Kisah Empat Pahlawan Gugur Di Pulau Balikukup Tahun 1957
ekaman cerita (sejarah) empat Pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup,
Kecamatan Batu Putih,
Kabupaten Berau, Provinsi
Kalimantan Timur, ini kami himpun dari beberapa cacatan dan kisah
rekan almarhum yang masih hidup. Mereka pada umumnya sudah tua-tua
dan sebagian lagi sudah almarhum
berasal dari Polri yang bertugas
di Kabupaten Berau
antara lain :
1.
Peltu M. Dawai Purnawirawan Polri tinggal di Jl. Tendean
Tanjung Redeb (Almarhum)
2.
Peltu Ali Anang Purnawirawan Polri tinggal di Jl. Pulau
Panjang Tg. Rdeb (Almarhum)
3.
Peltu Sarijan
Purnawirawan Polri tinggal
di Jln. Pulau
Panjang Tg. Redeb (Almarhum).
Selain itu kami ambil dari kisah
masyarakat Kampung Pulau Balikukup
Kecamatan Batu Putih, Kampung Tanjung Perepat dan Pantai Harapan
Kecamatan Biduk-Biduk yang merasakan dan terlibat
langsung pada saat kejadian
serta benar-benar berada
di Pulau Balikukup
tersebut.
Kemudian dari himpunan diatas
diolah dan diperindah kisahnya oleh penulis,
dengan harapan kiranya tulisan ini dapat dibaca dengan nyaman oleh semua kalangan agar tidak
membosankan, utama sekali teruntuk para generasi
penerus bangsa yaitu para siswa-siswi yang masih duduk dibangku sekolah.
Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Seni Warji Polri
Resort Berau berpangkat Sersan yang banyak membantu
berbagai bahan dan literatur serta masukan buat penulis, serta
Bapak-Bapak Polisi lain yang saat penyusunan juga turut membantu.
Sekali lagi kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis menyelesaikan sejarah
para kesatria yang berjuang
membela rakyat di Pulau Balikukup.
BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA
YANG SELALU MENGHARGAI JASA PARA PAHLAWANNYA
Tanjung Redeb, 26 September
1987
Pulau Kecil Ditengah Lautan
Pulau kecil ditengah lautan ini sejak ratusan tahun lalu sudah ada penduduknya. Di samping menjadi
tempat tinggal, pulau kecil itu juga menjadi tempat persinggahan dan peristirahatan para nelayan. Pulau yang dikelilingi lautan itu
kaya akan ikan-ikan dan jenis-jenis
lain yang hidup dalam lautan, terumbu karang sampai kepantai pulau begitu indahnya. Deburan ombak tidak pernah berhenti berganti arah sesuai dengan arah angin yang datang dan membawa gelombang terus menerus siang dan malam. Uh pokoknya bukan main, seperti dalam dunia khayal ketika kita berada di sana.
Pulau kecil itu adalah Pulau
Balikukup yang terkenal dikalangan pelaut dan para nelayan, karena
pulau ini sejak dulu menjadi salah satu anjir atau tanda laut
bagi para pelaut dan nelayan, maka pulau kecil itu sangat dikenal
namanya. Apabila kita naik kapal, pulau
itu seperti tujuan
yang ingin dicapai,
terlihat dari kejauhan.
Setelah dilalui dan kapal menjauh meninggalkan
pulau, pulau Balikukup diletakkan seolah diburitan kapal sampai kemudian menghilang ditelan laut. Dan
begitulah anjir laut itu menjadi patokan dan tak akan dilupakan oleh
semua para penumpang, bahkan menjadi buah bibir
berjam-jam, maka sampailah kapal ke muara sungai Berau yang
dikenal dengan nama Muara Lungsuran
Naga. Memasuki sungai Berau kapal dan para penumpangnya disambut oleh tingginya
gunung Padai
yang memilki cerita dan legenda sendiri.
Pulau
Balikukup terletak di Kecamatan Biduk-Biduk, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur.
Penduduknya berkisar 200 jiwa.
Kemudian hari setelah adanya pemekaran kecamatan di Kabupaten Berau, Pulau
Balikukup masuk wilayah Kecamatan
Batu Putih. Pulau kecil itu ditumbuhi ratusan pohon kelapa yang tinggi menjulang ke angkasa serta kayu dan rumput- rumput liar.
Apakah pulau ini mempunyai kelebihan ?
Ya, tentu saja memiliki kelebihan tersendiri, makanya pulau kecil itu sangat
menarik dan membuat
orang bisa betah
tinggal di sana. Apa kelebihannya ?
Walau jauh dari daratan
dan dikelilingi oleh laut, namun air bersih dapat mencukupi penduduk dari dahulu
sampai sekarang. Di sana hanya ada sebuah sumur yang
terletak di tengah-tengah pulau bertepatan dan berdekatan dengan
Masjid Pulau Balikukup yang dapat digunakan sebagai air
minum dan sangat bersih. Sumur unik
dan satu –satunya itu adalah salah satu keunikan Pulau tersebut. Bagaimana
dengan disekitarnya? Masih banyak sumur-sumur lain, namun airnya
tidak dapat dijadikan air minum
kecuali hanya dijadikan untuk mandi dan
mencuci pakaian. Oleh karena itu sumur di dekat Masjid tersebut menjadi
tumpuan penduduk, para pelaut dan nelayan lain
yang datang kepulau Balikukup. Disamping pasir putih yang melilit pulau begitu padu, serta pada
malam hari sesekali penyu hijau dan penyu
sisik mampir untuk
sekedar bertelur di sana.
Masjid tua sampai sekarang
masih terawat dengan baik.
Sedangkan mayoritas Penduduknya
adalah suku Bajau, dan masih ada
suku-suku lain seperti Bugis, Berau, Cina yang turut berdomisili di sana dan telah terjadi
kawin mawin.
Mata pencaharian masyarakatnya
adalah nelayan. Karena mudahnya
mencari penghasilan serta didukung oleh air bersih,
itulah sebabnya
masyarakat di pulau
itu dari dulu hingga sekarang
betah menetap di sana.Walaupun tinggal
di sana penuh dengan
tantangan dan resiko, terutama perompak yang bisa
kapan saja menjarah habis harta benda mereka dalam waktu
sekejap.
Pelaut-pelaut ulung pulau
Balikukup mampu mengarungi lautan
sampai ke Sulawesi, Sabah Malaysia dan sampai ke Filipina. Membawa hasil laut dan sepulangnya dari bepergian jauh itu mereka membawa kebutuhan
sehari-hari untuk tinggal
di pulau Balikukup. Begitulah yang mereka lakukan secara rutin sepanjang tahun.
Sebagai Petugas Yang Sabar Dan Pemberani
Penyelundupan (smokal) barang dari luar negeri seperti barang-barang piring duralex, gelas duralex, radio, pakaian, jam, gula putih, makanan, dan lain-lain dari
Tawau Malaysia Timur ke Kalimantan
Timur wilayah utara cukup ramai dan menggiurkan. Pulau Derawan,
Pulau Maratua termasuk Pulau Balikukup adalah tempat persinggahan sementara para
pelaku smokal, dan daerah ini
juga tempat transaksi. Setelah itu oleh pedagang, barang-barang tersebut diangkut menuju kota Tanjung Redeb, Samarinda
bahkan sampai ke Pare-Pare, Palu dan Makasar.
Sebaliknya para smokal berangkat ke Tawau dari Indonesia membawa muatan seperti buah kelapa, kopra,
besi tua, rotan, ikan dan rokok. Barang-barang tersebut
langgsung dibongkar dan dibeli oleh
para toke (pedagang cina) di kota
terdekat tetangga kita di Malaysia, yaitu kota Tawau dengan
uang ringgit, yang kemudian ditukar
dengan barang seperti
tersebut diatas. Oleh
karena itu masyarakat Pulau Derawan, Pulau Maratua dan Pulau Balikukup sangat diperhitungkan. Kehidupan mereka sudah lebih baik dan lebih maju dari penduduk lainya di Kabupaten Berau. Kemudian smokal semakin
meluas dan diikuti oleh banyak masyarakat lainnya didaerah ini
dengan tujuan tentu saja untuk meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya. Pada umumnya mereka yang melakukan smokal
tersebut memang kehidupannya lebih
baik dari masyarakat kebanyakan, oleh karena itu smokal sangat menggiurkan dan selalu menjadi buah
bibir dimana-mana dan bahkan ada nilai lain yaitu kebanggaan bagi pelaku smokal.
Dengan demikian Pulau Balikukup
selain pengahasil ikan, tripang,
cumi-cumi, kima dan lain-lain juga sebagai tempat persinggahan para nelayan yang datang dari luar termasuk persinggahan sementara para pedagang
dari Indonesia-Tawau- Indonesia dan seterusnya yang membawa berbagai
barang dari luar maupun
dari dalam negeri.
Melihat dari perkembangan inilah
pihak Kepolisian perlu menempatkan petugasnya di Pulau Balikukup,
bahkan didirikan pos Polisi, sedangkan Kepala Polisi Sektor
(Kapolsek)-nya berada di Talisayan.Yang jaraknya ratusan kilometer
dan hanya dapat ditempuh dengan perahu atau kapal.
Pada tahun 1950-an masyarakat masih sangat jarang
yang memiliki kapal motor atau kapal yang penggeraknya mesin kecuali milik Pemerintah. Umumnya
masyarakat masih menggunakan perahu layar setiap bepergian
dari pulau ke pulau dan lainnya.
Pada tahun 1950 petugas
kepolisian sudah berada
di sana secara
bergiliran selama tiga Bulan sampai dengan enam bulan antara petugas yang ada di Kecamatan Talisayan, Biduk–biduk dan Pulau Balikukup.
Petugas Kepolisian yang
ditugaskan di Pulau Balikukup oleh pemerintah pada tahun 1957 antara lain sebagai berikut
:
1.
Ajun
Brigadir Polisi M. Samin yang sekaligus sebagai Komandan Pos (Danpos) di Pulau Balikukup. M. Samin berasal
dari Tenggarong Ibu Kota Kabupaten Kutai sekarang Kabupaten Kutai Kartanegara di Sungai Mahakam.
M. Samin menjadi Polisi tahun 1949, setelah bertugas
di Tenggarong, M. Samin dipindahkan
ke Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL (Kepala
Polisi Wilayah) Berau. Pada bulan Januari
1957 M. Samin ditugaskan di Pulau Balikukup sebagai
Komandan Pos.
2.
Agen Polisi Tingkat II Husin, jabatan anggota Pos.
Berasal dari Opas Kerajaan Bulungan.
Karena adanya penggabungan antara opas kerajaan dan Opas
Daerah Husin menggabungkan diri menjadi Polisi Umum, Pendidikan di Tarakan.
Pendidikan formal Agen Polisi Tingkat II Husin belum tamat SR. Namun karena sangat dibutuhkan tenaganya, maka Husin diangkat menjadi Polisi Umum. Husin lama bertugas di Tarakan, baru kemudian dipindah tugaskan ke wilayah Berau. Husin adalah
anggota Polisi yang senior diantara
petugas lain di Pulau Balikukup pada masa itu.
Pada bulan Januari 1957
oleh KPWIL Berau ditugaskan ke Pulau Balikukup. Sebagai Polisi tertua di
sana dan polisi yang pemberani.
3.
Agen Polisi Tingkat II Panut, jabatan
anggota Pos.
Berasal dari Majalengka Jawa Barat (keterangan lain menyebutkan berasal dari Solo Jawa
Tengah). Panut termasuk anggota Polisi yang masih muda
belia. Tugas sebelum ke KPWIL Berau,
Panut bertugas di Banjarmasin kemudia
dipindahkan ke Balikpapan lalu ke Karisidenan
Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL Berau, baru kemudian oleh KPWIL Berau menugaskan pada tahun 1957 ke
Pulau Balikukup, Panut juga pernah menjadi Brimob Polisi Umum.
4.
Agen
Polisi tingkat II Johanes Amanah, juga sebagai anggota pos di Pulau Balikukup, asal dan kelahirannya di kota Ambon Maluku. Pendidikan Kepolisian di
Ambon. Apda Johanes Amanah juga termasuk anggota polisi yang
masih tergolong muda, pada waktu
bertugas di Pulau Balikukup usianya baru 28 tahun.
Polisi asal Ambon ini dipindahkan ke Balikpapan,
kemudian dari Balikpapan dipindahkan
lagi ke Tarakan dan terus ke Berau.
Pada bulan Januari 1957 Apda J.Amanah ditugaskan di pos polisi
Pulau Balikukup.
5.
Agen Polisi
Tingkat II Riong Batong, jabatan
sebagai
anggota Pos. Riong Batong berasal dari Malinau
Kabupaten Bulungan Pendidikan menjadi
Polisi di kota Tarakan, juga termasuk polisi yang masih muda belia.
Setelah menjadi Polisi Apda Riong Batong dari Tarakan dipindahkan
ke KPWIL Berau. Pada bulan Januari
1957 Apda Riong
Batong suku Dayak yang mirip orang Cina itu ditugaskan ke Pulau Balikukup sebagai anggota polisi dan memperkuat keberadaan keamanan di pulau tersebut. Karena pada saat itu pulau Balikukup
cukup rawan sering terjadi pencurian ikan, pengeboman ikan dan smokal.
Ajun Brigadir Polisi Samin
dengan empat orang anggota pos tersebut
diatas adalah orang-orang yang sabar. Sabar menerima perintah dan tugas dari atasannya, walaupun mereka tahu bertugas seperti di pos Polisi Pulau Balikukup yang ditengah lautan itu penuh resiko. Disamping resiko menghadapi masyarakat yang sering melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan aturan, juga para nelayan yang sekaligus sebagai penyelundup keluar negeri serta perompak laut yang datang dari luar Indonesia. Perompak yang sangat
terkenal dan sadis adalah perompak dari Pilipina.
Mereka juga petugas yang
pemberani, berani menantang badai
lautan yang kadangkala tidak bersahabat dengan siapapun, juga berani
merubah sikap masyarakat yang menangkap ikan
dengan mengunakan bom yang sangat berbahaya buat diri mereka sendiri dan bakal merusak habitat alam lingkungan laut, merusak terumbu karang yang indah dan membunuh ikan dari yang besar sampai dengan yang paling kecil. Sedangkan ikan yang diambil
hanya yang dapat dijual saja, sedang yang lainnya hanya mati begitu saja dan mengotori laut yang biru. Mereka juga berani menghadapi segala macam ancaman
keamanan seperti perompak laut
(mundu) yang tidak kenal prikemanusiaan dan selalu
siap setiap saat menjarah harta benda rakyat pulau Balikukup
itu.
Wajar kalau mereka yang bersedia
ditugaskan di pulau Balikukup itu diberikan penghargaan dan acungan jempol.
Belum lagi masalah hubungan dan informasi yang sangat sulit, jangankan hubungan ke Tanjung Redeb, ke Kecamatan Talisayan saja harus ditempuh berhari-hari pada waktu itu. Padahal setiap
informasi harus sesegera
mungkin sudah dapat diterima oleh orang lain atau atasan yang berada
diluar lingkup pulau Balikukup tersebut.
Begitulah tugas yang diemban
dengan bangga oleh polisi
M. Samin dan kawan-kawannya.Yang harus diterimanya
dengan penuh tanggung jawab, iklas,
sabar dan berani.
Terdampar
Perahu layar kecil bermuatan
lima belas ton bergerak pelan
mengikuti arus sungai yang mulai surut seperti melata. Diburitan perahu seorang lelaki berperakan kekar memegang kemudi, mengawasi kiri dan kanan perahu yang bergerak pelan itu. Oyong nama lelaki muda kekar yang memegang kemudi itu sembari bersiul-siul dan sesekali
menghisap rokok daun nifahnya yang berasap
banyak.
Pelabuhan Teluk Bayur semakin
jauh ditinggalkan dan kemudian
menghilang saat memasuki tikungan sungai. Sungai Berau yang panjang meliuk-liuk dan berliku-liku bagaikan ular naga raksasa,menjadi saksi
semua orang yang melintasi diatasnya. Dikiri kanan sungai masih tebal tetumbuhan hijau subur, sebagai ranting cabang kayu dan semak-semak itu menjuntai kesungai dan seperti terseret arus sepanjang
sungai Berau yang asri. Burung-burung
berloncatan dari dahan dan ranting kecil, ada
yang kekuning-kenungan,
hijau, merah muda dan abu-abu.Tidak jauh
dari tempat itu dipohon yang lebih tinggi ada monyet yang menghambur, berteriak-teriak karena merasa terusik oleh suara
ramai orang diperahu yang melintasi kumpulan mereka yang sedang
menikmati daun-daun muda.
Kira-kira perjalanan sudah memakan waktu setengah
hari, melalui kampung Bedungun, Bujangga, Gunung
Tabur, Tanjung, Sambaliung, Maluang, Samburakat, Tanjung Perangat
dan memasuki kawasan
muara sungai Lati dan terus sampai kekampung
Pujut, dan jauh diseberangnya terlihat kampung
yang sangat ramai dan
maju itulah kampung Sukan, kampungnya suku Banjar. Kampung Sukan ditumbuhi pohon
kepala yang tebal dan tertata.Ada pulau kecil dalam sungai,
terletak diantara Kampung Pujut dan Kampung Sukan, di sana
dipohon-pohon yang lebat dengan
ranting dan daunnya yang segar dan hijau, nampak puluhan ekor monyet berhidung mancung monyet bekantan selalu mengawasi
gerak gerik kehadiran
perahu yang melintasi kawasan
mereka.
Angin
sedikit kencang meniup kain
layar, kain layar menggelembung, perahu sedikit miring ke
kiri. Oyong yang sekarang ditemani Acong masih asik dengan
kemudinya diburitan perahu, sesekali Acong dan Oyong
memukul-mukul paha dan tangannya yang digigit agas.
Ujar Acong yang berasal dari
Sulawesi itu “Aku lihat Berau ini
tidak seperti dikampungku. Disini hutannya masih perawan yang tergarap
baru bagian pinggiran sungainya saja, itupun
belum semuanya, negeri
kaya, negeri elok nan permai, hutannya hijau bagai
hamparan permadani dikatulistiwa, aku Yong........
benar-benar betah tinggal di Banua Berau,
walaupun aku sulit ketemu dengan orang tua dan keluarga di
tanah Makasar “. Dan kemudian Acong
menganguk-anggukkan kepalanya tanda ia yakin benar akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di perantauan.
Tiba-tiba perahu berhenti, Oyong
baru sadar kalau perahu yang dikemudikannya tiba-tiba kandas naik diatas gosong
pasir yang tidak seberapa jauh dari kampung Sukan hilir.
Saat perahu kandas air sungai masih mengalir surut, apabila air
sungai semakin dangkal, perahu yang
kandas kemungkinan terbalik, maka Oyong dan beberapa orang awak perahu
turun keatas gosong memasang galang dan tongkat,
menjaga agar kapal tidak
oleng dan tergling.
Muatan di dalam palkah yang
terdiri dari beras gula, dan barang makanan lainnya diperbaiki agar tidak
berat sebelah. Setelah merasa aman dan kuat barulah Oyong dan
kawan- kawannya yang bekerja sambil bercerita kesana kemari
itu naik keatas perahu dan membersihkan diri.
Kira-kira tiga jam lagi baru
perahu mereka dapat terapung, dan kacaunya arus air sungai sudah berbalik
naik kearah hulu, dengan demikian
maka perahu tidak dapat bergerak kehilir, kecuali kalau ada angin kencang berhembus
yang dapat melawan arus air pasang.
Biasanya saat air pasang, mereka
mengikat perahunya didahan-dahan kayu
yang berjuntai kesungai atau berjangkar ditengah
sungai. Perahu kapal mereka hanya mengandalkan
kekuatan angin, tidak bermesin.
Kepulan asap diburitan kapal
semakin tebal, beberapa orang
diburitan kapal sedang menanak nasi dan mengoreng ikan kering
belanak, sedang sayur terong yang dicampur dengan kepala ikan kering
sedang mendidih. Tak lama kemudian
bau harum terasi dibakar menyengat. Menimbulkan gairah
perut yang sudah lapar. Udin yang
sentimentil mengulek membuat sambal
terasi, dan kemudian mereka seawak kapal dengan lahapnya menikmati makan malam saat menjelang matahari ditelan bumi.
Samin dan Oyong makan sambil
berhadapan diatas bris kapal, sedang
nasi yang sudah dicampur dengan sayur terong
berasap mengepul, nasi
ditiup-tiup agar cepat dingin sedangkan sambal terasi sudah menumpuk di sisi piring
seng berbunga.
Tak lama kemudian Oyong turun
dari atas bris dan me- nambah nasi yang sudah lebih
dahulu habis dilahapnya, nasi diatas piring sengnya numpuk menggunung dan ia
kembali naik ke atas bris dekat dengan
Samin Komandan Pos Polisi Balikukup.
Bagi para perokok, paling nikmat
setelah makan pastilah merokok. Sambil mencari
tempat yang pas menyandar dan
sambil mengobrol sana kemari.
Para penumpang dan awak kapal
kemudian berpencar mencari tempat masing-masing yang
dianggapnya paling nyaman untuk bersantai setelah menikmati makan sore
itu, dan pasti tidak ketinggalan
rokok putih yang dibawa para smokal dari Malaysia Timur sebagai pendamping santai.
Suara monyet bekantan ramai memanggil anak-anak- nya yang liar melompat kesana kemari,
suara burung rangkai, kalibarau (cocokrowo), tiung (beo)
bersahutan di hutan belakang kampung sukan yang ramai dengan rumah menghadap ke sungai Berau, semuanya riuh menyambut datangnya
senja.
Air sungai sudah mulai pasang,
namun perahu masih belum bergerak. Jangkar kapal dilabuh, menghindari
kapal itu larut terbawa arus air
kembali kearah hulu. Samin komandan pos polisi
Pulau Balikukup ikut menumpang di kapal yang menuju Pulau
Balikukup.Ajun Brigadir Polisi M. Samin baru dari Tanjung Redeb Berau mengambil gajinya dan gaji teman-temannya. Kapal tanpa mesin itu baru sampai ke pulau
Balikukup empat hari kemudian. Di laut tidak bisa mengandalkan arus
air seperti masih dalam sungai, di laut untuk
menggerakkan kapal menggunakan layar
dan ditambah dengan kekuatan mendayung. Apabila angin bagus, maka kapal lebih cepat
sampai tujuan. Apabila angin kurang
bersahabat atau angin tidak berhembus, kapal hanya menyusur tidak terlalu jauh dari
pantai.Apabila ada badai kapal bersembunyi di teluk-teluk kecil
di pesisir pantai yang mereka lalui.
Kalau tidak sempat bersembunyi ketika datang badai, bisa-bisa saja kapal mereka
pecah di tengah laut, atau terdampar
diatas karang. Saat kejadian semacam itu awak
kapal berjibaku berjuang mati-matian untuk mempertahankan kapal agar selamat dari badai yang
menghantam. Ada yang menjaga kemudi, ada yang duduk di haluan
dengan basah kuyup mengawasi haluan,
ada yang bertugas menimba air hujan yang masuk kedalam kapal, ada yang mengatur naik
dan turunnya kain layar, sedangkan
kapal terus terombang ambing dihempas
badai dan gelombang yang besar. Anak kapal dan
penumpang yang tidak tahan tersungkur, berbaring saja, dan
mabuk laut. Saat seperti itu semua makanan yang tadi masuk ke
dalam perut habis keluar lagi. Rasa
kapok untuk berlayar lagi muncul dalam mabuk
berat seperti itu. Sakit, derita, perih, mual, dan macam- macam lagi yang mendera bagi yang sedang
mabuk. M. Samin orang yang sudah terlatih, saat-saat seperti itu
masih tenang dan kuat, dan dia tidak mau tinggal diam, turun
membantu anak kapal yang kepayahan.
Mengintai Dari Kuburan
Sebuah kapal bermesin disel yang
dibantu dengan layar itu bergerak dengan cepat melintasi
perbatasan laut Indonesia, Pilipina, dan Malaysia. Mereka datang dari wilayah utara Kalimantan Timur menuju ke arah selatan
yaitu ke pulau-pulau kecil yang
berada di Kabupaten Berau. Sebuah kapal bermesin disel seperti itu masih termasuk langka di negeri kita,
khususnya para pelaut dan nelayan
yang mendiami pesisir pantai dan pulau- pulau di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Berau.
Malam yang tenang tatkala
di atas langit ditaburi bintang
gemintang, kapal motor itu sudah mulai memasuki perairan laut Pulau Maratua dan terus bergerak ke
arah selatan. Dan menjelang subuh,
kapal motor itu sudah mendekati Pulau Balikukup.
Masyarakat Pulau Balikukup masih
tidur lelap, apalagi ditambah dengan
angin yang semilir terus berhembus me- nembus sela-sela
batang kelapa dan kemudian merambah
memasuki celah-celah dinding rumah yang banyak berlubang, tubuh mereka semakin
terasa dingin. Tubuh semakin
kerisut bundar ditutup dengan kain sarung. Mimpi-mimpi indah menemani tidur malam itu, membuat tidur semakin nyenyak. Wow enaknya angin malam terus berhembus
berpadu dengan gemerisik gesekan
daun kelapa.
Kapal motor yang berasal
dari Pilipina itu memperlambat
gerak jalannya, sembari memperhatikan keadaan pulau
itu dari kejauhan. Setelah dianggap
aman, kapal bergerak lebih cepat dan memasuki daerah belakang pulau yang tidak berpenduduk. Kokok ayam sudah mulai terdengar bersahutan di tengah pulau, saat itu sebuah perahu kecil diturunkan dari geladak kapal, sekitar delapan orang yang berpakaian siap tempur turun keperahu kecil (kellean) secara
bergantian, dan kedelapan orang tersebut
dilengkapi dengan masing-masing sebuah senjata bahu semi otomatis kaliber.
Pulau Balikukup yang letaknya
sangat strategis, dimana selalu dilintasi oleh kapal-kapal dari
berbagai penjuru. Posisinya yang berada jauh di tengah lautan dan
menjadi patokan bagi para pelaut serta nelayan menarik indah dan
kaya, maka tidak mengherankan kalau ada suara kapal yang
mendekat ke arah pulau, karena dianggap masyarakat hal yang
biasa dan memang sering sudah mereka dengar kapal motor yang
lalu lalang di sekitar pulau
Balikukup.
Penghuni atau penduduk di Pulau Balikukup
pada umumnya adalah suku Bajau. Suku Bajau selai tinggal
di Indo- nesia, mereka juga ada di
Malaisyia, Brunai, Thailan, Papua, dan Pilipina,
maka hubungan keluarga dan sedarah antara suku-suku Bajau yang berada baik di Indonesia, Malaysia dan Pilipin masih sangat kental. Oleh karena itu tidaklah heran kalau mereka seringkali saling kunjung
menggunjungi diantara mereka, baik yang berada di
Malaysia ke Indonesia atau sebaliknya, begitu
pula dengan suku Bajau
di Pilipina, Brunai dan Thailand. Suku Bajau
yang berasal dari Pilipina adalah suku Bajau, Tagalok dan Solok dengan menggunakan bahasa pengantar
bahasa Bajau dan Tagalok, suku Bajau yang ada di Pulau
Balikukup masih satu bahasa dengan
sebagian suku Bajau yang berasal dari Pilipina, Malaysia.
Subuh yang dingin itu delapan orang awak kapal
yang
sudah turun di belakang pulau,
beristirahat sejenak menungugu matahari terbit. Sedangkan
kapal mereka kembali
bergerak
sedikit agak menjauh
dari pulau. Waktupun telah ditetapkan kapan harus berbuat, bergerak dan
menyerang. Sambil menahan dingin, rokok putih buatan Amerika teman
yang paling cocok buat mereka berdelapan itu, rokok dihisap
dalam-dalam, dengan tujuan tentu
saja menghilangkan rasa keteganggan menjelang
detik-detik penyerangan yang sudah mereka
siapkan.
Tepat pukul 07.30 hari Rabu
tanggal 22 Maret 1957 kedelapan mundu atau perompak yang sudah
lebih dahulu berada di pulau itu mulai bergerak mendekati kampung
melalui semak-semak dan masuk
daerah pekuburan kampung.
Setelah mencari tempat yang
paling tepat dan aman untuk mereka,
serta tidak mudah terlihat orang kampung yang sudah sibuk.Ada yang sedang mandi,mencuci pakaian,menimba perahu di pantai, ada pula yang keluar masuk
rumah serta ada lagi yang duduk-duduk bermalas malasan, tiba-tiba
dikagetkan dengan datangnya sebuah kapal motor yang tidak pernah mereka kenal, baik bentuk, badan kapal, warna catnya yang cerah dan bermesin dalam dengan suara yang tidak mereka kenal. Dari jauh samar-samar ada beberapa orang yang memegang senjata yang diarahkan kepulau. Semua orang kampung yang melihat kapal itu terbengong-bengong, kapal
siapakah gerangan itu ataukah kapal. kapal mundu (Perompak, Bajak laut) yang sering
mereka ceritakan dan menakutkan itu.Ternyata memang
benar, beberapa orang kampung berlari
dari pantai memberitahukan “ Mundu.!. mundu !!! “.
Semua masyarakat masuk ke dalam
rumah, bersiap-siap menjaga kemungkinan yang akan terjadi.
Karena melihat orang yang berada di atas perahu motor itu
mengarahkan senjata panjangnya kepulau, tentulah tidak lain
lagi selain Bajak laut yang datang tersebut.
Dia Menyisir Pantai
Kelima orang Polisi yang berada
di pulau itu dengan sigapnya segera mempersiapkan diri untuk menghadapi tamu
tak diundang yang segera datang. Tak lama kemudian sudah terjadi
kontak senjata antara polisi di pulau dan perompak yang berada diatas kapal. Dengan jarak yang sudah diperhitingkan, kapal terus bergerak menyisir pantai yang berbelok. Dan dengan kemahiran Samin dalam menggunakan senjata salah satu bajak laut yang berada dihaluan dapat ditembaknya dengan baik dan orang itu terjerembab ke dalam
kapal. Melihat kejadian dan
keberanian polisi di pulau, kapal motor itu mencoba untuk bergerak sedikit menjauh
dari pulau.
Keempat polisi lalu berpencar
menjadi dua.
M. Samin komandan Pos asalTenggarong dan Husin
anggota Pos asal Bulungan berhadapan langsung dengan
penembak dari kapal.
Panut dan Johanes Amanah
berpindah ke ujung pasir di depan perkampungan pulau
Balikukup.
Sedangkan Riong Batong
ditugaskan komandan pos untuk menjaga keamanan pos mereka.
Kontak senjata antara kedua
belah pihak terus berlangsung, polisi terus berusaha
bergerak semakin jauh.
Keempat polisi yang berada di
pinggir pantai di semak- semak dekat
dengan pohon-pohon kelapa merasa lega dengan
menjauhnya kapal itu.
Namun mereka tidak
memperhitungkan dan samasekali tidak
menduga, ternyata mereka hanya dikelabui, persiapan pelurupun sudah
berkurang, Bajak laut datang dari arah belakang dan terus menerjang mereka yang tidak siap itu. Sistim lambung yang diterapkan oleh Bajak Laut itu sangat
tepat, kontak senjata terdengar
lagi. Delapan orang Bajak Laut yang siap tempur itu sudah memuntahkan pelurunya ke rumah-rumah penduduk yang dilaluinya, mereka
marah sekali, karena
kedatangan mereka itu ternyata mendapatkan sambutan dengan moncong senjata dan diketahui teman
mereka di kapal
sudah ada yang menjadi korban oleh peluru polisi
itu.
Semua masyarakat tidak ada yang berani bergerak, dan
kedelapan orang itu terus mendekati pantai dimana
keempat polisi berada.
Pertama-tama Husin dan Samin
yang diterjang peluru, karena senjata yang tidak seimbang itu,
gugur sebagai pahlawan pejuang yang
membela rakyatnya. Keduanya tersungkur kebumi
pertiwi Pulau Balikukup.
Kedelapan orang itu terus
bergerak dengan lebih berani kearah
ujung pasir pulau, dimana di sana berada Panut dan Johanes
Amanah.
Johanes Amanah dan panut secara
tiba-tiba dikejutkan dengan suara perintah bahasa Tagalok yang
artinya keluar dari persembunyian. Keduanya sudah tidak ada
kesempatan lagi, sudah terkepung oleh lima orang bajak laut,
mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi,
Namun keduanya masih dalam
keadaan siap itu, tidak mau keluar, keduanya saling tatap dan
manggut-manggut, saat keduanya akan mencoba menembak bajak laut
yang berada didepannya, tapi peluru senjata semi otomatis para
bajak laut dari arah belakangnya
lebih cepat dan lebih dahulu menyambar tubuh
bagian belakang kedua polisi itu.Walaupun tubuh keduanya sudah terkulai, Bajak laut masih belum merasa puas, pelurupun ditembakkan lagi kearah kepala keduanya.
Setelah dirasa aman kelima orang itu mendekati
tubuh Panut dan J.
Amanah dan kedua tubah yang tak bernyawa lagi itu digulingkannya dengan
kaki yang penuh pasir.
Kemudian baru mereka bergerak kembali ke
arah kampung yang senyap. Kampung Pulau Balikukup benar- benar jadi kampung mati tak bernyawa, semua diam dan hening. Suara tanggisan anak kecil yang
ketakutanpun ditutup mulutnya oleh
ibu atau kakaknya, agar tidak menggangu suasana hening tegang itu.
Ditempat lain di pos polisi Riong Batong dengan sigap
pergi dari posnya dan kemudian melepas pakaianya dan dimasukkannya senjata dan pakaian itu ke dalam semak-semak setelah
mengetahui semua temannya
sudah gugur, kemudian
ia
pergi ke dalam sebuah warung yang cukup besar di
pulau itu dengan bercelana pendek dan berkaos singlet.
Wajahnya yang mirip dengan Cina itu kemudian ia mengaku sebagai
pemilik toko, walaupun beberapa kali ditanya oleh para bajak
laut “ You Police..........you police ? “
“Bukan tuan saya bukan polisi. tapi saya punya jualan ini
tuan, “jawaban ini beberapa kali ia sampaikan
setiap bajak laut yang bertanya
kepadanya. Dan akhirnya
Bajak laut itu percaya. Walaupun mereka masih penasaran dan curiga,
diantara masyarakat yang ada
itu diantaranya ada polisi,
tapi karena tidak ada lagi perlawanan, maka tidak ada permasalahan lagi menurut
hemat para perompak.
Dengan leluasa para perompak
menguasai pulau, sedang kapal yang tadi meninggalkan pulau sekarang sudah berada di dekat pulau dan beberapa orang turun dari kapal untuk bergabung.
Sebagian Bajak Laut berteriak ”Keluar!!!.........keluar....
Keluar dari dalam rumah !!!
Dengan rasa ketakutan semua yang
merasa diperintah dengan terseok-seok
mengikuti perintah dan kemudian duduk berkumpul
di halaman rumah, siap menerima apa saja yang
diperintah oleh para Bajak Laut yang semakin
ganas dan kasar
itu.
Para wanita menjadi santapan
mereka, menjadi bahan colekan dan
tertawaan, bahkan ada yang ditarik paksa untuk
mengikuti Bajak Laut
yang bersenjata itu keluar dari kelompok yang dikumpulkan dengan
semuanya.
Semua barang yang bernilai
seperti emas perak dan permata lainnya yang melekat pada tubuh para
kaum wanita diminta dan dikumpulkan oleh para perompak.
Harta benda masyarakat yang ada
diangkut kekapal termasuk barang berharga lain seperti emas
dan perak. Semua rumah digeledah satu
persatu, para ibu diseret kedalam rumah, dengan tujuan untuk menunjukkan dimana letak harta benda
yang berharga milik mereka. Dan semuanya ludes
habis. Barang toko yang diakui Riong Batong juga ludes diangkut
oleh masyarakat pulau yang diperintah Bajak
laut dan dijaga
ketat. Mereka tinggal
mengelus dada. Namun masih bersyukur jiwa mereka tidak dihabisi seperti apa yang
dilakukan para bajak laut terhadap polisi yang setia menjaga keamanan
pulau mereka, gugur tersungkur di ujung pulau.
Harta dapat dicari, sedangkan
nyawa kalau sudah melayang terpisah dari badan tidak ada lagi yang
mampu mencari dan mengembalikannya, kecuali Tuhan Yang Maha Esa
yang menentukan.
Rasa ketakutan dan trauma
terpancar semua di wajah masyarakat Pulau Balikukup yang langsung
merasakan kejadian ini, mereka rasakan bukan sekadar dongeng
dan cerita dari mulut ke mulut yang mereka sering dengar disetiap
ada keramaian di pulau itu tentang kegalakan dan
keganasan para perompak bajak laut, sekarang mereka rasakan langsung.
Sedangkan empat sosok tubuh yang terkapar di ujung pulau
belum ada nyang mengusik, darah mengucur mem- basahi tubuh
mereka, sedangkan senjata masih erat ditangan
mereka. Keempatnya tidak
lagi bisa bercerita tentang diri dan kejadian
itu.Tinggal kita yang ditinggalkan ini yang berkewajiban mencatatnya dengan tinta emas, kemudian membeberkan cerita dan sejarah perjuangan mereka yang gagah
berani dan menjadi tauladan
semua orang yang hidup di negeri ini.
Para bajak laut itu tidak kurang
dari tiga jam mengusai Pulau
Balikukup dan mengangkut habis semua harta benda masyarakat, baru kemudian bergegas bergerak meninggalkan pulau
yang telah terhenyak dan lumpuh. Dan kemudian kapal motor yang laju itu menghilang ke laut lepas.
Upaya Pertolongan
Pada tahun 1957 Desa Pulau
Balikukup sudah berbentuk Kelurahan
dan lurahnya saat itu adalah
Bapak Antoyong
(suku Bajau). Sedangkan Camatnya adalah Bapak Camat
Mas Temenggung berkedudukan di Talisayan.
Pada saat kejadian perompak di
Pulau Balikukup ada salah seorang
yang tertembak bagian pipi pantatnya, harus segera dibawa ke rumah sakit. Dia adalah
Bapak Tagolo (Golo). Sesampainya di
rumah sakit di Tanjung Redeb, beritapun segera
sampai ke KPWIL Berau di Teluk Bayur. Dan KPWIL yang dijabat oleh Bapak Gusti Darum
pangkat AIPDA (Ajun Polisi Tingkat Dua).
Karena Kepolisian Berau
dibawahi oleh Dan KPWIL
Tarakan, maka berita langsung disampaikan ke Tarakan.
Dengan adanya berita tersebut
maka dari Tarakan langsung mengirim sebuah kapal motor BO 111 menuju
Berau. Setelah mendapat perintah dari Berau kapal
motor BO 111 tersebut melanjutkan perjalanan ke pulau Balikukup. Sebelum sampai ke Pulau Balikukup, kapal lebih dahulu
singgah di Talisayan untuk mengambil peti mayat dan selanjutnya
berangkat ke pulau Balikukup.
Karena peti mayat yang dibawa
hanya tiga buah, maka M. Samin dan Husin dimasukkan dalam satu peti
dan Panut serta Johanes Amanah masing-masing satu peti mayat.
Kemudian setelah siap dari Pulau
Balikukup kapal motor BO 111 langsung melaju menuju Tanjung Redeb.
Penjemputan sampai dengan pemakaman
memakan waktu selama lima hari. Setelah divisum dirumah sakit,
dimandikan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Wijaya
Tanjung Redeb Kabupaten Berau.
Sampai hari ini batu nisan atas
nama M. Samin, Husin, Johanes Amanah
dan Panut terus menghiasi taman makam Pahlawan Wijaya, sebagai bukti keberanianya untuk
mengusir siapa saja yang mencoba untuk mengusik rakyat negeri
tercinta Indonesia ini.
Bagaimana dengan para pembaca
yang budiman, mari berbuat yang terbaik
untuk Indonesia ?
Siapa lagi…..kalau bukan
kita…..ayoooo……
Senjata Yang Dipergunakan Anggota Polisi
1.
M. Samin
menggunakan senjata Madsen
sebagai Komandan Pos
2.
Husin menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
3.
Panut menggunakan senjata api jenis Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
4.
Johanes Amanah
menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber
7,92 mm
5.
Riong Batong
menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber
7,92 mm
Narasumber
Dalam menelusuri jejak perjuangan empat pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup, informasi didapat dari berbagai sumber,
diantaranya hasil dari wawancara penulis dengan :
1.
Dawai
(Almarhum) Peltu Purnawirawan, saat kejadian
bertugas di Biduk-Biduk
Alamat Jl. Tendean Tanjung Redeb, Barau Kalimantan Timur
Keterangan hari tanggal bulan dan tahun kejadian
diambil dari buku saku yang bersangkutan saat ditemui
penulis bulan September
1987
2.
Alianang (Almarhum) Peltu Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung
Redeb, Berau Kalimantan Timur
3.
Sarijan (Almarhum) Peltu Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung
Redeb, Berau Kalimatan Timur
4.
Yakob (Almarhum) Purnawirawan (Opas kerajaan yang menjadi Polisi
Berau)
Alamat Keraton Sambaliung, Berau Kalimantan Timur
5.
Hasyim Lurah Desa Tanjung
Perepat Kecamatan Biduk-
Biduk Kabupaten Berau
6.
Anggateng (Almarhum) Lurah Desa Pantai Harapan Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau
7.
Sersan satu Seni Warji Polres Berau Alamat Kampung Sambaliung dekat Masjid lama
8.
Masyarakat Pantai Harapan, Tanjung Perepat dan Pulau Balikukup
9.
Surat Keterangan Kesaksian dari Polres Berau (05 Juni 1986)
Keterangan :
Kisah empat pahlawan dengan
judul “Pertempuran Melawan Maut” ini dikumpulkan dan ditulis
pada tahun 1987 (diketik dengan mesin
ketik), diperbaiki tahun 2005, ditulis ulang tahun 2010.