BURUNG ENGGANG SIMBOL BUDAYA DAYAK
PAKET WISATA ALAM DAN BUDAYA
Oleh : Saprudin,
M. Si
Kepala Bidang Kebudayaan Disbudpar Berau
Burung
Enggang adalah salah satu burung kebanggaan masyarakat Kalimantan. Sejak zaman
nenek moyang dulu burung enggang sudah dihormati, bahkan sebelum mengenal
agama, Burung Enggang dipercaya memiliki kekuatan tertentu dan memiliki
kelebihan tertentu oleh orang-orang yang mendiami pulau Kalimantan. Yang pasti
burung enggang selalu terbang tinggi, diantara pohon-pohon yang tinggi,
diantara pucuk-pucuk pohon yang tinggi, akan buah-buahan, badan dan bulunya
selalu bersih, sarangnya tinggi dalam lubang kayu pohon besar, memiliki suara
yang sangat nyaring dan keras. Setiap burung enggang dewasa mau terbang memberi
tanda lebih dahulu dengan suara yang khas nyaring dan diakhiri dengan suara
teriakan yang keras, baru ia terbang dengan gagah dan pongahnya. Suara diawali
dengan suara putus-putus, dilanjutkan dengan semakin cepat, semakin cepat,
cepat sekali, begitu menjelang terbang suaranya berubah menjadi lebih keras dan
pecak seperti suara teriakan cepat putus-putus. Guk………guk……..guk..…guk....guk....
guk...guk..gukgukgukgukkakkakakkakkakkakkak.
Alam sudah
memberi informasi dengan baik kepada semua binatang dimuka bumi, naluri semua binatang
sangat bagus dan selalu tepat kemana mereka harus pergi, ke utara, ke selatan,
ke barat, atau ke timur. Kemana meraka harus mencari makan, dimana pohon yang
menyiapkan makanan sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Pada saat-saat
tertentu pergerakan semua binatang itu sangat menentukan. Kalau kalong pada
sore hari menjelang malam terbang kearah barat, berarti diarah barat itu
tersedia makanan yang melimpah, maka babi yang tinggal didarat juga akan
bergerak menuju kebarat, dikuti binatang lain yang suka memakan buah. Tidak
perduli dengan aral yang melintang dan menghalangi perjalanan mereka.
Menyeberang sungai, melintasi gunung tinggi dan terjal, atau apapun tetap
mereka pergi kearah yang sesuai dengan naluri mereka harus pergi kearah sana. Begitu
pula binatang pemakan rumput dan daun-daunan. Mereka paham benar, lagi-lagi
berdasarkan nalurinya dimana rumput dan daun makanan mereka tersedia yang segar
dan subur, meraka berangkat bersama-sama menuju hutan atau padang rumput yang
subur dan segar itu.
Ketika musim
bunga maka lebah dan kelulut semakin jadi, bersarang di mana-mana di pohon-pohon
banggris yang tinggi menjulang atau dipohon selain bangris yang menjadi
tempat lebah biasa hinggap dan
bersarang. Selama musim bunga, maka madu banyak tersedia disarang-sarang lebah
dan kelulut. Mereka mengumpulkan madu dari jutaan bunga dipohon-pohon besar dan
pohon kecil ditengah hutan belantara luas, dan di tepi-tepi sungai. Madu yang
dihisap oleh lebah dan kelulut diangkut menuju sarangnya masing-masing. Pada
musim bunga tersebut banyak madu tersimpan, maka saat yang bersamaan lebah muda
menetas dari telur disarangnya. Madu akan berkurang disarang lebah dan kelulut
itu apabila musim anaknya jadi. Madu yang tersedia itu menjadi makanan utama
anak lebah dan anak kelulut. Anak-anak lebah itu hidup dengan sehat karena
ketersediaan makanan yang melimpah. Alam menyediakan bunga yang siap dihisap
oleh jutaan lebah dan kelulut. Ternyat dibalik itu semua, fungsi lebah menjadi
fungsi ganda, madu bunga diangkut kesarangnya sebagai makanan anak-anak lebah,
kaki lebah yang menyentuh bunga, bunga bergoyang menggerakkan kepala putik.
Serbuk yang ada dikepala putik itu gugur kebenang sari dalam bunga, sebagian
benda yang sangat kecil (serbuk)
dikepala putik itu menempel di kaki dan tubuh lebah dibawa berpindah-pindah
kebunga yang lain. Lebah ternyata secara tidak langsung sudah melakukan penyerbukan
dan pembuahan pada bunga-bunga itu. Bungapun menjadi buah. Seperti itu alam
berperoses secara alamiah terus menerus. Buahnya setelah masak dimakan tupai,
dimakan berbagai jenis primata, dimakan berbagai jenis unggas, dibawah pohon,
buah yang jatuh dimakan landak, dimakan babi dan lain-lain. Para pemakan buah
itu menjadi penyemai tumbuhan dan biji-bijian yang terbaik ketampat lain,
bahkan ada yang sampai puluhan dan ratusan kilometer. Ditempat yang jauh
setelah melakukan perjalanan panjang unggas, perimata, babi, landak buang
kotoran (berak), biji yang masih utuh yang dikeluarkannya itu tumbuh ditempat
baru, menjadi pohon buah baru yang kemudian siap lagi untuk memberi makan anak
lebah, kelulut, unggas, perimata dan binatang lainnya. Seperti itu cara menanam
dan bertumbuh secara alamiah selama jutaan tahun di bumi kita.
Dalam proses jutaan tahun itu ada beberapa jenis
binatang yang tidak mampu beradaptasi maka seluruhnya mati dan punah, seperti
yang terkenal Dinosaurus. Begitu pula dengan tumbuhan yang tidak mampu
menyesuaikan dengan cuaca atau alam berikutnya ia akan punah dengan sendirinya.
Tetapi ada juga binatang dan tumbuhan punah disebabkan oleh manusia, kita beri
contoh saja Badak Berau-Kalimantan bercula satu. Di wilayah Berau, enam puluh
tahun lalu masih ada badak, tetapi karena terus diburu, dibunuh untuk diambil
culanya (tanduknya) akhirnya punah. Jadi sekarang Badak yang pernah hidup
dihutan Berau telah punah. Sangat disayangkan, tapi mau bilang apa,
kenyataannya memang sudah punah.
Pelaku
pembunuhan badak lebih delapan puluh persen dilakukan oleh orang asli Indonesia
sendiri, alas an klasiknya karena kebutuhan ekonomi. Mereka tidak mengerti
betapa pentingnya badak itu dalam kehidupan dimuka bumi. Selebihnya dilakukan
oleh para pemburu penghobi petualang dihutan, mereka adalah orang-orang Belanda yang pernah menjajah
Nusantara. Orang asli Indonesia satu pun tidak ada yang menyimpan cula badak
yang sangat dicari itu, tetapi empat puluh persen di beli oleh orang-orang
Belanda, selebihnya dijual kepada para pengepul. Oleh para pengepul dijual
kembali. Sayang, tidak ada pencacatan jual beli cula badak selama ratusan tahun
itu. Akhirnya badak punah, culanya tidak diketahui rimbanya kemana dijual dan
digunakan untuk apa, cula badak Berau-Kalimantan yang hebat dan menghebohkan
itu juga punah bersama Badak yang melegenda.
Terus terang
saja pengalaman punahnya badak Berau-Kalimantan, tidak ada satupun yang
bertanggung jawab, hanya semata-mata karena ketidaktahuan masyarakat Berau pada
masa lalu tentang pentingnya kehidupan flora dan faunan dimuka bumi ini. Sedang
manusia tidak bisa mengganti badak baru, badak Berau-Kalimantan, mengganti saja
tidak bisa apalagi untuk menciptakan badak baru yang dapat hidup kembali di
wilayah hutan Kalimantan umumnya dan Kabupaten Berau khususnya. Badak
Berau-Kalimantan tinggal cerita tanpa pembuktian dan terbarukan lagi. Semua ini
semata-mata kesalahan manusia yang tidak
pandai menjaga alam dan kehidupan dialamnya.
Begitu pula
dengan peralatan asli orang Kalimantan,
seperti Mandau, anjat, tudung (topi seraung) yang asli dan berusia ratusan
tahun banyak yang hilang tidak jelas kemana perginya. Barang-barang tua itu
hilang dan lenyap tidak diketahui lagi. Informasi dari keturunan (anak cucu)
orang Dayak Ga’ai yang pernah menjadi para pemimpin di Bumi Berau putus dan
hilang jejak. Informasi yang putus itu ada kemungkinan memang disengaja diputus
oleh penjajah Hindia Belanda pada masa itu. Akhirnya barang yang sudah Belanda
ambil, dengan cara mereka beli dengan murah, mereka rampas dengan paksa, atau
hadiah para raja Dayak Ga’ai kepada pejabat Belanda putus informasi. Suku Dayak
Ga’ai kehilangan jatidiri, kehilangan kekuatan, kehilangan keberanian,
kehilangan jiwa kepahlawanan, kehilangan jiwa cinta tanah air, kehilangan
kesaktian, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan segalanya selama penjajahan
Belanda. Ada kemungkinan peralatan seperti dijelaskan diatas dan cula badak
Berau-Kalimantan itu masih ada di negeri Belanda, semoga ada di salah satu
Museum Belanda.
Selanjutnya
kalau terus diburu dan dibunuh juga akan punah seperti Rusa (Payau) karena
dagingnya dikonsumsi, tanduknya dijual, ditambah lagi tidak dilakukan
penangkaran yang baik, berikutnya buaya muara dan buaya sungai, kalau terus
diburu dan dibunuh maka tidak menutup kemungkinan akan punah, beberapa jenis
unggas seperti burung Kalibarau (cocokrowo), burung murai (junggit batang), burung
Tiung (beo), burung enggang, burung Temengang (Bahasa Dayak), dan burung Teba’un
atau Tebun (bahasa Dayak). Yang saat ini paling dan sangat menghawatirkan dan
segera akan punah adalah burung Teba’un atau Tebun. Burung tersebut paling
dicari dan paling diburu karena bendol dipucuk kepalanya (tembolok) dihargai
oleh para pengepul sangat mahal, satu one-nya dihargai Rp 15.000.000, dengan
harga mahal dan menggiurkan tersebut, para pemburu burung Teba,un terus
melakukan perburuan diseluruh penjuru hutan Kalimantan termasuk hutan Berau.
Apabila terus
dibiarkan, tinggal menunggu waktu, burung Tebaun/Tebun yang memiliki tembolok
atau bendolan dikepalanya pasti segera punah. Sampai saat ini juga belum diketahui
pasti kemana barang itu di bawa dan digunakan untuk apa. Hanya ada informasi
yang belum dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan mengatakan bahwa tembolok
burung Tebun itu dijual dan dibawa ke Thailan dan Filipina. Informasinya
bendolan itu dikerik dan dijadikan bahan campuran tertentu, yang jelas
obat-obatan. Kalau benar informasi itu berarti pengolahan obat-obatan tersebut
melanggar Undang-Undang Perlindungan Satwa Langka dan di lindungi.
Mereka (orang
Dayak) tidak lagi merasa tabu dan melanggar adat dalam melakukan perburuan unggas
tersebut. Sebenarnya burung enggang, burung Temengang, dan burung Tebun adalah
burung-burung yang tidak boleh diambil habis, karena bulu-bulu burung tersebut bagian
dari simbol-simbol kepercayaan orang Dayak sejak nenek moyang. Mereka menari
melambangkan simbol-simbol tarian burung-burung tersebut, gerak sayapnya,
kelincahan dan kelembutannya, gerakan kakinya dan lain-lain. Mereka menyanyi lagu
Mengenai Dayak Punan menyebut nama-nama burung, nama-nama gunung, nama-nama buah-buahan.
Ketika orang Dayak Ga’ai menyanyi Jiek selalu menyebut nama-nama burung, sungai
dan gunung-gunung.
Mengenakan bulu burung
enggang, bulu burung Temengang, dan bulu burung Tebun diatas kepala sangat
sakral. Derajat bulu burung Tebun sangat tinggi dari bulu burung-burung lain,
apabila mengenakan bulu burung Tebun diatas kepala yang dilekatkan pada topi
seorang laki-laki Dayak dalam setiap upacara adat, maka secara simbolik derajat
pemakainya lebih tinggi dari yang lain. Jadi pemakaian bulu burung tersebut
bernilai tinggi dan sakral, tidak boleh disembarangkan.
Ada hal yang
belum terjawab sekarang ini, yaitu siapa yang bertanggung jawab untuk menjaga
pelestarian (flora dan fauna) burung-burung langka itu. Kementrian Kehutan dan
Lingkungan Hidup Republik Indonesia-kah, atau Kepolisian Republik Indonesia.
Kalau berbicara Kepolisian Republik Indonesia tidak masalah, karena ada benang
merahnya dengan Polres yang ada di tingkat kabupaten dan Polsek yang ada ditingkat
kecamatan, hanya sayangnya belum terlihat pasti apa yang telah dilakukan
terhadap pelaku pelanggaran, menangkap, memelihara, dan membunuh satwa langka
dan sangat dilindungi tersebut. Lain halnya dengan Kementrian Kehutanan dan
Lingkungan Hidup, implementasi didaerah
seperti apa masih belum jelas. Di Kabupaten Berau ada konservasi penyu di pulau
Sangalaki, konservasi burung di pulau Semama, sedangkan penanganan satwa langka
dan sangat dilindungi di luar pulau Sangalaki dan pulau Semana belum jelas
seperti apa. Undang-undang sudah tersedia, tetapi implementasinya di lapangan
belum berjalan dengan baik, sedangkan perburuan binatang/satwa langka terus
berjalan. Kalau menunggu habis, maka tidak ada bedanya dengan punahnya badak
Berau-Kalimantan sejak empat puluh tahun lalu.
Burung enggang adalah
salah satu satwa langka dan dilindungi. Setiap saat terus diburu untuk diambil
bulunya. Selain itu mengapa semakin langka, karena hutan sebagai habitat
kehidupan burung enggang terus tergerus dan semakin sedikit, pohon-pohon besar
tempat mereka membuat lubang untuk bersarang juga semakin sedikit. Lubang
dipohon besar yang sudah ada sebagai sarang burung enggang juga terus berkurang, ditumbangi untuk
kepentingan manusia. Dengan demikian maka perkembangan burung enggang semakin
sulit. Burung enggang tidak bisa membuat sarang seperti burung elang dengan mematah
ranting lalu menyusunnya dengan baik dipucuk pohon-pohon besar. Cara berkembang
biak burung enggang sangat unik, langka, dan patut menjadi perbincangan. Dan
sedikit sekali yang mengetahui bagaimana burung enggang membuat sarang,
bertelur, mengeram, beranak, dan kemudian keluar lagi dari sarang bersama
anak-anak yang sudah mulai belajar terbang.
Burung enggang
jantan harus berjuang. Bagi burung enggang yang pasangannya sudah ada dan tidak
diganggu pejantan lainnya, maka perkawinan adalah hal biasa sebagai upaya untuk
berkembang biak. Tetapi yang terjadi perebutan, dua atau tiga ekor burung
enggang jantan memperebutkan seekor burung enggang betina sampai-sampai harus
berkelahi dan berdarah-darah. Perkelahian itu hanya untuk memperebutkan burung
enggang betina sebagai penerus keturunan mereka. Setelah menang baru burung
enggang bisa kawin dengan betina pilihannya. Saat mereka kawin biasanya dimusim
bunga atau buah sudah mulai jadi. Dilanjutkan dengan persiapan pasangan itu
membuat sarang. Burung enggang membuat sarang dipoho-pohon yang belubang.
Lubang itu diperbaiki sedemikian rupa supaya nyaman induknya berputar-putar
didalam lubang. Bertelur tidak beda dengan burung lainnya, dua butir atau
paling banyak tiga butir. Dilanjutkan dengan mengeram. Pada masa mengeram inilah
cerita yang luar biasa terjadi dengan burung enggang. Burung enggang jantan dan
betina berbagi tugas, dengan tugasnya
masing-masing. Apabila tugasnya tidak dilaksanakan dengan baik maka salah satu
burung itu akan mati.
Persiapan
mengeram, burung enggang betina masuk kedalam lubang, sedangkan diluar sang
jantan mulai bekerja berat untuk menutup muara lubang sarangnya itu dengan
sejenis damar yang dicampur dengan tanah. Damar banyak tersedia di pohon kayu
meranti dan pohon kayu kapur. Muara lubang ditutup dengan rapat dan kuat,
dengan menyisakan muara lubang sebesar mulut paruh sang betina. Begitu sudah
tertutup, bahan penutup yang tadinya lemah menjadi keras seperti batu. Begitu
selesai ditutup yang hanya meninggalkan lubang sebesar paruhnya itu,
buah-buahan dihutan sudah masak dan siap jadi pasokan. Sekian lama sang betina
tinggal didalam lubang itu untuk mengerami telurnya. Makannya setiap saat
dipasok oleh sang jantan suaminya, makanan berupa buah-buahan diambil oleh sang
jantan dari berbagai tempat dari berbagai jenis buah. Begitu sang jantan datang
membawakan makanan, paruh sang betina keluar dari lubang kecil yang tersisa siap
menerima makanan dari paruh sang jantan. Memberi makan semacam itu dilakukan
oleh sang janta selama lebih dua bulan, dari mulai mengeram sampai anaknya
besar dan siap untuk terbang. Selama berada dalam sarang dari mengeram sampai
memelihara anak-anaknya, kotoran makanan dibuang sang induk dari lubang kecil
itu. Saat buang kotoran juga hebat, sang
betina sang induk didalam lubang itu memutar badannya, lubang pantatnya
diarahkan kelubang, kotoran yang keluar langsung jatuh kebawah. Apabila ada
pemburu yang menangkap atau membunuh sang jantan, maka si betina dan anak-anaknya
didalam sarang juga mati. Karena pasokan makanan tidak ada lagi.
Kotoran yang
dibuang dan jatuh ketanah juga berperoses, didalam lubang anak-anaknya semakin
membesar, sehat dan kemudian ditumbuhi bulu. Kotoran yang jatuh ketanah berupa
biji-biji buah tumbuh. Pertumbuhan dapat dilihat disekitar itu. Apabila biji
baru pecah dan berdaun dua, maka telur yang dierami sang betina sudah menetas,
apabila sudah bercabang dua anak burung enggang itu sudah mulai berbulu tebal,
apabila dari cabang dua itu tumbuh lagi pucuk ditengahnya maka anak burung
sudah siap belajar terbang, untuk lebih meyakinkan diantara biji-bijian yang
tumbuh diukur sudah panjang satu jengkal. Orang Dayak dan para pemburu burung
enggang paham betul dengan kejadian dialam, mereka memperhatikan dibawah pohon
saja, dengan jatuhnya biji-bijian mereka tahu diatas pohon itu ada sarang
burung enggang dan burung enggangnya sedang mengeram. Begitu tumbuhan itu
bercabang dua dan ditengahnya muncul pucuk baru atau sudah panjang satu jengkal,
dengan membawa palu pohon langsung dipanjat. Sampai di lubang sarang, muara
sarang langsung di pukul dan dihancurkan. Anak-anak burung diambil dan kadang
induknyapun ditangkap juga.
Yang lebih unik
ketika anak-anaknya sudah besar dan berbulu tebal, siap untuk terbang. Sang
betina dari dalam lubang mulai bekerja keras mematoki penutup lubang yang sudah
keras seperti batu. Dilakukan berhari-hari dengan hati-hati dan sedikit-sedikit
sampai induk dan anak-anaknya bisa keluar dengan bebas, leluasa, dan mudah
masuk kembali. Dalam proses belajar terbangpun anak-anaknya yang lucu dan
menggemaskan itu masih dipasok makanan oleh enggang jantan, karena induknya
masih belum bisa meninggalkan anak-anaknya. Selain harus menjaga dan melatih
anak-anaknya, selama beberapa bulan berada dalam sarang tidak terbang,
induknyapun tidak bisa langsung terbang, butuh waktu penyesuaian dengan melatih
sayap, meregangkan sayap dan mengepak-kepakkan sayapnya. Selama masih berlatih
terbang tersebut anak-anak bersama induknya selalu kembali dan masuk kedalam
lubang untuk beristirahat. Setelah bisa terbang dengan sempurna, merekapun
berangkat ketempat jauh mencari buah segar dan ranum yang siap untuk dimakan,
sampai nanti anak-anaknya menjadi dewasa seperti kedua induknya.
Seperti itu
perilaku burung enggang selama mengerami telur, membesarkan anak-anak, dan
melatih anak-anak terbang. Sampai anak-anak dan iduknya terbang bebas
mengelilingi hutan belantara yang maha luas. Tidak beda dengan burung Tebun.
Burung Tebun juga ketika sang betina mengeram sampai memelihara anaknya, muara
lubang sarangnya ditutup. Tujuannya pasti dalam upaya mengamankan dari gangguan
pemangsa. Tetapi sarang burung Tegun jauh lebih tinggi dari sarang-sarang
burung enggang. Dengan ketinggian itu pemangsa burung termasuk manusia dapat
dihindari. Berkembang biaknya burung enggang, burung temengang, dan burung
tegun sangat lambat, pada umumnya setahun sekali bertelur dan menetas.
Kaitannya dengan pasokan makanan yang harus diambil sang jantan, mekanan berupa
buah-buahan. Buah-buahan dihutan pada umumnya berkembang dan berbuah sekali
setahun.
Penyelamatan dan
pelestarian burung sangat penting bagi manusia, apalagi burung yang sudah masuk
kategori satwa langka dan dilindungi. Begitu pula dengan orang utan, uat-uat,
bekantan, lutung, kukang, macan dahan, beruang, rusa, buaya, dan beberapa jenis
binatang melata. Penyelamatan dan pelestarian harus dilakukan bersama-sama,
antara lain masyarakat setempat atau yang lebih dikenal dengan masyarakat lokal,
pemerhati satwa dilindungi, pencinta satwa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan pemerintah. Pemerintah antara lain ada pemerintah kampung, pemerintah
kecamatan, pemerintah kabupaten, pemerintah pusat, kepolisian, Lembaga
konservasi, dan instansi terkait harus saling bersinergi, saling mendukung,
dengan tujuan yang sama untuk melakukan penyelamatan dan pelestarian satwa yang
dilindungi. Ada yang melakukan pelanggaran langsung ditindak oleh aparat
kepolisian dengan hukuman dan sangsi yang berat.
Berbicara
Pariwisata. Dunia pariwisata sangat berkepentingan dengan adanya hutan yang
lestari, satwa yang masih terlindungi, didukung dengan masyarakat lokal yang
arif menjaga alamnya, menjaga budayanya. Kearifan lokal sangat mendukung
pelestarian alam dan budaya. Karena dengan alamnya yang masih terjaga dengan
baik, pasti budayanya masih terjaga dengan baik pula. Apabila alamnya berubah,
maka otomatis budayanya juga bergeser semakin jauh dari nilai-nilai keaslian
awalnya. Oleh karena itu, Budaya dan Alam atau sebaliknya Alam dan Budaya tidak
bisa dipisahkan. Kearifan lokal sangat mendukung pelestarian budaya dan alam
tersebut. Yang perlu diperkuat masyarakat lokal tentu Sumber Daya Manusia (SDM)
yang memahami kearifan lokal dan pengetahuan kekinian untuk melakukan
pemanfaatan, pengelolaan alam dan budaya yang seimbang berwawasan luas dan
memahami betapa pentingnya dunia kepariwisataan. Dengan mengembangkan potensi destinasi
wisata alam dan budaya atau budaya dan alam suatu daerah atau disuatu tempat
sangat menguntungkan bagi masyarakat lokal. Alam sudah menyediakan alam itu
sendiri, menyediakan hutan dengan pohon-pohon yang besar, gunung-gunung,
sungai-sungai, jeram, batu, gua-gua, sungai didalam gunung atau didalam gua,
nyanyian unggas, perimata, binatang melata, dan lain-lain dirangkai dengan
budaya yang kental antara lain sejarah, makam atau lungun, peninggalan masa
lalu, gambar cadas, nyanyian, tarian, pengobatan, perilaku dan kebiasaan
masyarakat lokal sehari-hari, kehidupan sehari-hari, cara bertani atau bercocok
tanam, menangkap ikan, mengambil madu, menugal, berburu binatang secara
tradisional, memasak masakan tradisional, rumah tradisional, rumah adat, dan banyak lagi yang lainnya. Semua itu bisa
dijual kepada wisatawan melalui paket-paket wisata. Yang segera dilakukan oleh
masyarakat lokal secara bersama-sama adalah bagaimana mengkemas semua potensi
alam dan budaya itu menjadi satu kesatuan dalam jualan paket wisata yang kental
dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.
Paket Wisata
Budaya dan Alam di Kabupaten Berau Provinsi Kalimantan Timur yang sangat bagus
antara lain Kampung Bena Baru, Kampung Tumbit Dayak, Kampung Long Lanuk dengan
gua-gua di pegunungan Nyapa, Kampung Merasa, Kampung Merabu, Kampung Long
Gie/Long Beliu, Kampung Long Okeng dengan sungai dan air terjunnya yang eksotis,
Kampung Babanir Bangun, Kampung Tanjung Batu, Pulau Derawan, Pulau Maratua, Pulau
Sangalaki, Pulau Semama, Kampung Bapinang dengan suguhan budaya dan air panas
Pamapak, Labuan Cermin, Teluk Sulaiman, Teluk Sumbang, dan Pulau Kaniungan, ditambah
lagi dengan Kampung yang paling ujung Long Suluy, Long Okeng, dan Punan Mahkam
dengan budaya mengenai dan mencari emas tradisional.
Kenali negerimu,
Ayo tamasya di Kabupaten Berau dengan menelusuri semua kampung, sungai, laut,
pulau, gunung, gua, jeram, air terjun dan masih banyak lagi yang lain. Aku
mengenali Berau dengan sejuta pesona yang sangat menakjubkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar