Senin, 26 Desember 2016

LEGENDA BONG SOK YANG LAW


SAPRUDIN  ITHUR

 

PUSAKA SELTUK

 

 

SUMPAH

BONG SOK YANG LAW

 

 

 

 

 

I. KUNG KEMUL

Ribuan tahun yang lalu orang Dayak masih tinggal di pohon-pohon besar. Orang-orang Dayak Punan masih tinggal dipohon Durian. Mereka hidup dipohon durian dengan tenang dan damai, semua makan dan minum tersedia. Mereka tidak pernah kerja keras dan banting tulang. Kemudian hari, setelah pohon durian tempat tinggal mereka dikuasai oleh suku lain, mereka harus turun. Untuk mendapat makan harus bekerja keras menanam padi dan umbi-umbian, mau makan daging harus berburu, mau makan ikan harus menyelam disungai. Orang Dayak Ga’ai tinggal dipaling hulu sungai, disana mereka hidup dengan aman dan damai, semua tersedia, tanahnya subur. Binatang banyak berkeliaran, apabila ingin makan daging tinggal menangkap saja. Begitu pula dengan orang-orang Dayak Lebo dan Dayak Basaf, mereka hidup tentram dan damai, mereka tinggal digua-gua batu yang indah, sejuk, dan nyaman. Air tersedia dengan melimpah, untuk minum mereka tinggal mengambil dari tetesan air yang keluar dari batu dalam gua. Kebahagiaan mereka dituliskan di dinding-dinding gua berupa gambar-gambar berbentuk telapak tangan dan beberapa sejenis binatang pada 4000 sampai 10.000 tahun yang lalu.

Kebahagiaan dan kedamaian mereka tersebut tiba-tiba berubah. Hujan datang dengan deras tanpa henti, sehari, dua hari, seminggu, sebulan masih saja turun hujan. Sadar akan bahaya, mereka harus pergi meningalkan tempat tinggal mereka yang sudah ratusan tahun itu. Mereka harus pergi secepatnya untuk mencari tempat yang tinggi dan aman. Banjir besar dating melanda, sebagian besar mereka tenggelam ditelan air bah yang sangat dalam. Ketika banjir besar itu terjadi, sungai tidak terlihat lagi, pohon-pohon besar dan tinggi tenggelam, gunung, gua, pohon durian semua tenggelam. Air dalam membanjiri seluruh daratan, daratan menjadi lautan yang sangat luas. Tidak ada lagi daratan, tidak ada lagi pohon yang terlihat, gunung-gunung hamper semua tenggelam, tidak ada lagi tempat yang aman bagi manusia, binantang. Monyet dan orang utan berenang melawan arus, semua berusaha menyelamatkan diri mencari tempat. Saat ini tingggal satu gunung yang sangat tinggi, kesanalah mereka berusaha menyelamatkan diri, babi, rusa, kijang, banteng, badak, landak, ular monyet, orang utan, dan semua binatang berusaha keras menyelamatkan diri berenang menuju kegunung yang paling tinggi. Manusia juga sama, sebagian ada yang sudah seminggu yang lalu naik kepuncak gunung yang paling tinggi. Sebagian lagi berenang menuju kegunung itu. Yang lainnya musnah tidak dapat menyelamatkan diri. Gunung yang sangat tinggi itu namanya Kung Kemul, gunung Kung Kemul.

Dari Gunung Kung Kemul itulah orang Dayak menyebar. Awalnya mereka sangat ketakutan untuk keluar mencari kehidupan baru dengan kejadian luar biasa beberapa waktu lalu, banjir besar yang menenggelamkan semua daratan, yang tertinggal hanya puncak gunung Kung Kemul dimana saat ini tempat manusia dan makhluk lainnya tinggal dan hidup. Yang lain sudah habis, entah dimana mayatnya, tidak juga dikatahui. Dari sana mereka sedikit-sedikit memberanikan diri keluar mencari kehidupan baru. Mencari tumbuhan yang bisa dimakan, mencari buah yang bisa dimakan, mencari pohon sagu untuk diolah, mencari anak sungai untuk menangkap ikan, mencari apa saja yang bisa menjadi kahidupan. Akhirnya mereka mulai menemukan tempat-tempat baru yang bagus dijadikan tempat tinggal dan pemukiman. Rombongan pertama keluar, rombongan kedua keluar, rombongan ketiga keluar, dan rombongan selanjutnya juga keluar. Akhirnya orang yang berada digunung Kung Kemul habis keluar mencari tempat yang bagus, bagus untuk menanam padi, bagus dengan banyak pohon sagu, bagus dengan banyak binatang berkeliaran, bagus dengan sungainya bersih dan banyak ikannya.

Mereka tersebar disepanjang sungai Kelay, disepanjang sungai Segah, disepanjang sungai Wahau, disepanjang sungau Bulungan. Terdiri dari suku Dayak Ga’ai, suku Dayak Punan, suku Dayak Lebo, dan suku Dayak Basap. Orang Dayak disungai Kelay tersebar dari hulu sampai Kampung Inaran (Dayak Lebo) dihilir, disungai Segah tersebar dari hulu sampai Kampung Punan Melinau dihilir, sedangkan suku Dayak Basap tersebar sampai di sungai Birang, di sungai Lati, di sungai Suaran, dan  disepanjang pantai, dari sungai Tabalar sampai di Teluk Sumbang. Sebaran tersebut semuanya berasal dari gunung Kung Kemul, gunung yang paling tinggi menurut sejarah orang Dayak Ga’ai yang tersebar di sungai Kelay kampung Lesan Dayak, kampung Long Lanuk, kampung Tumbit Dayak. Di sungai Segah tersebar di kampung Long La’ai, kampung Long Ayap, kampung Long Ayan, dan kampung Punan Melinau.

 

II. SUMA’  MENURUT TRADISI DAYAK GA’AI

Pertama sekali yang terlihat dibantaran sungai adalah airnya masih seperti dulu, deras turun kehilir. Pada musim hujan airnya keruh seperti susu dan sangat deras. Ketika hujannya sangat deras dan lama, air sungainya bukan hanya sekedar melimpah, tetapi meluap dan meluber kemana-mana. Banjir secara tiba-tiba datang. Saat banjir datang seperti itu dimulai dengan suara gemuruh yang terdengar dari kejauhan. Begitu melintasi bantaran sungai, air dalam waktu sekejap langsung tinggi meluap dan meluber dikiri kanan sungai yang berkelok-kelok seperti tubuh ular naga. Saat bersamaan banyak pohon besar dan kercil yang tumbuh disepanjang sungai tercerabut dibawa oleh derasnya air yang melimpah ruah tersebut. Bagi masyarakat pedalaman yang telah lama bermukim dibantaran sungai, hal tersebut tidak mengherankan, sudah biasa. Setiap tahun ada dua atau tiga kali didatangi banjir besar, makanya mereka membuat rumah panggung selalu tinggi agar tidak tergenang banjir. Sungai Kelai tidak luput dari kejadian tahunan tersebut, banjir datang secara tiba-tiba. Banjir itu disebut penduduk sebagai banjir tahunan.

Sungai Kelai yang panjangnya lebih dari 254 Km meliuk-liuk, menukik dan berbelok-belok sampai menembus kewilayah perbatasan, ujungnya hampir bertemu dengan sungai Sangkulirang dan hampir bertemu dengan ujung sungai  Segah di hulu sana. Mempunyai puluhan anak sungai diantarannya  sungai Inaran, sungai Long Gie, sungai Lesan, dan banyak sungai kecil lainnya. Sungai yang panjang itu seolah ekor naga raksasa yang memukul dan mengibas membelah hutan, rawa, dan belukar ditengah padang nan luas. Sungai Kelai yang airnya kadang bening dan kadang keruh itu tumpah dan masuk kesungai Berau yang dulu dikenal dengan Kuran, dan kemudian bersama dengan air sungai Segah tumpah kelaut bebas melalui muara Lungsuran Naga, Muara Pegat, dan Muara Kasai. Kepala naganya adalah muara sungai Berau mengangnga menghadap lautan, badan adalah sungai Berau atau sungai Kuran, sedangkan ekornya bercabang dua yaitu sungai Kelay dan sungai Segah.

Kiri kanan sungai Kelai hutannya lestari, menghijau, memenuhi pinggiran sungai, sampai ranting dan daun-daun jatuh dan melantai kesungai. Biawak, berang-berang, ular taddung, dan ular sawa (piton), banyak berkeliaran hilir mudik dan memotong sungai, menyeberangi. Lain lagi dengan buayanya. Buaya kecil besar sering terlihat ditengah sungai, bahkan dimana ada tempat-tempat bersih dan terang, pantai pasir, pantai koral disana buaya-buaya itu mendarat dan berjemur dengan mulutnya mengngangnga menyerap hawa panas matahari. Diranting ranting kayu hinggap bermacam-macam jenis unggas, ada burung hijau pemakan ikan, ada burung tampurukan, dan burung kalibarau yang suka mandi disungai setiap pagi dan sore dengan kicaunya yang menawan. Dipohon-pohon besar ada burung tiung, burung rangkai, burung enggang, burung elang, burung gagak, bekantan, uat-uat, bangkui, bekantan, orang utan, dan lain lain. Sedang didaratnya ada babi, kijang, payau (rusa), pelanduk (kancil), beruang, badak, rimaung daan (macan dahan), landak, musang, binatang pemalu, puluhan jenis monyet, ratusan jenis semut, puluhan jenis kupu-kupu. Dipohon bangris yang tinggi menjulang, dimana pucuknya seakan mencengkram awan, dicabang-cabangnya bergelantungan sarang lebah madu yang sangat manis dan istimewa.

Jalan satu-satunya pada masa lampau dari Muara Berau sampai Tanjung Raddab dan terus kehulu Kelay dan hulu Segah hanya melalui jalur sungai, transportasi sungai, dengan menggunakan perahu yang didayung  atau didorong dengan tanggar (kayu panjang). Untuk sampai ke pedalaman ditempuh selama tujuh hari tujuh malam, kalau air sungai Kelai lagi banjir sampai sepuluh malam baru sampai di Kampung paling hulu sungai sana, sedangkan turun atau lusung dari pedalaman menuju muara sungai ditempuh selama tiga hari tiga malam, lebih cepat karena mengikuti arus air sungai yang turun kehilir dengan cepat.

Sungai Kelai nan indah dan permai diapit oleh hutan yang lebat dan tebing-tebing batu terjal sampai saat ini masih menjadi saksi abadi bagi orang-orang yang hilir mudik melintasi sungai selama ratusan tahun.

Suma’ artinya pemberian sesuatu yang berbentuk barang sebagai tanda jadi dan sebagai penebus diri wanita (calon mempelai wanita), dari pihak laki-laki (calon mempelai laki-laki). Pemberian tersebut diterima oleh orang tua wanita atau perwakilannya disaksikan orang banyak dan disimpan sebaik mungkin. Suma’ diberikan kepada pihak wanita apabila sudah ada kesepakatan dalam majelis musyawarah mupakkat kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak laki-laki. Dalam arti lamaran atau keinginan dari pihak laki-laki sebagai calon mempelai sudah diterima oleh pihak perempuan. Suma’ berbentuk gong, tabbak (talam), atau tempayan (guci). Upacara penyerahan suma’ biasanya diadakan acara tersendiri dan dihadiri sanak dan keluarga, kerabat kedua belah pihak mempelai dengan tujuan semua yang hadir mengetahui bahwa putrinya si Pulan sudah dilamar oleh seorang pemuda dengan diikat dengan suma’ yang diantarkan itu. Tidak lama lagi peresmian pernikahan akan segera dilaksanakan dan syah menjadi suami istri.

Suma’ dalam ceritera Ding Bong sangat berbeda dengan yang sudah diceriterakan diatas. Suma’ adalah persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki Dayak Ga’ai yang ingin menyunting gadis pujaannya. Suma’ tersebut adalah barang langka, sulit dicari, dan terbatas adanya. Barang tersebut dimiliki hanya orang-orang tertentu, orang terpandang, berkedudukan, derajat raja, atau orang yang sangat kaya dan mempunyai sahabat banyak diluar sana. Harganya sangat mahal bagi ukuran kemampuan orang Dayak yang tinggal dipedalaman dibantaran sungai Kelay.

Barang seperti Gong dan Tempayan yang sudah tua, umurnya sudah ratusan tahun dikeramatkan oleh orang Dayak. Mengapa dikeramat atau dianggap barang Pusaka ? karena barang tersebut pasti memiliki cerita dan sejarah dalam perjalanannya. Ada barang hadiah dari Raja Berau, ada yang didapat dari alam gaib, ada yang sudah dipergunakan dalam upacara-upacara adat, ada yang memang disimpan secara turun temurun, ada hasil rampasan perang, ada yang dari hadiah persahabatan, ada pula yang didapat hadiah dari kelompok yang mengakui kelompoknya yang lebih tua, lebih berani. Ada yang sudah dijadikan suma’ turun temurun dari kakek ke ayah, dari ayah keanak, dari anak kecucu dan seterusnya. Oleh karena itu gong dan tempayan tua sangat dihormati, dan tidak boleh disembarangkan, keduanya itu pusaka orang Dayak.

Seltuk dalam bahasa Dayak Ga’ai artinya Pusaka, barang pusaka, barang tua yang sangat dihormati. Oleh karena itu Seltuk ditempatkan ditempat yang baik, tidak boleh disembarangkan. Kalau ada lemari dimasukkan dalam lemari, kalau ada peti dimasukkan dalam peti agar aman dan tidak diganggu. Seltuk atau benda pusaka Dayak Ga’ai berupa Gong dan Tempayan. Pada acara-acara tertentu sepeti upacara adat, Seltuk baru dikeluarkan. Kalau Tempayan, maka dijadikan tempat air suci yang diminum oleh orang-orang terhormat dan airnya untuk disiramkan dikepala dan dikaki semua yang hadir dalam upacara adat saat hendak selesai. Kalau Gong, maka dibunyikan sebagai pertanda acara sudah dimulai dan sebagai tanda upacara sudah ditutup.

 

III. KECANTIKAN SAM BUM PING HONG

Raja-raja diseluruh Nusantara biasanya pasti seorang laki-laki yang terpilih lalu diangkat menjadi raja. Berbeda dengan kerajaan Dayak Ga’ai yang ada dan tinggal di bantaran sungai Kelay dan sungai Segah, yang menjadi Raja bukan seorang laki-laki yang gagah perkasa, sakti atau tampan, tapi yang menjadi rajanya adalah seorang Perempuan, seorang wanita. Mengapa dipilih perempuan, tidak banyak diketahui sejarahnya, karena sampai saat ini belum ada catatan yang menceritakan mengapa raja suku Dayak Ga’ai itu perempuan. Walaupun perempuan tidak pula disebut Ratu, tetap disebutnya Raja. Ada beberapa penuturan mengapa raja Dayak Ga’ai itu perempuan : Pertama,  Pada zaman dahulu kaum pria selalu bepergian melanglang buana ditengah hutan belantara, karena kehidupan dan mata pencaharian mereka ada didalam hutan. Waktu remaja saja seorang pria baru boleh diakui sebagai seorang laki-laki dewasa setelah pergi jauh mencari kepala manusia yang dikenal dengan mengayau ditengah hutan. Begitu kepala didapat baru dilakukan upacara adat  di Tiung (batiung). Ditiung adalah upacara adat tato, setelah ditato baru diakui sebagai pria dewasa dan boleh mencari pasangan hidup. Untuk mencari kepala atau mengayau itu bisa saja berbulan-bulan lamanya, karena tidak mudah, harus membunuh dan memotong kepala manusia. Resikonya pasti dibunuh atau lebih dahulu membunuh; kedua,  kaum pria selalu pergi mencari nafkah masuk kedalam hutan berhari-hari bahkan berbulan-bulan seperti mencari damar, getah kalapiyai, lilin madu, gaharu dan lain-lain, jarang ada dirumah; ketiga, apabila wilayah pemukiman mereka sudah tidak layak lagi, atau buah-buahan dan binatang sudah kurang, ada musuh yang sudah mengetahui pemukiman mereka, harus segera pindah. Mencari daerah baru tersebut adalah pekerjaan kaum pria, mereka pergi berbulan-bulan untuk mencari daerah baru yang layak dijadikan tempat pemukiman baru yang subur, banyak buah-buahan, banyak binatang dan aman; keempat, pemegang barang-barang pusaka seperti gong, tempayan, keramik, talam, kuningan, dan yang menentukan suma’ adalah kaum perempuan, oleh karena itu yang menjadi Raja Dayak Ga’ai perempuan.  

Lai Ba’ Long seorang pemuda lajang yang tidak memiliki kedudukan tinggi dikalangan orang Dayak Ga’ai, jatuh cinta dengan seorang gadis cantik bagaikan bidadari, putri dari penguasa Dayak Ga’ai sungai Kelay. Gadis cantik jelita itu namanya Sam Bum Ping Hong. Gadis cantik itu diperumpamakan sebagai bidadari yang turun dari langit, turun dari kayangan. Tutur katanya baik dan santun, murah senyum, senyumnya manis, berlesung pipi, bibirnya bak semut beriring, hidungnya mungil, kulitnya putih halus, rambutnya panjang terurai bak mayang mangurai dan selalu terurus dengan baik bak mayang berjuntai, telinganya panjang menjuntai dihiasi perak dan permata, lehernya bagus sakacak mayang. Kalau ia berjalan pinggulnya bergerak lentur berirama seolah mengikuti irama musik sampe yang dimainkan ditengah malam bulan purnama. Siapapun yang melihat Sam Bum Ping Hong matanya tidak dapat berkedip, mulutnya terbuka lebar, kemudian berdecak kagum dan selalu memuji akan kecantikannya. Ratusan pemuda yang memasang aksi, untuk meruntuhkan hati Sam Bum Ping Hong. Itulah sebabnya Lai Ba’Long pemuda lajang yang tiggal jauh dari kampung Sam Bum Ping Hong  jatuh cinta berat kepadanya. Walaupun dia pemuda biasa, tetapi ia patut mencintai yang ia suka, dan patut dicintai oleh gadis secantik Sam Bum Ping Hong pujaannya.

Lai Ba’ Long tidak kalah dengan pemuda lain sekampungnya, tidak kalah dengan pemuda lain dikampung gadis pujaannya. Lai Ba’ Long berpenampilan bagus, badannya tinggi semampai, perawakannya besar, raut wajahnya ganteng, rambutnya pirang bercampur hitam. Kalau ia melintasi gerombolan para gadis yang lagi bersendau gurau, gurauan mereka langsung terhenti, mata mereka semua tertuju pada Lai Ba’ Long yang sedang berjalan. Sangking gantengnya, wajah Lai Ba’ Long mendekati wajah rupa wanita, cantik. Bibirnya tipis bak permata berlian, alisnya tertata bak semut beriring, dagunya  panjang bak lebah bergantung, telinganya berukir bak daun keladi dihembus angin, tubuh kuat dan kekar bak pohon bangris, oohhh semuanya bak…bak….bak….alam menari ceria. Pandai bergaul pula, sopan tutur katanya, hormat kepada yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda. Senyumnya simple. Lai Ba’ Long adalah seorang pemuda yang lengkap dan sempurna. Yach benar-benar sempurna. Lelaki yang sangat sempurna.

Pantas saja gadis secantik Sam Bum Ping Hong menaruh hati yang paling dalam kepadanya, jatuh cinta kepadanya, selalu ingin dekat dengannya. Seandainya sudah boleh, sang pujaan tidak boleh lagi kemana-mana, kecuali selalu dekat dengannya. Sejak beberapa bulan terakhir keduanya telah gayung bersambut, sudah mengikat janji dengan tali rotan kuat-kuat dikedua tangan mereka, sudah mengikat tali cinta yang suci dipikirannya, sudah mengikat hati satu sama lainnya. Mereka sudah sering bertemu disudut kebun dekat sungai, di air terjun yang embunnya membasahi dan dingin, Pendek kata keduanya sudah sering bertemu dan saling jatuh cinta.

Orang tua Sam Bum Ping Hong yang dikenal dengan nama bu Ping Hong adalah raja Kelay, juga setuju dengan pemuda tampan Lai Ba’ Long. Ketika Lai Ba’ Long mengutarakan isi hatinya kepada bu Ping Hong, bu Ping Hong terkesan dan siap menyandingkan putrinya dengan Lai Ba’ Long. Syaratnya satu yang harus dipenuhi yaitu Lai Ba’ Long harus memberi Suma’ berupa Seltuk atau benda pusaka berupa Tempayan. Tanpa ragu dan aling-aling lagi Lai Ba’ Long dihadapan gadis pujaannya menyatakan siap dan sanggup memberikan Seltuk kepada ibu mertua sebagai syarat pengganti tubuh wanita gadis pujaannya Sam Bum Ping Hong untuk menjadi istrinya. Sam Bum Ping Hong sangat senang mendengar pemuda pujaannya yang gagah dan rupawan itu bisa menyiapkan dan mempersembahkan Seltuk berupa Tempayan. Gadis cantik itu yakin, dirumah Lai Ba’ Long sudah tersedia Seltuk yang dimaksudkan, tinggal menunggu waktu untuk diantarkan kerumahnya sebagai barang berharga dan terhormat pengganti dirinya.

Kerinduan sang kekasih semakin dalam, setelah pertemuan terakhir dirumah bu Ping Hong. Sekaligus berjanji untuk segera mengambil Sam Bum Ping Hong dengan menghantarkan Seltuk sebagai pengganti kekasih pujaan hatinya. Sejak itu Lai Ba’ Long tidak datang menemui Sam Bum Ping Hong. Wanita cantik itu dapat mengerti, sang kekasih saat ini sedang berjuang mencari rejeki untuk persiapan acara persandingan mereka nanti. Aku paham apapun yang kau lakukan adalah kebaikan, apa saja yang kau kerjakan adalah kemuliaan. Prasangka baik dihatiku tulus kuberikan sebagai doa dalam keseharianmu, kata-kataku memuji akan alam yang maha luas untuk rumah kita. Aku lihat bunga dadap berwarna merah menutupi semua daunnya, hijau daun dadap itu hilang tinggal bunga warna merah tampak seluruhnya. Aku memuji keindahan alam yang sudah ada sejak aku masih kecil dan mulai mengenal alam disekitarku. Pohon besar diseberang sungai itu masih disana, dulu masih sebesar tubuhku, tingginya masih satu tangga. Sekarang sudah sebesar itu, tingginya sampai mendekati awan. Seandainya aku berada dipucuk pohon itu pasti aku bisa bermain dengan awan yang melintasiku dengan nakal. Oooccchhhhh….Lai Ba’ Long…aku nyanyikan tembang Jiek untukmu, aku nyanyikan lagu alam dengan mengenai juga untukmu, untuk penguat dan keteguhan perjuanganmu.

 

IV. MEREBUT PUSAKA

Lai Ba’ Long sejak berpisah dengan kekasihnya Sam Bum Ping Hong beberapa waktu lalu harus berpikir keras, harus berupaya keras bagaimana caranya untuk mendapatkan Seltuk. Lai Ba’Long pergi kehutan belantara, disana tidak ada Seltuk, tapi upaya keras untuk berusaha mendapatkan Seltuk mulai dilakukan. Pergi ke air terjun dianak sungai Kelay berpikir mencari cara untuk mendapatkan Seltuk. Duduk ditepi sungai sembari menatapi anak-anak ikan yang berenang kesana kemari, juga sama memikirkan bagaimana untuk mendapatkan Seltuk untuk dipersembahkan kepada ibu kekasihnya, dan kekasihnya menjadi pendamping hidup selamanya.

Sam Bum Pin Hong kekasihnya menyangka Lai Ba’Long atau orang tua Lai Ba’ Long sudah memiliki Seltuk untuk dijadikan pengganti dirinya, oleh karena itu Sam Bum Ping Hong melepas kekasih dengan senyum dan keyakinan yang dalam, ternyata semua itu diluar nalar dan pikirannya. Lai Ba’ Long tidak memiliki Seltuk, orang tuanya miskin tidak mampu membeli Seltuk, keluarganya juga tidak memiliki Seltuk seperti yang diminta oleh keluarga Sam Bum Ping Hong. Seltuk sangat sulit untuk didapatkan, kalau bukan orang kaya tidak mungkin bisa memiliki Seltuk. Seltuk adalah barang yang sangat mahal, barang mewah, barang terhormat bagi pemiliknya. Yang memiliki Seltuk hanya raja, orang kaya dan orang terpandang. Orang kaya karena mampu membeli, orang terpandang dan raja ada yang dibeli tetapi ada pula hadiah dari sahabat atau persembahan rakyat karena berbuat salah lalu dihukum dengan membayar denda seperti gong, Seltuk atau Tabbak. Tetapi apapun alasannya, bagaimanapun caranya, Lai Ba’ Long harus mendapatkan Seltuk itu untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Sam Bum Ping Hong.

Pagi-pagi sekali, matahari mulai naik. Matahari seperti sulit untuk keluar. Awan putih masih saja menghalangi. Awan putih itu sebagian ada diatas bumi dan menutupi matahari, sebagian lagi putus masuk menancap kedalam bumi. Saat matahari melintasi awan yang menghalang, sedikit nampak terang ketika melintasi awan yang lebih tipis. Kemudian tertutup lagi. Nah indahnya saat matahari terhalang ujung awan putih itu, diatasnya langit nampak terang, diatasnya lagi ada awan putih kehitaman. Apapun alasannya matahari tetap melintas, semburat cahayanya yang membuat pesona keindahan alam ketika matahari terbit. Dimulai dengan membentuk bundaran raksasa, yaitu pelangi melingkari matahari. Matahari terang, tetap meninggalkan aura sinar tajam pelangi dengan sedikit warna. Kemudian matahari masuk ke awan hitam, sinarnya memecah. Waw semua itu sulit untuk diceritakan, keindahan apa yang terlihat, keelokan apa itu, kemolekan yang sulit diceritakan. Kemerahan, kemudian berbias merah dan putih. Putihnya terasa menusuk sampai kadalam mata, lalu muncul lagi semacam pelangi yang tipis…perlahan-lahan hilang….dan matahari terang benderang….. Berbicara keindahan alam semacam itu sulit untuk dikatakan. Sang Pencipta mengatakan, Aku bisa membuat seindah apapun ketika matahari terbit maupun matahari menjelang terbenam, diperuntukkan bagi kalian penyuka alam dan keindahan matahari, tetapi  lebih indah kalau kalian dekat dengan Aku. Aku akan berikan keindahan dihati, dipikiran, dikata-kata, di tatapan mata, dipendengaran, dirasa kalian, lebih dari sekedar keindahan matahari terbit atau terbenam. Pasti lebih indah dari itu, Tuhan-mu selalu dekat dihati, dipikiran kalian. Indahnya dunia ini…..bersama manusia yang selalu indah hati dan pikirannya.

Lai Ba’ Long kalap pikirannya, hatinya dikotori untuk memiliki sesuatu. Cinta yang suci yang ia berikan kepada Sam Bum Ping Hong, cinta suci yang diberikan Sam Bum Ping Hong kepadanya berubah. Lai Ba’Long tidak pernah menyakiti kekasihnya, tidak ingin merusak cintanya yang suci, tidak ingin mengecewakan kekasih hatinya. Ia harus berusaha keras, ia harus mendapatkan Pusaka Seltuk. Keadaan dirinya dan keadaan keluarganya bukan penghalang, aku harus berusaha dengan cara apapun untuk berdampingan dengan pujaan hatinya.

Lai Ba’ Long memanggil Ding Met, pemuda pemberani. Ding Met sebagai Ipar, setia dan siap membantu apa saja yang diinginkan adik istrinya. Apalagi saat ini adik iparnya itu sedang dirundung Cinta dengan seorang gadis cantik suku Dayak Ga’ai.

Dipertemuan keduanya Lai Ba’ Long memelas kepada kakak iparnya “Kakak, aku minta tolong…” kakak iparnya menatap dengan tajam kepada adik iparnya “ ada apa…..kalau bisa aku tolong, ya aku bantu lah” ujar Ding Met dengan santai. Ding Met tahu benar kegelisahan hati dan perasaan adiknya itu, adiknya yang tampan dan lemah lembut tersebut seorang pekerja keras, giat membantu keluarga, orang tua, saudara, termasuk pekerjaan saudara iparnya. Oleh karena itu iparnya tidak akan tinggal diam ketika saudaranya sedang kesulitan, kesusahan, apalagi saat ini sedang dirundung cinta. Dan kakak iparnya tahu persis keadaan keluarga istrinya, seltuk yang dipersyaratkan untuk mendapat wanita pujaannya tidak dimiliki keluarga Lai Ba’ Hong.

Semua keluh kesah, sedih dan duka, perasaan cintanya yang tidak bisa dipisahkan dengan kekasihnya Sam Bum Ping Hong, diceritakan dengan berkaca-kaca kepada kakaknya dan kakak iparnya. Setelah mengdengarkan semua itu...Ujar Ding Met dengan semangat “Baiklah aku akan lakukan apa saja yang terbaik untuk adikku” mendengar kakak iparnya siap membantu, Lai Ba’ Long tersenyum, senang sekali. Bahkan ia sampai memeluk kakak iparnya. Lain halnya dengan kakak perempuannya, istri Ding Met sangat terkejut, begitu tahu rencana adik dan suaminya. Diceritakan suaminya pada malam hari. Istri Ding Met sangat sedih….istri Ding Met sangat khawatir, malam itu istri Ding Met menangis dipangkuan suami yang dicintainya. Suaminya adalah kakak ipar Lai Ba’ Long. Suaminya rela berkorban untuk adiknya, karena cintanya kepada istrinya dan sayangnya kepada adik iparnya. Pengorban itu yang membuat istri Ding Met sangat masgul dan sedih yang mendalam. Suaminya rela berkorban untuk mencari Seltuk untuk adik kesayangan istrinya.

Pagi harinya “istriku doakan kakanda untuk pergi bersama Lai Ba’ Long, untuk mencari Seltuk, semoga tercapai dan adik kita segera menjemput Sam Bum Ping Hong kekasihnya” Istri Ding Met melepas keduanya dengan senyum, walaupun dalam hatinya sangat sedih. Istri Ding Met menganggukkan kepala melepas suami dan adiknya berangkat untuk berjuang mencari Seltuk Pusaka orang Dayak Ga’ai. Kemana mereka mencari Seltuk, istrinya Ding Met tidak tahu. Sepengetahuannya, rasanya tidak ada satu seltuk-pun yang ada dalam hutan. Sepengetahuanku pemilik Seltuk adalah raja, orang kaya, dan orang terpandang” katanya dalam benak pikirannya. Dinegeri kami tidak ada yang bisa dan mampu membuat seltuk yang indah sendiri. Oh semoga mereka berhasil mendapatkan Seltuk, dan adikku segera mendapatkan gadis pujaannya Sam Bum Ping Hong” doanya menguatkan hati yang sedih ditinggalkan adik dan suaminya tercinta.

Satu-satu jalan adalah dengan merampas seltuk milik seorang tokoh wanita di Lesan Dayak, yaitu Seltuk milik Bong Sok Yang Law. Bong Sok Yang Law memiliki seltuk turun temurun, seltuk dari kakek buyutnya yang diturunkan kepadanya. Usia seltuk sudah lebih seratus tahun, seltuk disimpan dengan baik dan aman dirumahnya yang sederhana. Rumah Bong Sok Yang Law sebuah rumah panggung, tongkat atau tiang rumahnya terbuat dari batang kayu ulih sebesar paha orang dewasa, lantainya terbuat dari potongan kayu bundar dan kulit kayu yang tebal, lantainya disusun dengan rapi, diikat kuat dengan tali rotan yang telah diraut atau dihaluskan. Dinding rumahnya terbuat dari kulit kayu pohon meranti dan yang tipis dari kulit pohon tarap, juga diikat dengan rotan yang sudah diraut rapi, atap rumahnya dari daun nipah yang banyak tumbuh dimuara dan daun saung atau daun biru, sejenis daun palm yang tumbuh lebat disekitar hutan tempat mereka tinggal.

Sesampainya di Lesan Dayak, Ding Met memerintahkan adiknya untuk tinggal dan menunggu di kejauhan, bersembunyi dibalik pohon bangkirai yang sangat besar. Diempat itu aman dan terlindung, kecuali aku berteriak minta tolong baru Lai Ba’ Long keluar dan membantunya. Hawatir dipermalukan pemilik seltuk, mengambil atau merampas seltuk karena adiknya mau menikah dengan Sam Bum Ping Hong putri Raja Ga’ai sungai Kelay. Rencana Ding Met akan meminta seltuk miliki Bong Sok Yang Law dengan baik-baik, dengan alasan akan dipakai untuk upacara adat di kampungnya. Tetapi kedatangan Ding Met sangat mencurigakan, tanpa ada kabar berita rencana kampungnya untuk mengadakan upacara adat. Dan sepengetahuan Bong Sok Yang Law dikampungnya ada beberapa buah seltuk, gong dan Tabbak yang bisa dipergunakan untuk upacara adat. Yang berikutnya kedatangan Ding Met secara diam-diam melintasi hutan balantara dibelakang kampung Lesan Dayak dan belum meminta ijin dengan Ping Hong sang Raja. Yang pasti, tidak mungkin Ding Met meminta ijin kepada Raja, raja adalah ibu Sam Bum Ping Hong calon istri adik iparnya Lai Ba’ Long. Seltuk yang diingin, yang saat ini dimintanya tersebut untuk diberikan kepada Ping Hong sang Raja sebagai pengganti diri putrinya Sam Bum Ping Hong.

 

V.  SUMPAH  BONG SOK YANG LAW

Kecurigaan Bong Sok Yang Law dengan kedatangan Ding Met secara sembunyi-sembunyi ternyata memang benar. Niat Ding Met pasti ingin merampas Pusaka Seltuk atau Tempayan yang sudah berusia ratusan tahun. Wajah Ding Met yang ingin menguasai pusaka nampak kelihatan. Wajahnya terlihat tidak tenang, kemerahan, kasar, dan tidak bersahabat. Bong Sok Yang Law harus berani mengatakan tidak walaupun resikonya sangat berat dan berbahaya. Posisinya sendirian dalam rumah panggung yang besar dan luas. Didalam rumah itu ada sebuah peti tempat menyimpan barang pusaka termasuk seltuk didalamnya, di sudut lain ada sebuah lingkaran cukup besar dengan garis tengah tidak kurang dua meter dan nampak berat dengan isi didalamnya, semacam lumbung tempat menyimpan padi, ya tempat menyimpan padi hasil panen tahun lalu, bahasa Banjar namanya kindai, bahasa Dayak Ga’ai namanya Wung.  Disudut lain, didinding rumah tergantung sumpit dan beberapa peralatan perang, seperti telabang dan Mandau tua. Mandau tua itu terbuat dari besi tua dan bertuah, gagangnya terbuat dari tanduk rusa yang berukir gaya Dayak Ga’ai, perekat untuk menyatukan besi dan gagang digunakan malau. Malau digunakan dengan cara dipanaskan. Sedangkan warangkanya atau sarung mandau terbuat dari kayu pilihan yang diukir dengan motif binatang, jin, dan dewa-dewa.

Bong Sok Yang Law dengan berat hati harus mengatakan tidak bisa memberikan pusaka kepada Ding Met. “mohon maaf saudaraku, dengan berat hati permintaanmu belum bisa aku penuhi”. Mendengar jawaban Bong Sok Yang Law yang menolak permintaannya membuat hatinya sakit, perih, mendidih, mukanya menjadi merah, matanya melotot. Ding Met langsung marah. Bong Sok Yang Law sangat kaget mendengar perkataan Ding Met yang keras, kasar, dan mengancam. Dilain tempat Putra Bong Sok Yang Law mendengar pertengkaran ibu dengan seseorang, khawatir ibunya kenapa-napa, langsung berlari menuju rumah, dengan tidak menginjak anak tangga, langsung melompat kedalam rumah. Didalam dengan Mandau terhunus dan posisi sangat siap, Ding Met membalik tubuhnya langsung menebas tubuh Ding Bong yang baru masuk. Ding Bong sangat terkejut, tidak mengerti akar permasalahan langsung diserang dengan madau terhunus. Hampir saja tubuhnya putus oleh serangan Ding Met yang sangat tiba-tiba itu. Ding Bong dengan cepat dan terampil menghindarai serangan Ding Met yang membabi buta. “Hentikan Ding Met” teriak Bong Sok Yang Law. Ding Met tidak mendengarkan kata-kata dan teriakan Bong Sok Yang Law. Sudah terlanjur kepalang basah, apa boleh buat aku habisi saja si Din Bong putra Bong Sok Yang Law ini, kemudian aku paksa dan aku rampas Seltuk....lalu segera pergi meninggalkan rumah laknat ini...selesai. Tetapi ternyata tidak mudah, Ding Bong sangat pandai berkelit, menghindari tebasan Mandau Ding Met. Dalam waktu kesempatan tertentu Ding Bong-pun mencabut senjatanya, dan sudah menghunus Mandau yang ia cabut dari sarungnya. Mandau tersebut terikat dengan kuat dipinggangnya. Maka terjadi tarung satu lawan satu antara Ding Met dan Ding Bong. Keduanya saling sabet dengan Mandau tajam yang terhunus, sedikit saja lengah berarti nyawa taruhannya. Beberapa sabetan, puluhan sabetan tidak mengenai kulit keduanya, pertarungan itu benar-benar gila. Ding Met sang penyerang tentu ingin menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat, lalu segera mengambil Pusaka Seltuk dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Agar kegaduhan, sekaligus perampokan itu tidak tercium oleh masyarakat luas. Keuntungan berikutnya rumah Bong Sok Yang Law jauh terpisah dari rumah yang lainnya. Tetapi teriakan keduanya yang sedang bertarung semakin keras, kemungkinan saja bisa diketahui oleh orang banyak. Keputusannya segera habisi nyawa Ding Bong. Siaaaattt….hup…..iiiiiaaaattt….Ding Bong mulai terdesak. Saat ini pertarungan sudah tidak didalam rumah lagi…upaya Ding Bong untuk memancing Ding Met keluar berhasil. Tetapi diluar Ding Met lebih ganas untuk segera menyelesaikan pertarungan. Ding Bong terus terdesak…dan akhirnya pasrah menerima sabetan Mandau yang sangat tajam yang sudah dipersiapkan dengan baik oleh Ding Met. Akhirnya Ding Bong terkulai tak berdaya, Ding Bong kalah dalam pertarungan satu lawan satu. Ding Met langsung masuk rumah, disebagian tubuhnya terdapat percikan darah. Langsung masuk, didalam Bong Sok Yang Law sudah menghunus Mandau pula, bersiap bertarung satu lawan satu dengan tamu tak diundang. Bang Sok Yang Law mempertahankan pusaka Seltuk dan beberapa pusaka lainnya. Tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu lama, Bong Sok Yang Law sudah terdesak kesudut rumah dekat dengan peti penyimpanan barang pusaka, tidak bisa berbuat banyak.

“Bu Ding Bong aku tidak ingin membunuhmu, karena kau seorang wanita….berikan segera pusaka Seltuk itu kepadaku…aku hanya butuh pusaka Seltuk….yang lainnya tidak….cepat !!!” perintah Ding Met kepada Bong Sok Yang Law. Dengan berani dan lantang Bong Sok Yang Law mengatakan “tidak…tidak bisa...tidak satupun pusaka milikku dan milik kerajaan Dayak Ga’ai boleh diambil oleh siapapun…termasuk kau Ding Met….kau sekarang sudah berubah menjadi perompak…lebih baik aku mati bersama pusaka ini dari pada menyerahkan begitu saja dengan orang jahat seperti kau”. Saat yang sangat menegangkan tersebut Bong Sok Yang Law mengeluarkan Pusaka Seltuk berupa tempayan tua yang sangat dihormati oleh masyarakat suku Dayak Ga’ai. Mendengar penghinaan, Ding Met marah besar, marah yang tak tertahankan, Ding Met menghunuskan Mandau mendekati Bong Sok Yang Law seorang wanita yang tidak berdaya lagi untuk melawan. Ding Met sudah lupa nasihat orang tua-tua, wanita dikalangan suku Dayak Ga’ai sangat dihormati, penghormatan tersebut mereka angkat derajat kaum perempuan dengan dijadikan raja. Kaum perempuan adalah wanita yang tangguh rela mati untuk mempertahan suatu keyakinan. Rela mati untuk mempertahankan kehormatannya, rela mati untuk menghidupi putra-putinya, dan rela mati untuk mempertahankan pusaka keluarga dan kerajaan.

Yang sangat mengejutkan pada saat itu dihadapan Ding Met yang sudah marahnya tak terbendung lagi, Bong Sok Yang Law tiba-tiba memukul tahat atau tapehnya, sejenis sarung penutup tubuhnya, tanda bersumpah kepada langit dan bumi. Bong Sok Yang Law telanjang bulat, lalu duduk diatas Seltuk dan mengangkat sumpah. “Aku bersumpah…..Seltuk Pusaka Ini Menjadi Batu” saat itu juga leher ibu yang sudah telanjang menyerahkan dirinya kepada alam semesta, kepada bumi dan langit, dipenggal oleh Ding Met. Tubuhnya menggelepar setelah terlepas kepala. Dengan sadis didorongnya tubuh Bong Sok Yang Law dengan kaki. Tubuh yang telah tak bernyawa itu rebah disamping Pusaka Seltuk. Begitu Pusaka ingin dibawa pergi, betapa terkejutnya Ding Met, Pusaka itu telah menjadi Batu. Dengan sangat kecewa Ding Met berteriak sekeras-kerasnya kepada langit, kepada bumi, kepada alam semesta. Ia kecewa sekali perjuangan yang berat, dengan berdarah-darah, untuk mendapatkan Pusaka Seltuk gagal. Sayangnya kepada adik iparnya yang berlebihan itu membuatnya harus membunuh dua nyawa, keduanya bukan musuh perang, keduanya adalah suku Dayak Ga’ai sama seperti dirinya dan adik iparnya. Lalu Deng Met meninggalkan rumah Ding Bong, rumah Bong Sok Yang Law menemui adik iparnya. Lai Ba’ Long menangis dihadapan kakak iparnya, menyesali semua kejadian tadi. Kakak iparnya juga menangis karena gagal memberi yang terbaik untuk adik kesayangan istrinya. Keduanya sangat kalut, khawatir diketahui orang perbuatan jahat mereka. Mereka pergi menempuh perjalanan yang sangat jauh melintasi hutan, gunung, sungai, dan danau. Ditengah perjalanan mereka berdua ditemukan kelompok pengayau, pencari kepala. Ding Met dan Lai Ba’ Long berperang habis-habisan melawan para pengayau, para pencari kepala. Lawannya banyak, lawannya kuat, lawannya menggunakan strategi peneyarang dan mempertahankan diri, akhirnya Ding Met dan Lai Ba’ Long kelelahan dan kalah dan pertarungai yang tidak seimbang. Kedua kepala yang sangat berdosa itu dipenggal ditengah hutan belantara Borneo yang maha luas tanpa ujung dan awal. 

Sejak kejadian itu rakyat Dayak Ga’ai tidak mempunyai raja lagi. Dayak Ga’ai sungai Kelay sudah bersumpah, siapa saja yang duduk di Tempayan Tua yang dulu dikenal dengan nama Pusaka Seltuk tidak selamat. Akhirnya Dayak Ga’ai sungai Kelay tidak berani memelihara Tempayan yang sudah menjadi Batu. Apabila ada orang diluar suku Dayak Ga’ai yang menjadi raja, maka Tempayan Batu sebagai simbol raja diserahkan kepada yang menjadi raja. Karena orang lain diluar suku Dayak Ga’ai tidak tahu sejarah terjadinya Tempayan Batu atau pusaka seltuk sampai menjadi batu. Sumpah itu turun temurun disampaikan kepada anak cucu sampai dengan sekarang. Makanya kami tidak boleh lagi menjadi raja. Kalau keturunan bangsawan, rarja-raja dulu sampai sekarang masih ada. Keturunan raja tersebut masih kami hormati ujar ketua adat kampong Long Lanuk.

 

 

Lampiran I nama-nama sungai dimulai dari Tumbit Dayak

  1. Long Demit
  2. Long Lanuk
  3. Long Danum
  4. Long Kelling
  5. Long Jam
  6. Long Nyang
  7. Long Jau
  8. Long Nyangnyo
  9. Long Keluh
  10. Long Keluh Kayang
  11. Long Belekai
  12. Menangan Lesan
  13. Long Pesan
  14. Long Petang kecil
  15. Long Petang besar
  16. Long Gie
  17. Long Gahyang
  18. Long Nalai
  19. Long Loang Blui
  20. Long Kil
  21. Long Boy
  22. Long Nuang
  23. Long Ke
  24. Long Duhung
  25. Long Kesak
  26. Long Keluh
  27. Long Peyan
  28. Long Lamcin
  29. Long Pelai
  30. Long Salju
  31. Long Ngui Kian
  32. Long Lau
  33. Long Lukkian
  34. Long Loas
  35. Long Sului
  36. Long Banua’
  37. Long Tuwau
  38. Long Kihim
  39. Long Gut
  40. Long Abat
  41. Long Samling
  42. Long blu
  43. Long Jelengan
    44. Long Besselai