MAKAM KUBAH MAKAM KERAMAT
SYECH ALI DJUNAIDI AL-BANJARI
Oleh : Saprudin Ithur
‘Alimul ‘Alamah Qodhi Haji Muhammad Ali Djunaidi bin ‘Alimul
Fadhil Qadhi Haji Muhammad Amin bin
‘Alimul ‘Alamah Mufti Haji Djamaluddin bin Syech Muhammad Arsyad
Al-Banjari lahir di Dalam Pagar Martapura Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun
1285 Hijriah atau tahun 1864 Masehi.
Ali Djunaidi kecil belajar menulis dan membaca tulisan Arab
dan tulisan Melayu Arab dengan orang tua
dan paman-pamannya sendiri, termasuk belajar tentang ilmu-ilmu agama juga
kepada orang tua, paman-paman dan keluarga beliau. Setelah menguasai ilmu-ilmu
agama, fasih membaca Al Qur’an, pinta
menulis Arab dan Melayu Arab, dan sudah bisa sedeikit-sedikit berbahasa Arab,
maka Ali Djunaidi berangkat ke Tanah Suci Mekkah mengaji dan belajar lagi
ilmu-ilmu agama yang lebih mendalam.
“Alimul ‘Alamah Mufti Haji Ali Djunaidi tinggal di Mekkah
Arab Saudi, selama tinggal disana Ali Djunaidi mengaji atau belajar agama
dengan beberapa Ulama Besar di Mekkah, sehingga Ali Djunaidi banyak mendapat
ilmu. Terutama dalam bidang ilmu Hukum, dan menguasai bidang ilmu Fikih, ilmu
Tauhid, maupu ilmu Tashauf. Pemuda Haji Ali Djunaidi sempat bermukim di Mekkah
beberapa tahun lamanya, sehingga budaya Arab sangat kental dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan kehidupan sehariannya sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh
budaya Arab. Begitu pula dalam menuntut ilmu dan bermasyarakat. Tetapi beliau
tidak pernah melupakan budaya Melayu Banjar, nama Ali Djunaidi lebih dikenal di
Mekkah dengan sebutan Ali Djuanidi Banjar.
“Alimul ‘Alamah Mufti
Haji Ali Djunaidi selama di Mekkah kawin, menikah dengan seorang wanita Arab
dan melahirkan seorang anak bernama Hasan. Setelah dewasa Hasan dikenal dengan
nama Hasan Jawi (juga masyhur dengan nama panggilan Hasan Junai Banjar). Karena
memang keturunan orang-orang terkemuka dan alim, pada tahun 1947-an Syech Hasan
Junai pernah menjadi Mu’azzin di Masjidil Haram Mekkah.
Setelah sekian lama belajar dan mengaji di Mekkah, sudah
mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, baik ilmu untuk akhirat dan ilmu untuk
keduniaan, Haji Ali Djunaidi pulang ke
Banjar. Setelah beberapa bulan di Banjar, Ali Djunaidi mengemban missi tugas
dakwah kenegeri yang jauh, yaitu ke Serawak Malaysia Timur. Serawak masih
dibawah jajahan kolonial Inggris, sedang Nusantara masih dibawah jajahan
kolonial Belanda. Nusantara dibawah jajahan Belanda, pada waktu itu dikenal
dengan nama Hindia Belanda. Berangkat tugas missi keagaam tersebut Haji Ali
Djunaidi didampingi oleh keponakan
sepupu beliau yaitu ‘Alimul Fadfhil Haji Ismail Khatib. Beberapa tahun beliau
berdua tinggal di Serawak untuk berdakwah dan menjadi guru agama disana,
menetap di Mukah Serawak. Keberadaan beliau disana pada tahun 1315 Hijriah atau
tahun 1898 Masehi. Selama di Mukah Serawak Haji Ali Djunaidi menikah dengan
seorang wanita keturunan Melayu dan melahirkan beberapa orang anak, sampai
sekarang zuriat dan anak keturunan beliau masih ada di Mukah Serawak Malysia.
Haji Ali Djunaidi kembali ke Banjar, beberapa waktu kemudian berangkat
berdakwah lagi ke sebuah kerajaan, yang dikenal dengan kerajaan Berayu atau
kerajaan Berau. Haji Ali Djunaidi berangkat menuju kerajaan Berau diwilayah
Utara Kalimantan. Sesampainya beliau di Berau, ternyata kerajaan Berau sudah
menjadi dua yaitu kesultanan Gunung Tabur dan kesultanan Sambaliung. Haji Ali
Djunaidi memilih berada dan bertempat tinggal di seberang kesultanan Gunung
Tabur, masih ditepi sungai Segah, yaitu dihilir sungai Batumiang, kemudian hari
wilayah itu dikenal juga dengan nama kampung Banjar, banyak orang atau suku
banjar yang tinggal disana. Sekarang kawasan
tersebut dikenal dengan jalan Pulau Derawan. Dari tempat tinggal Haji Ali
Djunaidi berdakwah masih kelihatan dengan jelas lalu lalang dan kesibukan
masyarakat di Gunung Tabur. Beliau membangun sebuah rumah besar dan tinggi.
Karena daerah pasang surut. Waktu air pasang dibawah rumah Ali Djunaidi calap
(tergenang air). Rumah yang dibangun besar untuk kepentingan murid belajar
agama, dan menjadi tempat menginap murid-murid beliau yang datang dari jauh.
Haji Ali Djunaidi mendapat ijin dan restu dari Sultan Kesultanan Gunung Tabbur.
Banyak muridnya yang datang dan belajar dari berbagai penjuru dan kampung.
Sekitar rumah beliau dibersihkan oleh murid-murid, ditanami sayur mayur, singkong, ubi jalar, pisang, dan buah-buahan.
Pada musin bulan besar, air pasang besar, halaman rumah, bawah rumah, samping
kiri kanan dan belakang rumah tergenang air. Begitu air sungai surut, semuanya kering
kembali. Tanaman disekeliling rumah Ustad Haji Ali Djunaidi tumbuh subur.
Hasilnya untuk dimakan bersama murid-murid yang belajar dirumah Ustah. Haji Ali
Djunaidi seorang tokoh dakwah atau penyebar agama banyak murid, maka muridnya
memanggilnya Ustad atau guru. Kemudian hari lebih dikenal sebagai pemberi tausiyah,
ceramah, khotbah, dan memberikan nasihat kerohanian dan keagamaan di keraton,
maka panggilan beliau selain Ustad, guru,
juga dipanggil dengan panggilan Kiyai. Karena sudah pernah belajar di
Mekkah, beliau juga dipanggil dengan nama awal Syech, jadi nama lengkapnya
adalah Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi.
Selama berada di Berau Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi kawin
atau menikah, melahirkan beberapa orang anak, anatara lain, Muhammad Asy’ Ari,
Haji Muhammad Yusuf, Muhammad Ja’far, Husin, Mukhtar, dan Antung Barlian. Selai
berdakwah cukup lama di berau Haji Ali Djunaidi sempat berdakwah di Tenggarong
Kutai Kartanegara. Di Tenggarong kawin dengan Baiyah Binti Ibrahim, melahirkan
Abdul Manaf dan Abdul Manan.
Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi juga pernah tinggal di
Balitung, Banjarmasin. Disana Haji Ali Djunaidi menjadi Mufti. Selama tinggal
di Balitung beliau sering pulang ke Martapura (dalam pagar) menemui kakaknya
Hj. Antung ‘Aisyah. Ketika beliau ada di Martapura dirumah kakaknya, banyaklah
warga, keluarga, sanak handai taulan, dan jiran yang datang untuk bertemu
langsung dengan Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi siang dan malam. Ramai sekali
rumah Antung Aisyah selama adiknya berada dirumahnya. Para tamu sekalian ramai
turut Sholat bersama dan meminta petuah dan nasehat dari Kiyai H. Muhammad Ali
Djunaidi.
Syech Haji Mauhammad Ali Djunaidi orangnya periang, suka
melucu, dan pintar bercerita pengalaman hidup dimana saja beliau pernah tinggal
dan berdakwah. Tamu handai taulan dan jiran suka mendengarkan cerita pengalaman
hidup dan perjalanan dakwahnya, disuguhi dengan cerita lucu, maka tamu betah
berjam-jam mendengarkan kisah beliau, semuanya merasa senang dan terhibur.
Kegiatan Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi selain mengajar dan
menjabat sebagai Qadhi dan Mufti pada masa pemerintahan Hindia Belanda, beliau
juga mendidik dan memimpin dalam bidang amaliyah para murid untuk meingkatkan
iman dan taqwa kepada Allah SWA dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Selama di Berau beliau jadi panutan, jadi pemimpin keagamaan,
membangun Mesjid tidak jauh dari kediaman beliau. Semua kegiatan yang dilakukan
dan dikerjakan beliau bersama murid-muridnya mendapat restu dari Sultan
Kesultanan Gunung Tabur. Setelah lama
beliau berkiprah dalam berdakwah dan mendidik sanak keluarga dan murid-murid
dalam meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWA, serta menggemarkan dalam
beribadat, maka akhirnya lesulah jasmani dan lemahlah tenaga beliau. Disamping
karena sudah lemah dan lelah berdakwah, usia beliau tidak terbilang muda lagi,
usia beliau sudah lebih 70 tahun. Sehingga sejak awal Ramadhan 1362 Hijriayah
beliau jatuh sakit, anak cucu, keluarga dan murid-murid cemas melihat kondisi
kesehatan beliau kian hari kian menurun.
Pada hari Senin siang tanggal 20 Ramadhan 1362 Hijriyah,
beliau pergi untuk selama-lamanya meninggalkan anak, cucu, istri, keluarga dan
murid, memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Innalillahi wainailaihi rojiun. Dimakamkan pada hari Selasa tanggal 21 Ramadhan
1362 Hijriyah atau tahun 1941 Masehi dalam usia 71 tahun. Dimakamkan dibelakang
rumah beliau sendiri di kampung Banjar, sungai Segah yang sekarang dikenal
dengan jalan Pulau Derawan.
Makam Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi Al Banjari berada di
jalan Pulau Derawan Gang Kubah, masuk sekitar seratus meter sebelah kiri.
Disana ada bangunan megah dipintu gerbangnya ditulis Makam Syech H. M. Ali
Junaidi Al Banjari. Dalam kubah atau bangunan bisa menampung sepuluh sampai dua
puluh lima orang. Makam beliau terawat dengan baik, perawatan dan pemeliharaan
makam dilakukan oleh keluarga dan pencinta para Ulama, Kiyai, orang Alim, dan
keturunan Dalam Pagar Martapura Kalimanatan Selatan. Makam tersebut dikenal
juga dengan Makam Kubah, karena dimakam beliau dibangun sebuah rumah untuk
tempat ziarah, berdoa, membaca Surat Yasin dan lain-lain. Bangunan yang ada disebut
pengunjung dengan Kubah, makanya disebut dengan Makam Kubah. Tetapi ada juga
yang menyebut dengan Makam Karamat Waliulah. Makam dikeramatkan, karena seumur
hidup beliau hanya berdakwah mengajarkan agama Islam kepada anak, cucu, istri,
keluarga dan ribuan murid yang tersebar di Searawak, Balitung, Banjarmasin,
Martapura, Kutai dan Berau. Hampir separuh hidup Syech Haji Muhammad Ali
Junaidi Al Banjari berada di Kampung Banjar Batumiang Tanjung Redeb Berau
Kalimantan Timur. Setiap acara haul
Tanjung Redeb, 10 Juli 2015
Kisah ini diangkat dari
buku yang ditulis oleh H. M. Irsyad Zein dengan judul “Alimul ‘Alamah Qadhi H.
Muhammad Ali Junaidi, bin Alimul ‘Alamah Qadhi H. Muhammad Amin, bin Alimul
‘Alamah Mufti H. Muhammad Jamaluddin, bin Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari.
izin bisa di jadikan referensi skripsi
BalasHapus