Selasa, 14 Juli 2015

MAKAM KUBAH MAKAM KERAMAT SYECH ALI JUNAIDI AL BANJARI



MAKAM KUBAH MAKAM KERAMAT
SYECH ALI DJUNAIDI AL-BANJARI
Oleh : Saprudin Ithur

‘Alimul ‘Alamah Qodhi Haji Muhammad Ali Djunaidi bin ‘Alimul Fadhil Qadhi Haji Muhammad Amin bin  ‘Alimul ‘Alamah Mufti Haji Djamaluddin bin Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari lahir di Dalam Pagar Martapura Banjarmasin Kalimantan Selatan tahun 1285 Hijriah atau tahun 1864 Masehi.
Ali Djunaidi kecil belajar menulis dan membaca tulisan Arab dan tulisan Melayu Arab  dengan orang tua dan paman-pamannya sendiri, termasuk belajar tentang ilmu-ilmu agama juga kepada orang tua, paman-paman dan keluarga beliau. Setelah menguasai ilmu-ilmu agama, fasih membaca Al Qur’an,  pinta menulis Arab dan Melayu Arab, dan sudah bisa sedeikit-sedikit berbahasa Arab, maka Ali Djunaidi berangkat ke Tanah Suci Mekkah mengaji dan belajar lagi ilmu-ilmu agama yang lebih mendalam.
“Alimul ‘Alamah Mufti Haji Ali Djunaidi tinggal di Mekkah Arab Saudi, selama tinggal disana Ali Djunaidi mengaji atau belajar agama dengan beberapa Ulama Besar di Mekkah, sehingga Ali Djunaidi banyak mendapat ilmu. Terutama dalam bidang ilmu Hukum, dan menguasai bidang ilmu Fikih, ilmu Tauhid, maupu ilmu Tashauf. Pemuda Haji Ali Djunaidi sempat bermukim di Mekkah beberapa tahun lamanya, sehingga budaya Arab sangat kental dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kehidupan sehariannya sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh budaya Arab. Begitu pula dalam menuntut ilmu dan bermasyarakat. Tetapi beliau tidak pernah melupakan budaya Melayu Banjar, nama Ali Djunaidi lebih dikenal di Mekkah dengan sebutan Ali Djuanidi Banjar.
 “Alimul ‘Alamah Mufti Haji Ali Djunaidi selama di Mekkah kawin, menikah dengan seorang wanita Arab dan melahirkan seorang anak bernama Hasan. Setelah dewasa Hasan dikenal dengan nama Hasan Jawi (juga masyhur dengan nama panggilan Hasan Junai Banjar). Karena memang keturunan orang-orang terkemuka dan alim, pada tahun 1947-an Syech Hasan Junai pernah menjadi Mu’azzin di Masjidil Haram Mekkah.
Setelah sekian lama belajar dan mengaji di Mekkah, sudah mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, baik ilmu untuk akhirat dan ilmu untuk keduniaan, Haji Ali Djunaidi  pulang ke Banjar. Setelah beberapa bulan di Banjar, Ali Djunaidi mengemban missi tugas dakwah kenegeri yang jauh, yaitu ke Serawak Malaysia Timur. Serawak masih dibawah jajahan kolonial Inggris, sedang Nusantara masih dibawah jajahan kolonial Belanda. Nusantara dibawah jajahan Belanda, pada waktu itu dikenal dengan nama Hindia Belanda. Berangkat tugas missi keagaam tersebut Haji Ali Djunaidi didampingi  oleh keponakan sepupu beliau yaitu ‘Alimul Fadfhil Haji Ismail Khatib. Beberapa tahun beliau berdua tinggal di Serawak untuk berdakwah dan menjadi guru agama disana, menetap di Mukah Serawak. Keberadaan beliau disana pada tahun 1315 Hijriah atau tahun 1898 Masehi. Selama di Mukah Serawak Haji Ali Djunaidi menikah dengan seorang wanita keturunan Melayu dan melahirkan beberapa orang anak, sampai sekarang zuriat dan anak keturunan beliau masih ada di Mukah Serawak Malysia.
Haji Ali Djunaidi kembali ke Banjar, beberapa waktu kemudian berangkat berdakwah lagi ke sebuah kerajaan, yang dikenal dengan kerajaan Berayu atau kerajaan Berau. Haji Ali Djunaidi berangkat menuju kerajaan Berau diwilayah Utara Kalimantan. Sesampainya beliau di Berau, ternyata kerajaan Berau sudah menjadi dua yaitu kesultanan Gunung Tabur dan kesultanan Sambaliung. Haji Ali Djunaidi memilih berada dan bertempat tinggal di seberang kesultanan Gunung Tabur, masih ditepi sungai Segah, yaitu dihilir sungai Batumiang, kemudian hari wilayah itu dikenal juga dengan nama kampung Banjar, banyak orang atau suku banjar yang tinggal disana. Sekarang  kawasan tersebut dikenal dengan jalan Pulau Derawan. Dari tempat tinggal Haji Ali Djunaidi berdakwah masih kelihatan dengan jelas lalu lalang dan kesibukan masyarakat di Gunung Tabur. Beliau membangun sebuah rumah besar dan tinggi. Karena daerah pasang surut. Waktu air pasang dibawah rumah Ali Djunaidi calap (tergenang air). Rumah yang dibangun besar untuk kepentingan murid belajar agama, dan menjadi tempat menginap murid-murid beliau yang datang dari jauh. Haji Ali Djunaidi mendapat ijin dan restu dari Sultan Kesultanan Gunung Tabbur. Banyak muridnya yang datang dan belajar dari berbagai penjuru dan kampung. Sekitar rumah beliau dibersihkan oleh murid-murid, ditanami sayur mayur,  singkong, ubi jalar, pisang, dan buah-buahan. Pada musin bulan besar, air pasang besar, halaman rumah, bawah rumah, samping kiri kanan dan belakang rumah tergenang air. Begitu air sungai surut, semuanya kering kembali. Tanaman disekeliling rumah Ustad Haji Ali Djunaidi tumbuh subur. Hasilnya untuk dimakan bersama murid-murid yang belajar dirumah Ustah. Haji Ali Djunaidi seorang tokoh dakwah atau penyebar agama banyak murid, maka muridnya memanggilnya Ustad atau guru. Kemudian hari lebih dikenal sebagai pemberi tausiyah, ceramah, khotbah, dan memberikan nasihat kerohanian dan keagamaan di keraton, maka panggilan beliau selain Ustad, guru,  juga dipanggil dengan panggilan Kiyai. Karena sudah pernah belajar di Mekkah, beliau juga dipanggil dengan nama awal Syech, jadi nama lengkapnya adalah  Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi.
Selama berada di Berau Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi kawin atau menikah, melahirkan beberapa orang anak, anatara lain, Muhammad Asy’ Ari, Haji Muhammad Yusuf, Muhammad Ja’far, Husin, Mukhtar, dan Antung Barlian. Selai berdakwah cukup lama di berau Haji Ali Djunaidi sempat berdakwah di Tenggarong Kutai Kartanegara. Di Tenggarong kawin dengan Baiyah Binti Ibrahim, melahirkan Abdul Manaf dan Abdul Manan.
Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi juga pernah tinggal di Balitung, Banjarmasin. Disana Haji Ali Djunaidi menjadi Mufti. Selama tinggal di Balitung beliau sering pulang ke Martapura (dalam pagar) menemui kakaknya Hj. Antung ‘Aisyah. Ketika beliau ada di Martapura dirumah kakaknya, banyaklah warga, keluarga, sanak handai taulan, dan jiran yang datang untuk bertemu langsung dengan Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi siang dan malam. Ramai sekali rumah Antung Aisyah selama adiknya berada dirumahnya. Para tamu sekalian ramai turut Sholat bersama dan meminta petuah dan nasehat dari Kiyai H. Muhammad Ali Djunaidi.
Syech Haji Mauhammad Ali Djunaidi orangnya periang, suka melucu, dan pintar bercerita pengalaman hidup dimana saja beliau pernah tinggal dan berdakwah. Tamu handai taulan dan jiran suka mendengarkan cerita pengalaman hidup dan perjalanan dakwahnya, disuguhi dengan cerita lucu, maka tamu betah berjam-jam mendengarkan kisah beliau, semuanya merasa senang dan terhibur.
Kegiatan Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi selain mengajar dan menjabat sebagai Qadhi dan Mufti pada masa pemerintahan Hindia Belanda, beliau juga mendidik dan memimpin dalam bidang amaliyah para murid untuk meingkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWA dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Selama di Berau beliau jadi panutan, jadi pemimpin keagamaan, membangun Mesjid tidak jauh dari kediaman beliau. Semua kegiatan yang dilakukan dan dikerjakan beliau bersama murid-muridnya mendapat restu dari Sultan Kesultanan Gunung Tabur.  Setelah lama beliau berkiprah dalam berdakwah dan mendidik sanak keluarga dan murid-murid dalam meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWA, serta menggemarkan dalam beribadat, maka akhirnya lesulah jasmani dan lemahlah tenaga beliau. Disamping karena sudah lemah dan lelah berdakwah, usia beliau tidak terbilang muda lagi, usia beliau sudah lebih 70 tahun. Sehingga sejak awal Ramadhan 1362 Hijriayah beliau jatuh sakit, anak cucu, keluarga dan murid-murid cemas melihat kondisi kesehatan beliau kian hari kian menurun.
Pada hari Senin siang tanggal 20 Ramadhan 1362 Hijriyah, beliau pergi untuk selama-lamanya meninggalkan anak, cucu, istri, keluarga dan murid, memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Innalillahi wainailaihi rojiun. Dimakamkan pada hari Selasa tanggal 21 Ramadhan 1362 Hijriyah atau tahun 1941 Masehi dalam usia 71 tahun. Dimakamkan dibelakang rumah beliau sendiri di kampung Banjar, sungai Segah yang sekarang dikenal dengan jalan Pulau Derawan.
Makam Syech Haji Muhammad Ali Djunaidi Al Banjari berada di jalan Pulau Derawan Gang Kubah, masuk sekitar seratus meter sebelah kiri. Disana ada bangunan megah dipintu gerbangnya ditulis Makam Syech H. M. Ali Junaidi Al Banjari. Dalam kubah atau bangunan bisa menampung sepuluh sampai dua puluh lima orang. Makam beliau terawat dengan baik, perawatan dan pemeliharaan makam dilakukan oleh keluarga dan pencinta para Ulama, Kiyai, orang Alim, dan keturunan Dalam Pagar Martapura Kalimanatan Selatan. Makam tersebut dikenal juga dengan Makam Kubah, karena dimakam beliau dibangun sebuah rumah untuk tempat ziarah, berdoa, membaca Surat Yasin dan lain-lain. Bangunan yang ada disebut pengunjung dengan Kubah, makanya disebut dengan Makam Kubah. Tetapi ada juga yang menyebut dengan Makam Karamat Waliulah. Makam dikeramatkan, karena seumur hidup beliau hanya berdakwah mengajarkan agama Islam kepada anak, cucu, istri, keluarga dan ribuan murid yang tersebar di Searawak, Balitung, Banjarmasin, Martapura, Kutai dan Berau. Hampir separuh hidup Syech Haji Muhammad Ali Junaidi Al Banjari berada di Kampung Banjar Batumiang Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur. Setiap acara haul

Tanjung Redeb, 10 Juli 2015

Kisah ini diangkat dari buku yang ditulis oleh H. M. Irsyad Zein dengan judul “Alimul ‘Alamah Qadhi H. Muhammad Ali Junaidi, bin Alimul ‘Alamah Qadhi H. Muhammad Amin, bin Alimul ‘Alamah Mufti H. Muhammad Jamaluddin, bin Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar