SEJARAH SINGKAT PAHLAWAN BAJAU SABA'ANI
Oleh : Saprudin Ithur
Saba'Ani, Garabia, Makangug, Karut dan Salda. Mereka berlima adalah satu keluarga yang berjuang
mempertaruhkan jiwa dan raganya. Mereka datang dari Malaysia karena bermasalah dengan pemerintah
Inggris pada masa pejajahan di Sabah, akhirnya mereka harus rela pergi
meninggalkan Sabah dengan menggunakan perahu menuju ke selatan yang mereka
anggap lebih aman dan damai. Sampailah mereka di Pulau Panjang. Di sana mereka
menetap beberapa tahun menyatu dengan penduduk yang lebih dahulu berada di
sana.
Pada tahun 1880-an Pulau Derawan dan Pulau Panjang sudah
ada penduduk. Usaha penduduk sebagai nelayan dan menanam kelapa. Rumah-rumah
mereka menjorok ke pantai terbuat dari batang nibung yang telah dibelah dan
dihaluskan. Tiang dari pohon nibung, lantai juga dari pohon nibung yang telah
dibelah dan dihaluskan. Sedangkan dinding dan atap terbuat dari daun nipah.
Ukuran rumah mereka kecil-kecil seperti pondok di kebun
dengan ukuran 4 x 4 m dan 4 x 6 m masing-masing memiliki gulang-gulang (semacam
teras tanpa atap) tempat menjemur ikan dan hasil laut lainnya. Suku Bajau pada
saat itu masih lebih banyak hidup di laut dengan perahu (dikenal dengan sebutan
manusia perahu), sedangkan tinggal di darat atau dirumah hanya waktu istirahat
dan menjemur ikan.
Tinggal diperahu sulit mendapatkan air tawar, hanya
menampung air hujan secukupnya, apabila tidak ada hujan manusia perahu itu
harus mencari pulau atau pantai yang ada air tawarnya. Karena di Pulau Panjang
sulit mendapatkan air tawar, maka mereka kemudian pindah dan menetap di Pulau
Derawan yang kaya dengan air tawar. Pulau Panjang dijadikan tempat berkebun dan
mencari ikan. Sekitar Pulau panjang dikenal memiliki banyak ikan dan merupakan
tempat peristirahatan penyu, sekaligus sebagai tempat kawin dan mencari makan.
Pada tahun 1908 keberadaan Saba’ani beserta keluarganya
diketahui oleh Inggris di Sabah. Kemudian berita itu disampaikan kepada
Pemerintah Hindia Belanda di BorneoIndonesia. Setelah menerima berita dari
Sabah, pihak Belanda mengadakan persiapan-persiapan untuk penangkapan dan
kemudian direncanakan dikirim kembali ke Sabah. Hal pertama yang dilakukan Belanda adalah menyelidiki kebenaran dan
keberadaan Sabaani di Pulau Panjang berdasarkan keterangan dan ciri-ciri yang
telah diketahui (jangan sampai salah tangkap). Kedua setelah dikatahui, diadakan persiapan untuk penangkapan.
Ternyata rencana penangkapan Sabaani beserta keluarga telah tercium. Merekapun
pindah ke Pulau Derawan. Masa itu belum ada perahu bermesin. Perahu mereka
digerakkan menggunakan tenaga dayung dan layar. Jadi hubungan antara satu pulau
dengan pulau lainnya masih sangat sulit. Pada bulan Januari 1909, musim angin
selatan bertiup kencang, ombak besar menggulung dan menghantam pantai Pulau
Panjang dan Pulau Derawan, saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan.
Biasanya pada saat angin kencang dan ombak besar nelayan tidak melaut.
Sebuah kapal milik Belanda langsung menuju Pulau
Panjang. Rombongan bersenjata tidak kurang dari 12 orang langsung turun ke
Pulau Panjang. Tanpa perlawanan pasukan Belanda menyisir rumah-rumah dan pantai
sekitar Pulau Panjang, tetapi Saba’ani tidak ditemukan. Kapalpun melanjutkan
perjalanan ke Pulau Derawan.
Di Pulau Derawan Saba’ani sebagai kepala rumah tangga
bersiap menunggu kedatangan pasukan Belanda. Mereka tidak rela untuk menyerah,
mereka akan melawan sampai titik darah penghabisan. Saba’ani dibantu oleh
putranya Karut dan anak gadisnya Salda. Karena tidak mau menyerah dan melawan
pasukan Belanda, maka terjadilah tembak-menembak dari kedua belah pihak. Lebih
dari satu jam bertempuran itu berlangsung. Naas putrinya Salda yang berpakaian
seperti seorang laki-laki lebih dulu rebah berlumuran darah. Melihat kejadian
itu Saba’ani berusaha menolong putrinya. Saba’ani sangat sedih melihat
putrinya, walaupun putrinya tetap tersenyum menatap ayahandanya. “Saya ini
sudah basah”, kata putrinya dengan lemah. Putrinya menjelaskan bahwa darah
sudah membasahi tubuhnya dan kemudian pergi untuk selamanya.
Dengan rasa sedih yang mendalam Saba’ani yang kebal terhadap
peluru itu melepas singal penutup kepala dan mengeluarkan mutiara dari
mulutnya, dan kemudian Sabaanipun tertembak, beberapa buah peluru menembus dada
dan kepalanya. Saba’ani pergi untuk selamanya tersungkur dengan mencium pasir
Pulau Derawan. Saba’ani rubuh tidak jauh dari putrinya Salda, kemudian istrinya
Makangug keluar bersama anak dalam gendongannya. Makangug dan anak yang
digendongnya pun kemudian tertembak.
Ditempat lain yang tidak jauh dari Saba’ani anaknya si Karut yang masih bertahan diberondong peluru,
badannya bergetar darah mengucur dan roboh pula untuk selamanya. Lima mayat
bersimbah darah karena mempertahankan kebenaran yang diyakininya, walaupun
harus pergi meninggalkan kampung halaman dan harus mati bersimbah timah panas.
Mempertahankan hak dan jiwa raganya, mempertahankan nama baik keluarganya,
tidak mau dijajah Inggris dinegerinya, tidak mau dijajah dan direndahkan oleh
Belanda dinegeri orang lain. Mereka anak beranak gugur di medan laga, di Pulau Derawan sebagai
pulau syurga bagi sang pemberani dan sang pahlawan.
Bagaimana dengan
penduduk Pulau Derawan pada masa itu? Mereka umumnya melihat kejadian yang
menegangkan itu, namun tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani membantu perjuangan
Saba’ani yang berani itu, karena khawatir keluarga mereka juga akan dibantai oleh
pasukan Belanda.
Pasukan Belanda setelah memenangkan pertempuran bergerak
mendekati mayat yang bergelimpangan. Ketika semua diperiksa sudah tidak
bernyawa lagi, satu persatu tutup kepala mereka dibuka, pasukan Belanda sangat
menyesal karena sudah membunuh dua orang wanita Salda yang cantik yang masih muda
belia sekaligus ibunya serta seorang
anak yang masih dalam dekapan ibunya.
Pasukan Belanda bergerak meninggalkan Pulau Derawan
tanpa membawa mayat sang pahlawan Saba’ani. Mayat-mayat itu diserahkan kepada
penduduk kampung untuk di makamkan sebagaimana mestinya. Oleh keberanian
Saba’ani dan keluarga menantang maut, mereka
dianggap oleh masyarakat setempat sebagai pahlawan orang Bajau Solok. Sampai
saat ini makam pahlawan itu masih terawat dengan baik di pulau Derawan, Makam
tersebutsudah pernah dipindahkan karena abrasi yang terjadi di pantai pulau,
dipindahkan jauh dari pantai.
Keberanian Saba’ani, Salda dan keluarganya menjadi simbol
dan kebanggaan masyarakat laut, Tanjung Batu, Pulau Derawan dan Pulau Maratua.
Penghargaan itu terus diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi kegenerasi
hingga saat ini. Bagi siapa saja yang datang ke Pulau Derawan tentu belum lengkap
kalau belum berkunjung ke makam Saba’ani. Selain makam Saba’ani, masih ada
makam lain yang tidak kalah pentingnya dan harus dikunjungi antara lain Kuburan
Kuda, Kuburan Cina pertama di Pulau Derawan, Makam Keramat, dan sumur tua.
Selamat berkunjung ke Pulau Derawan, pulau surga, pulaunya para dewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar