SYURGA DUGONG, PAUS DAN LUMBA-LUMBA PINTAR
POTENSI
WISATA BERAU PESISIR SELATAN
Oleh : Saprudin
Ithur
1. KAMPUNG
TELUK SUMBANG
Kampung Teluk
Sumbang masuk wilayah Kecamatan Biduk-Biduk, berada paling selatan pesisir Kabupaten Berau, Kampung Teluk Sumbang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai
Timur. Kampung Teluk Sumbang semakin menjorok di Tanjung Mangkaliat wilayahnya
semakin tipis. Kampung Teluk Sumbang terbentang dari ujung Tanjung Mangkaliat
sampai berbatasan dengan Kampung Teluk Sulaiman. Bentangan pantai mencapai 40
Km sangat indah dan unik. Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang
bertumpuk tumpuk seperti bongkahan raksasa yang sangat kuat, sekalipun dihantam
ombak besar ketika air laut pasang.
Bentangan pasir putih disana sini juga ada menghiasi pantai nan eksotik itu.
Dari Tanjung
Mangkaliat sampai dengan Tanjung Batu Balobang, pantainya terdiri dari hamparan
batu-batu besar dan batu kecil yang keras dan kuat. Diantara itu menyela-nyela hamparan
pasir coklat gelap dan pasir putih. Tanjung Mangkaliat juga disebut Labuan
Pinang, karena tidak jauh dari tempat itu ada lokasi untuk berlabuh kapal-kapal
nelayan saat badai dan ombak besar. Tanjung Batu Balobang adalah sebuah batu
besar yang terpisah dari daratan, namun ketika air laut surut batu besar itu
terlihat sampai kedasar. Batu besar itu berlubang tembus sampai melihat
kesebelah darat. Batu itu berlubang menurut sebuh kisah disebabkan oleh tanggar
si Ayus manusia raksasa Kalimantan. Kisah-kisah si Ayus di Kalimantan Timur
sangat populer. Ketika Ayus mendorong perahunya kelaut saat di hantam ombat
besar, kekuatan Ayus menahan perahunya dengan kayu besar ditanjung itu sampai
tanggar kayunya yang besar menembus batu besar yang kuat ditepi pantai….Batu
Balobang, kemudian hari tempat itu di kenal dengan nama Tanjung Batu Balobang.
Sekitaran ini daratannya ditumbuhi kayu-kayu besar yang sangat keras,
pohon-pohon besar itu tumbuh ditanah humus yang tipis dibawahnya adalah batu
kapur, batu kapur yang membentang dari Tanjung
Mangkaliat sampai kepegunungan kars Kelay dibelakang kampung Merabbu memanjang
sepanjang ratusan kilometer. Didataran yang berpasir ditanam pohon kelap dan
hidup dengan subur. Di Tanjung Mangkaliat ada menara mercu suar yang sangat
terkenal sejak masa penjajahan Belanda. Bagi para pelaut yang ingin menyeberang
ke pulau Sulawesi menjadi pedoman awalnya adalah mercu suar yang ada di Tanjung
Mangkaliat. Tanjung Batu Balobang adalah sebagai tanda tapal batas wilayah pada
masa kerajaan Kutai dengan Kerajaan Sambaliung.
Dari Batu
Balobang terus ke utara, sekitar 4 Km menyusuri pantai sampai di sebuah tempat
yang diberi nama oleh orang Basaf Bual-Bual. Sekitar 200 m dari pantai waktu
air surut terdapat mata air tawar, mata air yang keluar dari perut bumi
menyembul disana dengan derasnya. Tempat ini pada masa lalu dan sampai
sekarang sering disinggahi perahu-perahu
nelayan atau kapal motor yang kehabisan air tawar. Air tawar yang keluar sangat
deras dan tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau. Tempat ini pada tahun
1890 didiami oleh suku Bajau. Kemudian mereka sempat berkebun dan menanam pohon
kelapa disana.
Lebih keutara
dari Bual-Bual kita bertemu dengan pegunungan yang menjulur kelaut yaitu
Tanjung Tinondok, menurut bahasa Bajau Gunung Tinondok artinya Gunung Menunduk.
Gunung itu seperti menunduk menghomat lautan nan biru, luas, dan ganas saat
ombak besar menghempas daratan. Daratan kampung Teluk Sumbang persis menghadap
laut luas Selat Makasar. Apabila berada diketinggian gunung Tinondok dapat
memandang laut luas dan melihat kapal yang lalu lalang sekaligus memandang
keindahan Pulau kaniungan Kecil dan Pulau Kaniungan Besar. Ujar H. Abdul Wahid
Syech dalam bukunya “Menyelusuri Pantai Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II
Berau Dari Ujung Selatan” (1994) Tanjung
Tinondok penuh dengan bebatuan yang mengkilat baik waktu disinari matahari
maupun tidak (waktu mendung) kesemuanya bila ada yang menanganinya dengan baik
dapat dijadikan tempat rekreasi/wisata. Batu-batu yang terhampar di atas
Tanjung Tinondok adalah batu kapur berwarna putih yang bercampur atau berlapis batu putih
mengkilap seperti kaca dan ada pula warna kebiru-biruan mengkilap. Warna putih
dan kebiruan mengkilap itu yang terlihat mengkilat dari kejauhan.
Teluk Sumbang
adalah sebuah lokasi yang sangat seimbang, disana terdapat dua buah sungai yang
sangat berbeda. Satu sungai yang menyatu dengan laut. Saat air laut surut, muara
sungai itu nampak kering, hanya air tawar tidak seberapa yang mengalir kelaut.
Ketika air laut pasang ia menyatu dengan laut, air laut masuk sampai jauh
kedalam sungai, saat demikian kapal motor milik pedagang dan nelayan boleh keluar
dan masuk sampai kepelabuhan kecil dalam sungai. Muara sungainya tergantung
musim angin dan gelombang laut yang menghantam bibir pantai, pada saat-saat
tertentu muara sangai Teluk Sumbang itu bergeser kekanan berbelok-belok dan
kadang bulan berikutnya berpindah kekiri, seperti itu. Bagi masyarakat yang
mendiami Kampung Teluk Sumbang perubahan muara sungai itu adalah biasa, dalam
setahun bisa terjadi sampai empat kali muara sungai itu berpindah tempat. Waktu
pasang surut, sungai Teluk Sumbang mengikuti air laut turut naik dan turun.
foto : Disbudpar Berau
Air Terjun Panimbul Teluk Sumbang,
lebih keatas masih bertingkat-tingkat
Hanya berjarak lima ratus meter
dari tempat itu ada sungai lain yang tidak mengikuti air laut pasang dan surut.
Sebab airnya terjun dari bukit yang tingginya berkisar 20 meter. Air terjun itu
dari ujung gunung Panimbul langsung jatuh dipantai laut Teluk Sumbang, makanya
tidak turut mengikuti air pasang dan surut. Sayangnya air sungai terjun itu
tidak terawat, karena diatas sana adalah bagian dari perkampungan Teluk
Sumbang, sungai yang airnya mengalir deras itu dijadikan sebagai tempat buang
kotoran manusia dan kotoran sapi. Yaaahh…… Tetapi jangan kecewa dulu, tidak
jauh dari tempat itu sekitar satu kilometer dari air terjun yang langsung jatuh
ketepi pantai, disungai yang sama masih ada air terjun yang lebih cantik dan
jauh lebih tinggi dan masih dijamin asri dan bersih. Tinggi air terjun Panimbul
ke dua itu enam puluh meter, airnya sangat dingin, lingkungannya masih semula
jadi belum banyak diusik manusia.
Perkampungan
Teluk Sumbang bertingkat-tingkat. Alam Teluk Sumbang yang sudah membuatnya
seperti itu. Tingkat pertama yang berada dekat dengan sungai Teluk Sumbang yang
muaranya sering berpindah pindah, disanabanyak rumah dan ada sebuh Masjid. Berjalan naik sekitar tiga ratus meter dari tempat
pertama adalah tanah datar tingkat kedua. Sebenarnya dataran itu bukan tanah
tetapi dataran batu, tempat tersebut juga dijadikan tempat pemukiman, sekitar
dua ratus meter lagi tingkat ketiga, dan selanjutnya menanjak terus menaiki
gunung Teluk Sumbang yang menjulang. Dipertengahan gunung itu terletak
perkampungan pemukiman suku Dayak Basaf yang dibangun pemerintah sejak tahun
delapan puluhan. Dari perkampungan diatas gunung itu dapat memandangi laut luas
sejauh mata memandang, indah sekali. Dibawah sana terlihat pulau kaniungan
Kecil dan Pulau Kaniungan Besar. Alihkan pandangan mata sedikit kekanan Tanjung
Mangkaliat yang jauh menjorok kelaut terlihat begitu indahnya. Mega-mega putih
dan kemerahan bercampur abu-abu menutup tipis tanjung yang menyambung kelaut
lepas itu. Ketika air laut surut banyak orang berjalan dipantai mencari ikan,
udang, kima, lolak, dan kepiting yang
tertinggal dikolam-kolam kecil saat air laut surut, ikan-ikan itu terjebak
disana menunggu pasang kembali. Keindahan memandang laut lepas pulau-pulau dan
tanjung mangkaliat dari gunung Teluk Sumbang sulit untuk diceriterakan.
Pokoknya luar biasa dan indah sekali….. ya begitu sudah habislah…. Kata-kata….
Asal mulanya
Teluk Sumbang hanya dihuni oleh suku Dayak Basaf turun temurun. Sejak tahun
1850 sudah didiami suku Dayak Basaf, suku ini tinggal didalam hutan sekitar
Teluk Sumbang antara Tanjung Tinondok dengan Tanjung Guntur, sewaktu-waktu
mereka berpindah sementara pergi membaur dengan Basaf yang ada didaerah kampung
Sandaran kecamatan Sangkulirang Kabupaten Kutai Timur. Mereka disamping mendiami hutan Teluk Sumbang,
juga sering keluar berkeliaran berjalan ditepi pantai mencari ikan dan
kerang-kerangan yang ada di tepi laut Teluk Sumbang. Kehidupan Dayak Basaf
sangat sederhana bercocok tanam yang berpindah-pindah disamping makan
buah-buahan dan hewan hasil buruan.
Mengapa nama
kampung itu Teluk Sumbang ? tidak banyak
yang tahu. Melalui beberapa penuturan orang kampong, Teluk adalah memang
wilayah itu berada disebuah teluk sedangkan kata “Sumbang” ada yang mengatakan setiap
melintasi wilayah sekitar itu terdengar semacam suara nyanyian yang pales atau
sumbang, makanya tempat itu dinamai Teluk Sumbang. Ada lagi yang menceriterakan
orang suku Basaf dulu tidak mengenal agama mereka kumpul sebagai suami istri
semau mereka sendiri, anak atau saudaranyapun dijadikan istri atau kumpul kebo,
perilaku semacam itu disebut orang Basaf sebagai prilaku “sumbang” atau premitiv, makanya kemudian
wilayah itu dikenal dengan nama Teluk Sumbang. Ada lagi ceritera yang lain,
setiap bersuara nyaring atau berteriak dari gunung sekitar, suara nyaring itu
disambut dengan suara yang sama digunung lain, suara teriakan itu seolah
bersahutan dengan kata atau suara yang sama. Suara yang menggema dari gunung ke
gunung yang lain disebut mereka sumbang atau menyumbangkan suara yang sama.
Akhirnya Teluk yang indah dan eksotik itu diberi nama Teluk Sumbang. Teluk itu
terlihat dengan jelas dari gunung Teluk Sumbang.
Dilaut Teluk
Sumbang antara Tanjung Mangkaliat-Pulau Kaniungan sampai dengan laut Kalindakan adalah wilayah
pergerakan dugong-dugong atau ikan duyung, ikan paus raksasa, dan ikan
lumba-lumba yang pintar, begitu pula antara Teluk Sumbang dengan Teluk Sulaiman
sebelah dalam pulau Kaniungan adalah
tempat bermainnya ikan paus raksasa dan Lumba-lumba, penyu juga tidak
ketinggalan berenang kesana kemari sampai masuk dalam Teluk Sulaiman yang
mempesona, penyu-penyu itu banyak yang naik dan bertelur di Pulau Kaniungan. Berbicara
trumbu karang…wah disini tempatnya. Dari
Tanjung Mangkaliat terus menyusur pantai ke utara sampai Tanjung Batu Badiri
terus masuk sampai Labuan Teluk Sulaiman, trumbu karangnya masih asri dengan
hiasan ikan-kani cantik besar dan kecil. Di pantainya sebagian besar masih
ditumbuhi hutan bakau yang subur.
Kepala suku, suku Basaf yang diketahui sejak
dulu antara lain, kepala suku yang pertama Raja Guntur namanya, gelar itu diberikan oleh Raja Sambaliung, digantikan
oleh anaknya dengan gelar Raja Diawan, setelah Raja Diawan meninggal digantikan
oleh cucunya yang bergelar Bandar Raja, setelah Bandar Raja meninggal pada
tahun 1987 digantikan oleh sukunya sendiri yang bernama Sipindusin (tanpa
gelar). Selama dipimpin oleh Sipindusin orang Basaf sedikit demi sedikit mampu
membaur dengan suku lain yang telah mendiami dan menanam kelapa disepanjang
pantai Teluk Sumbang sampai dengan Tanjung Batu Balobang, berjualan sampai di
camp perusahaan Deasy Timber.
Usaha Dayak
Basaf sejak dulu berkebun berpindah-pindah dengan menanam padi gunung, menanam
pisang, menanam umbi-umbian. Mereka terampil membuat sumpit, anak sumpit dan
tempat menyimpan anak sumpit. Mata anak sumpit diberi racun yang sangat
mematikan, racun tradional yang ada dihutan sekitar tempat tinggal mereka.
Selain terampil membuat sumpit masyarakat Dayak Basaf yang tinggal di Gunung
Teluk Sumbang itu juga terampil membuat lampit dari rotan, membuat anjat, dan
tas dari rotan, disamping itu mereka juga pandai memanjat madu. Kebudayaan
mereka masih sangat terpelihara dengan baik. Mereka sudah menerima semua orang
yang berkunjung ketempat mereka. Orang asing yang sering datang berkunjung
kedaerah Basaf itu dari negara Jerman, Jepang, Perancis. Populasi suku Basaf
masih sangat tipis hanya sekitar 100 sampai dengan 150 jiwa saja, mereka
menyebar dari perbatasan Kampung Sandaran Sangkulirang sampai berbatasan dengan
Teluk Sulaiman.
Ada kisah orang
dulu-dulu tentang kehebatan orang Dayak Basaf Teluk Sumbang. Mereka ahli
membuat sumpit sejak ratusan tahun. Anak sumpit mereka sangat disegani,
disamping memiliki racun yang mematikan, anak sumpit mereka mampu melayang
sampai jauh sekali. Pimpinan tertua suku Basaf Raja Guntur memiliki
keistimewaan dalam menyumpit tersebut. Apabila pada suatu saat kedatangan tamu
tak diundang yang dikenal dengan perompak dari suku Balangingi Filipin,
perampok yang datang menjarah perahu dan harta bendanya disekitar Teluk
Sumbang. Raja Guntur mempergunakan sumpitnya, dengan kesaktiannya, dengan
teriakan yang keras menggema disepenjuru hutan dan gunung, sumpit ditiupnya,
anak sumpit itupun melesat dengan kencang
mampu mematahkan tiang layar perahu perompak. Apabila ia terlambat mengetahui,
kapal perompak sudah pergi jauh mendekati
pulau Kaniungan sekalipun, anak sumpitnya masih mampu membunuh anak buah
kapal perampok. Itulah konon kesaktian Raja Guntur dalam menggunakan sumpitnya
dalam menghalau perompak dilaut Teluk Sumbang.
Sejak tahun 1920
Kebun kelapa disekitar sungai Teluk Sumbang sudah ada yang ditanam oleh orang
Basaf namanya Ma’ Lau (Ma’ berasala dari kata Amma’ yang artinya Bapak/ayah).
Kebun kelapa Ma’ Lau berdampingan dengan kebun kelapa seorang ningrat dari
kerajaan Sambaliung. Selain dari perkebunan itu ada perkebunan kelapa yang
dibuka oleh seorang Tiong Howa Tuan Tan Tjoe Lie dipertengahan dataran Teluk
Sumbang antara sungai Teluk Sumbang dengan Tanjung Tinondok. Tan Tjoe Lie
adalah seorang pedagang yang cukup
terkenal dimasa itu tinggal di Pulau Kaniungan Besar, Tan Tjoe Lie membuka toko
di Pulau Kaniungan dan membeli hasil laut dari nelayan Pulau Kaniungan.
Nasibnya kurang beruntung, pada masa akhir hidupnya bersama-sama warga
Biduk-Biduk Tan Tjoe Lie disandra Jepang dibawa ke Balikpapan dan tidak kembali
lagi (meninggal). Kebun kelapanya di Teluk Sumbang dan di Pulau Kaniungan
dipelihara oleh anaknya Sippeng.
Sejak tahun 1960
penduduk lain berdatangan kewilayah Teluk Sumbang untuk membuka perkebunan
kelapa, pada saat itu hasil kelapa sangat menjanjikan, disamping menjual kelapa
yang sudah tua juga dibuat kopra. Kelapa dan kopra itu dijual di Samarinda
Palu, Berau, Tarakan, dan Tawau.. pada tahun 1967 diangkat kepala Desa pertama
di Teluk Sumbang yang dijabat oleh H. Sanusi. Kepemimpinan khusu orang Dayak
Basaf tetap dilakukan oleh Sipindusin sambil dilakukan pendekatan dan pembauran
dengan masyarakat baru yang mendiami tepi pantai. Pada tahun 1977 Kepala Desa yang lama digantikan
oleh Asmaila, kemudian digantikan oleh M. Andacong.
Masih dikawasan
ini, lebih satu kilometer terus ke utara ada sebuah gunung yang datar diatasnya
menjorok kelaut membentuk tanjung, tempat itu dikenal dengan nama Tanjung
Guntur. Luas dataran diatas tanjung itu lebih satu kilometer persegi seperti
lapangan yang sangat luas, seperti
berbentuk dermaga atau pelabuhan laut raksasa. Dataran batu itu sebagian
ditumbuhi semak belukar dan rumput liar. Tim suvey lokasi semen pada tahun
Sembilan puluhan pernah mendatangi Tanjung Guntur dan akan menjadikan tempat
ini sebagai dermaga alam sebagai pelabuhan pertambangan semen di Teluk Sumbang.
Tempat ini sangat bagus alami kuat walaupun mendapat hantaman dan gempuran
gelombang pada musim utara dan musim timur. Cara mengatasinya sangat mudah
cukup membuat tanggul disebelah utara sedangkan sebelah timur sudah dilindungi
oleh Pulau Kaniungan Besar. Bagaimana apabila dijadikan tempat tujuan wisata,
Tanjung Guntur bisa dijadikan tempat turun helicopter dan tempat itu bisa
dibangun cottage atau pondok alam untuk tempat tinggal wisatawan, tidak perlu
merusak alamnya, sebagai jalan dari
ujung tanjung cukup dengan kayu bundar yang ditata sedemikian rupa. Maka dengan
hanya bermlam selama tiga malam turis atau pengunjung sudah bisa menikmati alam
yang masih asri, bertemu dengan Dayak Basaf, berenang dan menyelam, menikmati
hutan bakau, menyaksikan lumba-lumba, paus, dan penyu, main skiy, tracking, berjemur dipantai, berjemur diatas
Tanjung Guntur, dan dipulau Kaniungan Kecil, dan bermain dengan monyet yang
sering mencari makan dipantai. Kawasan pantai dan laut Tanjung Guntur sampai
dengan Tanjung Tinondok belum pernah didatangi oleh para penyelam profesional,
oleh karena itu belum diketahui kekayaan yang terkandung dibawah dan didasar
lautnya, kecuali gunung Teluk Sumbang dan Gunung Teluk Sulaiman adalah bahan
semen putih yang sangat menjanjikan. Aku kalau diberi kesempatan untuk
mengelola Tambang semen putih atau mengelola wisata kawasan itu dengan
investasi yang mamadai…wow siap sekali…menantang dan aku suka itu.
Berlanjut lebih
keutara lagi, sampai di Batu Badiri. Tanjung Batu Badiri adalah seonggok batu
yang sangat besar yang duduk ditepi pantai berbentuk pulau yang menjorok kelaut.
Disekeliling dan atas batu ditumbuhi rumput liar dan kayu-kayu kecil yang sangat
keras. Kayu-kayu kecil itu seperti dibonsai. Batu besar berdiri yang menjorok itu ada lubang berbentuk goa menghadap
kedaratan. Didalam gua itu banyak batubatu kecil. Pada tahun delapan puluhan
masih terjadi, tempat ini memiliki keanehan, bila batu-batu yang ada dalam
lubang/gua dihamburkan atau diurai dan semaknya disingkirkan, maka pada
waktu-waktu tertentu yang tidak diketahui persis bagai mana terjadinya, batu-batu dan semak itu kembali ketengah tanpa melalui
tangan manusia. Keanehan ini kemungkinan besar masih bisa terjadi sampai
sekarang. Kejadian gaib semacam itu dapat dipertahankan, maka tempat ini bisa
dijadikan sebagai destinasi wisata ekstrim dan alam gaib. Harus dibuktikan
dalam waktu beberapa hari tinggal disana. Kemudian disekitar Batu Badiri
pantainya landai dan indah, airnya bersih dan jernih tampak ikan-ikan hias
berenang kesana kemari, Tanjung Batu Badiri juga disebut dengan nama Tanjung
Lampu. Disebut Tanjung Lampu, karena di Tanjung Batu Badiri dipasang lampu yang
sangat terang. Pada tahun 1912 di Teluk Sulaiman dibuka pabrik pembuatan papan,
saat kapal memuat papan pada malam hari diterangi lampu yang dipasang di
Tanjung Batu Badiri itu. Di Tanjung Batu Badiri itulah batas kampung Teluk
Sumbang dengan kampung Teluk Sulaiman.
2. PULAU
KANIUNGAN
Masih diwilayah
Teluk Sumbang, dilautnya ada dua Pulau yang sangat indah, namanya Pulau Kaniungan
Besar dan jauh dilautnya ada Palau Kaniungan Kecil. Pulau Kaniungan Besar
berada sekitar 3,5 mil dari daratan berhadapan dengan Tanjung Batu Badiri.
Keliling pulau kaniungan besar kurang lebih 5 kilometer. Saat air surut dapat
berjalan keiling pulau itu selam 1 sampai 2 jam jalan santai. Pasirnya putih membujur
dari Barat sejajar dengan Tanjung Giring-Giring, ke Timur lurus dengan Tanjung
Batu Balobang. Disamping pantainya putih sekitar pulau airnya jernih, terumbu
karang yang bermacam-macam jenis,
bentuk, dan rupanya nampak kelihatan dari atas perahu….indah sekali,
karang-karang itu dihiasi oleh ikan-ikan
yang berseliweran warna-warni. Laut sekitarnya sampai Teluk Sumbang dan Tanjung
Batu Badiri sangat dalam. Pulau Kaniungan Besar banyak dinaiki penyu hijau dan
kadang penyu sisik, ada kemungkinan sering didatangi oleh jenis penyu lain
untuk bertelur
. Kenapa
pulau itu memiliki nama “Kaniungan” ? ternyata disekeliling pulau itu ditumbuhi
oleh semacam tanaman liar yang tidak ditanam manusia. Tumbuhan liar itu berduri
buahnya kecil mirip dengan buah duku (dupar bahasa berau) rasanya masam seperti
jeruk, tempat tumbuhnya ya disekeliling tepi pantai. Tumbuhan itu namanya
pohon/buah Kaniungan (bahasa Bajau). dengan adanya penduduk disana, maka pulau
itu diberi nama Pulau Kaniungan Besar. Ditengah pulau ditanami pohon kelapa,
disana juga ada makam tua dan bersejarah, berdasarkan perjalanan yang menghuni
pulau itu. Pulau kaniungan Besar mulai dihuni manusia sekitar 150 tahun yang lalu. Disamping ada
air tawar, pulau itu juga subur dan sekitar pulau kaya dengan berbagai jenis
ikan, kerang-kerangan, dan ulat teripang
Yang
pertama menghuni Pulau Kaniungan pada 150 tahun yang lalu adalah suku Bajau
kemudian suku Bugis. Orang-orang Bajau itu awalnya hanya datang sementara dan
pulang lagi ke Tanjung Buaya sekitar Sangkulirang dan Bontang Kuala, suku Bajau
akhirnya ada yang menetap bersama orang-orang Solok dari Filipina Selatan untuk
mencari hasil laut. Sedangkan orang Bugis datang dari Bone Sulawesi Selatan, datang
sebagai pedagang antar pulau, sekaligus membeli hasil laut. Selalin itu ada
yang sengaja menghindar dari penjajahan Belanda, mereka yang tidak mau menyerah
dan bekerja sama dengan penjajah pada peristiwa Rumpa’na Bone. Kemudian datang
pula orang dari Goa menetap disana. Pada tahun 1881 kawinlah seorang
remaja dari suku Bugis Bone, Mahmude
namanya dengan seorang putri yang berasal dari turunan Raja Solok yang telah
menetap di Pulau Kaniungan Besar bersama keluarganya, nama wanita itu si
Baggol. Setelah beberapa tahun berumah tangga Mahmude dianggap masyarakat sebagaiorang
yang cakap, pemersatu dan merukunkan masyarakat dua bangsa, maka pada tahun
1885 Mahmude diangkat menjadi “Pambakal” (Kepala Desa/Kampung sekarang) di Pulau
Kaniungan Besar. Mahmude tercatat sebagai Pambakal pertama disana yang diangkat
langsung oleh Sultan Sambaliung. Penduduk Pulau Kaniungan pada saat itu tidak
lebih dari 150 jiwa. Penduduknya muslim
maka diangkatlah Mannawang suku Bugis sebagai Imam dan sekaligus sebagai tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Pedagang yang menjual kebutuhan sehari-hari dan
sekaligus membeli hasil nelayan pertama di Pulau Kaniungan adalah Sayyid
Abdullah, kemudian disusul oleh Bapak Kallak, dan seorang Tionghoa Tan Tjoe
Lie.
Pulau Kaniungan
terus berkembang, kelapa tua dan kopra laku keras, hasil nelayan sangat memuaskan.
Penduduk kaniungan hidupnya pada saat itu sejahtera. Pada tahun 1887
orang-orang Bugis yang telah menetap membuka perkebunan kelapa, Ua’ Becce La
Pajerrai bersama beberapa orang kawannya diikuti suku Bajau menanami seluruh
Pulau dengan kelapa, maka penuhlah pulau Kaniungan dengan pohon kelapa. Pohon
kelapa disana sangat subur dan buahnya lebat. Keberhasilan Mahmude menciptakan keamanan ketiga suku Bajau,
Bugis, dan Solok yang berdomisili di Paulau Kaniungan Besar sebagai Pambakal,
maka penduduknya saling kawin mawin. Merasa aman dan nyaman tinggal di sana
banyak keluarga serta saudara-saudari si Baggol datang dari Filipin termasuk
saudara laki-lakinya yang bernama si Amang Panggurap masuk Ke Berau dan menetap
serta berkeluarga di Sambaliung. Oleh karena itu di kerajaan Sambaliung pada
saat Raja Alam melawan Penjajahan Belanda didukung penuh oleh pasukan dari
Bugis dan pasukan Solok dari Filipina Selatan, karena sejak lama persahabatan
antara Kerajaan Bugis dan Kerajaan Solok sudah terjalin, sejak masih kerajaan
Berau berjaya.
Masyarakat
Kaniungan Besar kegiatan sehari-hari adalah sebagai nelayan dan memelihara
kebun kelapa, sedangkan berusaha mencari kekurangan kebutuhan sehari-hari harus
keluar dari Pulau Kaniungan ke Tanjung Buaya, ke Teluk Bayur dan tempat lain
yang sangat jauh. Meninggalkan pulau atau berlayar yang selalu ditakuti adalah
perompak yang biasa menjarah harta benda mereka pasa saat bepergian seperti itu.
Keamanan laut sangat menghawatirkan, pasukan keamanan laut kerajaan Sambaliung
dan Kerajaan Kutai sangat terbatas, tidak mampu menghalau perompak setiap saat.
Perampokan dilakukan oleh orang-orang Balangingi, untungnya ada satu orang dari
suku Bajau yang sangat ditakuti oleh kawanan perampok, ia adalah si Tokke yang tinggal di Tanjung Buaya. Tokke dikenal
sebagai pahlawan pengaman wilayah laut dan pantai Selatan. Kehebatannya adalah
disamping memang pemberani dan pantang mundur menghadapi musuh, mempunyai
keahlian menembak, ada istilahnya menembak putus artinya menembak tidak melihat
musuh apabila diinginkannya dengan kesaktiannya pelurunya mampu membunuh lawan.
Oleh karena itu si Tokke sangat disegani dan ditakuti oleh perompak atau bajak
laut. Dengan keistimewaan dan kesaktiannya itu ia diberi gelar”Punggawa
Tokke”. Putri Punggawa Tokke si Ima kawin dengan seorang putra Banjar
Muhammad Rais, kemudian hari dikenal dengan nama Haji Muhammad Rais menetap dan
membuka kebun di Pulau Balikukup. Keturunan Haji Muhammad Rais dan si Ima
seperti H Carra dan H. Hajar meneruskan memelihari perkebunan kelapa di Pulau
Balikukup.
foto :
Disbudpar Berau
Pulau
Kaniungan Besar
3. PULAU
KANIUNGAN KECIL
Penulis beberapa
tahun lalu berkesempatan menginjakkan kaki di Pulau Kaniungan Kecil, dengan
diantar oleh seorang tokoh Giring-Giring Bapak Manaf. Pulau Kaniungan Kecil
sangat indah, menarik dan berbekas
dihati. Penulis membayangkan seandainya dikelola dengan baik, pulau kecil
ditengah laut itu dijadikan sebuah kawasan yang diberi nama dengan pulau
“Putri” artinya dikembangkan dengan hanya boleh dikunjungi oleh kaum wanita
saja, tidak boleh ada wisatawan laki-laki yang datang kesana. Untuk datang ke
Pulau Putri berangkat dari luar kawasan ini dengan menggukan helicopter turun
di Tanjung Guntur, dari Tanjung Guntur menuju Pulau Putri Pulau Kaniungan Kecil
menggunakan Speadboat. Perjalanannya seperti kisah dalam sebuah novel atau film
detektif yang maha dahsat dan menantang. Di pulau Putri hanya boleh dibangun beberapa
pondok-pondok tempat tinggal sementara wisatawan yang datang, dan tidak boleh
terlalu banyak yang datang ke Pulau Putri karena dapat merusak pulau, merusak
tumbuhan, merusak habitat burung bangau putih dan bangau hitam yang tinggal
disana pada malam hari (burung bangau tersebut disebut juga burung Kallo).
Jarak Pulau
Kaniungan Kecil atau Pulau Putri itu dari Tanjung Guntur kurang lebih 7 mil,
dari Pulau Kaniungan Besar hanya 3 mil, kearah laut atau sebalah Timur. Pulau
Kaniungan Kecil dinamakan seperti itu
sama dengan Pulau Kaniungan Besar, keliling pulau ditumbuhi pohon yang berbuah
masam yang dinamakan pohon/buah Kaniungan. Pulaunya lebih kecil dengan tumbuhan
asli yang bisa dimakan itu makanya dikenal dengan nama Pulau Kaniungan Kecil.
Pulau Kaniungan Kecil dikelilingan pantai dengan pasir putih, masih banyak
penyu yang datang disekitar pulau, sebagian penyu-penyu itu naik dan bertelur
di atas pulau, airnya sangat jernih, pantainya landai jauh kelaut, ikan hiasnya
masih berkeliaran dengan bebas. Biasanya Pulau Kaniungan Kecil hanya dijadikan
nelayan sebagai tempat berlindung dan tempat beristirahat saja. Tanjung
Mangkaliat indah terlihat dari pulau. Di Pulau kaniungan Kecil pada pagi hari
bisa menikmati matahari terbit dan sore hari menikmati matahari tenggelam.
Berada dipulau Kaniungan Kecil benar-benar pantastis sembari menikmati dunia dengan
segala kepongahan dan keagungannya…..amboy. Aku memuji Tuhan dengan segala
keindahan ciptaan.
4.
PULAU SIGENDING DENGAN HUTAN BAKAUNYA
Mari kita mulai
masuk kewilayah Teluk Sulaiman, mulai dengan mengenali Pulau Sigending Besar
dan Pulau Sigending Kecil. Pulau ini mirip dengan sebuah kendi raksasa, oleh
karena itu pulau ini dinamakan si kendi, kemudian menurut kebiasaan orang laut
disambung menjadi satu, awalan “si” menjadi satu kata bendanya, namun sedikit
berubah……menjadi Sigending. Pulau Sigending adalah pulau batu karang yang
sangat keras dan kokoh, diatasnya ditumbuhi berbagai jenis pohon yang lebat
menutupi semua punggung pulau.
foto
: Saprudin Ithur
TANJUNG
YANG MENJOROK KELAUT DI MUARA TELUK SULAIMAN ITU ADALAH PULAU SIGENDING
Bila masuk lebih
kedalam mengikuti alur muara, maka menemukan sebuah lokasi yang mengasikkan
yaitu sebuah lokasi luas mirip seperti
sebuah danau, luas mencapai seratus hektar, keadaan airnya mengikuti pasang
surut air laut, bermacam-macam jenis ikan yang terdapat ditempat itu. Ada ikan
putih, ikan belanak, ikan bawal hitam, julung-julung bertulang biru, ikan baronang,
jutaan ikan-ikan kecil yang sering datang bergerombol membentuk seperti perahu.
Sejak dulu disinilah tempat nelayan sekitar Teluk Sulaiman menangkap ikan
dengan jaring/pukat, apa lagi pada saat musim angin kencang dan bergelombang,
tempat ini sangat aman terlindung oleh pulau Sigending. Kawasan ini sangat
indah, apabila memandang sekelilingnya seakan-akan sebuah panorama alam yang nampak
sampai kekaki gunung Teluk Sulaiman. Dilihat dari tempat itu gunung Teluk
Sulaiman sangat tinggi dan hampir menutup separuh muka bumi, bila mengalihkan
padangan kearah lain, maka pandangan langsung menumpu pada gunung yang
mendinding yang penuh dengan panorama alami itu, ujar Abdul Wahid Syech
almarhum dalam bukunya (1994). Tempat ini juga didatangi oleh penyu hijau. Apabila
tidak dirusak, pasti danau Sigending tetap indah dan nyaman buat bermacam jenis
ikan dan penyu berteduh dari riuh redahnya angin dan amukan gelombang. Pada akhir
tahun sembilanpuluhan sekitar tempat ini dijadikan tempat memelihara teripang
dan membudidayakan rumput laut. Sayangnya tidak berlanjut, tetapi jangan gusar
dulu. Mari melihat lebih teliti, sekitar danau Sigending yang ditumbuhi hutan
bakau (mangrove) yang sangat lebat. Hutan bakau disini memiliki keunikan
tersendiri, hal ini dikarenakan adanya beberapa ekosistem yang tersedia secara
alami, seperti hutan dengan pegunungan karst, hutan mangrove, padang lamun dan
terumbu karang. Dalam perjalanan menuju hutan bakau Sigending banyak melihat
pepohonan bakau yang masih asri. Hutan bakau (mangrove) Sigending banyak
menyimpan pesona hewan liar yang dapat dilihat sebagai atraksi alam seperti
jenis monyet Bekantan, jenis ular dan berbagai jenis burung yang menetap
ataupun yang singgah disana untuk beristirahat atau sekedar mencari makan.
Perjalanan apabila dari arah Teluk Sulaiman dengan mengikuti alur sungai kecil seperti dijelaskan diatas hingga
sampai di Hamparan Padang Lamun dan terumbu karang. Selain itu juga dapat
menyaksikan tebing seperti batu dinding tinggi berupa pegunungan karst yang
berada disisi selatan Hutan Sigending. Komplek yang terdapat disekitar Hutan
Mangrove Sigending ditambah dengan dua pulau yang indah itu merupakan destinasi
atau obyek wisata yang sangat menakjubkan luar biasa ditambah lagi dengan kompleksitas
dari ekosistemnya….waaaaawwwww………tiada duanya
tempat seperti ini didunia lho.
Foto :
Disbudpar Berau
Hutan
Bakau di Teluk Sulaiman
5. TELUK
SULAIMAN
Apabila keluar
dari Sigending menuju lebih keutara maka langsung masuk kawasan pelabuhan alam
yang sangat luas pelabuhan alam Teluk
Sulaiman. Didalam Teluk Sulaiman airnya
cukup dalam, tetapi tidak bergelombang. Walaupun angin kencang dilaut sana,
gelombang besarnya tidak masuk kedalam teluk, oleh karena itulah aku sebut
dengan “Pelabuhan Alam Teluk Sulaiman”. Pada masa perusahaan kayu log masih
jaya-jayanya, didalam teluk Teluk Sulaiman kapal-kapal besar pengangkut kayu
log masuk dengan nyaman. Disinilah
mereka memuat kayu log berdiameter besar-besar dengan panjang puluhan
meter. Kapal-kapal besar itu tidak kandas dan tetap aman. Memuat kayu log dan
papan gergajian di dalam Teluk Sulaiman benar-benar nyaman terhindar dari
gelombang dan angin kencang. Rakit batang yang panjang ratusan meter yang
diangkat kekapal atau papan yang disandarkan dekat kapal besar pengangkut
dijamin aman, beda dengan muat dilaut, rakit kayu bundar itu sering hancur
dihantam gelombang, perusahaan menanggung rugi.
Di Teluk
Sulaiman ini dahulu ada sebuah pelabuhan berikut bekas dermaganya yang dibangun
oleh perusahaan kayu, pabrik penggergajian kayu bangsa Belanda yaitu Bridag
Shichop tahun 1910-1920, dermaga itu dahulu berada diseberang pelabuhan Teluk
Sulaiman yang ada sekarang. Dermaga Bridag Shichop sekarang sudah punah
tergerus oleh waktu. Namun ada bukti-bukti lain yang menunjukkan bahwa di sana
ada kehidupan, tembok atau beton penyangga pipa air minum untuk kebutuhan
karyawan perusahaan penggergajian kayu milik Belanda yang pernah beroperasi di
Teluk Sulaiman masih dapat dilihat. Tidak seberap jauh dari tembok beton bekas
pipa air tawar Belanda, ada yang namanya Batu Mahligai. Batu ini mirip dengan
tempat duduk dengan disekitarnya bermunculan mata air tawar. Konon di mahligai
itu tempat seorang suku Basaf bersemedi atau bertapa untuk ketenangan jiwa dan
kesaktian.
Dimuara Teluk
Sulaiman, disebelah kanan keluar menuju laut lepas terdapat sebuah kapal milik
Jepang yang tenggelam setelah di bom oleh pesawat sekutu pada tahun 1944. Tidak
diketahui berapa banyak tentara Jepang yang tenggelam dan tewas bersama
kapalnya, tetapi sampai saat ini kapal jepang yang tenggelam itu masih
teronggok dikedalaman muara Teluk Sulaiman. Masyarakat yang melihat kejadian
pada masa itu tidak berbuat apa-apa, pesawat sekutu dari Australia setelah
membombardir kapal masih sempat beberapa kali berputar-putar disekitar itu
untuk meyakinkan kapal yang telah dibombardir
benar-benar tenggelam. Pesawat terbang sekutu juga membombardir Keraton
Gunung Tabur dan Keraton Sambaliung, di kedua keraton tersebut diperkiran oleh
pasukan sekutu tempat bersembunyi tentara Jepang. Tapi kenyataannya tidak ada,
tentara Jepang sudah melarikan diri dengan menggunakan perahu rakyat menuju
kehulu sungai Kelay, masuk kesungai Lesan. Dari hulu sungai Lesan tentara Jepang berjalan kaki
menembus ke sungai Wahau dan turun dengan menggunakan perahu menuju Samarinda. Keraton
Gunung Tabur menjadi korban hangus terbakar oleh bom-bom pasukan sekutu. Selama
kejadian tersebut tidak ada korban jiwa, karena Keraton Gunung Tabur dan
Keraton Sambaliung sudah dikosongkan. Keluarga Keraton Gunung Tabur mengungsi
didalam sungai Birang, sedangkan
kelaurga Keraton Sambaliung mengungsi di sungai Buntu. Dalam perjalanan
pelarian tentara Jepang menembus ke sungai Wahau itu didampingi oleh seorang
tokoh pemuda kelahiran Kampung Muara Lesan, bapak Syamsuddin atau biasa
dipanggil Amma Uddin (almarhum). Apabila ingin mengetahui kebenaran kapal
tenggelam dimuara Teluk Sulaiman,
dibutuhkan penyelam dan peneliti yang professional.
foto : Disbudpar
KAWASAN PELABUHAN ALAM
TELUK SULAIMAN
Mari kita
melihat pelabuhan bongkar muat di Teluk Sulaiman sejenak. Pelabuhan yang
sekarang ada diujung Kampung Teluk Sulaiman itu dulu masih kecil, lebarnya kurang dari dua
meter dan panjangnya 150 meter disebut dengan “jembatan” atau jembatan
pendaratan. Begitu ada jembatan itu masyarakat setempat sangat terbantu dan
termudahkan, mereka yang memiliki kapal mengangkut keperluan sehari-hari,
dagangan dan mengangkut buah kelapa keluar menuju Samarinda, Berau (Tanjung
Redeb), Tarakan dan keberbagai daerah lainya, menjadi mudah. Istilahnya dimana harga kelapa
dan kopra tinggi kesanalah mereka berangkat, kembalinya membawa sembako dan
keperluan sehari-hari. Pendek kata
dengan adanya jembatan atau pelabuhan Teluk Sulaiman masyarakat setempat sangat
terbantu dan termudahkan.
Jembatan
pendaratan itu dibangun atas inisiatif seorang perwakilan Camat Talisayan di
Biduk-Biduk (kecamatan penghubung) bapak M. Backtiar, BA pada tahun 1991
bersama Kepala Desa Biduk-Biduk H. Hasbullah Ahmad. Pada masa itu dari Labuan Kelambu sampai
dengan Teluk Sulaiman masuk menjadi satu desa BiduBiduk, sedangkan sekarang
sudah terbagi menjadi Kampung Biduk-Biduk, Kampung Girng-Giring, dan Kampung
Teluk Sulaiman dengan masing-masing memiliki seorang Kepala Kampung. Dari pelabuhan
Teluk Sulaiman dapat memandang dengan leluasa ke gunung Teluk Sulaiman yang
menjulang tinggi bersambung sampai ke gunung Teluk Sumbang. Kaki Gunung Batu
kapur itulah yang membuat pantai Teluk Sulaiman dan pantai sepanjang Teluk
Sumbang menjadi indah dan menawan.
Dahulu teluk itu
belum memiliki nama. Biasa penduduk atau orang-orang yang melintasi daerah
tertentu kemudian member nama tempat-tempat tertentu berdasar keunikan,
tumbuhan alam, atau nama orang yang pertama tinggal disana. Begitu pula dengan
nama Teluk Sulaiman. Teluknya sudah ada disana jutaan tahun yang lalu,
sedangkan Sulaiman adalah nama orang yang pernah ada disana. Kisahnya memang
sangat sederhana, tetapi dengan kisah yang sederhana dan kenyataan itu kemudian
hari wilayah dan teluk itu memiliki nama. Sekitar satu kilometer lebih dari pelabuhan Teluk Sulaiman
ada pohon “limau” (jeruk) yang buahnya sangat lebat, buahnya tidak pernah susut
selalu ada dan sampai masak-masak sebagian ada yang berjatuhan. Bibit limau itu
berasal dari pabrik penggergajian milik orang Belanda yang berdiri tahun 1910
diseberang Teluk Sulaiman. Buahnya yang lebat itu dikonsumsi oleh penduduk
sekitar yang baru ada tiga empat rumah, penduduk yang ada diseberang Teluk,
masyarakat Kaniungan dan sampai masyarakat Tanjung Buaya yang kebetulan melintas
dan singgah disana membawa buah limau. Yang
menanam limau itu namanya “Sulaiman”,
sehingga dari penanam limau itulah diperoleh nama Teluk + Sulaiman. Masa itu
selain namanya Teluk Sulaiman, teluk itu juga dikenal dengan nama Teluk Selimau
berasal dari kata Limau. Tetapi kemudian hari lebih popular nama penanamnya
Sulaiman, dari pada nama Limau atau selimau itu. Perusahaan kayu PT Desy Timber
yang beroperasi di teluk tersebut juga menamakannya tempat itu dengan nama Teluk Sulaiman.
Teluk Sulaiman mempunyai perjalanan sejarah
yang panjang, setelah terjadinya perang dunia pertama tahun 1918, penduduk
diwilayah itu diserang penyakit “Sampar”, sehingga banyak penduduk yang menjadi
korban. Penyakit itu menyerang bayi, anak-anak, orang dewasa dan orang tua, termasuk
karyawan pabrik kayu diseberang Teluk Sulaiman juga diserang penyakit pembunuh
itu. Kepala kerja pabrik kayu milik
Belanda itupun menjadi korban penyakit aneh yang dikenal dengan nama penyakit
sampar. Disamping itu ada Pabrik Penggergajian kayu, pipa air tawar milik
Belanda, kapal Jepang tenggelam dibombardir sekutu, sebagai pelabuhan alam yang
eksotis dan aman, perusahaan kayu PT Deasy Timber, perusahaan kayu PT Yati,
perjalanan para pekebun kelapa.
Setelah kejadian
itu yang sudah membuka hutan dan berkebun kelapa disana ada yang dikenal namanya
Ma’Sumpil suku Bajau pada tahun 1925,
makamnya masih ada disana, ada lagi seorang Tionghoa namanya Si Piun
juga membuka perkebunan kelapa. Kemudian hari berdatanganlah orang dari luar
membuka lahan dan menanam kelapa disana.
6. BIDUK
BIDUK
Nama Biduk-Biduk
sangat dikenal, sebab ada salah satu tokoh Kampung Biduk-Biduk yang sempat
menjadi Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik
Indonesia namanya Dr. Makmur Sanusi,
makam kedua orang tuanya ada di Biduk-Biduk. Selain itu juga ada seorang tokoh
agama, tokoh pendidikan terkemuka di Biduk Biduk dan sekaligus tokoh politik
adalah Abdul Wahid Syech anggota DPRD Kabupaten Berau dekade tahun delapan
puluhan (1986). Ada lagi satu nama yang juga tidak dapat dilupakan yaitu Ustad
Sanusi Salengke yang mendirikan Darud Dakwah Wal Irsyad yang disingkat dengan
DDI pada tahun 1958, dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Tokoh-tokoh tersebut yang dengan sukarela mengangkat
nama Biduk-Biduk ketingkat Kabupaten, ketingkat Provinsi, sampai ketingkat
Nasional. Didalam peta nasional nama Biduk-Biduk dan Tanjung Mangkaliat selalu
tertera. Biduk-Biduk sekarang menjadi Kecamatan paling selatan wilayah pantai
Kabupaten Berau Pesisir Selatan. Di Kecamatan Biduk-Biduk terdiri dari Kampung
Teluk Sumbang, Kampung Teluk Sulaiman, Kampung Giring-Giring, Kampung
Biduk-Biduk, Kampung pantai Harapan, dan kampung Tanjung Perepat dengan
masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala kampung.
Sebelum kita
melanjutkan kisah Biduk-Biduk, baik kita sedikit mengenali Kampung Giring-Giring.
Panjang kampung Giring-Giring mengikuti pesisir pantainya kurang lebih dua
kilometer. Sepanjang kiri kanan jalan yang dilewati adalah pohon kelapa yang
subur dengan berbuah lebat. Sebagian pantainya terbuka, ketika ombak besar
datang gelombangnya langsung menghantam pantai yang ditumbuhi pohon kelapa,
sebagian lagi pantainya masih ditumbuhi pohon bakau. Di daratan pesisir pantai
Giring-giring itu dahulu banyak ditumbuhi rerumputan yang kembangnya atau
buahnya berbulu panjang seperti binatang laut bulu babi. Buah rumput itu bebulu
tebal sekelilingnya seperti bulu landak namun buahnya tetap kelihatan pada sela-sela
bulunya itu. Buah yang lucu dan bagus itu ketika kering menjadi ringan dan
berjatuhan ketanah. Buah-buah itu bergulingan saat dihembus angin kesana kemari
mengikuti arah angin, nama buah rumput itu adalah Giring-Giring, oleh karena itu sejak dahulu nama
kampungnya di kenal dengan nama Giring-Giring.
Penduduk asli
Giring-Giring tidak berbeda dengan Kampung Teluk Sulaiman yaitu suku Bajau,
orang yang pertama tinggal disana adalah Si Lawang atau dipanggil Ma’ Tandawan.
Si Lawang tinggal disana sebagai nelayan dan sekaligus membuka perkebunan
kelapa, kemudian hari berdatangan orang-orang dari Sulawesi Tengah, akibat
daerah mereka diganggu oleh gerombolan. Orang-orang dari Sulawesa Tengah itu
sekitar 50 kepala Keluarga. Mereka bermukim di Giring-Giring tidak lama, setelah daerah mereka dikabarkan
aman dari gerombolan, mereka kembali ketanah asalnya. kedatangannya pada tahun
1959, lima tahun kemudian tepatnya pada tahun 1965 mereka kembali. Selama lima
tahun itu orang-orang dari Sulawesi Tengah sempat bergaul dan membaur dengan
suku Bajau yang tinggal lebih dahulu disana. Pada tahun 1940 Ma’ Tandawan
pindah bersama beberapa orang kawan dan kerabatnya ke Labuan Pinang untuk membuka
lahan perkebunan baru.
Demikian sekilas
Giring-Giring dimasa lalu, sekarang kita kembali ke Biduk-Biduk. Rantau itu
sebelumnya belum memiliki nama seperti sekarang. Nama Biduk-Biduk berasala dari
nama perahu kecil yang disebut orang dulu dengan Biduk. Karena ada beberapa
buah, maka kata Biduk itu disambung menjadi Biduk-Biduk yang berarti
menyebutkan lebih dari satu perahu-perahu atau Bidu-Biduk. Ceriteranya begini.
Pada penghujung tahun 1800-an tempat itu sangat sepi, daratannya masih hutan
belantara yang sangat lebat, tetapi di Pulau Kaniungan Besar danTanjung Buaya
sudah ramai orang berusaha dan banyak penduduknya. Masyarakat yang ada di
Tanjung Buaya dan Pulau Kaniungan itu sering saling mengunjungi, baik dalam
rangka silaturahmi, acara pesta perkawinan, atau berbelanja keperluan
sehari-hari. Mereka menggunakan perahu atau kapal layar. Mengetahui hal
tersebut para perompak suku Balangingi dengan kapal besarnya bersembunyi
di-lupak semacam danau yang pada saat air laut surut tempat itu masih penuh air.
Lupak itu berada persis bertentangan dengan SD Negeri Biduk-Biduk, dilaut itu
dan bersembunyi di lupak itu orang Balangingi bersembunyi. Dari sana mereka
mengejar perahu atau kapal-kapal yang melintas. Mereka mengejar dengan kapal
besarnya yang diiringi oleh beberapa buah biduk atau biduk-biduk milik perompak.
Sejak saat itulah rantau yang belum punya nama itu menjadi punya nama, dikenal
dengan nama Biduk-Biduk. Oleh setiap orang yang melintasi daerah itu
menyebutnya wilayah sekitar Lupak itu Biduk-Biduk.
Beberapa waktu
kemudian perompak suku Balangingi itu pergi tidak pernah kembali lagi setelah
dilakukan pembersihana oleh Punggawa Tokke bersama anak buahnya. Setelah aman, baru
ada orang yang berani singgah dirantau Biduk-Biduk, pada tahun 1905 sampai 1910
suku Bajau yang dikenal dengan nama Si Kapang atau Ma’ Jababa tinggal dan
berkebun disana, kemudian hari disusul oleh orang-orang dari Pulau Kaniungan.
Melihat wilayah baru itu sangat luas, subur, dan cocok untuk perkebunan kelapa,
maka berdatanganlah orang-orang dari Sulawesi Tengah juga membuka perkebunan di
Biduk-Biduk.
foto : Disbudpar
SEPANJANG KIRI KANAN
JALAN DI HIASI DENGAN POHON KELAPA YANG TINGGI MENJULANG
Disekitar
Biduk-Biduk pantainya sangat indah nyaman dipandang mata, pasirnya putih jauh
sampai kelaut, saat air laut surut pantai itu sampai lima ratus meter jauhnya.
Saat air pasang gelombangnya berkejaran
menghamtam dan pecah dipantai. Sepanjang pesisir pantainya ditumbuhi pohon
kelapa bersambung dengan Giring-Giring
terus sampai di Teluk Sulaiman. Batas antara Biduk-Biduk dengan Giring-Giring
ada gunung, disana pada tahun 1934 didirikan pesanggrahan atau rumah
peristirahan sekaligus tempat menikmati laut Biduk-Biduk oleh Belanda.
Orang-orang Belanda pada saat itu setiap datang ke Biduk-Biduk tinggal di
pesanggrahan.
Pada tahun 1945
penduduk Biduk-Biduk baru 610 jiwa mulai batas Teluk Sulaiman, Giring-Giring,
Biduk-Biduk, Bangkuduan, Labuan Kelambu sampai sungai Lempot. Pada tahun 1935
sudah berdiri sekolah rendah sampai kelas III yang dikenal dengan nama Volk
School. Tahun 1957 berdiri Sekolh Rakyat yang kemudian berubah menjadi Sekolah
Dasar Negeri Biduk-Biduk dan pada tahun 1958 berdiri Madrasyah Ibtidayah Darul
Dakwah Al Irsyad (MI DDI) Cabang Biduk-Biduk dari Pare-Pare. Sejak berdirinya
Volk School, SD, dan MI DDI pendidikan masyarakat Biduk-Bidyuk dan sekitarnya
semakin maju.
Pada masa
penjajahan Belanda Biduk-Biduk dan sekitarnya tidak banyak yang dapat
diceriterakan, tetapi pada masa penjajahan Jepang yang sebentar itu banyak
kisah yang sangat menyayat dan menyedihkan. Pada tahun 1943 banyak orang-orang
dewasa dan tua-tua yang ditangkap oleh laskar Jepang termasuk tokoh-tokoh
masyarakat yang tinggal di Pulau Kaniungan Besar. Mereka ditangkap dan kemudian
diangkut ke Balikpapan untuk diadili dan seterusnya dipenjarakan dengan tuduhan
memberi bantuan makanan kepada tentara sekutu. Alasan itu diperkuat dengan
seringnya masyarakat sekitar bepergian dan berlayar ke Sulawesi Tengah untuk
menjual hasil perkebunan dan hasil nelayan, sekembalinya dari sana membawa
barang pokok untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dalam perjalanan pulang
pergi melintasi selat Makassar para nelayan dan pendagang itu sering bertemu
dengan kapal selam sekutu. Namun mereka tidak pernah bertemu langsung dengan tentara
sekutu tersebut. Karena mereka adalah nelayan dan membawa kebutuhan sehari-hari
tidak pernah diganggu oleh kapal selam sekutu. Disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dan ingin mencari muka dengan laskar Jepang, mereka dilaporkan dan fitnah
orang-orang yang tidak disukai. Sepanjang pesisir pantai selatan ada 50 orang
orang yang di tangkap lascar atau tentara Jepang dan diangkut ke Balikpapan,
hanya 10 orang diantara mereka yang bisa kembali dengan cara melarikan diri
dari penjara Jepang di Balikpapan, pelarian itu dilakukan dengan cara berperahu
kecil dan berjalan kaki dari Balikpapan menuju Samarinda, dan dari Samarinda
berlayar menuju Biduk-Biduk dan sekitarnya. Dengan demikian perasaan sedih dan
perasaan benci, dendam terhadap laskar Jepang sangat mendalam.
Pada tanggal 17
Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56
Jakarta kumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang terdengar
secara samar-samar di Radio. Sejak itu masyarakat pantai sudah mengetahui
Indonesia sudah Merdeka. Berita itu menjadi perbincangan dimana-mana, dikebun
kelapa, dipantai, dipemancingan, diwarung dan lain-lain. Walaupun mereka banyak
yang belum paham apa itu merdeka, nyatanya tentara Jepang masih dengan
pongahnya. Mereka mengartikan kemerekaan adalah bebasnya mereka dari
penjajahan, mereka pergi berlayar menuju ke Berau (Tanjung Redeb), ke Tarakan,
ke Samarinda, ke Sulawesi Tengah, ke Kaniungan, ke Tanjung Buaya, ke Labuan
Pinang aman tidak ada yang merampok atau menahan mereka yang tidak bersalah,
kebutuhan sehari-hari tersedia itulah sebuah kemerdekaan yang hakiki.
Pada tanggal 25
Agustus 1945 jam lima subuh datanglah tiga orang tentara Jepang dengan
menggunakan perahu kecil yang dibawa oleh Kiyama dan si Doyang penduduk Labuan
Pinang. Semula mereka merapat di Giring-Giring membawa tiga orang tentara
Jepang yang sedang tinggal dan menjaga serta mengawasi di lampu suar Tanjung
Mangkaliat sebagai basis penjagaan keamanan Tanjung Mangkaliat dan Selat
Makassar. Di ketahui wilayah itu sering terlihat munculnya kapal selam sekutu
kepermukaan laut yang dapat sewaktu-waktu menghantam kapal milik Jepang yang
melintasi wilayah itu, lampu suar atau mercu suar di Tanjung Mangkaliat sebagai
patokan utama menuju keberbagai arah dan tujuan, seperti ke Tarakan, ke
Samarinda, ke Balikpapan, dan ke Sulawesi Tengah.
Tiga orang
tentara Jepang itu adalah Mizukami sebagai komandan, Morakami sebagai anggota,
dan Hatano sebagai penghubung. Ketiga orang tentara Jepang yang didampingi dua
orang dari Labuan Pinang dari Giring-Giring berjalan menuju Biduk-Biduk. Di
Biduk-Biduk bertemu dengan Muhammad Bakri Japar yang baru beberapa hari
melaksanakan pesta pernikahan. Ketiga tentara itu diterima dengan baik dirumah
yang masih berhias setelah melaksakan pesta. Yang sangat mengejutkan bagi
Muhammad Bakri pada percakapan itu adalah permintaan tentara Jepang itu.
Tentara memberitahukan kepada Bakri tentang keinginannya mengumpulkan
wanita-wanita, lalu diperintahkan kepada mereka untuk segera menyingkir atau
mengungsi ketempat yang dianggap aman karena tentara sekutu selalu datang dan
akan menyerang. Hanya yang membuat telinga M. Bakri sakit adalah setelah wanita
semua berkumpul, tentara Jepang itu akan memilih wanita yang muda dan cantik
untuk digauli seperti suami istri, sedang M. Bakri baru melaksanakan pesta
pernikahan dengan seorang gadis cantik Hapidah namanya. Setelah diberikan
tempat rumah untuk beristirahat ketiga Jepang yang kelelahan naik perahu dari
Tanjung Mangkaliat itu sudah tertidur. Kesempatan itu digunakan oleh M. Bakri Japar
untuk menghabarkan kepada rekan-rekan. Mendenga berita tersebut suasa menjadi
panas, kebencian dan rasa dendam yang telah lama mengakar dimana dahulu orang
tuanya, anaknya, saudaranya, keluarganya yang ditangkap Jepang dipenjarakan di Balikpapan
dan tidak kembali serta tidak diketahui dimana kuburnya menjadi beringas, marah
dan darahnya mendidih. Akhirnya keputusan dari beberapa orang pemberani adalah
harus dibunuh, ketiga orang tentara Jepang itu harus dibunuh bagaimanapun
caranya.
Dibawah komando
M. Bakri Japar para tokoh dan para pemberani itu dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Kelompok
yang dipimpin oleh Mahmude panggilan Wa Musa, Kabak, Ketang, dan Muhammad Taib
ditugasi mengikuti seorang Jepang bernama Morakami pergi kerumah yang pernah
didiami oleh bekas istrinya kumpul kebo yang dulu dipaksanya untuk menemaninya.
Kerumah itu untuk mencari tembakau untuk rokok, namun orang yang tinggal
dirumah itu sudah lama mengungsi keluar kampung. Ketika ingin mampir kerumah
yang dituju seketika itu si Kabak dengan cepat memarang Morakami, tetapi morakami
selalu siap dan sigap. Dalam kesempatan yang sangat sempit itu Morakami masih
sempat menghindar dari amukan parang si Kabak yang sudah kalap, telinga
Morakami sempat terhiris parang yang sangat tajam. Akhirnya terjadilah
perkelahian yang sangat dahsyat ditepi pantai. Sabetan demi sabetan yang
dilayangkan oleh Kabak bergantian dengan
Wa Musa, Ketang dan Taib masih dapat dihindari. Morakami menghindar
sambil mundur dengan sigapnya. Akhirnya orang Jepang itu semakin terdesak dan
kelelahan. Si Ketang saat ini berhadapan
langsung dengan Morakami, si Jepang sempat mengeluarkan pisau lipatnya untuk
mengimbangi dan melawan. Ketang lebih dahulu mengayunkan parangnya. Morakami
sempat menangkis dan berusaha menangkap parang Ketang. Keduanya sempat saling
tarik menarik dengan segala kekuatan., namun mata parang yang tajam itu pasti
mampu melukai tangan Morakami yang terus berusaha menghindar. Pak Ketang adalah
orang yang cukup berumur hapir saja tenaganya tak mampu melawan kekuatan sang
tentara. Dalam suasana yang sangat genting itu teman-teman Ketang datang
membantu. Morakami melepaskan parang dan lari pontang panting, dengan tangan
yang mengeluarkan darah segar. Masyarakat sekitar yang telah mengetahui dan
mengintai datang beramai-ramai, dengan marah yang meluap-luap menghabisi
Morakami dengan parang dan kayu. Morakami tewas dipantai Biduk-Biduk dengan
luka yang sangat parah, seluruh tubuhnya seperti bekas dicincang rata dari kaki
sampai kepalanya luka tebas dan memar.
2. Kelompok
yang dipimpin oleh M. Bakri Japar bersama Ua’ Cilla dan Sahabuddin tinggal
dirumah mengatur pembunuhan tentara lainya Hatano. Hatano kesana kemari membawa
alat komunikasi, dia sebagai penghubung menyampaikan informasi maupun menerima
informasi dari luar. Dirumah itu senjata mereka selalu siap yang terdiri dari
senjata laras panjang dua buah lengkap dengan pelurunya, sebuah pistol juga
lengkap dengan pelurunya ditambah dengan beberapa buah geranat didalam sebuah
kemasan tas sejenis ransel. M. Bakri menyiapkan beberapa buah kelapa muda yang
sudah dikupas dan dilubangi, pada saat
Hatano menengadah minum air kelapa pada saat itulah Ua’ Cilla beraksi.
Dengan sigapnya Ua, Cilla membacok batang leher Hatano yang lengah itu. Hampir
putus batang leher Hatano ditebas parang panjang Ua’ Cilla. Hatano belum mati,
ia sempat mengangkat kepalanya yang sudah terkulai dengan meletakkan kembali
ketempatnya semula. Dalam keadaan seperti itu Hatano masih sempat menangkap
tebasan Sahabuddin. Parang Sahabuddin ditangkapnya, saat itu M. Bakri bertindak
menolong sahabatnya, Hatano menyingkir keluar rumah yang tinggi itu dan
tersungkur didepan tangga dengan berlumuran darah. Tiba-tiba datang H. Abdulah menebas Hatano yang sudah
tersungkur itu dengan teriakan kemarahan “inilah orang Jepang yang memakan dua
orang anakku…….”. Anak H. Abdulah ditangkap Jepang pada tahun 1943 lalu dan
tidak pernah kembali lagi, inilah kesempatannya membalas dendam menahun. Kesempatan
genting ini dipergunakan oleh Islam Coma dan Nurudin masuk kedalam rumah yang
mendapat tugas khusus yaitu segera mengambil senjata dan geranat didalam
ransel, sejata dan geranat itu segera dibawa lari jauh-jauh, apabila Jepang
lainnya datang mengambil senjatasudah kehilangan senjatanya.
3. Kelompok
ketiga ini dipimpin oleh Tawile Haleke alias Abdul Khalik bersama Mulia, Musa
dan Abdul Fatah berjalan menuju kearah utara bersama seorang komandan Jepanag,
berencana menangkap seekor kuda untuk dijadikan kendaraan. Mizukami adalah
seorang penembak jitu, makanya dijadikan komandan di wilayah pantai. Dalam
perjalanan tersebut berhenti tepat dihalaman rumah besar milik Pute yang sering
dipanggil Wa’ Menja. Serta merta ia
menghadap kearah pantai mendengar suara teriakan dan rebut-ribut jauh dipantai.
Mizukami bertanya suara apa yang didengarnya itu. Dijawab oleh mereka itu ribut-ribut
orang menangkap kuda. Keempat orang yang mengiringi Mizukami tidak ada yang
berani mendahului untuk membunuh Mizukami. Pada kesempatan yang tepat, sebelum
Mizukami mengetahui dipantai sedang terjadi perkelahian dengan Morakami, Tuwale
Haleke yang masih sakit-sakitan melayangkan parangnya ke muka Mizukami,
ditangkisnya dengan kedua tangannya sangat cekatan, tetapi menangkis parang
yang tajam mengakibatkan kedua tangannya luka dan mukanya juga luka. Dengan
kejadian itu Mizukami langsung lari menuju kerumah dimana senjata dan geranat
disimpan, senjatanya sudah tidak ada Mizukami langsung lari menuju pantai,
belum sampai kepantai di hadang beberapa orang dengan parang terhunus, berbelok
dan masuk kedalam sebuah gudang milik Mading. Dari dalam gudang Mizukami
berusaha tenang dan menawarkan dan mengajak berdamai. Luapan amarah yang
mendidih dan sudah sampai di-ubun-ubun masyarakat tidak mau berdamai. Hanya
satu keinginan mereka adalah Jepang harus mati dihadapan mereka. Si Doyang yang
sudah pernah belajar menembak dengan tentara Jepang, menembak Mizukami dari
luar gudang, yang berada didalam gudang terkena peluru senjatanya sendiri, ia
keluar dari dalam gudang untuk melawan amukan warga yang sudah meluap-luap.
Akhirnya Mizukami yang sudah banyak mengeluarkan darah dan ditembus peluru
merebahkan diri di pantai dan menghembuskan nafas terakhirnya….mati dengan
disaksikan orang sekampung, disaksikan langit, disaksikan pantai dan laut yang
luas. Yang patut diteladani dari tentara Jepang itu adalah tidak ada kata
menyerah, dan harus melawan walau sampai
ajal menjemputnya. Sedangkan keberanian orang-orang Biduk-Biduk juga
patut mendapat penghargaan, dengan bersatu padu mereka dapat membantai tentara
Jepang yang terlatih dan ahli menggunakan senjata, namun atas siasat M. Bakri
Japar dan kawan-kawan ketiga tentara Jepang itu lengah dan meninggalkan
senjatanya dirumah tempat mereka beristirahat.
Peristiwa
bersejarah itu dimulai jam 11.00 waktu setempat sampai dengan jam 14.00. selama
tiga jam itu terjadi pergumulan rakyat Biduk-Biduk membunuh tiga orang tentara
jepang di tanggal 25 Agustus 1945 jatuh dibulan Ramadhan. Ketiga orang Jepang
itu dikuburkan ramai-ramai di halaman rumah M. Bakri Japar. Pada saat yang
bersamaan pulau Balikukup dijadikan tempat pengungsian dari daratan Talisayan,
Batu Putih, Tanjung Perepat, Pantai Harapan, Biduk-Biduk dan sekitarnya. Mereka
sengaja mengungsi ke pulau Balikukup, tentara Jepang tidak berani melaut sebab
tentara sekutu datang dan menyerang tentara dan kapal-kapal Jepang dari laut.
7. LABUAN
CERMIN
Nama Labuan
Kelambu sejak tahun 1915 sudah sangat dikenal dikawasan pesisir selatan
Kabupaten Berau. Mengapa sangat dikenal sejak dahulu, karena tempat itu adalah
tempat yang sangat aman untuk berlabuh kapal-kapal nelayan, tetapi tidak semua
orang bisa masuk kedalam sungai Labuan Kelambu itu. Waktu air laut surut muara
sungai Labuan Kelambu dangkal, sedangkan waktu air laut dalam kapal yang
masukpun bisa kandas dimuara apabila belum mengenal alur masuk muara sungai.
Pada dekade
tahun 1900-an perkebunan kelapa adalah idola, semua orang yang tinggal
dipesisir dan pulau-pulau ingin memiliki kebun kelapa yang luas. Oleh karena
itu masyarakat yang tinggal di Pulau Kaniuangan Besar pada tahun 1908 mencari
lokasi baru untuk berkebun. Akhirnya mereka menemukan sungai kecil yang dalam dan indah sekali. Tepi sungai ditumbuhi
pohon bakau, pohon perangat yang buahnya boleh dibuat sambal, dan banyak pohon
nipah yang daunya bisa dijadikan atap dan dinding rumah. Daun Pohon bakau dan
daun perangat bertemu dari tepi seberang dengan tepi seberangnya membentuk goa
dalam sungai. Dihulu sungai yang tidak terlalu jauh ada sumber air tawar yang
sangat besar.
Awalnya dulu
sungai kecil itu banyak nyamuk dan agasnya. Setiap yang tinggal dan tidur
ditempat itu harus pakai kelambu. Dan ada dua pulau kecil di danau dalam sungai
bentuknya seperti kelambu. Oleh orang Kaniungan yang datang ketempat itu mereka
beri nama Labuan Kelambu. Sejak tahun 1912 rantau sekitar sungai Labuan Kelambu
sudah didiami orang-orang berasal dari Pulau Kaniungan, secara berangsur-angsur
dan akhirnya banyak dan menetap disana. Sejak tahun 1912 Labuan kelambu resmi
menjadi ibu desa hingga tahun 1937. Pada tahun 1938 dipindahkan ke Biduk-Biduk
dengan alasan meletakkan ibu desa ditengah-tengah antara Labuan Kelambu dengan
Teluk Sulaiman. Pusat Desa di Labuan Kelambu pada tahun 1912 sampai dengan
tahun 1937 disetujui oleh Sultan Sambaliung dan Hindia Belanda yang
berkedudukan di Tanjung Raddab. Perpindahannya ke Biduk-Biduk sejak tahun 1938
itu juga atas restu Sultan dan Pemerintahan Belanda.
Sungai Labuan
Kelambu dibuka pada tahun 1908 masih kecil dan sempit, namun airnya dalam untuk
berlabuh perahu dan kapal nelayan. Setelah sekian lama tepinya banyak tergerus
dan semakin melebar. Beberapa bangunan rumah dan sebuah mesjid diatas telah
punah tergerus air sungai yang semakin melebar. Saat ini Labuan Kelambu menjadi tempat
berlabuhnya kapal-kapal nelayan, dalamnya sungai mencapai sepuluh meter saat
air laut pasang. Sungai itu tidak pernah banjir, sebab dibagian hulu sekitar
satu kilometer sungai habis tertutup gunug, sungai itu masuk kedalam lubang
batu karang yang dikenal dengan sumber
air tawar yang kaya bersih dan bening. Sekitar
gunung itu ditumbuhihi hutan yang
sangat lebat. Air disana bercampur antara air laut yang asin dan air tawar
dikenal dengan air dua rasa, tawar dan asin. Air asin, air laut itu masuk saat
air laut pasang. Ketika air laut surut sumber air itu benar-benar tawar dan
bisa diminum langsung. Sumber air dua ras sangat bening dan bersih, istilah
kata jarum dijatuhkan diair sampai
sepuluh meter dalamnya jarum masih kelihatan. Ketika kita melihat kebawah air seperti cermin, tempat itu dikenal dengan nama
Labuan Cermin.
foto : Disbupar
LABUAN CERMIN DENGAN
LATAR BELAKANG HUTAN BAKAU, JEMBATAN, DAN KAMPUNG LABUAN KELAMBU
Di-Labuan Cermin
memilki tiga mata air sebagai sumber air tawar yang mengalir keluar dengan
deras dengan tidak mengenal waktu dan musim. Musim hujan atau musim kemarau
sumber air tetap keluar dengan deras, ia adalah sungai didalam batu dibawah
gunung Labuan Cermin. Ditengah air yang luas seperti sebuah danau itu banyak
ikan yang berenang kesana kemari, bahkan ada yang bergerombol ribuang ekor.
Ketika ikan-ikan itu berenang layaknya seperti pasukan yang berbaris rapi
dengan satu tujuan yang pasti, saking bersih dan beningnya wajah atau bayangan
kita dapat terlihat dengan jelas dipermukaan air. Di danau Labuan cermin ada
dua pulau kecil laksana delta yang mengonggok disana. Pulau itu adalah batu sejenis
batu karang sama seperti gunung dibelakang Labuan Cermin. Labuan cermin sudah
masuk dalam destinasi wisata nasional yang unik dan bernilai khusus serta
special yang wajib dikunjungi oleh setiap wisatawan yang datang di Kabupaten
Berau Kalimantan Timur.
Digunung Labuan
Cermin ditumbuhi oleh berbagai jenis pohon yang sangat kuat dan keras, dibagian
lain ada jenis tumbuhan yang merambat seperti berbagai jenis rotan dan rumput
liar perambat lainnya. Disana juga ada berbagai jenis ular, beberapa jenis
jamur, monyet, anggrek, dan palem. Ada
yang lebih mengagumkan lagi digunung itu
ada danau air tawar yang cukup luas. Berjalan menuju danau itu menembus
hutan lebat dan rapat, dan harus berhati-hati tempat yang kita injak adalah
batu karang yang keras dan tajam, makanya untuk tracking disana disarankan menggunakan alas kaki yang baik dan kuat agar
pada saat terpeleset kaki tidak digores oleh batu karang yang tajam tersebut.
Pada bulan
desember tahun 2012 pengunjung yang datang ke Labuan Cermin, Teluk Sulaiman,
Danau SiGending, dan Pulau Kaniungan lebih 1.000 orang, walaupun jaraknya dari
kota Tanjung Redeb Kabupaten Berau tidak kurang dari 250 Km, tetapi tempat itu
patut didatangi dan sangat menantang. Waw……Labuan Cermin tahun 2013 menjadi idola untuk dikunjungi. Ayo kita
berangkat……
SYURGA YANG DULU HILANG DI LABUAN CERMIN
POTENSI
WISATA BERAU PESISIR SELATAN
Oleh : Saprudin
Ithur
6.
BIDUK BIDUK
Nama Biduk-Biduk
sangat dikenal, sebab ada salah satu tokoh Kampung Biduk-Biduk yang sempat
menjadi Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik
Indonesia namanya Dr. Makmur Sanusi,
makam kedua orang tuanya ada di Biduk-Biduk. Selain itu juga ada seorang tokoh
agama, tokoh pendidikan terkemuka di Biduk Biduk dan sekaligus tokoh politik
adalah Abdul Wahid Syech anggota DPRD Kabupaten Berau dekade tahun delapan
puluhan (1986). Ada lagi satu nama yang juga tidak dapat dilupakan yaitu Ustad
Sanusi Salengke yang mendirikan Darud Dakwah Wal Irsyad yang disingkat dengan
DDI pada tahun 1958, dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Tokoh-tokoh tersebut yang dengan sukarela mengangkat
nama Biduk-Biduk ketingkat Kabupaten, ketingkat Provinsi, sampai ketingkat
Nasional. Didalam peta nasional nama Biduk-Biduk dan Tanjung Mangkaliat selalu
tertera. Biduk-Biduk sekarang menjadi Kecamatan paling selatan wilayah pantai
Kabupaten Berau Pesisir Selatan. Di Kecamatan Biduk-Biduk terdiri dari Kampung
Teluk Sumbang, Kampung Teluk Sulaiman, Kampung Giring-Giring, Kampung
Biduk-Biduk, Kampung pantai Harapan, dan kampung Tanjung Perepat dengan
masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala kampung.
Sebelum kita
melanjutkan kisah Biduk-Biduk, baik kita sedikit mengenali Kampung
Giring-Giring. Panjang kampung Giring-Giring mengikuti pesisir pantainya kurang
lebih dua kilometer. Sepanjang kiri kanan jalan yang dilewati adalah pohon
kelapa yang subur dengan berbuah lebat. Sebagian pantainya terbuka, ketika
ombak besar datang gelombangnya langsung menghantam pantai yang ditumbuhi pohon
kelapa, sebagian lagi pantainya masih ditumbuhi pohon bakau. Di daratan pesisir
pantai Giring-giring itu dahulu banyak ditumbuhi rerumputan yang kembangnya
atau buahnya berbulu panjang seperti binatang laut bulu babi. Buah rumput itu
bebulu tebal sekelilingnya seperti bulu landak namun buahnya tetap kelihatan
pada sela-sela bulunya itu. Buah yang lucu dan bagus itu ketika kering menjadi
ringan dan berjatuhan ketanah. Buah-buah itu bergulingan saat dihembus angin
kesana kemari mengikuti arah angin, nama buah rumput itu adalah Giring-Giring, oleh karena itu sejak dahulu
nama kampungnya di kenal dengan nama Giring-Giring.
Penduduk asli
Giring-Giring tidak berbeda dengan Kampung Teluk Sulaiman yaitu suku Bajau,
orang yang pertama tinggal disana adalah Si Lawang atau dipanggil Ma’ Tandawan.
Si Lawang tinggal disana sebagai nelayan dan sekaligus membuka perkebunan
kelapa, kemudian hari berdatangan orang-orang dari Sulawesi Tengah, akibat
daerah mereka diganggu oleh gerombolan. Orang-orang dari Sulawesa Tengah itu
sekitar 50 kepala Keluarga. Mereka bermukim di Giring-Giring tidak lama, setelah daerah mereka dikabarkan
aman dari gerombolan, mereka kembali ketanah asalnya. kedatangannya pada tahun
1959, lima tahun kemudian tepatnya pada tahun 1965 mereka kembali. Selama lima
tahun itu orang-orang dari Sulawesi Tengah sempat bergaul dan membaur dengan
suku Bajau yang tinggal lebih dahulu disana. Pada tahun 1940 Ma’ Tandawan
pindah bersama beberapa orang kawan dan kerabatnya ke Labuan Pinang untuk
membuka lahan perkebunan baru.
Demikian sekilas
Giring-Giring dimasa lalu, sekarang kita kembali ke Biduk-Biduk. Rantau itu
sebelumnya belum memiliki nama seperti sekarang. Nama Biduk-Biduk berasala dari
nama perahu kecil yang disebut orang dulu dengan Biduk. Karena ada beberapa
buah, maka kata Biduk itu disambung menjadi Biduk-Biduk yang berarti
menyebutkan lebih dari satu perahu-perahu atau Bidu-Biduk. Ceriteranya begini. Pada
penghujung tahun 1800-an tempat itu sangat sepi, daratannya masih hutan
belantara yang sangat lebat, tetapi di Pulau Kaniungan Besar danTanjung Buaya
sudah ramai orang berusaha dan banyak penduduknya. Masyarakat yang ada di
Tanjung Buaya dan Pulau Kaniungan itu sering saling mengunjungi, baik dalam
rangka silaturahmi, acara pesta perkawinan, atau berbelanja keperluan
sehari-hari. Mereka menggunakan perahu atau kapal layar. Mengetahui hal
tersebut para perompak suku Balangingi dengan kapal besarnya bersembunyi
di-lupak semacam danau yang pada saat air laut surut tempat itu masih penuh
air. Lupak itu berada persis bertentangan dengan SD Negeri Biduk-Biduk, dilaut
itu dan bersembunyi di lupak itu orang Balangingi bersembunyi. Dari sana mereka
mengejar perahu atau kapal-kapal yang melintas. Mereka mengejar dengan kapal
besarnya yang diiringi oleh beberapa buah biduk atau biduk-biduk milik
perompak. Sejak saat itulah rantau yang belum punya nama itu menjadi punya
nama, dikenal dengan nama Biduk-Biduk. Oleh setiap orang yang melintasi daerah
itu menyebutnya wilayah sekitar Lupak itu Biduk-Biduk.
Beberapa waktu
kemudian perompak suku Balangingi itu pergi tidak pernah kembali lagi setelah
dilakukan pembersihana oleh Punggawa Tokke bersama anak buahnya. Setelah aman,
baru ada orang yang berani singgah dirantau Biduk-Biduk, pada tahun 1905 sampai
1910 suku Bajau yang dikenal dengan nama Si Kapang atau Ma’ Jababa tinggal dan
berkebun disana, kemudian hari disusul oleh orang-orang dari Pulau Kaniungan.
Melihat wilayah baru itu sangat luas, subur, dan cocok untuk perkebunan kelapa,
maka berdatanganlah orang-orang dari Sulawesi Tengah juga membuka perkebunan di
Biduk-Biduk.
foto : Disbudpar
SEPANJANG KIRI KANAN
JALAN DI HIASI DENGAN POHON KELAPA YANG TINGGI MENJULANG
Disekitar
Biduk-Biduk pantainya sangat indah nyaman dipandang mata, pasirnya putih jauh
sampai kelaut, saat air laut surut pantai itu sampai lima ratus meter jauhnya.
Saat air pasang gelombangnya berkejaran
menghamtam dan pecah dipantai. Sepanjang pesisir pantainya ditumbuhi pohon
kelapa bersambung dengan Giring-Giring
terus sampai di Teluk Sulaiman. Batas antara Biduk-Biduk dengan Giring-Giring
ada gunung, disana pada tahun 1934 didirikan pesanggrahan atau rumah peristirahan
sekaligus tempat menikmati laut Biduk-Biduk oleh Belanda. Orang-orang Belanda
pada saat itu setiap datang ke Biduk-Biduk tinggal di pesanggrahan.
Pada tahun 1945
penduduk Biduk-Biduk baru 610 jiwa mulai batas Teluk Sulaiman, Giring-Giring,
Biduk-Biduk, Bangkuduan, Labuan Kelambu sampai sungai Lempot. Pada tahun 1935
sudah berdiri sekolah rendah sampai kelas III yang dikenal dengan nama Volk
School. Tahun 1957 berdiri Sekolh Rakyat yang kemudian berubah menjadi Sekolah
Dasar Negeri Biduk-Biduk dan pada tahun 1958 berdiri Madrasyah Ibtidayah Darul
Dakwah Al Irsyad (MI DDI) Cabang Biduk-Biduk dari Pare-Pare. Sejak berdirinya
Volk School, SD, dan MI DDI pendidikan masyarakat Biduk-Bidyuk dan sekitarnya
semakin maju.
Pada masa
penjajahan Belanda Biduk-Biduk dan sekitarnya tidak banyak yang dapat
diceriterakan, tetapi pada masa penjajahan Jepang yang sebentar itu banyak
kisah yang sangat menyayat dan menyedihkan. Pada tahun 1943 banyak orang-orang
dewasa dan tua-tua yang ditangkap oleh laskar Jepang termasuk tokoh-tokoh
masyarakat yang tinggal di Pulau Kaniungan Besar. Mereka ditangkap dan kemudian
diangkut ke Balikpapan untuk diadili dan seterusnya dipenjarakan dengan tuduhan
memberi bantuan makanan kepada tentara sekutu. Alasan itu diperkuat dengan
seringnya masyarakat sekitar bepergian dan berlayar ke Sulawesi Tengah untuk
menjual hasil perkebunan dan hasil nelayan, sekembalinya dari sana membawa
barang pokok untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dalam perjalanan pulang
pergi melintasi selat Makassar para nelayan dan pendagang itu sering bertemu
dengan kapal selam sekutu. Namun mereka tidak pernah bertemu langsung dengan
tentara sekutu tersebut. Karena mereka adalah nelayan dan membawa kebutuhan
sehari-hari tidak pernah diganggu oleh kapal selam sekutu. Disebabkan oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dan ingin mencari muka dengan laskar Jepang, mereka dilaporkan dan fitnah
orang-orang yang tidak disukai. Sepanjang pesisir pantai selatan ada 50 orang
orang yang di tangkap lascar atau tentara Jepang dan diangkut ke Balikpapan,
hanya 10 orang diantara mereka yang bisa kembali dengan cara melarikan diri
dari penjara Jepang di Balikpapan, pelarian itu dilakukan dengan cara berperahu
kecil dan berjalan kaki dari Balikpapan menuju Samarinda, dan dari Samarinda
berlayar menuju Biduk-Biduk dan sekitarnya. Dengan demikian perasaan sedih dan
perasaan benc, dendami terhadap laskar Jepang sangat mendalam.
Pada tanggal 17
Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56
Jakarta kumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang terdengar
secara samar-samar di Radio. Sejak itu masyarakat pantai sudah mengetahui
Indonesia sudah Merdeka. Berita itu menjadi perbincangan dimana-mana, dikebun
kelapa, dipantai, dipemancingan, diwarung dan lain-lain. Walaupun mereka banyak
yang belum paham apa itu merdeka, nyatanya tentara Jepang masih dengan
pongahnya. Mereka mengartikan kemerekaan adalah bebasnya mereka dari
penjajahan, mereka pergi berlayar menuju ke Berau (Tanjung Redeb), ke Tarakan,
ke Samarinda, ke Sulawesi Tengah, ke Kaniungan, ke Tanjung Buaya, ke Labuan
Pinang aman tidak ada yang merampok atau menahan mereka yang tidak bersalah,
kebutuhan sehari-hari tersedia irulah sebuah kemerdekaan yang hakiki.
Pada tanggal 25
Agustus 1945 jam lima subuh datanglah tiga orang tentara Jepang dengan
menggunakan perahu kecil yang dibawa oleh Kiyama dan si Doyang penduduk Labuan
Pinang. Semula mereka merapat di Giring-Giring membawa tiga orang tentara
Jepang yang sedang tinggal dan menjaga serta mengawasi di lampu suar Tanjung
Mangkaliat sebagai basis penjagaan keamanan Tanjung Mangkaliat dan Selat
Makassar. Di ketahui wilayah itu sering terlihat munculnya kapal selam sekutu
kepermukaan laut yang dapat sewaktu-waktu menghantam kapal milik Jepang yang
melintasi wilayah itu, lampu suar atau mercu suar di Tanjung Mangkaliat sebagai
patokan utama menuju keberbagai arah dan tujuan, seperti ke Tarakan, ke
Samarinda, ke Balikpapan, dan ke Sulawesi Tengah.
Tiga orang
tentara Jepang itu adalah Mizukami sebagai komandan, Morakami sebagai anggota,
dan Hatano sebagai penghubung. Ketiga orang tentara Jepang yang didampingi dua
orang dari Labuan Pinang dari Giring-Giring berjalan menuju Biduk-Biduk. Di
Biduk-Biduk bertemu dengan Muhammad Bakri Japar yang baru beberapa hari
melaksanakan pesta pernikahan. Ketiga tentara itu diterima dengan baik dirumah
yang masih berhias setelah melaksakan pesta. Yang sangat mengejutkan bagi
Muhammad Bakri pada percakapan itu adalah permintaan tentara Jepang itu.
Tentara memberitahukan kepada Bakri tentang keinginannya mengumpulkan
wanita-wanita, lalu diperintahkan kepada mereka untuk segera menyingkir atau
mengungsi ketempat yang dianggap aman karena tentara sekutu selalu datang dan
akan menyerang. Hanya yang membuat telinga M. Bakri sakit adalah setelah wanita
semua berkumpul, tentara Jepang itu akan memilih wanita yang muda dan cantik
untuk digauli seperti suami istri, sedang M. Bakri baru melaksanakan pesta
pernikahan dengan seorang gadis cantik Hapidah namanya. Setelah diberikan
tempat rumah untuk beristirahat ketiga Jepang yang kelelahan naik perahu dari
Tanjung Mangkaliat itu sudah tertidur. Kesempatan itu digunakan oleh M. Bakri
Japar untuk menghabarkan kepada rekan-rekan. Mendenga berita tersebut suasa
menjadi panas, kebencian dan rasa dendam yang telah lama mengakar dimana dahulu
orang tuanya, anaknya, saudaranya, keluarganya yang ditangkap Jepang
dipenjarakan di Balikpapan dan tidak kembali serta tidak diketahui dimana
kuburnya menjadi beringas, marah dan darahnya mendidih. Akhirnya keputusan dari
beberapa orang pemberani adalah harus dibunuh, ketiga orang tentara Jepang itu
harus dibunuh bagaimanapun caranya.
Dibawah komando
M. Bakri Japar para tokoh dan para pemberani itu dibagi menjadi tiga kelompok :
1. Kelompok
yang dipimpin oleh Mahmude panggilan Wa Musa, Kabak, Ketang, dan Muhammad Taib
ditugasi mengikuti seorang Jepang bernama Morakami pergi kerumah yang pernah
didiami oleh bekas istrinya kumpul kebo yang dulu dipaksanya untuk menemaninya.
Kerumah itu untuk mencari tembakau untuk rokok, namun orang yang tinggal
dirumah itu sudah lama mengungsi keluar kampung. Ketika ingin mampir kerumah
yang dituju seketika itu si Kabak dengan cepat memarang Morakami, tetapi
morakami selalu siap dan sigap. Dalam kesempatan yang sangat sempit itu
Morakami masih sempat menghindar dari amukan parang si Kabak yang sudah kalap,
telinga Morakami sempat terhiris parang yang sangat tajam. Akhirnya terjadilah
perkelahian yang sangat dahsyat ditepi pantai. Sabetan demi sabetan yang
dilayangkan oleh Kabak bergantian dengan
Wa Musa, Ketang dan Taib masih dapat dihindari. Morakami menghindar
sambil mundur dengan sigapnya. Akhirnya orang Jepang itu semakin terdesak dan
kelelahan. Si Ketang saat ini berhadapan
langsung dengan Morakami, si Jepang sempat mengeluarkan pisau lipatnya untuk
mengimbangi dan melawan. Ketang lebih dahulu mengayunkan parangnya. Morakami
sempat menangkis dan berusaha menangkap parang Ketang. Keduanya sempat saling
tarik menarik dengan segala kekuatan., namun mata parang yang tajam itu pasti
mampu melukai tangan Morakami yang terus berusaha menghindar. Pak Ketang adalah
orang yang cukup berumur hapir saja tenaganya tak mampu melawan kekuatan sang
tentara. Dalam suasana yang sangat genting itu teman-teman Ketang datang
membantu. Morakami melepaskan parang dan lari pontang panting, dengan tangan
yang mengeluarkan darah segar. Masyarakat sekitar yang telah mengetahui dan
mengintai datang beramai-ramai, dengan marah yang meluap-luap menghabisi
Morakami dengan parang dan kayu. Morakami tewas dipantai Biduk-Biduk dengan
luka yang sangat parah, seluruh tubuhnya seperti bekas dicincang rata dari kaki
sampai kepalanya luka tebas dan memar.
2. Kelompok
yang dipimpin oleh M. Bakri Japar bersama Ua’ Cilla dan Sahabuddin tinggal
dirumah mengatur pembunuhan tentara lainya Hatano. Hatano kesana kemari membawa
alat komunikasi, dia sebagai penghubung menyampaikan informasi maupun menerima
informasi dari luar. Dirumah itu senjata mereka selalu siap yang terdiri dari
senjata laras panjang dua buah lengkap dengan pelurunya, sebuah pistol juga
lengkap dengan pelurunya ditambah dengan beberapa buah geranat didalam sebuah
kemasan tas sejenis ransel. M. Bakri menyiapkan beberapa buah kelapa muda yang
sudah dikupas dan dilubangi, pada saat
Hatano menengadah minum air kelapa pada saat itulah Ua’ Cilla beraksi.
Dengan sigapnya Ua, Cilla membacok batang leher Hatano yang lengah itu. Hampir
putus batang leher Hatano ditebas parang panjang Ua’ Cilla. Hatano belum mati,
ia sempat mengangkat kepalanya yang sudah terkulai dengan meletakkan kembali
ketempatnya semula. Dalam keadaan seperti itu Hatano masih sempat menangkap
tebasan Sahabuddin. Parang Sahabuddin ditangkapnya, saat itu M. Bakri bertindak
menolong sahabatnya, Hatano menyingkir keluar rumah yang tinggi itu dan
tersungkur didepan tangga dengan berlumuran darah. Tiba-tiba datang H. Abdulah menebas Hatano yang sudah
tersungkur itu dengan teriakan kemarahan “inilah orang Jepang yang memakan dua
orang anakku…….”. Anak H. Abdulah ditangkap Jepang pada tahun 1943 lalu dan
tidak pernah kembali lagi, inilah kesempatannya membalas dendam menahun.
Kesempatan genting ini dipergunakan oleh Islam Coma dan Nurudin masuk kedalam
rumah yang mendapat tugas khusus yaitu segera mengambil senjata dan geranat
didalam ransel, sejata dan geranat itu segera dibawa lari jauh-jauh, apabila
Jepang lainnya datang mengambil senjatasudah kehilangan senjatanya.
3. Kelompok
ketiga ini dipimpin oleh Tawile Haleke alias Abdul Khalik bersama Mulia, Musa
dan Abdul Fatah berjalan menuju kearah utara bersama seorang komandan Jepanag,
berencana menangkap seekor kuda untuk dijadikan kendaraan. Mizukami adalah
seorang penembak jitu, makanya dijadikan komandan di wilayah pantai. Dalam
perjalanan tersebut berhenti tepat dihalaman rumah besar milik Pute yang sering
dipanggil Wa’ Menja. Serta merta ia
menghadap kearah pantai mendengar suara teriakan dan rebut-ribut jauh dipantai.
Mizukami bertanya suara apa yang didengarnya itu. Dijawab oleh mereka itu
ribut-ribut orang menangkap kuda. Keempat orang yang mengiringi Mizukami tidak
ada yang berani mendahului untuk membunuh Mizukami. Pada kesempatan yang tepat,
sebelum Mizukami mengetahui dipantai sedang terjadi perkelahian dengan
Morakami, Tuwale Haleke yang masih sakit-sakitan melayangkan parangnya ke muka
Mizukami, ditangkisnya dengan kedua tangannya sangat cekatan, tetapi menangkis
parang yang tajam mengakibatkan kedua tangannya luka dan mukanya juga luka. Dengan
kejadian itu Mizukami langsung lari menuju kerumah dimana senjata dan geranat
disimpan, senjatanya sudah tidak ada Mizukami langsung lari menuju pantai,
belum sampai kepantai di hadang beberapa orang dengan parang terhunus, berbelok
dan masuk kedalam sebuah gudang milik Mading. Dari dalam gudang Mizukami
berusaha tenang dan menawarkan dan mengajak berdamai. Luapan amarah yang
mendidih dan sudah sampai di-ubun-ubun masyarakat tidak mau berdamai. Hanya
satu keinginan mereka adalah Jepang harus mati dihadapan mereka. Si Doyang yang
sudah pernah belajar menembak dengan tentara Jepang, menembak Mizukami dari
luar gudang, yang berada didalam gudang terkena peluru senjatanya sendiri, ia
keluar dari dalam gudang untuk melawan amukan warga yang sudah meluap-luap. Akhirnya
Mizukami yang sudah banyak mengeluarkan darah dan ditembus peluru merebahkan
diri di pantai dan menghembuskan nafas terakhirnya….mati dengan disaksikan
orang sekampung, disaksikan langit, disaksikan pantai dan laut yang luas. Yang
patut diteladani dari tentara Jepang itu adalah tidak ada kata menyerah, dan
harus melawan walau sampai ajal
menjemputnya. Sedangkan keberanian orang-orang Biduk-Biduk juga patut mendapat
penghargaan, dengan bersatu padu mereka dapat membantai tentara Jepang yang
terlatih dan ahli menggunakan senjata, namun atas siasat M. Bakri Japar dan
kawan-kawan ketiga tentara Jepang itu lengah dan meninggalkan senjatanya
dirumah tempat mereka beristirahat.
Peristiwa
bersejarah itu dimulai jam 11.00 waktu setempat sampai dengan jam 14.00. selama
tiga jam itu terjadi pergumulan rakyat Biduk-Biduk membunuh tiga orang tentara
jepang di tanggal 25 Agustus 1945 jatuh dibulan Ramadhan. Ketiga orang Jepang
itu dikuburkan ramai-ramai di halaman rumah M. Bakri Japar. Pada saat yang
bersamaan pulau Balikukup dijadikan tempat pengungsian dari daratan Talisayan,
Batu Putih, Tanjung Perepat, Pantai Harapan, Biduk-Biduk dan sekitarnya.
Menreka sengaja mengungsi ke pulau Balikukup, tentara Jepang tidak berani
melaut sebab tentara sekutu datang dan menyerang tentara dan kapal-kapal Jepang
dari laut.
7.
LABUAN CERMIN
Nama Labuan
Kelambu sejak tahun 1915 sudah sangat dikenal dikawasan pesisir selatan
Kabupaten Berau. Mengapa sangat dikenal sejak dahulu, karena tempat itu adalah
tempat yang sangat aman untuk berlabuhnya kapal-kapal nelayan, sungai kecil
tetapi airnya dalam. Air tawar yang
berlimpah tersedia tidak jauh dari tempat mereka berlabuh. Walaupun disadari
tidak semua orang mampu membawa kapalnya masuk kedalam sungai Labuan Kelambu
itu. Waktu air laut surut muara sungai Labuan Kelambu dangkal, sedangkan waktu
air laut dalam kapal yang masukpun bisa kandas dimuara apabila belum mengenal
alur masuk muara sungai.
Pada dekade
tahun 1900-an perkebunan kelapa adalah idola, semua orang yang tinggal dipesisir
dan pulau-pulau ingin memiliki kebun kelapa yang luas. Disamping cocok ditepi
pantai, nilai jual buah kelapa dan kelapa olahan menjadi kopra pada masa itu
sangat tinggi dan menguntungkan. Tergiur untuk memiliki kebun yang luas
masyarakat yang tinggal di Pulau
Kaniuangan Besar pada tahun 1908 mencari lokasi baru untuk berkebun. Akhirnya
mereka menemukan sungai kecil yang dalam
dan indah sekali. Tepi sungai yang ditumbuhi pohon bakau, pohon perangat yang
buahnya boleh dibuat sambal, dan banyak pohon nipah yang daunya bisa dijadikan
atap dan dinding rumah. Daun Pohon bakau dan daun perangat bertemu dari tepi
seberang dengan tepi seberangnya membentuk goa dalam sungai. Dihulu sungai yang
tidak terlalu jauh ada sumber air tawar yang sangat besar menjadi pilihan.
Awalnya dahulu
sungai kecil itu banyak nyamuk dan agasnya. Setiap yang tinggal dan tidur
ditempat itu harus pakai kelambu. Masuk kedalam sungai ditemukan hamparan air
yang berbentuk danau, didanau itu ada dua pulau kecil, bentuknya seperti
kelambu. Oleh orang Kaniungan yang datang ketempat itu mereka beri nama Labuan
Kelambu. Sejak tahun 1911 Labuan Kelambu dan rantau sekitar sungai Labuan
Kelambu sudah didiami orang-orang yang berasal dari Pulau Kaniungan, kemudian hari
secara berangsur-angsur yang lainnya menyusul, dan akhirnya menetap disana.
Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1912 Labuan kelambu resmi menjadi ibu desa
hingga tahun 1937. Pada tahun 1938 dipindahkan ke Biduk-Biduk dengan alasan
meletakkan ibu desa ditengah-tengah antara Labuan Kelambu dengan Teluk
Sulaiman. Pusat Desa di Labuan Kelambu pada tahun 1912 sampai dengan tahun 1937
disetujui oleh Sultan Sambaliung dan Hindia Belanda yang berkedudukan di
Tanjung Raddab. Perpindahannya ke Biduk-Biduk sejak tahun 1938 itu juga atas
restu Sultan dan Pemerintahan Belanda.
Sungai Labuan
Kelambu dibuka pada tahun 1908 masih kecil dan sempit, namun airnya dalam untuk
berlabuh perahu dan kapal nelayan. Setelah sekian lama tepinya banyak tergerus dan
semakin melebar. Beberapa bangunan rumah dan sebuah mesjid diatasnya telah
punah tergerus air sungai yang semakin melebar.
Sampai saat ini Labuan Kelambu masih menjadi tempat berlabuhnya
kapal-kapal nelayan, dalamnya sungai mencapai sepuluh meter saat air laut
pasang. Sungai itu tidak pernah banjir, sebab dibagian hulu sekitar satu
kilometer sungai habis tertutup gunug, sungai itu masuk kedalam lubang batu
karang yang dikenal dengan sumber air
tawar bersih dan bening. Sekitar gunung
itu ditumbuhi hutan yang lebat. Air disana bercampur antara air laut
yang asin dan air tawar yang keluar dari mata air, dikenal dengan air dua rasa.
Air asin, air laut itu masuk saat air laut pasang. Ketika air laut surut sumber
air itu benar-benar tawar dan bisa diminum langsung. Sumber air dua rasa sangat
bening dan bersih, istilah kata jarum dijatuhkan kedalam air sampai sepuluh
meter dalamnya jarum masih kelihatan. Ketika kita melihat kebawah air seperti cermin, bayangan terlihat dengan
terang, tempat itu dikenal dengan nama Labuan Cermin.
foto :
Disbupar
LABUAN CERMIN DENGAN
LATAR BELAKANG HUTAN BAKAU, POHON KELAPA, JEMBATAN, DAN KAMPUNG LABUAN KELAMBU
Di-Labuan Cermin
memilki tiga mata air sebagai sumber air tawar yang mengalir keluar dengan
deras dengan tidak mengenal waktu dan musim. Musim hujan atau musim kemarau
sumber air tetap keluar dengan deras, ia adalah sungai didalam batu dibawah
gunung Labuan Cermin. Ditengah air yang luas seperti sebuah danau itu banyak
ikan yang berenang kesana kemari, bahkan ada yang bergerombol ribuan ekor. Ketika
ikan-ikan itu berenang layaknya seperti pasukan yang berbaris rapi dengan satu
tujuan yang pasti. Saking bersih dan beningnya air Labuan Cermin wajah atau bayangan kita dapat
terlihat dengan jelas dipermukaan air…aha…ya saking bersih dan beningnya itu…..
Di danau Labuan cermin ada dua pulau kecil laksana delta yang mengonggok
mengakar dikedalaman danau Labuan Cermin. Pulau itu pulau batu kars sejenis batu
karang yang sama seperti gunung debelakang danau sebagai latar belakang. Labuan
Cermin sudah masuk dalam destinasi wisata nasional yang unik dan bernilai
khusus serta spesial yang wajib dikunjungi oleh setiap wisatawan yang datang di
Kabupaten Berau Kalimantan Timur.
Digunung Labuan
Cermin yang menjadi latar belakang danau Labuan itu ditumbuhi oleh berbagai
jenis pohon yang sangat kuat dan keras, tumbuh dengan kuat diatas batu gunung
kars. Dibagian lain ada jenis tumbuhan yang merambat seperti berbagai jenis
rotan dan rumput liar perambat lainnya. Disana juga ada berbagai jenis ular,
beberapa jenis jamur, monyet, anggrek, dan palem. Ada yang lebih mengagumkan lagi digunung
itu ada danau air tawar yang cukup luas.
Menuju danau diatas gunung, melintasi
hutan lebat dan rapat, harus berhati-hati tempat yang kita injak adalah batu
karang yang keras, licin, dan tajam, makanya untuk tracking disana
disarankan menggunakan alas kaki yang
baik dan kuat agar pada saat terpeleset kaki tidak digores oleh batu karang
yang tajam tersebut.
Pada bulan Desember
tahun 2012 pengunjung yang datang ke Labuan Cermin, Teluk Sulaiman, Danau
SiGending, dan Pulau Kaniungan lebih 1.000 orang, walaupun jaraknya dari kota
Tanjung Redeb Kabupaten Berau tidak kurang dari 250 Km, tempat itu memang patut
didatangi dan sangat menantang. Labuan Cermin adalah syurga yang hilang kini
ditemukan kembali. Waw……Labuan Cermin tahun 2013 menjadi idola untuk dikunjungi setiap
orang……..ayo kita berangkat……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar