincahan dan kelembutannya, gerakan kakinya dan lain-lain. Mereka menyanyi lagu Mengenai Dayak Punan menyebut nama-nama burung, nama-nama gunung, nama-nama buah-buahan. Ketika orang Dayak Ga’ai menyanyi Jiek selalu menyebut nama-nama burung, sungai dan gunung-gunung.
Mengenakan bulu burung enggang, bulu burung Temengang, dan bulu burung Tebun diatas kepala sangat sakral. Derajat bulu burung Tebun sangat tinggi dari bulu burung-burung lain, apabila mengenakan bulu burung Tebun diatas kepala yang dilekatkan pada topi seorang laki-laki Dayak dalam setiap upacara adat, maka secara simbolik derajat pemakainya lebih tinggi dari yang lain. Jadi pemakaian bulu burung tersebut bernilai tinggi dan sakral, tidak boleh disembarangkan.
Ada hal yang belum terjawab sekarang ini, yaitu siapa yang bertanggung jawab untuk menjaga pelestarian (flora dan fauna) burung-burung langka itu. Kementrian Kehutan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia-kah, atau Kepolisian Republik Indonesia. Kalau berbicara Kepolisian Republik Indonesia tidak masalah, karena ada benang merahnya dengan Polres yang ada di tingkat kabupaten dan Polsek yang ada ditingkat kecamatan, hanya sayangnya belum terlihat pasti apa yang telah dilakukan terhadap pelaku pelanggaran, menangkap, memelihara, dan membunuh satwa langka dan sangat dilindungi tersebut. Lain halnya dengan Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup,  implementasi didaerah seperti apa masih belum jelas. Di Kabupaten Berau ada konservasi penyu di pulau Sangalaki, konservasi burung di pulau Semama, sedangkan penanganan satwa langka dan sangat dilindungi di luar pulau Sangalaki dan pulau Semana belum jelas seperti apa. Undang-undang sudah tersedia, tetapi implementasinya di lapangan belum berjalan dengan baik, sedangkan perburuan binatang/satwa langka terus berjalan. Kalau menunggu habis, maka tidak ada bedanya dengan punahnya badak Berau-Kalimantan sejak empat puluh tahun lalu.
Burung enggang adalah salah satu satwa langka dan dilindungi. Setiap saat terus diburu untuk diambil bulunya. Selain itu mengapa semakin langka, karena hutan sebagai habitat kehidupan burung enggang terus tergerus dan semakin sedikit, pohon-pohon besar tempat mereka membuat lubang untuk bersarang juga semakin sedikit. Lubang dipohon besar yang sudah ada sebagai sarang burung enggang  juga terus berkurang, ditumbangi untuk kepentingan manusia. Dengan demikian maka perkembangan burung enggang semakin sulit. Burung enggang tidak bisa membuat sarang seperti burung elang dengan mematah ranting lalu menyusunnya dengan baik dipucuk pohon-pohon besar. Cara berkembang biak burung enggang sangat unik, langka, dan patut menjadi perbincangan. Dan sedikit sekali yang mengetahui bagaimana burung enggang membuat sarang, bertelur, mengeram, beranak, dan kemudian keluar lagi dari sarang bersama anak-anak yang sudah mulai belajar terbang.
Burung enggang jantan harus berjuang. Bagi burung enggang yang pasangannya sudah ada dan tidak diganggu pejantan lainnya, maka perkawinan adalah hal biasa sebagai upaya untuk berkembang biak. Tetapi yang terjadi perebutan, dua atau tiga ekor burung enggang jantan memperebutkan seekor burung enggang betina sampai-sampai harus berkelahi dan berdarah-darah. Perkelahian itu hanya untuk memperebutkan burung enggang betina sebagai penerus keturunan mereka. Setelah menang baru burung enggang bisa kawin dengan betina pilihannya. Saat mereka kawin biasanya dimusim bunga atau buah sudah mulai jadi. Dilanjutkan dengan persiapan pasangan itu membuat sarang. Burung enggang membuat sarang dipoho-pohon yang belubang. Lubang itu diperbaiki sedemikian rupa supaya nyaman induknya berputar-putar didalam lubang. Bertelur tidak beda dengan burung lainnya, dua butir atau paling banyak tiga butir. Dilanjutkan dengan mengeram. Pada masa mengeram inilah cerita yang luar biasa terjadi dengan burung enggang. Burung enggang jantan dan betina berbagi tugas, dengan  tugasnya masing-masing. Apabila tugasnya tidak dilaksanakan dengan baik maka salah satu burung itu akan mati.
Persiapan mengeram, burung enggang betina masuk kedalam lubang, sedangkan diluar sang jantan mulai bekerja berat untuk menutup muara lubang sarangnya itu dengan sejenis damar yang dicampur dengan tanah. Damar banyak tersedia di pohon kayu meranti dan pohon kayu kapur. Muara lubang ditutup dengan rapat dan kuat, dengan menyisakan muara lubang sebesar mulut paruh sang betina. Begitu sudah tertutup, bahan penutup yang tadinya lemah menjadi keras seperti batu. Begitu selesai ditutup yang hanya meninggalkan lubang sebesar paruhnya itu, buah-buahan dihutan sudah masak dan siap jadi pasokan. Sekian lama sang betina tinggal didalam lubang itu untuk mengerami telurnya. Makannya setiap saat dipasok oleh sang jantan suaminya, makanan berupa buah-buahan diambil oleh sang jantan dari berbagai tempat dari berbagai jenis buah. Begitu sang jantan datang membawakan makanan, paruh sang betina keluar dari lubang kecil yang tersisa siap menerima makanan dari paruh sang jantan. Memberi makan semacam itu dilakukan oleh sang janta selama lebih dua bulan, dari mulai mengeram sampai anaknya besar dan siap untuk terbang. Selama berada dalam sarang dari mengeram sampai memelihara anak-anaknya, kotoran makanan dibuang sang induk dari lubang kecil itu. Saat  buang kotoran juga hebat, sang betina sang induk didalam lubang itu memutar badannya, lubang pantatnya diarahkan kelubang, kotoran yang keluar langsung jatuh kebawah. Apabila ada pemburu yang menangkap atau membunuh sang jantan, maka si betina dan anak-anaknya didalam sarang juga mati. Karena pasokan makanan tidak ada lagi.
Kotoran yang dibuang dan jatuh ketanah juga berperoses, didalam lubang anak-anaknya semakin membesar, sehat dan kemudian ditumbuhi bulu. Kotoran yang jatuh ketanah berupa biji-biji buah tumbuh. Pertumbuhan dapat dilihat disekitar itu. Apabila biji baru pecah dan berdaun dua, maka telur yang dierami sang betina sudah menetas, apabila sudah bercabang dua anak burung enggang itu sudah mulai berbulu tebal, apabila dari cabang dua itu tumbuh lagi pucuk ditengahnya maka anak burung sudah siap belajar terbang, untuk lebih meyakinkan diantara biji-bijian yang tumbuh diukur sudah panjang satu jengkal. Orang Dayak dan para pemburu burung enggang paham betul dengan kejadian dialam, mereka memperhatikan dibawah pohon saja, dengan jatuhnya biji-bijian mereka tahu diatas pohon itu ada sarang burung enggang dan burung enggangnya sedang mengeram. Begitu tumbuhan itu bercabang dua dan ditengahnya muncul pucuk baru atau sudah panjang satu jengkal, dengan membawa palu pohon langsung dipanjat. Sampai di lubang sarang, muara sarang langsung di pukul dan dihancurkan. Anak-anak burung diambil dan kadang induknyapun ditangkap juga.
Yang lebih unik ketika anak-anaknya sudah besar dan berbulu tebal, siap untuk terbang. Sang betina dari dalam lubang mulai bekerja keras mematoki penutup lubang yang sudah keras seperti batu. Dilakukan berhari-hari dengan hati-hati dan sedikit-sedikit sampai induk dan anak-anaknya bisa keluar dengan bebas, leluasa, dan mudah masuk kembali. Dalam proses belajar terbangpun anak-anaknya yang lucu dan menggemaskan itu masih dipasok makanan oleh enggang jantan, karena induknya masih belum bisa meninggalkan anak-anaknya. Selain harus menjaga dan melatih anak-anaknya, selama beberapa bulan berada dalam sarang tidak terbang, induknyapun tidak bisa langsung terbang, butuh waktu penyesuaian dengan melatih sayap, meregangkan sayap dan mengepak-kepakkan sayapnya. Selama masih berlatih terbang tersebut anak-anak bersama induknya selalu kembali dan masuk kedalam lubang untuk beristirahat. Setelah bisa terbang dengan sempurna, merekapun berangkat ketempat jauh mencari buah segar dan ranum yang siap untuk dimakan, sampai nanti anak-anaknya menjadi dewasa seperti kedua induknya.  
Seperti itu perilaku burung enggang selama mengerami telur, membesarkan anak-anak, dan melatih anak-anak terbang. Sampai anak-anak dan iduknya terbang bebas mengelilingi hutan belantara yang maha luas. Tidak beda dengan burung Tebun. Burung Tebun juga ketika sang betina mengeram sampai memelihara anaknya, muara lubang sarangnya ditutup. Tujuannya pasti dalam upaya mengamankan dari gangguan pemangsa. Tetapi sarang burung Tegun jauh lebih tinggi dari sarang-sarang burung enggang. Dengan ketinggian itu pemangsa burung termasuk manusia dapat dihindari. Berkembang biaknya burung enggang, burung temengang, dan burung tegun sangat lambat, pada umumnya setahun sekali bertelur dan menetas. Kaitannya dengan pasokan makanan yang harus diambil sang jantan, mekanan berupa buah-buahan. Buah-buahan dihutan pada umumnya berkembang dan berbuah sekali setahun.
Penyelamatan dan pelestarian burung sangat penting bagi manusia, apalagi burung yang sudah masuk kategori satwa langka dan dilindungi. Begitu pula dengan orang utan, uat-uat, bekantan, lutung, kukang, macan dahan, beruang, rusa, buaya, dan beberapa jenis binatang melata. Penyelamatan dan pelestarian harus dilakukan bersama-sama, antara lain masyarakat setempat atau yang lebih dikenal dengan masyarakat lokal, pemerhati satwa dilindungi, pencinta satwa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pemerintah. Pemerintah antara lain ada pemerintah kampung, pemerintah kecamatan, pemerintah kabupaten, pemerintah pusat, kepolisian, Lembaga konservasi, dan instansi terkait harus saling bersinergi, saling mendukung, dengan tujuan yang sama untuk melakukan penyelamatan dan pelestarian satwa yang dilindungi. Ada yang melakukan pelanggaran langsung ditindak oleh aparat kepolisian dengan hukuman dan sangsi yang berat.
Berbicara Pariwisata. Dunia pariwisata sangat berkepentingan dengan adanya hutan yang lestari, satwa yang masih terlindungi, didukung dengan masyarakat lokal yang arif menjaga alamnya, menjaga budayanya. Kearifan lokal sangat mendukung pelestarian alam dan budaya. Karena dengan alamnya yang masih terjaga dengan baik, pasti budayanya masih terjaga dengan baik pula. Apabila alamnya berubah, maka otomatis budayanya juga bergeser semakin jauh dari nilai-nilai keaslian awalnya. Oleh karena itu, Budaya dan Alam atau sebaliknya Alam dan Budaya tidak bisa dipisahkan. Kearifan lokal sangat mendukung pelestarian budaya dan alam tersebut. Yang perlu diperkuat masyarakat lokal tentu Sumber Daya Manusia (SDM) yang memahami kearifan lokal dan pengetahuan kekinian untuk melakukan pemanfaatan, pengelolaan alam dan budaya yang seimbang berwawasan luas dan memahami betapa pentingnya dunia kepariwisataan. Dengan mengembangkan potensi destinasi wisata alam dan budaya atau budaya dan alam suatu daerah atau disuatu tempat sangat menguntungkan bagi masyarakat lokal. Alam sudah menyediakan alam itu sendiri, menyediakan hutan dengan pohon-pohon yang besar, gunung-gunung, sungai-sungai, jeram, batu, gua-gua, sungai didalam gunung atau didalam gua, nyanyian unggas, perimata, binatang melata, dan lain-lain dirangkai dengan budaya yang kental antara lain sejarah, makam atau lungun, peninggalan masa lalu, gambar cadas, nyanyian, tarian, pengobatan, perilaku dan kebiasaan masyarakat lokal sehari-hari, kehidupan sehari-hari, cara bertani atau bercocok tanam, menangkap ikan, mengambil madu, menugal, berburu binatang secara tradisional, memasak masakan tradisional, rumah tradisional, rumah adat,  dan banyak lagi yang lainnya. Semua itu bisa dijual kepada wisatawan melalui paket-paket wisata. Yang segera dilakukan oleh masyarakat lokal secara bersama-sama adalah bagaimana mengkemas semua potensi alam dan budaya itu menjadi satu kesatuan dalam jualan paket wisata yang kental dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.
Paket Wisata Budaya dan Alam di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur yang sangat bagus antara lain Kampung Bena Baru, Kampung Tumbit Dayak, Kampung Long Lanuk dengan gua-gua di pegunungan Nyapa, Kampung Merasa, Kampung Merabu, Kampung Long Gie/Long Beliu, Kampung Long Okeng dengan sungai dan air terjunnya yang eksotis, Kampung Babanir Bangun, Kampung Tanjung Batu, Pulau Derawan, Pulau Maratua, Pulau Sangalaki, Pulau Semama, Kampung Bapinang dengan suguhan budaya dan air panas Pamapak, Labuan Cermin, Teluk Sulaiman, Teluk Sumbang, dan Pulau Kaniungan, ditambah lagi dengan Kampung yang paling ujung Long Suluy, Long Okeng, dan Punan Mahkam dengan budaya mengenai dan mencari emas tradisional.
Kenali negerimu, Ayo tamasya di Kabupaten Berau dengan menelusuri semua kampung, sungai, laut, pulau, gunung, gua, jeram, air terjun dan masih banyak lagi yang lain. Aku mengenali Berau dengan sejuta pesona yang sangat menakjubkan. 

BERAU SEJUTA PESONA, BERAU ADALAH INDONESIA SEBENARNYA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar