SAPRUDIN ITHUR
PAMBAKAL AMBI
(RAMLIE BIN ACHMAD)
PAMBAKAL KAMPUNG MUARA LESAN
PERTAMA
PRIODE 1908-1938
Menurut pertanggalan atau almanak
Muhammadiyah, tanggal 2 Oktober 2014 lalu adalah Milad Muhammdiyah yang ke 102
(Organisasi Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912) berdasarkan hitungan tahun
Masehi. Dalam rangka Milad Muhammadiyah tersebut Lembaga Pendidikan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Tanjung Redeb yang dikenal dengan
STIT Muhammadiyah akan melaksanakan perhelatan besar yaitu melaksanakan Wisuda
mahasiswa pada tanggal 18 November 2014. Berkenaan dengan Milad Muhammadiyah
yang ke 102 tersebut penulis akan menceriterakan sebuah kisah besar perjalanan
hidup seorang tokoh muda yang dikenal dengan nama Pambakal Ambi. Pambakal
pertama Kampung Muara Lesan dipedalaman sungai Kelay, dibawah pemerintahan
Kesultanan Sambaliung, tokoh Kaum Muda (sebutan Muhammadaiyah) tempo dulu. Kisah
ini diangkat bukan menelusuri perjalanan organisasi Muhammadiyahnya, tetapi mengangkat
kisah perjalanan hidup Ramlie bin Achmad sebagai tokoh masyarakat yang memegang
amanah ditugaskan Sultan Sambaliung menjadi seorang Pambakal di Kampung Muara
Lesan tempo dulu. Kisahnya sebagai berikut :
Seorang tokoh Banjar yang tidak dapat dilupakan dalam perjalanan
sejarah Berau khususnya Keraton Sambaliung pada dekade 1880-an adalah seorang
pemuda lajang yang sangat dikenal akan keberanian, kepandaian dan kepiawaiannya
dalam bergaul dan dialah orang pertama yang mampu menghimpun kelompok-kelompok
masyarakat pedalaman sungai Kelai yang masih sederhana serta hidup
berpindah-pindah. Sebagian dari mereka masih primitif, tinggal di gua-gua batu,
dibanir-banir kayu, atau dipondok ( lapau ) kecil ditepi sungai dan dekat
pohon-pohon besar ditengah hutan
belantara. Mereka selalu merasa curiga dengan orang baru, dan masih belum mampu
bergaul dengan orang luar atau pendatang.
Pemuda itu adalah RAMLIE yang dikenal kemudian dengan
panggilan Pambakal AMBI. Ambi panggilan sehari-hari, nama
sebenarnya adalah Ramli, sedangkan pambakal adalah nama lain dari Kepala
Kampung pada zaman itu. Tidak kurang dari tiga puluh tahun memimpin masyarakat
pedalamaan sungai Kelai penyambung lidah dan sekaligus mewakili Sultan
Kesultanan Sambaliung. Ramli adalah seorang tokoh kaum muda Muhammadiyah yang
panatik. Dan dialah tokoh kaum muda pertama menelusuri sungai Kelai. Dan
berdomisili di kampung Muara Lesan yang dibukanya bersama beberapa orang rekan
yang sengaja dibawa kesana sampai dengan akhir hidupnya pada tahun 1938 dan
dimakamkan dikampung Banjar, Batumiang. Seyogyanya Pambakal Ambi mendapatkan
penghargaan yang tinggi dari Kaum Muda (Muhammadiyah), karena beliau termasuk
orang pertama yang mengembangkan Muhammadiyah di tanah Berau Bumi Batiwakkal.
Semua hasil hutan dari pedalaman
sungai kelai ditampung di Kampung Muara Lesan
di rumah Pambakal Ambi, dan kemudian dengan disaksikan oleh masyarakat
setempat barang tersebut dilelang kepada para pedagang yang memang sudah datang
di Kampung Muara Lesan itu. Begitulah pembakal Ambi yang hampir dari separuh
hidupnya membina masyarakat pedalaman sungai Kelai menjadi wakil penyambung
lidah dari Sultan Sambaliung, dan sekaligus mewakili Kontruliur pemerintahan
Hindia Belanda di wilayah sungai Kelai yang sudah bercokol di tanah Banua
Berau.
- SUNGAI KELAI MASA DOELOE
Sungai Kelai yang panjangnya lebih dari 254 Km meliuk-liuk, menukik
dan berbelok-belok sampai menembus kewilayah perbatasan dengan sungai
Sangkulirang dan sampai keperbatasan
Kutai serta hampir bertemu dengan ujung sungai Segah di hulu, mempunyai puluhan anak sungai
diantarannya sungai Inaran, sungai Long
Gie, sungai Lesan, dan banyak sungai kecil lainnya. Sungai yang panjang itu
seolah ekor naga raksasa yang memukul dan mengibas membelah hutan, rawa, dan
belukar ditengah padang nan luas. Sungai Kelai yang airnya kadang bening dan
kadang keruh itu tumpah dan masuk kesungai Berau yang dulu dikenal dengan Kuran
dan kemudian bersama dengan air sungai Segah tumpah kelaut bebas melalui muara
Lungsuran Naga, muara Pegat, dan Muara Kasai.
Kiri kanan sungai Kelai hutannya lestari, menghijau, memenuhi
pinggiran sungai, sampai ranting dan daun-daun jatuh kesungai. Biawak,
berang-berang, ular taddung, dan ular sawa (piton), banyak berkeliaran hulu
hilir dan memotong menyeberangi sungai. Lain lagi dengan buayanya. Buaya kecil,
dan besar sering terlihat ditengah sungai, bahkan dimana ada tempat-tempat
bersih dan terang, pantai pasir, pantai koral disana buaya-buaya itu mendarat
dan berjemur dengan mulutnya mengngangnga menyerap panas matahari. Diranting
ranting kayu hinggap bermacam-macam burung, ada burung hijau pemakan ikan, ada
burung tampurukan, dan burung kalibarau yang suka mandi disungai setiap pagi
dan sore dengan kicaunya yang menawan. Dipohon-pohon besar ada burung tiung, burung
rangkai, burung enggang, burung elang, burung gagak, bekantan, uat-uat, kukang,
bangkui, orang utan, dan lain lain. Sedang didaratnya ada babi, kijang, payau
(rusa), pelanduk (kancil), beruang, badak, Rimaung daan (macan dahan), landak,
musang, bekantan, puluhan jenis monyet, ratusan jenis semut, puluhan jenis
kupu-kupu. Dipohon bangris yang tinggi menjulang, dicabang-cabangnya
bergelantungan sarang lebah madu yang sangat manis.
Perjalanan satu-satunya pada saat itu dari Tanjung Tuan Cools menuju
Kampung Muara Lesan hanyalah melalui jalur sungai dengan menggunakan perahu
yang didayung atau didorong dengan
tanggar (kayu panjang). Untuk sampai ke Muara Lesan ditempuh selama tujuh hari
tujuh malam, kalau air sungai Kelai lagi banjir sampai sepuluh malam baru
sampai di Kampung Muara Lesan, sedangkan turun atau lusung dari Muara Lesan ke
Tanjung ditempuh selama tiga hari tiga malam, lebih cepat karena mengikuti arus
air sungai yang turun kehilir dengan cepat.
Di Tanjung Tuan Cools ditumbuhi pohon yang subur berbunga warna
merah indah sekali. Pohon yang berbunga indah itu dikenal masyarakat Berau
dengan nama pohon Raddab, oleh karena itu Tanjung Tuan Cools itu juga disebut
Tanjung Raddab. Tuan Cools adalah seorang pengusaha Kayu berkebangsaan Britis,
England, atau kita kenal dengan negara Inggris. Pengusaha kayu tersebut didatangkan
khusus oleh Hindia Belanda.
Kota-kota yang ramai pada saat itu baru Teluk Bayur, Gunung Tabur
dan Sambaliung, serta Kampung Banjar di Batumiang. Dihilir sungai Berau ada kampung
Sukan, kampung Batu-Batu, kampung Marancang. Sedangkan Keraton Istana Raja Alam
tahun 1810 di sungai Gayam telah lenyap tanpa penghuni dan sudah menjadi hutan,
yang tertinggal hanya tiang atau tongkat keraton yang tinggi besar dari pohon
kayu ulin. Tiang kayu ulin peninggalan Raja Alam masih terlihat sampai tahun
1980 di sungai Gayam.
Sungai Kelai nan indah dan permai diapit oleh hutan yang lebat dan
tebing-tebing batu terjal sampai saat ini masih menjadi saksi abadi bagi
orang-orang yang hilir mudik melintasi sungai selama ratusan tahun.
- SANG PERANTAU
Pada saat jaman masih sangat sulit, jalan-jalan darat di pulau
Borneo masih sangat terbatas, kehidupan masyarakatpun masih serba kekurangan
dan apa adanya, sedangkan penjajahan Belanda masih mencengkeram dengan kuat
dibumi Nusantara tanah tercinta. Dari negeri Amuntai pergilah seorang pemuda
untuk mengadu nasib dinegeri orang, dia
adalah pemuda Ramlie yang tampan, berperawakan tinggi, gempal, hidung sedikit
mancung, dan kepala suka digundul berkulit bersih kuning langsat. Dia lincah,
pandai bercakap-cakap, tidak pemalu, cakap, dan mudah akrab dengan siapa saja.
Ramlie berangkat dari kampungnya di Amuntai Kalimantan Selatan berkisar tahun
1899 dalam usia kurang lebih 32 tahun ( lahir tahun 1867 di Amuntai ) dengan
menumpang kapal menuju kearah Timur dan kemudian melanjutkan ke wilayah utara
Kalimantan Timur, sampai di Tarakan, kemudian melanjutkan perjalanan ke
Bulungan. Singgah beberapa lama di Bulungan. Melalui hulu sungai Bulungan Ramlie
dengan berjalaan kaki menembus kesungai Segah dan turun ke Tanjung Tuan Cools
(Sekarang Tanjung Redeb). Dan kemudian tinggal di Tanjung. Selama di Tanjung
Ramlie sering bertandang ke Keraton Sambaliung. Para sesepuh Sambaliung
mengenal Ramlie sebagai pemuda yang berani, cakap, sopan, dan pandai bergaul.
Selama pergaulan itu Ramlie menguasai bahasa Banua (Berau). Kemudian Ramlie
Bergabung dalam kelompok Kaum Muda yang sekarang dikenal dengan organisasi
Muhammadiyah baik yang ada di Tanjung maupun yang ada di Sambaliung. Sedangkan
Keluarga dekatnya dari Amuntai Saat namanya menganut aliran kaum Tua (Nahdathul
Ulama) di Tanjung dan berhubungan dengan
Sultan Gunung Tabur.
- TUGAS KEPEDALAMAN SUNGAI KELAI
Kemudian karena ketangkasan dan kemampuannya, Ramlie diutus oleh
Sultan Sambaliung untuk mewakili sultan di pedalaman sungai Kelai. Sebagai
perpanjangan tangan sultan dipedalaman sungai Kelai. Tugas mulia dari Sultan
Sambaliung disambut dengan suka cita oleh Ramlie. Ramlie sebagai pendatang baru
bangga sekali mendapat kepercayaan langsung dari Sultan. Satu penghargaan yang
tiada tara yang diberikan oleh Sultan kepadanya. Tugas itu ia sampaikan kepada
keluarga dekatnya Saat dan beberapa kerabatnya. Mereka semua dengan suka cita
mendukung Ramlie dan memberi semangat untuk segera melaksanakan tugas dari
Sultan Sambaliung.
Survey kepedalamanpun mulai dilaksanakan, dengan tujuan mencari
lokasi baru yang cocok dijadikan tempat pemukiman baru., sebagai kepanjangan
tangan sultan di pedalaman. Setelah beberapa waktu maka ditemukanlah tempat
yang cocok. Berada ditengah-tengah. Tidak terlalu kehulu sungai dan tidak
terlalu kehilir, maka dipilihlah Muara Sungai
Lesan sebagai tanah baru yang sangat
subur.
Didalam sungai Lesan didiami suku Dayak Lebo/Lebu, di hulu sungai
Kelai didiami suku Dayak Punan, dihilirnya didiami suku Dayak Kenyah dan suku Dayak
Ga’ai. Muara Lesan berkedudukan ditengahnya. Muara Lesan dibuka menjadi
perkampungan baru oleh tiga serangkai empat penjuru diluar suku-suku Dayak
dipedalaman sungai Kelay tersebut diatas.
Kemudian mereka menetap dan berkedudukan di Muara Lesan.
Berkedudukan di Muara Lesan sebagai kampung yang baru dibuka, Ramlie sebagai
kepanjangan tangan dari Sultan Sambaliung dipercayakan untuk mengatur enam
belas kampung sebagai Pembakal dipedalaman sungai Kelay itu.
Kampung dan suku yang diaturnya terdiri dari :
1.
Kampung Merasa, suku kenyah.
2.
Kampung Long Keluh, suku
kenyah.
3.
Kampung Busang Lalu, suku kenyah.
4.
Kampung Salungun, suku kenyah.
5.
Kampung Longgi, suku kenyah.
Raja Suku Kenyah seorang gagah berani Long Bang Ping dengan gelar
Aji Muda.
6.
Kampung Lesan Dayak, suku Segai ( Ga’ai ).
Kepala Adatnya adalah Anyi
7.
Kampung Long Duhung, suku
Punan.
Kepala Adat, Leh Haun dengan wakilnya, Bang Wahis
8.
Kampung Long Keluh, suku Punan
9.
Kampung Long Lamcin ( pohon
salak ), suku Punan
Kepala adat, Bang Halok
10. Kampung Long Pelai, suku Punan
Kepala Adat, Taman Jiang. Dengan
wakilnya, Leh Talong.
11. Kampung Long Sului, suku Punan.
Kepala Adat, Jiu Tulus.
12. Kampung Puntian, suku Lebbu
13. Kampung Merapun, suku Lebbu
14. Kampung Merabbu, suku Lebbu
15. Kampung Perenggun, suku Lebbu
16.
Kampung Mapulu, suku Lebbu
17.
Kampung Muara lesan, terdiri
dari suku campuran bukan Dayak.
Ramlie membangun rumah di Muara Lesan, yang cukup besar pada masa
itu, dengan ukuran 16 x 16 meter, kemudian setelah lebih ramai Ramlie membangun
lagi sebuah rumah yang sama besarnya
dengan yang sudah ada.
Rumah pertama
dijadikan tempat tinggal keluarga Ramlie, sedang rumah yang kedua dijadikan
tempat penampungan warga yang datang, atau tamu dari Sambaliung dan para
pedagang yang menjual dan membeli dagangan disana. Sedangkan dibagian belakang
rumah besar itu di jadikan gudang penampungan hasil bumi dari pedalaman sungai
Kelai
Para tamu yang datang ke Muara Lesan sangat dihormati, mereka dijamu
selama berada disana. Penjamuan kepada tamu tidak dibeda-bedakan, baik tamu
yang datang dari Tanjung, Sambaliung, maupun datang dari pedalaman. Hanya Suku
Punan pada masa itu belum makan nasi, mereka masih makan sagu yang tumbuh
dihutan dekat dengan tempat tinggal mereka.
Pambakal Ambi bertugas di Muara Lesan tidak kurang dari 30 tahun sampai dengan
akhir hayatnya. Selama 30 tahun di pedalaman Ramlie sempat beristri lima orang
dan menurunkan ratusan cucu dan cicit yang tersebar diberbagai kota dan
Kampung.
- TIGA SERANGKAI EMPAT PENJURU
Distrik kesulitan untuk mengontrol atau mengawasi wilayah pedalaman
sungai Kelai, apalagi upayanya gagal dalam mendekati masyarakat Dayak yang
masih belum mau berkomunikasi dengan masyarakat atau orang luar. Paling-paling
kalau ada kunjungan kepedalaman yang mau bertemu hanya satu dua orang saja,
padahal hasil bumi dari pedalaman sungai Kelai cukup besar. Dari perdagangan
hasil bumi seperti rotan, sarang burung putih, getah kalapiyai, damar, dan
lilin madu belum ada hasilnya buat pemerintahan Hindia Belanda dan Kesultanan
Sambaliung. Lebih jelasnya pajak belum dapat dipungut dengan maksimal dari
hasil yang besar dari pedalam sungai Kelai itu. Akhirnya pihak Kerajaan
Kesultanan Sambaliung dan pihak Hindia Belanda yang masih berkuasa di tanah
Berau mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
Dengan kedatangan tiga
serangkai yaitu Ramlie, Majur, dan Kasim berasal dari Banjar yang sudah berpengalaman menjelajahi
pedalaman Kalimantan khususnya pedalaman Kalimantan Selatan dan pedalaman
Kalimantan Timur sering berpetualang dan melanglang buana di pedalaman sungai
Mahakam, pedalaman Bulungan dan pedalaman Berau, dan khususnya Ramlie yang juga
dikenal dengan nama Ambi itu menguasai beberapa bahasa Dayak pedalaman, seperti
bahasa Segai/ Ga’ai, Punan, Lebbu, Basaf dan Kenyah. Ramlie sangat mudah
berkomunikasi dengan beberapa suku Dayak yang mendiami dikisaran pedalaman
sungai Kelai. Dengan berbagai pertimbangan yang matang dari pihak distrik yang
membawahi wilayah sungai Kelai dibawah koordinasi Pemerintahan Hindia Belanda
dan Kesultanan Sambaling bersepakat untuk menunjuk perwakilan di Pedalaman
sungai Kelai. Kesultanan Sambaliung menunjuk dan menugaskan Ramlie sebagai
perwakilan di Pedalaman sungai Kelai. Dengan penugasan tersebut Ramli membawa
orang-orang yang dapat dipercaya untuk membangun kampng. Muara Sungai Lesan
sebagai pilihan tepat untuk membangun kampung sebagai perwakilan Distrik dan
Kesultanan Sambaliung.
Rombongan berangkat menuju Muara Sungai Lesan yang ditempuh tidak
kurang dari tujuh hari tujuh malam. Rombongan tersebut kemudian hari dikenal
dengan sebutan empat penjuru.
Mengapa yang membangun Kampung Muara Lesan itu di kenal dengan empat penjuru ?
Karena rombongan
yang membuka dan membangun kampung Muara Lesan pertama itu terdiri dari empat
suku, yaitu :
1.
Suku Banjar terdiri dari Ramli, Majur,
dan Kasim.
2.
Suku Banua ( Berau ) sebagai pemilik
Berau terdiri dari Amang Jauhar, Unduk,
dan Parrang.
3.
Suku Bugis terdiri dari H. Ramang, Ambo Rio, dan Wak
Supu
4.
Suku Cina ( Tiong Hoa ) terdiri dari
Muksin dan Cungi.
Untuk mengisi dan menambah penduduk Kampung yang baru dibuka oleh tiga serangkai empat
penjuru itu, Ramlie kemudian hari membawa kawan-kawannya yang lain untuk
tinggal disana sekaligus membantu tugas-tugasnya. Yang dibawa bersamanya ke
Muara lesan antara lain Guru Agama Sarua ( Keili ), Mamanga ( Keili ), Anja, Bujang Jaliha, Amma
Kil (Tidung), Lahaking (cina). Mereka terdiri dari pekerja keras, pedagang dan
pengusaha pada masa itu.
Kemudian hari H. Ramang dikenal dengan Pengulu, Imam, dan Khatib.
Sedangkan Muksin, Cungi, dan Lahaking menjadi pedagang tersohor dipedalaman
sungai Kelai.
- HASIL HUTAN DILELANG DI MUARA LESAN
Perjalanan dari Tanjung menuju ke Muara Lesan dan lain-lain kampung
hanya melalui jalur sungai. Dari Tanjung ke Muara lesan ditempuh dengan perahu
yang muatan sampai dua ton di dayung (Bassai) oleh tujuh orang selama 7 hari.
Pada malam hari beristirahat di pantai pasir (gusung) sungai Kelay sambil
menyalakan api untuk memasak dan menghangatkan kaki yang seharian terendam air
dalam perahu. Kalau tidak dilakukan seperti itu, kaki menjadi gatal dan
terkupas tipis dan balancat (gatal-gatal).
Kalau musim banjir perjalanan menuju ke Muara Lesan sampai sepuluh
hari dengan mendayung, dibantu dengan tanggar, dan kait dari dahan kedahan yang
menjulur disungai deras itu. Sedangkan kembali dari Muara Lesan menuju Tanjung
hanya ditempuh dalam waktu tiga hari saja. Lebih cepat, karena mengikuti arus
sungai kehilir.
Para pedagang mulai ramai hilir mudik dari Tanjung tuan Cools ke
Kampung Muara Lesan. Dari Tanjung mereka membawa garam , gula, tembakau, kain,
dan lain-lain keperluan orang-orang dipedalaman. Dari Muara Lesan para pedagang
membawa hasil hutan seperti getah ampau, getah putuk, getah kalapiyai, lilin
madu, rotan saltup, rotan segah/segai, rotan semambu, kayu gaharu, sarang
burung walet, damar kepala tupai, damar tulang, damar mata kucing, damar
daging. Damar daging adalah damar dari pohon kayu agatis, damar yang paling
mahal dan paling dicari. Cula badak juga laku dan sangat mahal.
Hasil itu sebelum dibeli oleh para pedagang, oleh Ramli dikumpulkan
di Kampung Muara Lesan, dan apabila sudah cukup, semua hasil itu di lelang
secara terbuka dihadapan rakyat dan para pedagang yang datang. Para pedagangpun
berebut untuk mendapatkan dagangan yang menguntungkan itu. Setelah lelang
selesai hasil hutan dibawa ke Tanjung
tuan Cools (Tanjung Redeb).
Timbangan yang dipergunakan saat itu Kati, satu kati sama
dengan enam on. Sedangkan kain dijual dengan ukuran Jar, bukan ukuran
meter seperti sekarang. Satu Jar sama dengan 80 cm
- MENGHADIRI PESTA ADAT
Hampir setiap kampung orang-orang Dayak, setelah panen padi mereka
mengadakan keramaian, sebagaimana pesta adat, dengan tujuan mengucapkan terima
kasih dan mengucap syukur kepada Tuhan yang dikenal mereka dengan Matau. Suku Lebbu, suku Segai, suku Kenyah, dan
suku Punan belum memiliki agama yang tetap. Mereka masih beragama adat.
Agamanya sesuai dengan adat masing-masing suku. Boleh jadi sebagai agama adat
kepercayaan yang mereka alami selama hidup. Matau adalah Tuhan mereka.
Mereka masih
kuat percaya pada gunug-gunung, kayu besar, burung-burung, seperti burung
elang, burung talangjan dan lain-lain. Sedangkan misi Kristen masuk kepedalaman
sungai Kelay pada dekade tahun lima puluhan. Dan kemudian hampir seratus persen
mereka menganut agama baru, yang dikenal dengan agama Kristen dan Katolik itu. Sebagian lainnya masih bertahan dengan
agama lama, dan sebagiannya yang kawin dengan para pendatang masuk agama Islam.
Pesta-pesta
adat habis panen yang mereka laksanakan seperti suku Ga’ai dengan Bakudung,
suku Lebbu Irau, Punan dengan Mengenai, Kenyah dengan Irau. Dalam acara
tersebut juga dihadirkan tari-tarian, musik sampe, nyanyian, dan kesenian
bertutur (mengenai), serta acara pengobatan dan lain-lain. Acara Irau dan
Bakudung ini dilaksakan sampai tiga
bulan, selama tiga bulan itu pula mereka
bergembira, dan makan daging buruan bersama-sama.
Ramlie yang dikenal dengan Pambakal Ambi setiap acara selalu diminta
hadir bersama mereka. Pambakal setiap kesempatan selalu berusaha untuk hadir
memenuhi undangan. Oleh karena itulah Pambakal Ambi sangat dikenal dikalangan
mereka dan sangat dihormati seperti seorang sultan. Orang Pedalaman sungai
Kelay tidak banyak mengenal Sultan dan para pejabat keraton Sambaliung, kecuali
yang mereka kenal adalah Pambakal Ambi yang selalu dekat dengan mereka.
memperhatikan mereka, Berkumpul membaur bersama mereka pada saat diadakan perhelatan adat yang
dikenal dengan irau dan bekudung serta acara lain-lainnya itu. Bahkan sampai
Pambakal Ambi memperistri salah satu gadis suku Lebbu yang cantik sebagai istri
keempat.
- MASA-MASA TERAKHIR
Pambakal Ambi berkuasa lebih dari tiga puluh tahun di Muara Lesan
sebagai pembawa misi Sultan Sambaliung untuk menangani orang-orang pedalaman
sungai Kelay yang masih tertinggal dan primitif. Muara Lesan satu-satunya
kampung yang bukan kampung suku Dayak dan sudah beraga Islam.
Batas patok suku
Dayak di pedalaman sungai Kelay dimulai dari Lesan Dayak, Long Demit. Dari Long
Demit itu sampai ke hulu-hulu sungai adalah wilayah orang dayak. Wilayah ini
diatur sejak Kerajaan Sambaliung dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda.
Batas wilayah tersebut sangat dihormati oleh semua pihak, dan belum pernah
dirubah sampai dengan sekarang pada masa Pemerintah Republik Indonesia. Apabila
demikian maka, hak wilayah, hak adat, dan hak-hak lainnya masih dikuasai, dan
dipegang oleh suku Dayak Kelay, baik memanfaatkan, mengelola, maupun menikmati
hasil kekayaannya. Sebab sejak zaman nenek moyang suku Dayak telah menyatu
dengan hutan, menyatu dengan alam, mereka hidup dan mati dipedalaman tidak
terpisahkan dengan alam dan hutan. Sedangkan dari Long Demit Lesan Dayak
kehilir adalah wilayah orang Banua (orang Berau) sampai kemuara Lungsuran Naga.
Pambakal Ambi mempunyai kekayaan dan harta yang cukup banyak di
Muara Lesan. Disamping itu Pambakal juga laki-laki yang jantan dan sejati
dengan lima orang istri.
1.
Istri pertama Bulkis
namanya, wanita suku Banua, dinikahinya pada tahun 1904 mendapat anak empat orang :
-
Baki ( Laki-laki )
-
Djafar ( Laki-laki ) Meninggal
disembelih Jepang
-
Tiki ( Perempuan )
-
Syamsuddin ( laki-laki )
1912-Januari 2002
2.
Istri Ke dua Hadidjah
wanita suku Banua. Mendapat anak tiga orang :
-
Arbi ( perempuan )
-
Ranti ( Perempuan )
-
Masih ( perempuan )
3.
Istri ke tiga Saudah
wanita suku Banua.mendapat anak satu orang
-
Kalsum ( Perempuan ) meninggal
4.
Istri ke empat Didjah
wanita suku Lebbu. Mempunyai satu anak, meninggal.
5.
Istri ke lima Siti Aisyah
wanita muda suku Bugis. Mempunyai anak dua orang
-
Yahya ( laki-laki ) lahir
tahun1932
-
Muhammah Ardi ( Laki-laki )
lahir tahun 1934
Pambakal Ambi
mempunyai cucu lima puluh enam orang dan
buyut lebih seratus orang, yang sekarang tersebar di kampung Muara
Lesan, Tanjung Redeb, Sambaliung, Teluk Bayur, Tepian Buah, Gunung Tabur,
Talisayan, Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Pasir, dan lain-lain.
Pada Tahun 1938 Saat itu Samsuddin putra terakhir dari istri pertama
berusia 26 tahun, Yahya putra pertama dari Istri ke lima berusia 6 tahun dan
Ardi dari istri ke lima baru berusia 4 tahun, ayahnya pambakal Ambi
sakit-sakitan. Pada saat itu istri pertama, istri ke dua, istri ketiga, dan
istri ke empat sudah tiada lebih dahulu menghadap yang kuasa. Istri pertama
Bulkis dimakamkan di Sambaliung, istri kedua, ketiga, dan keempat dimakamkan di
Kampung Muara Lesan lama.
Kemudian pada puncaknya, sakit Pambakal semakin parah dan di bawa
turun dari Muara Lesan menuju ke kampung Banjar, Batumiang Tanjung Redeb. Rombongan yang mengantar ke
Kampung Banjar itu antara lain Djapar, Samsuddin, Mansur, Ranti, Yahya, Ardi
dan bersama ibunda Siti Aisyah istri terakhir Pambakal Ambi. Djapar, Samsuddin,
dan Mansur setelah mengantar beberapa hari kemudian kembali ke Muara Lesan.
Penyakit yang diderita oleh Pambakal Ambi semakin parah, dan
akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir dipangkuan Istrinya yang masih muda
Siti Aisyah dan kedua putranya yang masih kecil Yahya dan Ardi pada usia 64
tahun. Jenazah dimandikan dan dimakamkan di Kampung Banjar Batumiang dengan
upacara pemakaman yang sangat sederhana. Beliau Wafat pada tahun 1938 dengan
meninggalkan beribu kisah dan berjuta kenangan yang pahit maupun yang manis dan
tetap dikenang sepanjang jaman. Makam Pambakal Ambi dengan nama sebenarnya
Ramlie Bin Achmad sekarang masih terpelihara dengan baik, dirawat oleh anak
cucu di tepi jalan Pulau Semama samping surau Darussalam.
Setelah Beliau
meninggal kekuasaan diambil alih oleh salah satu menantu tertua, yaitu pamanda Riduan
suami Tiki putri kedua dari istri pertama almarhum.
Bagaimana dengan masyarakat pedalaman ?. Mereka benar-benar merasa
kehilangan, mereka setelah mengetahui berita Pambakal Ambi meninggal yang
tua-tua menangis mengenang jasa serta kebaikan Pambakal. Dan mereka katakan
tidak ada lagi orang yang dapat menggantikan orang sebaik Pambakal itu.
Istri kelima dengan menghidupi dua orang anak
laki-laki itu kemudian hari menikah lagi dengan seorang pria yang bertanggung
jawab melahirkan anak laki-laki Kadir namanya. Pada akhir hidupnya Siti Aisyah
menetap di Kampung Muara Lesan, meninggal dan dimakamkan pula disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar