SI
KUNTUM
BATU
AJAIB
oleh : SAPRUDIN ITHUR
I. KAMPUNG MARANCANG ULU
Dinihari dinginnya menusuk sampai
sum-sum, tidak bisa lagi tidur telentang meluruskan kaki dengan kencang. Dingin
yang menusuk sampai kedalam sum-sum itu, membuat tidur sang manusia tambah
pulas, tetapi dengan bersedekap merapatkan kaki merapat kepaha, dan merapatkan
lutut sampai kedada. Tidur dengan miring, tubuh dikecilkan dada merapat dengan
lutut, ujung kaki ditarik sampai rapat dibelakang paha. Dengan demikian tubuh
terasa lebih hangat. Apapun selimutnya tidak perduli yang penting dapat
mengusir dingin, dan tidurnya tambah lelap. Amboi begitulah dinginnya membuat
semua orang lelap sepanjang malam, lupa dengan matahari yang sudah mengintip
disela-sela dedaunan dan masuk kedalam rumah kecil ditepi sungai yang
berdindingkan kajang terbuat dari daun nipah. Dipagi hari seperti itu embun
menumpuk-numpuk, ada yang merangkul pohon setinggi enam meter daunnya lebat dan
membundar. Embun membungkus pohon subur itu, Nampak dari kejauhan seperti
bundaran salju putih yang membentuk gunung kecil. Sedangkan daun-daun pohon
rengas itu tidak nampak, sudah dibungkus
embun dipagai hari. Kumpulan-kumpulan embun dipagi hari yang menumpuk di sana-sini
itu disebut orang Barrau Karang Ambun.
Karang ambun atau tumpukan embun dipagi hari tersebut masih ada sampai
sekarang, tetapi tidak seindah dulu lagi, tidak sebanyak dulu lagi.
Munculnyapun sangat jarang, kecuali saat pagi hari yang terasa dingin sekali,
matahari pagi yang ingin keluar ditutupi embun. Nah saat itulah dapat melihat
tumpukan-tumpukan embun yang dikenal dengan Karang Ambun itu.
Kampung Marancang Ulu salah satu
Kampung yang sangat tua, Kampung Marancang Ulu sudah dihuni manusia lebih dua
ratus tahun. Dibuktikan dengan banyaknya makam-makam tua yang masih menggunakan
nisan-nisan batu asli dipemakaman umum Kampung Marancang Ulu. Pemakaman umum
itu berada persis dibagian hulu kampung, diatas bukit yang tidak terlalu tinggi
pas berada ditepi sungai Marancang. Sejarah Kerajaan Berau yang berdiri sejak
tahun 1400 M juga menyebut nama Marancang dengan sebutan Banua Marancang. Disebut
Banua berarti penduduknya banyak dan lebih ramai dari perkampung yang ada di
Rantau-Rantau. Yang mendiami kampung Marancang Ulu asli orang Banua atau orang
Berau.
Kerajaan Berau yang berdiri pada
tahun 1400 berkedudukan di sungai Ullak, didalam sungai Lati. Sedangkan air
sungai Lati tumpah ruah masuk ke sungai Berau yang juga dikenal dengan nama
sungai Kuran. Dari sungai Berau airnya menyusur terus kehilir tidak kurang dua
puluh kilo meter sampai ke muara dan menyatu dengan air laut yang asin. Raja
pertama kerajaan Berau adalah Baddit Di Pattung dengan gelar Adji Surya Natakesuma, permaisurinya Baddit Di
Kurindan dengan gelar Adji Parmaisuri. Raja Adji Surya Natakasuma memerintah
degan arif dan bijaksana. Selama 34 tahun memerintah, kerajaan Berau dulu yang
hanya membawahi lima Banua dan dua Rantau semakin luas wilayahnya. Dahulu belum
ada Kesultanan Bulungan dan Kesultanan Tanah Tidung, wilayah itu semua dikuasai
kerajaan Berau. Kerajaan Berau yang makmur dan semakin meluaskan wilayahnya
sampai di Kina Batangan berbatasan dengan Suluk, wilayah selatan sampai Tanjung
Mangkalihat berbatasan dengan Kerajaan Kutai, sedangkan lautnya berbatasan
dengan selat Sulawesi.
Kedudukan kerajaan Berau di sungai
Ullak Rantau Pattung, tidak terlalu jauh dengan Kampung Marancang Ulu. Begitu
keluar dari sungai Ullak masuk sungai Lati, dari sungai Lati keluar menuju
sungai Barrau. Dari muara sungai Lati kehilir mengikuti sungai hanya sekitar
empat kilo meter sudah sampai di Kampung Marancang Ulu. Dari Kerajan Berau pada
masa itu Banua Marancang sebagai Banua yang terdekat dengan pusat Kerajaan.
Wilayahnya sangat subur, dibelakang kampung tanah datar yang sangat luas untuk
dijadikan lahan pertanian pasang surut.
Kedudukan pusat Kerajaan, Banua
dan Rantau semuanya berada di bibir sungai dan bibir pantai. Sungai adalah
kehidupan, sungai adalah urat nadi, karena sungai satu-satu sebagai alur jalan
raya untuk menghubungkan pusat Kerajaan dengan Banua dan Rantau lainnya.
Sedangkan laut sebagai penghubung wilayah lain diluar kerajaan seperti ke
Kerajaan Suluk di Filipina Selatan, Kerajaan Berunai, kerajaan Kutai di sungai
Mahakam, dan beberapa kerajaan di Makassar.
Hubungan dagang yang saling
menguntungkan berjalan dengan baik, persahabatan terjalin dengan baik,
kapal-kapal dagang masuk dan keluar hilir mudik, perahu-perahu layar Bugis juga
tidak ketinggalan, kapal dari negeri yang sangat jauh juga datang membawa
dagangan seperti gerabah, tempayan, lesung, cobek, sejenis porselin, manik-manik,
dan gong. Barang tersebut pada masa itu adalah barang yang sangat mewah dan
mahal. Gerabah, tempayan, guci porselin, manik-manik dijadikan barang yang
terhormat. Bagi orang Dayak barang itu sangat dihormati, waktu mati dimasukkan
dalam peti mati. Gong dan tempayan yang berusia ratusan tahun jadi pusaka yang
sangat dihormati pula. Kemudian semakin maju muncullah barang-barang seperti
piring, mangkuk kecil dan besar, talam dari kuningan, ceret dan peralatan rumah
tangga dari serba kuningan.
Kampung Marancang Ulu sampai saat
ini masih bertahan dan masih ada, walaupun pertumbuhan dan kemajuannya diakui
masih lambat. Penduduknya sangat ramah, dan siap menerima kedatangan tamu dari
mana saja. Dari kota Tanjung Redeb Berau hanya empat puluh kilo meter saja. Dapat
dijangkau dengan naik kendaraan roda dua ataupun roda empat, tetapi bagi yang
ingin menikmati alam melalui jalur sungai juga bisa dengan menggunakan perahu
bermesin ketinting atau boat. Pada tahun 2014 diujung Kampung Marancang Ulu
dibangun sebuah jembatan untuk menyeberang ke Kampung Pulau Besing. Tujuan
dibangunnya jembatan tersebut adalah upaya untuk memutuskan mata rantai kata
“Kampung Pulau Besing terisolir”. Sekaligus menjadikan Kampung Pulau Besing
sebagai sentera produksi Udang Galah dan udang sungai lainnya, dan sebagai
destinasi wisata monyet Bekantan. Pertengahan tahun 2015 jembatan yang
menghubungkan Kampung Marancang Ulu dengan Kampung Pulau Besing sudah dapat
dipergunakan.
II. BERBURU
Mata pencaharian orang-orang dulu
di kampung-kampung pada umumnya adalah berkebun, mencari hasil hutan, berburu,
dan nelayan. Yang tinggal jauh dipedalaman tentu mata pencaharian utamanya
adalah berkebun, menanam padi gunung atau menanam padi dilahan kering dengan
cara menugal, mencari hasil hutan, dan berburu. Sesekali untuk kebutuhan mereka
memancing ikan disungai atau didanau terdekat. Yang berdomisili dekat dengan
laut, mereka menjadi nelayan mencari ikan dilaut. Yang tinggal disekitar sungai
Kuran atau sungai Berau, mereka berkebun, menanam padi sawah pasang surut,
mencari hasil hutan, nelayan disepanjang sungai Berau, dan berburu.
Sungai Berau sangat menjanjikan,
selain airnya melimpah dengan lebar sungai yang cukup luas, kaya dengan ikan-ikanan
seperti ikan patin, ikan baung, ikan kuntabi, ikan lais, ikan salap, ikan
saluang, ikan palau, ikan jallau, dan udang sungai. Berbagai jenis udang, ada
buntali, tampasik, udang batalur, dan udang galah. Dipedalaman ada ikan patin,
ikan salap, ikan sappan, ikan baung, ikan munjuk dan lain-lain. Di sungai Kuran
atau sungai Berau sampai nun kepedalaman juga banyak dihuni buaya, ular, bulus,
dan kura-kura.
Kalau ingin makan daging dengan
puas, maka satu-satu cara harus berburu, memasang perangkap, atau memasang
jerat. Yang paling mudah tentu dengan berburu binatang didalam hutan. Masuk hutan belantara yang sangat luas.
Dihutan tersedia binatang seperti kijang, pelanduk (kancil), payau (rusa),
babi, landak, banteng, badak. Dihutan Berau tidak ada binatang buas, yang ada
hanya Beruang, Rimaung daan (macan dahan), ular sawa (piton), dan berbagai
jenis ular berbisa. Dipohon tersedia berbagai jenis monyet, seperti lutung,
uat-uat, bekantan, bangkui (beruk), orang utan, siamang, monyet berjambul,
monyet merah (kelasi), berangan, kawitan, tupai, kucing hutan, kukang.
Kegiatan berburu pada umumnya
menangkap pelanduk, kijang, payau, dan landak. Keempat binatang buruan itu
dagingnya dimakan semua orang, oleh karena itu menjadi binatang buruan yang
diidolakan. Beda dengan babi, ular, monyet, dan rimaung daan, yang suka makan
dagingnya hanya orang-orang tertentu saja. Sedangkan banteng dan badak adalah
binatang yang sangat besar dan bertenaga sangat kuat, makanya tidak semua orang
mampu melawan dan menangkapnya. Setiap berburu yang paling diincar pasti
pelanduk, kijang, payau, atau landak.
Amma Usin yang tinggal di Kampung
Marancang Ulu pagi-pagi sekali berangkat berburu dengan membawa lambutan (lanjung/anjat). Lambutan
selain tempat membawa hasil buruan juga bisa menjadi tempat berbagai jenis
buah-buah yang didapat ditengah hutan. Membawa lambutan dengan cara digendong
dibelakang menggunakan tali yang dimasukkan melalui kedua belah tangan dan
kedua talinya disangkutkan dibahu seperti menggendong ransel. Senjatannya, Amma
Usin membawa Mandau dan tombak, didampingi beberapa ekor anjing pemburu yang
terlatih. Anjing-anjing itu paham benar bagaimana cara mengepung binatang
buruan seperti pelanduk, kijang dan payau. Begitu ia mengendus bau buruannya,
anjing-anjing tersebut langsung pergi dengan berpencar mendekati tempat
binatang buruan. Begitu ditemukan dikejar dan disalaknya dengan keras, pada
kesempatan tertentu anjing-anjing itu langsung menerkam dan menerjang binatang
buruan. Binatang buruan seperti pelanduk (kancil) dan Kijang langsung dapat
ditangkapnya. Dengan setia anjing-anjing itu menyerahkan hasil buruan kepada
tuannya. Tuannya pun mengerti kepada anjing pemburu kesayangannya. Daging perut
yang penuh lemak diiriskannya selebar-lebar telapak tangan dibagikan
masing-masing kepada anjingnya. Anjing-anjing itu memakan dengan lahap, seiris
itu sudah membuat mereka kenyang.
Tapi kali ini berbeda yang
dirasakan Amm Usin, berburu dengan membawa lambutan, tombak, dan Mandau sudah
jauh berjalan, telah mulai terasa lelah kaki melangkah, belum juga
anjing-anjing mengendus binatang buruan. Tapi ia sabar saja, berjalan terus,
berusaha terus sampai menemukan binatang buruan. Seekor pelanduk sekalipun
tidak masalah, yang penting ada hasil, yang penting ada yang dibawa pulang…….
Tiba-tiba anjingnya mulai menyalak, hatinya sumringah. Mudah-mudahan
binatangnya didapatkan. Amma Usin berusaha memperhatikan suara gonggongan
anjingnya. Kenapa anjing menyalak tidak pergi kemana-mana, menggonggongnya,
suaranya kenapa tidak berpencar. Apa binatangnya sudah didapatkan ? apakah
binatang yang didapat besar sekali ? sampai anjing-anjingku tidak bisa membawa
kehadapanku. Waaahhh….jangan-jangan……seharusnya binatang buruan itu lari
terbirit-birit ketakutan begitu melihat anjing pemburu yang siap menyerangnya.
Kemudian anjing-anjing itu mengejar kesana kemari, mengikuti jejak langkah
binatang buruan yang lari kencang berbelok-belok menghindari gigitan anjing.
Untuk melumpuhkan buruannya, anjing-anjing pemburu milik Amma Usin itu
menggigit punggung dan pipi pantat. Setelah kelelahan yang memuncak ditambah
dengan sakit luka gigitan anjing, akhirnya binatang buruan semakin kendor
larinya, semakin mudah melumpuhkannya…… tapi anjingnya menyalak tidak
kemana-mana, tidak berlarian mengejar kesana kemari, tapi gonggongannya tidak
berhenti bahkan semakin keras dan kencang. “Binatang apa yang didapat
anjing-anjing itu…..” tanya Amma Usin dengan heran.
Amma Usin langsung pergi
mendekati anjing-anjing yang masih menggonggong tidak berhenti itu. Cukup jauh memang, harus melintasi satu bukit,
dipuncak bukit berikutnya. Dipuncak bukit itu ada tanah datar selebar lapangan
bola. Seluas mata memandang terlihat dengan jelas. Hutan itu sangat lebat,
hampir sulit sinar matahari menerobos dedaunan yang tebal, tetapi dibawah
pohon-pohon besar dan raksasa itu lengang dan bersih. Ujung tanah datar
dipuncak bukit itu dapat terlihat dari sela-sela pohon-pohon yang tidak beraturan.
Pohon-pohon besar tiga kali bahkan sampai lima kali besar derum itu tumbuh
dengan kekar dan kuat, pohonnya lurus mengjulang tinggi. Ada yang dua puluh
meter, ada yang tiga puluh meter, bahkan ada yang lebih tinggi lagi.
Pucuk-pucuk pohon besar itu saling berebut tinggi untuk mendapatkan sinar
matahari langsung. Mencintai alam berarti mencintai hutan, mencintai hutan
berarti mencintai udara segar, udara segar sebagai paru-paru dunia…oleh karena
itu hutan tidak boleh ditebang semua untuk dijadikan lahan perumahan, lahan
perkebunan, lahan pertambangan, dan lahan pertanian. Hutan milik kita yang harus
kita jaga dan kita lestarikan. Manusia sangat membutuhkan hutan yang hijau
ranau untuk kehidupan dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk Tuhan
lainnya.
Ketika Amma Usin sudah sampai,
anjingnya masih menggonggong, tetapi tidak ada binatang yang didapatnya “mangapa dangkita ribut saja ini….bakaya
salak dangkita….cadada anu dangkita dapai” (mengapa kalian ribut saja
ini….bukan main menggonggong kalian….tidak ada yang kalian dapat). Kelima ekor
anjing Amma Usin menggonggong sambil duduk berkeliling berhadap-hadapan,
ditengahnya ada sebongkah batu sebesar telur bebek. Untuk menghentikan anjing
menggonggong, cepat-cepat ia ambil batu
itu. Anjing-anjing langsung diam dan sepi, mengerti bahwa batu yang tadi
digonggongnya sudah diambil. Anjing-anjing itu seperti kelelahan yang sangat,
nafasnya kencang, lidahnya dijulurkan panjang, masing-masing berdiri pindah
dari tempatnya semula.
Amma Usin mengamati batu sebesar
telur bebek yang sudah ada ditangannya…aneh…batu apa ini…tidak seperti
batu-batu biasanya. Setelah mengamati secara seksama….tetapi ia tidak mengerti
batu apa, kelebihannya apa, untuk apa, kenapa anjing-anjingku menggonggong dan
menungguinya sampai batu ini kuambil…….lalu batu sebesar telur bebek itu
dimasukkannya kedalam lambutan yang digendongnya sejak berangkat tadi, tapi
masih kosong. Batu sebesar telur bebek itulah isi pertama yang masuk kedalam
lambutannya. Sepanjang jalan ia sudah lupa dengan batu yang dimasukkannya dalam
lambutan. Dalam perjalanan pulang anjing-anjingnya yang pintar mampu menangkap
seekor pelanduk. Dan diperjalanan sempat mendapat buah yang baunya harum dan
menyengat, buah itu semacam durian…ya durian hutan namanya karatungan. Lambutannya berat dengan isi buah tersebut. Amma Usin
pulang dengan gagah. Yang ia tahu keluarganya pasti senang dengan kedatangannya
membawa hasil dari berburunya hari ini.
Mencarikan rezeki keluarga adalah
kewajiban seorang ayah, membahagiakan keluarga adalah bagian dari kebahagiaan
seorang ayah. Dengan membawa rezeki yang cukup untuk dimakan keluarga adalah
kebahagiaan tersendiri bagi seorang ayah. Ayah
atau Bapak dalam bahasa Berau disebut
dengan Amma, panggilan Amma Usin
berarti Bapak Usin atau pak Usin. Hurup H
biasanya dalam bahasa Berau hilang, maka disebut Usin. Ada kemungkinan nama
sebenarnya adalah Pak Husin yang disebut dalam bahasa Berau dengan Amma Usin.
Sebutan Rumah akan menjadi Ruma’,
kata Hutan atau Hitam menjadi Uttan dan Ittam. Hurup yang biasanya hilang dalam
kata Bahasa Berau antara lain hurup h,
o, dan e. Hurup h otomatis
hilang, sedangkan hurup o berubah
menjadi u, hurup e menjadi hurup a.
III. AMMA USIN BERMIMPI
Buah karatungan harumnya
menyengat sampai menyebar jauh, tetapi uniknya ketika dibelah. Buah durian
hutan itu tidak bisa dibelah atau dibuka seperti buah durian, kalau durian yang
sudah masak mudah sekali dibuka dan langsung isinya siap dimakan. Buah
karatungan tidak bisa dibuka seperti itu, buah karatungan harus dipotong tengahnya
dengan menggunakan parang yang tajam. Setelah dipotong menjadi dua, baru isinya
yang mirip dengan durian itu bisa dinikmati. Itupun isinya bersama bijinya
harus dicongkel dengan jari telunjuk
dulu baru bisa disantap. Harum memang isinya, dihidung tajam menyengat,
enak rasanya. Hampir mirip dengan rasa buah durian, makanya banyak yang
menyebutnya buah durian hutan.
Saat memotong buah karatungan
pasti ribut suaranya didapur, suara parang yang menghunjam tengah buah. Kalau belum
terpotong habis, parang terjepit dengan rapat ditengah buah, oleh karena itu
untuk memotong sampai habis, parang bersama dengan buah karatungan itu
dihempaskan kelantai beberapa kali, dan buah karatungan baru terpotong.
Hempasan beberapa kali kelantai dapur
rumah panggung itu membuat menjadi ribut, gaduh, dan terdengar sampai jauh.
Tetangga mendengarnya dari jauh, pasti memotong atau membelah sesuatu yang
keras seperti buah Lahung atau buah Karatungan.
Setelah buah karatungan
dikeluarkan dari lambutan, seekor pelanduk juga dikeluarkan dari lambutan.
lambutan dalam bahasa Banjar dikenal dengan Lanjung itu, tapi batu sebesar
telur bebek tidak dikeluarkan dari lambutan. Lambutan langsung digantung oleh
Amma Usin ditempat ia biasa menggantung lambutannya. Tempat menggantungnya
sudah tersedia, selama tergantung disana lambutan tidak kena hujan dan tidak
kena panas, tempatnya teduh, masih dibagian dalam rumah sederhana milik Amma
Usin bersama keluarganya.
Pelanduk atau kancil sebesar anak
kambing langsung dikuliti, isi perutnya dikeluarkan. Paha kaki depan dan paha
kaki belakang langsung dipisahkan dari tubuhnya, dipotong-potong hingga mudah
dimasukkan dalam panci, tubuh pelanduk juga dipotong dengan rapi. Daging
pelanduk yang lembut itu sebagian dibakar, dan sebagian lagi direbus ditambah
dengan bumbu secukupnya. Siap sebagai lauk santapan makan malam. Tidak lupa
tetangga dan keluarga dekat juga dapat bagian serba sedikit dari hasil buruan
Amma Usin.
Perkampungan ditepi sungai itu
sudah sepi, walaupun belum larut malam. Anak-anak sudah pada tidur walaupun
masih pukul 20.00 malam. Kebiasaan mereka, begitu setelah selesai makan malam,
siap-siap keperaduan. Kecuali malam bulan terang, anak-anak ramai bermain
dibawah sinar bulan purnama. Waktu bulan gelap, jarang ada anak-anak yang
bermain. Tidak jauh dari antara rumah, perkebunan dan sawah penduduk,
dibelakang sana sudah hutan belukar yang lebat. Setelah melintasi hutan belukar
sudah deh…masuk hutan belantara yang biasa dijadikan tempat berburunya Amma
Usin.
Amma Usin bersama istri dan anak-anaknya
bersiap-siap beristirahat malam. Lelah berjalan hampir sepanjang hari, Amma
Usin yang baru saja berbaring langsung tertidur pulas. Menghiasi malam yang
indah dan sunyi itu terdengar suara jangkrik bernyanyi, suara cacing gelang
didalam tanah nyaring meningkahi, dipohon kecil dekat dengan rimbunnya pohon
nipah kereriang melengkingkan suaranya yang nyaring menembus daun-daun,
menembus atap kajang dan dinding kajang rumah Amma Usin. Suara kereriang, suara
jangkrik, dan suara cacing gelang panjang tanpa putus-putus. Kapan ia harus
bernapas dengan suaranya yang panjang itu. Ternyata napasnya tidak terganggu, suara
nyaring yang keluar itu bukan berasal dari mulutnya, tetapi suaranya yang
nyaring itu ditimbulkan oleh getaran, gesekan bagian perut, bagian sayap, dan
bagian tubuh yang elastis. Dikejauhan suara burung hantu terdengar sekali-sekali,
tetapi lama terus bersuara sambung menyambung. Ayam hutan sekali dua kali
mengepakkan sayapnya dan lalu memperdengarkan suaranya yang keras, sangar, dan menakutkan. Dilain tempat jauh sekali, suara
rimaung daan (macan dahan) sesekali terdengar hilang-hilang tenggelam lampaui
gunung-gunung dan hutan nan luas.
Kampung ditepi sungai yang
dikelilingan hutan itu, mulai jam sebelas malam sudah dituruni embun seperti hujan
gerimis. Embun merata menutupi semua permukaan. Rumah-rumah kecil ditepi sungai
itu hampir-hampir tidak kelihatan tertutup embun. Malam yang larut semakin
dingin. Anak-anak semua tidur miring menghadap keutara dan keselatan, menarik
kedua lututnya sampai merapat dengan perut, kedua siku tangannya dirapatkan
kedada dan kedua telapak tangannya digenggam merapat ke dagu. Seperti itu
terasa lebih hangat. Dingin malam itu yang membuat mereka harus merapatkan
tubuh menjadi pendek seperti bayi dalam rahim ibu.
Tubuh Amma Usin yang berbeda, ia
tetap telentang seperti tidak merasa dinginnya malam yang menusuk sampai
ketulang belulang. Hanya mulutnya yang kamat kamit. Amma Usin bermimpi bertemu
dengan batu yang siang tadi ia ambil, yang siang tadi digonggong anjing, yang
siang tadi ia amati dengan seksama, yang siang tadi ia masukkan kedalam
lambutan, yang siang tadi sudah ia lupakan, batu sebesar telur bebek. Dalam
mimpi Amma Usin, batu itu berujar “jangan mu sambarangkan aku ini, karna aku
ini ada isinya….dibatu ini” batu bersama lambutan terlihat dengan jelas
dihadapan Amma Usin, batu itu
memberitahukan Amma Usin melalui mimpi dengan jelas dan terang. Batu bersama
lambutan masih nampak jelas dihadapan Amma Usin. Mimpi itu putus cukup lama
lalu lanjutnya “aku ini nyamanya Si
Kuntum…..Si Kuntum Taklamun” (aku ini namanya Si Kuntum…Si Kuntum Taklamun).
Amma Usin pagi-pagi sekali sudah
bangun, langsung membersihkan diri dan mandi di lanting tepi sungai tidak jauh dari rumahnya. Dingin embun pagi
yang tebal tidak mengganggu mandi Amma Usin. Matanya segar, telinganya segar,
hidungnya segar, seluruh tubuhnya segar, langsung melaksanakan perintah Tuhan.
Setelah selesai Amma Usin mengadukan mimpinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan
Semesta Alam. Siang harinya Amma Usin langsung mencari kain kuning. Batu
sebesar telur bebek itu dibungkusnya dengan rapi menggunakan kain kuning, lalu
diletakkan didalam lemari agar tidak terganggu.
Ceritera mimpi dan batu sebesar
telur bebek itu menyebar keseluruh kampung dan bahkan berkembang sampai
kekampung-kampung lain. Mendengar ceritera itu ada yang percaya dan ada pula
yang tidak percaya….dikatakan oleh yang tidak percaya, ceritera itu hanya
ceritera tahayul saja, ceritera yang tidak ada manfaatnya. Tetapi yang percaya
maupun yang tidak percaya banyak yang datang kerumah Amma Usin ingin melihat
secara langsung bagaimana rupa batu gaib yang ditemukan Amma Usin di tengah
hutan waktu sedang berburu. Masing-masing berkesempatan untuk memegang batu itu
secara langsung. Beratnya sedang-sedang saja, beratnya berkisar sepuluh kali
berat telur bebek. Kenapa lebih berat ?
ya karena benda itu batu. Dilihat sepintas ya batu biasa saja, tetapi bila
diamati dengan seksama batu itu seperti diukir dengan halus dan sangat rapi.
Siapa yang mengukir, siapa yang meletakkan batu itu ditengah hutan, siapa
pemilik batu itu? entahlah siapa yang bisa menjawabnya.
IV. TIDAK PERCAYA
Beberapa tahun kemudian tersebar
lagi keanehan batu bertuah Si Kuntum Taklamun. Masyarakat sekampung Marancang
Ulu dihebohkan dengan berita batu itu sekarang sudah menjadi besar. yang dulu
sebesar telur itik (bebek), sekarang sudah sebesar bola voly. Beratnyapun sudah
berubah tidak seringan dulu lagi, sekarang sudah berat. Bagi yang percaya,
orang baik, dan yang disenangi bisa dengan mudah mengangkat Si Kuntum Taklamun.
Tetapi yang tidak percaya tidak bisa mengangkatnya….menjadi sangat berat….berat
luar biasa.
Pada suatu hari ada beberapa
orang yang tidak percaya dengan berita itu, datang kerumah Amma Usin. “masa
batu sebesar bola voly saja tidak bisa diangkat…bohong itu semua….tidak
mungkin….coba aku buktikan”. Berangkatlah mereka menuju rumah Amma Usin.
Sesampai disana dengan pongah mereka mengatakan “kaluarkan batu attu..aku
tarrus tarrang gai cada parcaya anu tahyul damitu attu…sini batu attu kuangkat
maningguang” (Keluarkan batu itu…aku terus terang teman tidak percaya yang
tahayul itu…. Sini batu itu ku angkat sendirian). Amma Usin sipemilik barang
menerima semua yang datang dengan tersenyum dan penuh suka cita.
Apa yang terjadi, ternyata benar
batu yang dikenal dengan Si Kuntum itu tidak bisa diangkat oleh si pulan, ia
coba beberapa kali dengan seluruh tenaga yang ia miliki tetap tidak bisa
diangkat, sampai merah mukanya. Kemudian masih juga tidak bercaya, mereka
angkat berdua. Mereka angkat dengan sekuat tenaga, batu itu tetap tidak bisa diangkat.
Kesal campur heran, risih campur malu terlihat diwajah mereka yang tidak
percaya. Akhirnya yang tidak percaya itu geleng-geleng kepala lalu meninggalkan
rumah Amma Usin dengan rasa malu ditambah dengan sejuta pertanyaan…aneh….memang
aneh…..tapi…kenyataannya demikian adanya…kami tidak bisa mengangkat….benda itu
hanya sebesar bola voly saja…...
Sejak diketahuinya Si Kuntum ada
di Kampung Marancang Ulu, dengan segala keunikan dan keanehannya Si Kuntum
Taklamun, banyak orang yang datang ke Kampung Marancang Ulu untuk melihat batu
bundar berukir halus sebesar bola voly itu. Banyak yang mohon petunjuk kepada
si Kuntum Taklamun untuk perjalanan hidup, pada umumnya terkabul dan berhasil. Semua
itu pasti membuat orang semakin percaya dengan Batu bertuah Si Kuntum Taklamun
di Kampung Marancang Ulu Kecamatan Gunung Tabbur Kabupaten Berau Provinsi
Kalimantan Timur. Yang ingin melihat langsung Batu Si Kuntum Taklamunm silahkan
datang……
Tanjung Redeb, 2 Agustus 2014
Dibenahi lagi Minggu, 22 Pebruari 2015
Informan : ketua Adat Kampung Marancang Ulu Amma Syahran, tahun 2013
Saat pak Syahran berceritera didengarkan puluhan orang,
semuanya membenarkan hal ikhwal ceritera tersebut.
Yang
bersangkutan diwawancarai penulis saat melakukan penelusuran Raja Pertama Berau
di Sungai Ullak di Gunung Pattung tahun 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar