PUTRI NAGA DAN
NAKHODA MUDA
KISAH ASAL USUL TERJADINYA
PULAU-PULAU DI KABUPATEN BERAU
KALIMANTAN TIMUR
- TANJUNG UJUNG
Konon pada ribuan tahun yang lalu di Pulau Sumatra itu ada sebuah
Tanjung yang jauh menjorok kelaut, Tanjung itu dikenal oleh para Saudagar dan
para pelaut ulung dengan nama Tanjung Ujung. Di daratan Tanjung Ujung itu ada
sebuah gunung yang menjulang tinggi sekali.
Daerah pesisir pantai Tanjung Ujung
itu sangat indah, pasirnya memutih berkilauan, ombak lautnya memecah memukul
pantai bergulung-gulung berkejar-kejaran. Sedang lautnya biru bagai sinar
bintang gemerlapan, batu-batu karang bersusun rapi bagai berdinding. Keindahan
alam yang menakjubkan itu penuh keajaiban, semuanya diciptakan dengan kemulyaan
Tuhan yang maha pencipta keindahan.
Digunung yang tinggi itu hidup dua
ekor ular naga yang sangat besar, besarnya sebesar batang pohon kelapa, bahkan
lebih besar lagi. Mereka hidup sangat baik rukun dan damai, tidak pernah cekcok
atau bertengkar apalagi berkelahi satu dengan lainnya.
Dua ekor naga
itu adalah sebagai suami istri, pasangan yang tak pernah putusnya. Setiap
mereka pergi selalu bersama-sama dan berdua serta pulangnya pun tak pernah
terpisah. Boleh dikatakan setiap saat mereka selalu berdua. Mereka biasa mencari makan di laut, daerah Tanjung
Ujung. Perburuan di darat untuk mencari makan hanya dilakukan sesekali.
Sehingga tidak mengherankan jika merekapun membuat sarang tak jauh dari laut.
naga betina tidak pernah diganggu oleh binatang lainnya. Apabila ada yang
berani mengganggu maka naga jantan akan marah. Mengerikan sekali akibatnya
apabila sang naga sampai marah. Jika di daratan maka pohon-pohon akan banyak
yang ditumbangkannya, begitupun jika di laut hempasan ekornya bisa menimbulkan
ombak tinggi di lautan.
Kehidupan kedua ular naga yang serba damai dan serba rukun itu berjalan
berpuluh-puluh tahun lamanya, namun ada satu yang mereka sangat sayangkan,
yaitu kehidupan mereka yang sudah berjalan sekian lama namun belum juga
dikaruniai anak seekorpun, sebagai penerus mereka nantinya.
“Hai suamiku,” ujar sang istri naga lembut.
“kehidupan kita serba berkelebihan, tapi aku sedih sekali.” Berdiam
ia sejenak, berpikir. “ karena kita belum juga dikaruniai anak”. Lanjutnya.
Keluh sang istri ini sangat mengibakan rasa sang suami.
Dengan kepala yang besar serta leher yang panjang ia termangu, lalu
ia bercakap;
“akupun demikian juga istriku, tapi kitakan tak boleh putus asa.”
Ucapan yang sangat tulus dan ikhlas, serta penuh wibawa, lalu selanjutnya :
“baiklah istriku, mulai besok kita coba naik ke puncak gunung itu.”
Ujar sang suami sambil menjulur-julurkan lidah kearah gunung tersebut. “Untuk
bertapa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar merestui apa yang kita inginkan.”
ujar sang suami naga itu memberikan semangat.
Dengan air mata berlinang sang istri meneguhkan batin agar
bersemangat teguh dengan persiapan yang serba sederhana, maka berangkatlah dua
makhluk Tuhan ini ke gua Ilham. Dengan rasa tafakur dua ekor naga itu berdiam
diri dengan rasa tulus hatinya memohon berkah dari yang Maha Kuasa.
Gunung itu masih terletak di daerah Tanjung Ujung. Gunung Ilham ini
konon sangat tinggi sekali, sampai-sampai mega-mega awan putih hamir terjangkau
jua rasanya. Demikian jika kita berada di sana
terasa hati tak ingin pulang ke tempat semula. Bertahun-tahun sudah terlewati
tak terasa lama. Kedua naga itu terus bertapa tanpa ada rasa putus asa.
Sampai-sampai kulit tubuh keduanya terkupas dan berganti dengan kulit yang
lebih indah berkilau karena tak pernah terkena hawa panas atau terik matahari.
Tapi rupanya kilau itu tak beberapa lama, sebab tubuhnyapun lama-kelamaan mulai
ditumbuhi lumut hijau.
Rupanya Yang Maha Kuasa tak membiarkan begitu saja setiap permohonan
makhluknya dengan tak diduga-duga, semua apa yang telah di mohonkan terkabul
jua. Perut sang istri membesar dan terus membesar lalu melahirkan anak.
Kebahagiaan yang sangat mendebarkan dan juga mengejutkan. Keanehan pada makhluk
ini membuat mata keduanya terbelalak. Sang bayi yang lahir bukanlah seekor ular
ataupun naga melainkan bayi perempuan anak manusia. Keduanya sangat prihatin,
tapi apalah hendak dikata, karena semua adalah takdir Yang Kuasa.
Dengan sabar dan tenang keduanya merawat sang bayi dengan penuh
kasih sayang, karena mereka tahu semua itu bukanlah keinginan mereka tapi sang
Pencipta. Kita sebagai makhluknya hanya bisa memohon dan meminta. Naga jantan
dan betina tidak mengeluh dengan kelahiran sang jabang bayi walau tidak serupa
dengan mereka sedikitpun. Sang bayi dipelihara dengan penuh kasih sayang.
Sejak bayinya lahir, sang betina tidak pernah pergi ke manapun. Ia
hanya berdiam di tempat kediamannya, yaitu di rumah pertapa yang sejak lama
tidak pernah ia tinggalkan lagi. Ia selalu merawat dan menjaga serta melindungi
sang anak dari gangguan dan serangan dari mahkluk lain ataupun binatang lain.
Uniknya lagi, apabila hujan turun maka sang ibu mengangkat kepalanya agak
tinggi lalu melebarkan kepalanya untuk melindungi sang anak dari derasnya air
hujan, kepala itu seolah menjadi payung. Demikianlah berulang-ulang dilakukan
oleh sang ibu sepanjang masa membuai dan membesarkan anaknya. Sedangkan dilain
pihak sang ayah, yang tidak lain adalah naga jantan selalu turun gunung pergi
ke laut mencari makan apabila persediaan
makan mereka mulai menipis.
“istriku jagalah anak kita baik-baik janganlah terjadi apa-apa
padanya.” Kata sang suami dengan tegas memohon pada sang istri ketika ia hendak
turun ke laut guna mencari makan.
“yah, yah…pastilah aku menjaga dan merawatnya dengan hati-hati.”
Sahut sang naga betina sembari menganggukkan kepala.
Dengan rasa penuh lega sang suami pergi, bergerak dengan lincah.
Sedang kepalanya diangkat agak meninggi agar mata dan hidungnya tidak
tersangkut benda-benda tajam ataupun ranting-ranting kayu. Matanya tajam dan
liar, hidungnya mengendus-endus, lidahnya menjulur-julur, badannya meliuk-liuk
mengikuti alur jalan yang ia lewati sedang ekornya mengibas-ngibas ke kiri dan
ke kanan. Setiap ia turun dan naik jalan tak pernah berubah laksana jalan raya
menuju kebun. Sampai-sampai bekasnya menjadi licin dan mengkilap kena gesekan
perutnya yang licin dan bergeret.
Sesampainya di laut ia lalu menyelam mencari buruannya dan tak lama
berselang ia akan muncul lagi ke permukaan laut dengan menggigit sesuatu di
mulutnya. Kemudian akan ia bawa ke gua di mana naga betina berada. Begitulah
terus berulang-ulang hingga tujuh belas tahun lamanya.
B. PERGI KEPANTAI
Sang anak yang awalnya masih kecil kini telah besar. Parasnya cantik
elok dan rupawan. Hidungnya mungil melekat rapi, matanya bening bercahaya penuh
romansa, raut mukanya mulus bak sutra, rambutnya panjang tergerai sampai ke
betis. Badannya tinggi langsing bergerak indah, pokoknya seperti dewi turun
dari kayangan, begitulah cantiknya putri remaja ini.
Rambut putri naga yang selalu licin dan rapi itu bukanlah tersisir
dengan sisir yang kita kenal saat ini melainkan dengan tulang-tulang ikan.
Sebelum tulang-tulang itu dipergunakan pastilah dibersihkan terlebih dahulu
agar tidak berbau lagi. Sedangkan pakaiannya tidaklah seperti apa yang kita
pakai. Ia hanya menggunakan kain yang berasal dari kulit binatang. Dengan kulit
itu ia menutupi tubuh cantiknya, sebab ia adalah putri dari sepasang naga
raksasa.
Sekarang karena putri naga sudah besar dan lincah maka kedua orang
tuanya sudah sering meninggalkannya sendirian selama mereka mencari makan.
Selama ditinggalkan sang putri hanya bermain sendirian menunggu hingga mereka
datang. Sang ayah sangatlah sayang dengan putri semata wayangnya itu. Hingga ia
membuatkan mahligai yang sangat besar tinggi menjulang indah dan gemerlapan.
maksudnya agar sang putri dapat memandang hingga ke kejauhan. Jika ayah ibunya
pergi dan lama tak kembali ia akan naik hingga ke puncak mahligainya. Dari sana tampaklah nun jauh di sana laut lepas dengan ombak yang tak
henti-hentinya pasang-surut hingga di bibir pantai. Percikan ombak yang
memantulkan cahaya matahari terlihat berkilau gemerlap membuat hati sang putri
menjadi tergerak.
“ah, mengapa tak nampak jua ayah dan ibu?” keluh putri sedikit
kesal. Dengan mata tak berkedip sang putri menatap dengan nanap. Ia tertarik
sekali melihat kilau air laut dari kejauhan. Karena rasa penasaran sudah tidak
bisa ia tahan lagi maka sang putrid memutuskan untuk turun dari mahligai dan
bergegas menuruni gunung menuju arah pantai melewati jalan yang sering dilalui
oleh orang tuanya.
Baaaarrrr……! Putri terkejut, jantungnya berdetak kencang mendengar
suara yang sangat mengejutkan itu. Kaget, heran dan penasaran bercampur menjadi
satu.
“apakah itu suara ayah dan ibu?”
Ia lalu berdiam diri sejenak menunggu dan mencari dari mana asalnya
suara itu, matanya liar menatap kiri dan kanan.
Setelah
perasaannya tenang, lalu ia melangkah lebih cepat dan
Baaaaaarrrrrr……..
biaaaaarrrrrr…….. suara itu lebih nyaring dari yang sebelumnya dan sangat dekat.
Putri terkesiap, rasa lepas jantungnya yang kedua kali. Kembali putri mencoba
menenangkan perasaan dirinya sendiri.
“ itu bukan
suara ibu, juga bukan suara ayah” ucapnya keheranan dalam hati.
Dengan perasaan
ngeri dan takut bukanlah membuatnya putus asa, namun menambah semangat dirinya
yang selalu ingin tahu itu.
Putripun
mempercepat kembali langkah-langkahnya lalu sampai ketempat terbuka dan terang.
Sampailah putri ketepi pantai…. Waw…
Barrrrrrrr……….biyuuuuurrrrrr…..
suara ombak menyapu pantai dan memukul batu-batu karang yang tumbuh diman-mana.
Putrid Naga tersenyum dan geli menggelitik hatinya, dan merasa malu pada
dirinya sendiri, ternyata suara yang menggemuruh dan mengerikan tadi bukanlah aneh, itu hanya suara
ombak menggulung pantai dan memukul batu dan ombak itu pecah berbuih putih.
Pantai itu
panjang terhampar sekuat mata memandang, pasirnya putih berkilau-kilau dari
kejauhan. Semak-semak berpayung pohon bakau dibatas pantai dan daratan. Pohon
ketapang berdaun lebar juga menghiasi pantai nan elok. Pohon-pohon itu bagus
bergerombol-gerombol lebat bergoyang-goyang melambai ditiup angina sepoi-sepoi
dari laut. disana dan disana itu, sedikit jauh nampak tumpukan batu-batu karang
kekar berdiri menambah semaraknya keindahan pantai Tanjung Ujung.
Rupanya demikianlah kehendak alam
yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Putri Naga saat ini sedang menikmati hasil karya besar sang pencipta
alam semesta Tuhan Yang Maha Agung.
Diraupnya pasir
pantai itu kedalam genggamanya penuh-penuh, digenggamnya erat-erat, lalu
diremasnya kuat-kuat menggeresek, lalu dihamburkannya kembali, lalu
digenggamnya lagi passir putih itu berkali-kali dan dilemparkanya jauh-jauh
kehamparan ombak yang berbuaih. Sebagian pasir yang halus balik menerpa
wajahnya. Ia kaget waw….
Ia berjalan
beberapa langkah dari tempatnya terpana, telapak kakinya perih sakit terpijak
benda-benda tajam. “ aduh …” ringisnya. Putri mengaduh kesakitan, putrid
terinjak benda-benda tajam. Oh … ternyata yang diinjaknya adalah siput-siput
laut. Siput-siput itu banyak bentuknya seperti bekecot tapi kecil, siput itu
punya supit dan berkaki, siputnya lucu-lucu. Siput itu bisa menyembunyikan
tubuhnya masuk kedalam cangkangnya. Tapi yang lebih lucu lagi ternyata siput-siput
itu tidak punya cangkang atau rumah sendiri seperti bekecot. Apabila badannya
sudah besar dan tidak muat lagi dengan cangkang yang sekarang, dia akan keluar
dan mencari cangkang atau rumah yang baru yang lebih besar. Siput itu bisa
mendapat cangkang yang sudah ditinggalkan kosong, atau siput itu harus berjuang
merampas cangkang binatang atau siput lain. Fungsi utama cangkangnya adalah
untuk melindungi siput dari serangan binatang pemangsa. Wow aneh bukan……. Tapi
hebat sekali……..
Semula Putri
tidak merasa aneh melihat benda yang tadi menyakitkan kakinya. Putri duduk
memijit-mijit telapak kakinya yang terasa perih. Kini rasa sakitnya telah
hilang, lalu Putripun beranjak berjalan lagi, sembari berlari-lari kecil
kegirangan. Karena girang dan gembiranya Putri sampai lupa segalanya. Lupa ayah
ibunya dan lupa……………………
Biyyyyyyuuuuuurrrrrrrrr……………biyuuuuuuuurrrrrrrrrrr………….
Suara itu hampir
bersamaan dari tengah laut yang dalam, muncul timbul tenggelam dua ekor ular
naga yang sudah sangat dikenal oleh sang Putri.
Ayah ibunya
datang, Putri tekejut kaget bukan kepalang, tubuh terasa hendak terhenyak
kedalam pasir, ingin rasanya ia berlari sekencang-kencangnya dan bersembunyi
diantara batu-batu karang, namun kedua orang tuanya sudah lebih dahulu
mengetahui. Dan pula penciuman kedua ekor ular naga itu sangat tajam..
Putri yang
jelita itu hanya dapat berdiam saja dan memperhatikan keduanya berjalan dan
melata. Keduanya sudah semakin mendekat dengan Putri. Sesekali Putri melihat
pada tubuhnya sendiri, sangat jauh sekali perbedaannya, tidak ada sedikitpun
yang serupa dengan kedua orang tuanya.
“ Aneh………”
bisiknya dalam hati
“ kenapa ……”
tanyanya pula dalam hati
Batinnya membatin,
mengeluh dan berjuta pertanyaan yang muncul berganti-ganti.
Dan Putri sempat
sesumbar dalam hati “ Apabila ada yang menyerupai aku, aku akan turut
dengannya………”
Walau badan Putri sudah besar
seperti sekarang ini, Putri belum pernah bertemu dengan manusia yang serupa
dengannya.
Apabila sang
Putri mengingatkan itu semua, hatinya perih dan duka terasa mengiris. Bayangkan
sejak kecil Putri tidak pernah berteman dan bermain dengan teman sejenisnya
atau sesama manusia sebayanya. Akhir-akhir ini putri sering merasa kesepian
karena kesendiriannya.
Walaupun
demikian waktu yang ia lalui sudah begitu panjang, Putri bercengkerama dengan
kedua orang tuanya, atau dengan dinding-dinding gua sahabatnya yang setia
menemaninya tanpa senda gurau.
Saat kedua orang
tuanya sudah dekat, hayal Putri yang jauh sampai keangkasa puri dewata itu
pudar seketika. Agar ayah dan ibunya tidak marah dengannya, sang Putri
mendahului berujar
“ Ayah, Ibu,
ijinkanlah saya bermain-main disini…kalau lagi kesepian sendirian “
Ujar Putri
memelas memohon kepada kedua orang tuanya.
Kedua ular naga
yang besar itu saling tatap nanar tak berkedip.
Sang naga betina
mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar dengan lidahnya menjulur-julur setuju
atas permintaan anaknya yang semata wayang. Lalu keduanya mengangguk bersamaan.
Putri tersenyum
menyambut anggukan kedua orang tuanya, Putri melompat-lompat dan bertepuk tangan
kegirangan. Berlari kesana-kemari dan berteriak….dan tertawa.
Kemudian mereka
pulang bersama-sama dengan bahagia.
C. BULAN DAN
BINTANG
Malam datang, riuh redah burung bersenda
gurau, bersiul-siul dan mengepakkan sayapnya didahan-dahan tidak terdengar
lagi, beristirahat melepas lelah seharian mencari makan dan membuat sarang.
Telah berganti dengan kecipak ayam hutan menyambut malam yang pekat. Sedang
burung hantu membuka matanya lebar-lebar, berbunyi guk..guk..guk…guk kemudian melebarkan
sayapnya siap untuk beraksi dimalam tiba. Hatinya riang malam telah datang,
matanya terang setelah tidur seharian. Berisik daun bergesek tertiup angin
malam menghanyutkan perasaan yang penuh dengan hayal, terlena mungkin dalam
kedinginan.
Kera tepekur
bersingkup mengecilkan badan, agar dingin menjadi hangat dan tertidur pulas
hendaknya. Karena sepinya malam sesekali terdengar jua suara menggelegar ombak
memukul pantai dan karang terhampar dan jauh di bawah.
Kerlap kerlip
bintang jauh di atas sana, kecil besar ada yang terang, ada pula yang gemerlap
samara-samar. Bersamaan dengan sinar bulan purnama benderang menghadap pada
bumi kita. Sesaat sinar bulan tepat pada sela-sela daun dan ranting, maka
pancaran sinar itu sampailah ke tanah tempat kita berpijak.
Sesaat kembali
sinar bulan itu menembus celah-celah daun dan tepat mengenai raut wajah sicantik
putri ular naga. Putri terbangun
menggosok-gosok matanya dan tersenyum manis.
“oh…..bulan
indah nian kau saat ini.” ucap putri memuji sang rembulan.
Perasaan putripun
gundah pikirannya mengawang-awang cakrawala. Melayang-layang jauh tinggi ke
angkasa, bersama dengan bidadari malam. Matanya tajam menatap langit terang yang
sangat tinggi bersama purnama riang.
“oh bulan,
bahagianya kau saat-saat begini, kau selalu ditemani bintang-bintang dan awan
selalu melindungimu bersenda gurau di langit sana. Diwajahmu tampak sangat
senang sekali” Keluh putri berkali-kali
“kau bagai dewi ratu
malam.” Puji putri.
“lain pula
dengan aku. Aku tak pernah punya teman tak pernah punya kawan untuk bersenda
gurau menghibur hati yang sedang gundah sedang tubuhku semakin hari semakin
membesar pula.”
Putri naga yang
cantik tanpa solek ini duduk termangu tersipu pilu, meneteskan air mata meratap
menangis mengingat akan nasibnya.
“mengapa aku
dilahirkan tidak seperti ayah dan ibu?” gundahnya dalam hati.
Tangisnya ia
redam sekuatnya, tak terasa air mata mengalir tak mampu terbendung lagi oleh
putri naga jelita. Bibir yang bagai roti manis bersusun, mata yang berkilau
berbinar-binar, pipi yang licin bagai sutra kini berubah jadi basah berkerut
bermandi duka.
“oh
bulan…oh bintang…jangan kau menghilang, mendekatlah
kemari.” Ucap putri dalam pikirannya. Tiba-tiba terdengar,
“hosssss….hoossss…..” suara nafas ayahnya mengejutkan sang putri dari lamunan
dan tangis.
Cepat-cepat
disekanya air mata yang membasahi pipinya tadi agar kesedihannya tidak
diketahui oleh kedua orang tuanya.
Ia simpan semua
rasa duka dan sedih. Kedua orang tuanya tidak perlu mengetahui hal ihwal
tersebut. Begitulah hari-hari remajanya saat ini dilaluinya dengan kedukaan.
Kedukaan hamba Tuhan yang sejenis dengan Siti Hawa nenek moyang manusia, dan ia
seorang perempuan yang pasrah dengan takdir Yang Kuasa.
Ditatapnya lagi
bulan dan bintang yang sejak tadi mengintipnya dari sela-sela dedaunan yang
membangunkan lamunan sampai jauh ke seberang lautan.
Lalu pelan-pelan
putri merebahkan lagi tubuhnya ke atas tikar tumpukan daun-daun yang tersusun
berserakan bagai kasur empuk. Daun-daun kayu itu sejak dulu menjadi alas
tidurnya, apabila daun-daun itu telah tua dan hancur digantinya dengan yang
baru, demikian seterusnya.
“kalau saja ada
tubuh yang serupa aku melalui daerah ini tentulah aku akan ikut ke mana saja ia
pergi.” Khayalnya. “Bukan aku berniat meninggalkan ibu…..tapi aku berbeda
dengan ibu dan berbeda dengan ayah”
Aku ingin sekali
mencari teman, berteman seperti kera-kera, seperti burung-burung, seperti
binatang-binatang hayal putri dalam mimpi-mimpi indah. Kini ia telah lelap
kembali dalam tidurnya…..
D. NAHKODA MUDA
Saat pajar mulai
menyinari bumi tercinta. Lembayung sutra diufuk timur menerpa hening, lautpun
terpancar oleh terang berkilauan samar-samar. Dibawah sana, jauh di kaki gunung
terdengar riuh binatang hutan bersorak gembira. Makhluk-makhluk membuka mata,
walau rasa dingin masih menyelimuti sekujur badan membuat malas untuk bergerak
dan berpindah tempat.
Mereka ingin
menikmati pagi menyambut siang setelah tidur semalaman. Tapi dingin masih
terasa menyusp kedalam tubuh-tubuh dan tulang sumsum membuat malas dan terus
mendengkur tidur berselimut embun.
Tapi cahaya kemerahan yang dibawa matahari tak
ingin tidur lagi ia ingin terus bersinar semakin terang.
Di tengah laut
nun jauh disana, di perahu layar seorang juru mudi berdiri tegap memandang
lurus kehaluan dengan nanap. Layar terkembang terombang-ambing berirama di atas
gelombang, mengikuti irama gerak laut yang luas.
Nahkoda kapal
yang masih muda belia bangun, kaget ketika tiba-tiba sebuah sinar membias
terang masuk ke dalam kamar dan menyentuh muka.
Nahkoda muda itu
mengusap-usap mata berkali-kali, lalu berdiri membengkok-bengkokkan
tubuhnya agar terasanyaman, matanya sempat
berkunang-kunang karena terkejut tadi.
“ah…..siang
rupanya” ucapnya pelan lalu tersenyum. Ia keluar dari kamar, santapan pagi sudah
tersedia di atas meja.
Nahkoda muda itu
menghirup air hangat, ah……..segar sekali, masuk sampai tenggorokan yang mengering,
sedang tubuhnya masih terasa dingin. Setelah membersihkan badan dan berpakaian
rapi, sang nahkoda berjalan menuju ke haluan kapal bersenandung kecil…..tanjung
membayang nampak jauh di sana dihaluan kapal. Nahkoda memegang-megang kepalanya
berpikir keras, mencoba mengingat-ingat, tanjung apakah gerangan yang nampak
jauh di depan sana.
Maklum pada
jaman dahulu belum ada kompas ataupun alat-alat modern seperti saat ini. Kapal
hanya berpedoman pada bintang-bintang dan tanda-tanda alam lainnya, maka
tanjung yang menjorok kelaut juga bagian tanda daerah yang dilintasinya. Siang
hari juru mudi berpedoman pada mata angin dan matahari.
Matahari kini
sudah meninggi, nahkoda masih berdiri di haluan kapal, belum puas. Tidak puas
rasanya kalau belum melampaui tanjung yang semakin mendekat dengan haluan
kapalnya.
Nahkoda kaget
ketika sementara tanjung yang sejak tadi dipandangnya dari kejauhan tadi kini
berada di samping perahu layarnya
“binatangkah
atau manusia yang berjalan di tepi pantai di ujung tanjung itu?” tanyanya dalam
hati meragukan.
Belum puas
rasanya lalu diusapnya matanya belum juga jelas.
“kamir, coba
tolong ambilkan keker!” teriaknya pada seorang pembantu kelasi kapal.
Kamir sambil
bergegas berlari-lari kecil begerak mengambil di kamar nahkoda. Sesampainya
kamir, kekerpun di arahkan ke pinggir pantai. Hatinya berdebar-debar karena
kaget.
“manusia rupanya
itu…” ucap nahkoda dengan perasaan kaget dan kegum.
Hati siapa yang
tidak akan kaget jika melihat seorang putrid berdiri dan berjalan serta
melambai-lambai di tempat yang sepi itu.
Sepi tanpa
penghuni jauh dari rumah ataupun kampong apalagi dengan keramaian. Entah berapa
jam lagi atau berapa hari lagi waktu yang diperlukan untuk sampai ke sebuah
kampong yang terdekat.
Apalagi kalau
hanya ditempuh dengan berjalan kaki mengikuti pinggiran pasir pantai.
Sebab itulah
perasaan siapapun tak akan tega melihat tanpa menolongnya. Setiap orang
menyangka pastilah ia telah karam pada sebuah perahu dan gadis itu selamat
sampai ke tepian atau ia telah tersesat di dalam hutan, karena selalu menyususri
sungai maka tersesatlah ia di tempat
itu.
Dan sekarang
gadis itu berada di tepi pantai sendirian tanpa arah dan tujuan. Tenggorok
kering terhempas hangatnya matahari, perut mengepis tanpa isi sedikitpun,
kasihan nasib gadis itu.
Semua orang pasti berbisik begitu.
“ Kasihan wanita
itu……..” ucap nakhoda membatin.
Putri Naga pada saat ini juga
seperti biasanya ia bermain-main sambil menunggu datangnya ayah dan ibu yang
pergi sejak pagi mencari makan kedasar laut atau entah kemana. Waktu itu sang
Putri melihat sebuah benda yang terapung menurut penglihatannya, oleh karena
penasaran, heran dan gembira tanpa terasa Putri menggerakkan tangannya melambai
kearah benda yang semakin membesar dan terapung itu. Putri melambaikan beberapa
kali kearah benda asing itu. Yah benda terapung tadi itu.
Kemudian benda terapung itu semakin mendekat dan
semakin mebesar, mulailah kain-kain layer kelihatan dan kain itu seolah
membalas lambaian Putri ditepi pantai. Kain layar yang lebar membesar dan
menggelembung bulat merekah seolah ingin mengajak Putri Naga bermain
bersamanya. Putrid yang sejak tadi tidak beranjak dari tempatnya itu
mesem-mesem dan kemudian ia tertawa geli sambil kembali melambai-lambaikan
tangannya lebih cepat dan pasti.
Ketika diperahu layer yang terkembang Nakhona
berteriak “ Turunkan layer…cepat turunkan layar…..” memerintah anak buah kapal.
Dengan cepat dan
cekatan anak buah kapal bekerja menurunkan layer-layarnya. Sekejap saja kain
layar itu sudah turun dan beres. Semua mata mereka yang berada dalam perahu
layer saudagar yang mewah itu tertuju pada Putri yang asyik berdiri terpaku
dipantai. Putrid terpaku keheranan mendengar suara-suara berbicara sayup-sayup
masuk ketelinganya, suara-suara itu berbicara seperti dirinya.
Putri diam
sejenak, kupingnya yang bekerja lebih keras.
Diarah perahu
layer terdengar “ ada apakah gerangan Nakhoda Muda memerintahkan untuk
menurunkan kain layar “ Tanya Kamir memberanikan diri.
“ itu lihat
olehmu ada seseorang melambai-lambai meminta tolong……” balas Nakhoda
menjelaskan, dan telunjuk Sang Nakhoda memberitahu kearah seseorang yang masih
jauh dipinggi sana.
Awak kapal perpandangan satu dengan lainya, lalu bersamaan mengangguk-angguk
mengerti mengapa perahu layer mereka berhenti dan menurunkan layarnya.
“ Haluan kapal
kekiri arahkan ke ujung tanjung itu “
Perintah Nakhoda
setengah berteriak.
Perasaan berdebar iba itu pasti ada,
setelah nampak jelas yang dituju dan seolah tidak yakin dengan penglihatan
mereka sendiri, tapi adalah benar dan kenyataan.
“ Seorang Putri
rupanya….” Ucap Nakhoda.
Biyuuuurrrrr……..
jangkar dijatuhkan, dan sampan diturunkan.
Nakhoda lebih
dulu turun dan melompat kedalam sampan. Nakhoda Muda berdiri dengan gagahnya
dibantu dengan dua orang anak buah kapal sebagai pendayung.
Sampai meluncur
dengan mulus, terombang ambing bersama gelombang, melaju kearah pantai Tanjung
Ujung.
Sedangkan dilain tempat, sang Putri
sudah tidak sabar menunggu, ia berlari sedikit ketengah sampai air sedalam
lutut. Mata Putri liar menatapi ketiga orang manusia yang kini telah berada
didepannya.
“ Hai…” sapa
Nakhoda mendahului “ perkenankan kami untuk memperkenalkan diri dan hendak
bertanya “ tutur nakhoda dengan sopan.
Sedang Putri
lama diam saja, apa yang harus dilakukan Putri bingun. Nakhoda memaklumi
keadaan Putri yang gelagapan dan canggung itu. Lalu perlahan-lahan Putri
menganggukkan kepala setuju.
“ Aku seorang
Nakhoda yang sedang berlayar dan yang berdua ini adalah anak buah kapalku”.
Nakhoda Muda menjelaskan “ ee.. sedang Putri sendiri dari manakah gerangan
sampai berada ditempat sejauh ini “ ? Tanya Nakhoda ingin mengetahui keberadaan
Putri.
Putri tidak
menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia bertanya
“ Bolehkah saya
ikut….” Ucapannya terhenti, dadanya berdebar-debar
takut kalau-kalau………
Nakhoda dan
temannya saling berpandangan mengangguk setuju atas permintaan orang yang
memang niatnya mau ditolong.
“ Kami siap
menolong , apalagi seperti tuan Putri seorang diri ditempat yang jauh seperti
ini” ujar Nakhoda dengan sedikit gagap.
Putri melirik
kepada tema-teman Nakhoda dan tersenyum, senyum manis sekali. Putri naik
kedalam sampan, terbayang dibenaknya keceriaan yang sudah lama ia dambakan,
sekilas ada rasa dawai dihatinya. Hayalnya dulu ingin ikut denganh siapapun
yang serupa dengannya, atau pergi kemanapun kini telah dating. Tubuh putrid
terasa melayang, mata cerah batinnya
bahagia, putrid mencoba melirik beberapa kali memperhatikan perawakan dan wajah
yang mengaku sebagai Nakhoda yang ada didekatnya. Nakhoda Muda berpakaian indah
dan gagah sekali bagai arjuna dalam ceritera pewayangan, atau seorang Pangeran
dalam ceritera kerajaan. Lau Putri tersenyum sendiri melihat keadaan dirinya
dengan pakaian yang melekat seadanya ditubuhnya. Sejak kecil dulu Putri Naga
tidak pernah mengenakan pakaian yang terbuat dari kain seperti yang melekat
pada tubuh sang Nakhoda dan anak buahnya itu. Putri hanya memiliki kulit-kulit
binatang, yang tertutuppun hanya bagian-bagian tertentu saja. Wow jauh berbeda.
Putri lagi-lagi
tersenyum dan tersenyum saja. Nakhoda juga tersenyum karena sudah berkesempatan
menolong seorang putrid yang malang
ini. Sang Nakhoda belum sempat banyak bertanya asal usul wanita yang dibawanya,
bersala dari mana, tujuannya kemana. Yang penting ia sebagai nakhoda sudah
bertindak yang benar, menolong orang lain yang sepantasnya harus ia tolong.
Sesampainya di kapal, sampan
dinaikkan keatas haluan kapal dan kain-kain layar yang lebar dan panjang itu
kini dinaikkan kembali dengan megah dan mengudara diatas tiang perkasa,
mengembang lebar ditiup angin mengembang lebar - lebar sekali. Dengan hembusan
angi yang kencang kapal layar kini melaju diatas air.
Putri tersenyum
manis, lalu menuju kesebuah kamar untuk membersihkan diri, lalu berganti
pakaian yang sejak tadi sudah disiapkan oleh sang Nakhoda. Kini barulah kelihatan Putri sebenarnya, sang
Putri tak sekotor dan awut-awutan seperti tadi, kulitnya putih bersih dan licin
berbalur-balur urat sperti lukisan. Walaupun banyak goresan pendek dan panjang
berkas tergores duri dan ranting.
Putri menyisir
rambutnya pelan-pelan, terasa lemah dan lembut sisir yang ia gunakan, dan sisir
itu tidak mengoyak atau menyakiti kulit kepala lagi.
Sementara diluar Nakhoda Muda siap
menunggu kedatangan Putri. Hatinya tersentak ketika melihat pemandangan yang
jauh berbeda dari sangkaannya semula. Wow sang Putri yang keluar dari kamar
sangat cantik, raut wajahnya halus menandakan ketulusan dan kejujuran hatinya.
Nakhoda menatap nanar, haru dan tersenyum tanpa berkedip. Nakhoda berusaha
mengendalikan diri agar kaget, kagum dan gelagapan tidak terlihat dihapan
wanita yang sudah ditolongannya.
Yah…yah…. Kini
perasaannya tersentuh…………………
Hidung mancung
melekat mungil, mata tajam mempesona cahayanya bening sebening embun dipagi
hari, tubuhnya langsing dengan rambut yang panjang melambai-lambai terurai
mewangi.
“ Siapakah Putri ini sebenarnay ? Tanya Nakhoda memecah keheningan.
Putri mengacuhkan pertanyaan itu, ia tenang-tenang saja walaupun
mendengar pertanyaan Nakhoda Muda yang duduk tidak seberapa jauh. Pelan-pelan
Putri mendekat dan menghadap kearah Nakhoda dan duduk. Nakhoda tampak kikuk.
Lalu bibirnya bergerak dan bercerita panjang dengan terputus-putus.
“ Aku adalah anak
dari dua ekor ular naga yang sangat besar dikawasan Tanjung Ujung itu, mungkin
aku telah ditakdirkan oleh yang kuasa menjadi anaknya. Oleh karena itu sejak
kecil aku tidak pernah mengenal manusia seperti kalian semua, baru sekarang ini
aku tahu bahwa aku tidak sendiri aku serupa dengan kalian Nakhoda. Aku ingin
hidup bersama manusia , biarlah ayah dan ibuku hidup sesame mereka. Aku terlalu
lama hidup sendiri, aku tidak ssnggup lagi hidup sendiri dan selalu menyendiri
dudalam hutan atau ditepi pantai Tanjung Ujung. Memang tempat itu sangat damai
dan sangat tepat untuk tempat tingagal kedua orang tuaku, tapi dengan diriku……”
Berdiam sejenak.
Nakhoda juga diam menunggu kalimat apa lagi yang baakal meluncur dari bibir
halusnya Putri. Lalu lanjutnya……
“ sekali lagi
tuan, aku ingin hidup bersama manusia…. manusia seperti kalian, oleh karena
itulah aku putuskan untuk pergi dari tempatku di Tanjung Ujung. Pergi apabila
ada manusia yang maumengajakku kemana saja perrginya, aku ingin hidup
sebagaimana manusia Nakhoda…. “
Ucapkan Putri
lemah lembut seperti orang yang sedang mengadu dan sekaligus memohon dengan
kata-kata yang terputus-putus, dan patah-patah. Dan kemudian Putri itu menangis
terisak-isak. Nakhoda yang duduk dan mendengarkan semua ucapan Putri masih kaku
dengan memanku tangan, merasuk perasaannya sampai kelubuk hatinya paling dalam.
Tanpa terasa titik jua air matanya sang Nakhoda Muda meresapi apa yang
dirasakan Putri yang sekarang sudah berada didepannya. Luar biasa apa yang
Putri dirasakan Putri, bisik kata hatinya haru.
Nakhoda tunduk
menekuri kisah yang telah disampaikan Putri. Kata demi kata dan kalimat demi
kalimat ceritera itu diikuti dengan cermat, seolah tidak yakin dirinya
mendengar kisah semacam itu, kisah nyata seperti kisah dalam mimpi, tapi ini
benar dan kenyataan. Kini keduanya hanya diam sama-sama meresapi perasaan
masing-masing. Pelan-pelan Putri menyeka air matanya yang bening sebening salju
yang sejak tadi membasahi pipinya. Pipinya telah kering, tinggal isaknya yang
masih sesenggukan.
Dengan segala
hormat dan dengan segala kekagumannya sang nakhoda terarik dengan sang Putri
Naga yang baru saja dikenalnya, yang kini masih sesenggukan menahan tangis
didepan matanya sendiri. Dengan waktu yang sesingkat itu Nakhoda Muda sudah
menaruh hati pada gadis yang baru ditolongnya, seoarng wanita yang sering
dianggap oleh kaum pria sebagai kaum yang lemah. Perasaan ingin memiliki, perasaan
ingin melindungi, perasaan ingin…… perasaan kasih sayang benar-benar dengan sekonyong-konyong tumbuh kuat dihati
sang Nakhoda. Entahlah, apakah itu memang perasaan lelaki atau kehentak sang
pemilik alam semesta ini.
“ oh ya
Putri…..sudahlah jangan lagi kamu menangis, sekalah sampai kering air matamu,
………semua itu sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Melindungi,
Tuhan yang Menuntun manusia, tak perlu kau sesali…..aku berjanji akan membawa,
menjaga, melindungi, dan menemanimu untuk selama-lamanya “.
Ucap Nakhoda
pelan bernada prihatin penuh perasaan, tapi pasti.
Putri tersenyum,
matanya bening bercahaya penuh harapan menatap Nakhoda Muda. Nakhoda Muda itu
juga turut tersenyum. Keduanya tersenyum untuk dunia.
Dan keduanya
terbawa dalam hayalnya masing-masing jauh sampai keatas awan, atau lebih jauh
lagi sampai dilangit biru…………………………………..?
- M U R K A
Menjelang sore perahu layer sudah menjauh dari Tanjung Ujung, tapi
perasaan Putri masih saja was-was kalau-kalau kedua orang tuanya dua ekor ular
naga itu dating menyusul dan melihat Putri berada didalam Kapal layer yang
megah ini. Maka perahu layar yang masih nampak mengapung, pastilah kedua ular
naga tersebut curiga.
Dan dengan
kecepatan yang luar biasa kedua ekor naga itu pastilah mampu dan dapat dengan
mudah mengejar Kapal Layar yang hanya mengandalkan kekuatan angina saja. Kecepatan kedua ekor
naga besar dan kuat itu berenang diatas air laut tak terkalahkan, bahkan
kecepatan bisa sampai dua kali kecepatan perahu layar. Itulah sebabnya Putri membatin,
ia tetap was-was.
Tatapan Putri
liar. Sesekali Putri menoleh kebelakang meyakinkan kedua ekor naga tidak berada
dibelakang kapal mereka yang melaju kearah timur.
Ketika ia menoleh lagi kebelakang,
apa yang Putri lihat ?
Apa yang tadi
membuat pikirannya was-was, ternyata sekarang menjadi kenyataan. Dengan
kecepatan bagai perahu bermesin temple, timbul tenggelam dua ekor naga ayah ibu
Putri mengejar meluncur dengan kecepatan tinggi, dan terus semakin nampak dan jelas.
Seperti ingin
terlambung keudara tubuh Putri, lesu lelah, dadanya berdegup kencang, ah….
Mata sang Putri
yang tadinya cerah, terang bercahaya, kini liar tajam terbelalak, sedangkan
degup jantungnya yang tadi sangat setabil kini bangkit dan berdebar-debar,
perasaannya tak menentu, apa yang bakal terjadi. Apalah nanti yang terjadi,
perahu layar yang kini sedang ditumpanginya. Pikirannya sangat kacau balau.
Bakal terjadi
dan sangat gawat, perasaan tersebut bukan hanya di tanggung oleh sang Putri,
tapi sang Nakhoda Muda, juga anak buah kapal. Nakhoda memerintahkan kepada
semua anak buahnya untuk segera menaikkan kain layar tambahan, kecepatan kapal
semakin kencang.
Ah…teman-teman tidak
hanya sampai disitu saja usaha sang Nakhoda, ia juga memerintahkan agar anak
buahnya membantu kecepatan kapal dengan dayung-dayung besar. Anak buah kapal
sebagian mendayung dikiri kanan perahu layar yang melaju itu.
Angin barat bertiup kencang, kain layar
melambai-lambai menggelembung. Para pendayung yang kuat, sibuk dengan tugasnya
masing-masing. Nakhoda mondar mandir kesana kemari, benak perasaannya semakin
gugup dan ngeri, ngeri dan takut semakin menjalar kedalam tubuh yang gagah
perkasa.
Keperkasaan
Nakhoda Muda sirna seketika, saat ini bagai tiada kekuatan lagi pada dirinya
yang berotot keras itu. Sebab bukan aneh lagi, dia yang dating mengejar
bukanlah manusia yang mudah untuk ditandingi, tapi mereka adalah sepasang ular
naga besar dan bertenaga sepuluh kali lipat manusia, bahkan lebih dari itu. Dan
tempatnya bukan didaratan, dengan mudah kita mencari tempat yang aman atau
tempat berlindung dari serangannya.
Kalaulah sebuah tragedy yang maha
dahsyat terjadi didaratan, masih bisa kita menghindar, atau melawan secara tipu
muslihat, atau paling tidak menyingkir. Atau dengan membunuh musuh secara
perlahan-lahan, yang artinya melukai lawan didaerah pital yang akhirnya
membuatnya mati dengan perlahan-lahan.
Tapi saat ini,
yang akan terjadi, tidak seperti apa yang dibayangakan diatas, saat ini berada
ditengah laut yang luas, laut yang bebas dari dan tidak ada tempat berlindung
atau bersembunyi. Dan yang lebih kacau lagi, kecepatan perahu layer sangat
terbatas dan tidak mungkin secepat kilat perahu sebesar ini dapat ketepi
pantai. Dan hanya satu-satunya cara adalah berupaya mempercepat lahunya perahu
layer mereka, yah…. Ditambah dengan kecepatan dayung anak buah kapal. Paling
tidak kecepatan perahu layer, lebih cepat dari kecepatan kedua ekor naga yang
mengejar mereka.
Manusia boleh merencanakan apa saja,
tapi Tuhan jua maha punya dan menetapkan. Manusia semua ingin selamat dan lolos
dari segala kejadian. Yang jelas tidak ada satu manusiapun yang menginginkan
kematiannya dalam siksa yang berat atau dalam kesengsaraan. Jadi serahkan, jadi
Tuhan jualah yang menentukan kematian segala makhluk di alam semesta.
Tenaga para pendayung anak buah
kapal sedikit demi sedikit semakin menyusut dan berkurang. Apapun alasannya
kemampuan dan kekuatan seseorang tetap terbatas. Kecepatan perahu semakin
berkurang, perahu layer terasa semakin lambat. Perahu layar terombang ambing gelombang,
sedang haluan kapal sudah tidak lurus lagi, membelok kekiri dan kenan
menhindari kejaran sang naga raksasa.
Kedua naga itu semakin dekat dan
semakin dekat, kalau diperhatikan betapa marahnya kedua ekor naga itu,
gerakannya garang dan liar. Ketika kepalanya timbul, mulutnya terbuka lebar,
sedang lidahnya yang bercabang dua itu menjulur panjang, taringnya panjang
sangat mengerikan. Waw…sangat menakutkan sekali.
Putri naga berusaha mencari tempat,
berusaha bersembunyi agar tidak kelihatan oleh kedua orang tuanya. Namun apa
daya, perasaan, pirasat, dan penciuman kedua naga itu sangat tajam, kemampuan
menciumnya lebih kuat dari penciuman manusia.
Kedua ekor
makhluk melata itu menyangka, anak semata wayang yang disayanginya itu diculik manusia
dari tempatnya, oleh karena itu amarah sang naga teramat sangat dan tidak
terbendungkan.
“Haluan kanan 45 derajat……” teriak
nakhona,…keras
Juru mudi yang
lincah itu dengan sigap mengikuti perintah atasannya, membelokkan haluan kapal
yang dikemudikannya mengikuti perintah tuannya. Kedua naga itu berubah,
sekarang jadi berada disebelah kanan perahu layar.
Naga besar itu
sudah sangat dekat, dekat sekali dengan…….. ahk..
Awak kapal, Nakhoda, juga sang Putri
yang kesemuanya berada dalam kapal semakin panic. Perahu mereka terombang
ambing, belok kiri dan belok kanan menghindari kedua naga raksasa. Angin
kencang menghantam kain layar, kecepatan perahu layar sedikit lebih baik dan
naga sedikit tertinggal. Naga semakin menggila dan ganas. Perahu layar tak
tentu arah, belok kekiri dan kekanan, dan beberapa kanan sempat berbalik arah
untuk menghidari kejaran naga.
Wah…wah….semakin
gawat, kekuatan naga itu itu tidak menurun, kecepatannya untuk mengejar masih
seperti tadi. Tenaga kedua naga itu memang luar biasa. Mungkin karena cintanya
kepada putri.
Nakhoda Muda tidak mau menyerah
begitu saja, ia lakukan upaya penyelamatan itu dengan sekuat dan semampu
pengalamannya mengendalikan perahu layar dilautan yang membesarkanya………... aku
harus berusaha…..aku jangan putus asa…..
- PENDETA SAKTI
Tekadnya telah bulat dan benar-benar berniat baik untuk menolong
sang Putri, ditambah lagi denga perasaan batinnya yang tidak mungkin dapat
berbohong, Nakhoda yang gagah itu telah terpaut hatinya untuk menyayangi dan
mengasihi sang Putri Naga yang cantik jelita.
Angin barat terus bertiup dengan
kencang menghantam lebarnya kain layar yang mengembang menantang badai yang
tidak pernah lelah dan diam. Layar terkembang bagai serakan awan putih dilangit
biru, melampai-lambai kencang menojol gembung kedepan.
Apa hendak
dikata perahu tergantung pada hembusan angin. Angin barat yang kencang, maka perahu layar melaju
kencang kearah timur. Perahu belum bisa dan tidak bisa melaju kalau harus
melawan arah angina. Akhirnya angina barat berhembus ketimur, maka perahu
layarpun kencang menuju ketimur saja.
Seseklai kecut juga nyali sang
Nakhoda Muda melihat kenyataan seperti ini, kejadian ini semua diluar pikiran
sehatnya. Dan baru pertama kali ia dan parahu layarnya dikejar naga, dan dua
ekor naga sekaligus seperti sekarang. Ini kejadian luar biasa dan pengalaman
yang luar biasa. Dan akhirnya ia pasrahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha
Penolong.
Pada saat kegelisahan, ketakutan dan
kepanikan penumpang kapal, jauh ditepi sana, dibibir pantai, diatas sebuah batu
karang besar dan tinggi, sejak lama selalu berdiam diri dan tenang bersemadi,
kini berdiri tegak, heran melihat kejadian nun jauh ditengah laut. Heran
melihat sebuah perahu layar sejak tadi
tidak menentu arah haluannya. Sedangkan semua kain-kain layarnya terbuka lebar
ditiup angina kencang. Orang ini jadi curiga dan bertanya-tanya, apakah
gerangan yang terjadi. Mata tua namun tajam bersinar bercahaya tegak menatap
lurus kearah kapal layar itu. Orang tua bersarung putih, berselempang putih,
bersurban kepala putih dan dengan jangkut panjang sudah putih yang sudah
bertahun-tahun berada disana mensucikan diri ditempat yang sepi dan damai itu
berdiri tegak dari duduk semadinya. Dia adalah seorang pendeta besar yang
memiliki ketajaman rasa, perasaan batinnya sangat kuat dan peka.
Yang ditatapnya semakin dekat kearah
batu karang dimana dia berada. Membuat sang pendeta sakti itu harus melalukan
sesuatu yang terbaik. Sekarang telah nampak, parahu layar itu bukan kandas
digusung pasir dilaut sana, melainkan dikejar dua ekor binatang melata yang
sangat besar dan mengamuk ganas dan liar.
Dan semakin
membahayakan, tidak jauh di belakang perahu layar dua ekor naga besar timbul
tenggelam terus semangat mengejar. Dan sudah dekat sekali, sang naga besar itu
mencoba menghantam dinding palkah kapal yang terbuat dari kayu itu. Ekornya
yang panjang dan kuat terlihat mengibas dan air berhamburan menyiram kapal.
Kapal oleng…wah..wah … semakin kacau.
Tanpa terasa sang Pendeta, yah….
didalam hatinya berbicara….aku wajib menolong sesame makhluk yang diciptakan
Tuhan Yang Maha Esa. Namun Pendeta masih bertanya-tanya, siapakah yang lebih
dahulu berbuat salah, sampai terjadi semacam ini.
Dua ekor ular
naga yang besar itu sampai mengejar kapal layar, yang pasti didalamnya banyak
manusia. Ataukah kedua naga itu memang sengaja ingin menangkap manusia-manusia
yang ada dalam kapal perahu layar itu, untuk dijadikan santapan yang paling
nikmat. Atau ………..
Sang Pendeta sakti itu pelan-pelan
namun pasti, mengayunkan tongkatnya…” yang harus kutolong adalah manusia yang
ada dalam kapal layar itu”……yah memang yang harus ditolong Pendeta adalah
manusia, jauh lebih terhormat dan berharga apabila yang ia tolong manusia dari
pada makhluk lainnya. Walaupun makhluk apapun dimuka bumi ini juga berhak hidup
bebas dialam terbuka ini. Manusia diciptakan Tuhan sesempurna-sempurnanya
penciptaan, lebih sempurna dari makhluk lain termasuk kedua ekor naga.
Dengan kesaktiannya sang Pendeta
melemparkan tongkatnya. Tongkat sakti milik Pendeta itu melayang diudara begitu
cepat, bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Melayang sempurna mengarah
kekepala naga yang mengejar perahu layar yang mendekat kebatu karang dimana dia
berada, ketika kapal layar membelok kekiri, maka nampak jelaslah naga itu
dimata sang Pendeta, dan……..
Seketika itu juga kepala naga jantan
tertembus tongkat Pendeta yang melesat sangat cepat itu, dan naga kaget dan
kesakitan yang luar biasa, sakit yang tak terhingga. Naga jantan yang kesakitan
itu berteriak dan menggelepar-gelepar. Melihat
suaminya tertembus panah kayu tongkat yang sangat dalam dan bercucuran darah,
naga betina menghentikan pula pengejaran. Pengejaran berubah seketika menjadi
jeritan kesakitan yang memilukan, naga jantan berputar-putar meliuk-liuk
menggelinding berguling-guling ditempat. Pengejaran sudah berhenti. Kedua naga
tidak tahu kemana sudah perginya perahu layar yang membawa putrinya itu. Air
laut bersimburan seperti hujan disekitar naga jantan. Karena sakitnya yang
tidak terperikan yang dirasakan oleh naga jantan, iapun tidak mampu berpikir
apa-apa, melainkan hanya menahan rasa sakitnya saja. Kepala tertancap tongkat
Pendeta Sakti dan retak dengan mengucurkan darah yang banyak. Dengan kesakitan
yang tak terperikan dan dengan kucuran darah segar berhamburan ditengah laut
sang naga jantan terus berenang kemana saja tak menentu arah, berenang
sekuat-kuatnya dan sejadi-jadinya. Nasib yang malang ini harus menimpa dirinya
dalam waktu seketika.
Naga betina
melihat suaminya seperti naga jantan gila dan liar, dengan sedih yang mendalam,
dengan berlinangan air mata, memutuskan kembali kegua Tanjung Ujung. Dan
dibiarkannya suaminya, dan dibiarkannya perahu layar megah itu membawa kemana
saja Putrinya pergi.
………Nakhoda Muda,
awak kapal, dan harta kekayaan dagangan Nakhoda selamat dari malapetaka. Putri
naga juga selamat. Mereka semua selamat. Nakhoda lega, awak kapal lega, Putri
cantik pun lega. Mereka sudah dapat tersenyum, mereka telah terhindar dari
bahaya yang akan memangsanya.
Pendeta dengan mendekapkan tangannya
didada, bersyukur kepada sang pencipta yang maha melindungi, atas keselamatan
yang diberikan kepada manusia yang berada dalam perahu layar yang telah
ditolongnya. Sang Pendeta tersenyum puas, ia lalu kembali ketempatnya semula
dan duduk bersila kembali bersemedi membersihkan diri dari perbuatan dosa.
Tak berselang lama, setelah perahu
layar mereka benar-benar tidak dikejar lagi oleh kedua ekor naga raksasa itu,
didalam terdengar Putri menangis
terisak-isak. Dan kemudian tangisan itu semakin keras dan sekeras kerasnya.
Tetes demi tetes mengucur air mata bening dari sudut-sudut mata yang sayu dan
mulai membengkak itu.
Putri harus
memilih dan memutuskan satu diantara dua pilihan yang sangat sulit, bersat lagi
dengan kedua orang tuanya yang melata itu yang sangat jauh berbeda dengan
dirinya, atau turut serta dengan Nakhoda dan berkumpul dengan manusia yang sama
dengannya.
Putri saat
melihat kejadian tadi sangat prihatin, bagaimana keadaan ayahnya dan betapa
sedih ibunya yang telah ia tinggalkan, ditambah lagi luka parah yang diderita
oleh ayahnya.
“ Aku harus
memilih hidup bersama manusia……yang sama dengan aku….” Keputusan itu terdengar
rintih dan bergetar keluar dari mulut Putri.
…..” aku harus
memilih hidup bersama manusia “ …….ucapnya sekali lagi.
“…….ayah…………Ibu…Ular
naga raksana yang kucintai…………….maafkan……aku…. maaf…aku…maafkan aaaakkuuuu…”
ucapnya terputus-putus dalam tangis yang menderanya.
“ terima kasih
ayah…terima ksih ibu…. Terima kasih…… selamat jalan….. selamat tinggal
ayah….ibu…. maafkan aku…maafkan Putri…..”
suara tangisan itu lama-lama menjadi sesenggukan dan …….
Walaupun kau
adalah binatang melata dan bersisik, engkaulah yang
melahirkankuuuuu…..kalianlah membesarkanku….ayah….ibu aku sering berpikir
kenapa kita berbeda….berbeda bentuk dan berbeda rupaaaaa…..” kemudian hilang
dan diam…sepi…sepi sekali.
Kemudian Putri
berdiri dan berjalan keburitan perahu layar yang megah dan besar itu, Nakhoda
dengan cemas …. kawatir mengikuti dari belakang. Diburitan kapal dengan menatap
jauh ke lekuk batas lautan, dengan suara keras….. “ Ayah….ibu …aku telah
menemukan manusia seperti aku, aku ingin hidup seperti mereka….maafkan aku…maafkan
aku……………..
“ Selamat jalan
ayah …….selamat tinggal ibu……” Putri lemas dan…..langsung dipeluk oleh Nakhoda
dari belakang. Putri dibopong masuk kedalam.
Demikian tangis kasih dan teriakan kecintaan seorang anak kepada
kedua orang tuanya, yang harus meninggalkan dunianya yang berbeda.
Kapal perahu
layar terus melaju menuju ketimur matahari dan kemudian berbelok keutara,
meninggalkan kesan-kesan duka, derita, menjadi bahagia…
tersenyumlah…..tersenyumlah untuk semua.
Akhir dari ceriteranya, Nakhoda Muda yang gagah dan kaya itu masih
lajang, dan kemudian hari nakhoda Muda menikah dengan Putri Naga itu. Mereka
ditakdirkan sampai tua hidup damai dan sentosa.
- TERJADINYA PULAU DI LAUT BERAU
Akibat dari amukan sang naga jantan yang terluka parah itu
kejadiannya sangat luar biasa, ajaib, dan diluar kemampuan berpikirnya manusia
biasa. Karena menanggungkan rasa sakit yang tidak terkirakan, naga jantan terus
berenang menuju ke timur dan sampai kedaratan Berau di Kalimantan Timur.
Didaratan itu ular naga jantan mengamuk dan mengobrak abrik daratan dipesisir
pantai, maka terjadilah sebuah keajaiban dengan kekuatan yang maha dahsyat.
Daratan itu terputus-putus menjadi lautan dan meninggalkan sisa daratan disana
sini. Sisa-sisa daratan itu yang kemudian hari dikenal dengan pulau-pulau elok
dan menawan di Kabupaten Berau Propinsi Kalimtan Timur, yang dikenal dengan
kawasan kepulauan Derawan.
Pulau-pulau itu
dijadikan tempat bertelurnya penyu hijau dan penyu sisik. Lautnya biru,
dibawahnya dihiasi dengan tumbuhan terumbu karang yang cantik dan menakjubkan,
daratan pulau ditumbuhi berbagai jenis pohon dan lamun. Aku takjub dengan
keindahan itu, aku ingin berkali-kali datang kesana.
Pulau-pulau yang bagus, indah, dan
menawan itu antara lain :
- Pulau Derawan
- Pulau Maratua
- Pulau Kakaban
- Pulau Sangalaki
- Pulau Panjang
- Pulau Semama
- Pulau Rabu-rabu
- Pulau Bilang-Bilangan
- Pulau Balikukup
- Pulau Manimbora
- Pulau Kaniungan Besar
- Pulau Kaniungan Kecil
- dan pulau-pulau di Muara Sungai Berau, termasuk pulau lungsuran naga
T a
m a t