SAPRUDIN ITHUR
PERTEMPURAN MELAWAN
MAUT
KISAH EMPAT
PAHLAWAN
GUGUR
DI PULAU BALIKUKUP
TAHUN 1957
A. PULAU KECIL DITENGAH LAUTAN
Pulau
kecil ditengah lautan ini sejak ratusan tahun lalu sudah ada penduduknya. Disamping
menjadi tempat tinggal, juga pulau kecil itu menjadi tempat persinggahan dan
peristirahatan para nelayan. Pulau yang
dikelilingi lautan itu kaya akan ikan – ikan dan jenis – jenis lain yang hidup
dalam lautan, trumbu karang sampai kepantai pulau begitu indahnya. Deburan
ombak tidak pernah berhenti berganti arah sesuai dengan arah angin yang datang
dan membawa gelombang terus menerus siang dan malam. Uh pokoknya bukan main,
seperti dalam dunia hayal ketika kita berada disana.
Pulau
kecil itu adalah Pulau Balikukup yang terkenal dikalangan pelaut dan para
nelayan, karena pulau ini sejak dulu menjadi salah satu anjir atau tanda laut
bagi para pelaut dan nelayan, maka pulau kecil itu sangat dikenal namanya.
Apabila kita naik kapal, pulau itu seperti tujuan yang ingin dicapai, terlihat
dari kejauhan. Setelah dilalui dan kapal menjauh meninggalkan pulau, pulau Balikukup diletakkan seolah
diburitan kapal sampai kemudian menghilang ditelan laut. Dan begitulah anjir
laut itu menjadi patokan dan tak akan dilupakan oleh semua para penumpang,
bahkan menjadi buah bibir berjam – jam, maka sampailah kapal kemuara sungai
Berau yang dikenal dengan nama Muara Lungsuran Naga. Memasuki sungai Berau kapal dan para penumpangnya disambut
oleh tingginya gunung Padai yang memilki cerita dan legenda sendiri.
Pulau
Balikukup terletak di Kecamatan Biduk – Biduk Kabupaten Berau Propinsi
Kalimantan Timur. Penduduknya berkisar diantara 200 jiwa. Kemudian hari setelah
adanya pemekaran Kecamatan di Kabupaten Berau, Pulau Balikukup masuk wilayah Kecamatan
Batu Putih. Pulau kecil itu ditumbuhi
ratusan pohon kelapa yang tinggi menjulang keangkasa serta kayu dan rumput –
rumput liar.
Apakah
pulau ini mempunyai kelebihan ?
Ya, tentu
saja memiliki
kelebihan tersendiri, makanya pulau kecil itu sangat menarik dan membuat orang
bisa betah tinggal disana. Aa kelebihannya ?
Walau
jauh dari daratan dan dikelilingi oleh laut, namun air bersih dapat mencukupi penduduk dari dahulu
sampai sekarang. Disana hanya ada sebuah
sumur yang terletak ditengah – tengah pulau bertepatan dan berdekatan dengan
Mesjid Pulau Balikukup yang dapat digunakan sebagai air minum dan sangat
bersih. Sumur unik dan satu –satunya itu adalah salah satu keunikan Pulau
tersebut. Bagaimana dengan disekitarnya ? masih banyak sumur – sumur lain,
namun airnya
tidak dapat dijadikan air minum kecuali hanya
dijadikan untuk mandi dan mencuci pakaian. Oleh karena itu sumur didekat Mesjid
tersebut menjadi tumpuan penduduk, para pelaut dan nelayan lain yang datang
kepulau Balikukup. Disamping pasir putih yang melilit pulau begitu padu, serta
pada malam hari sesekali penyu hijau dan penyu sisik mampir untuk sekedar
bertelur disana.
Mesjid tua sampai sekarang masih terawat dengan
baik.
Sedangkan mayoritas Penduduknya adalah
suku Bajau, dan masih ada suku – suku
lain seperti Bugis, Berau, cina yang
turut berdomisili disana dan telah terjadi kawin mawin.
Mata
pencaharian masyarakatnya adalah nelayan. Karena mudahnya mencari penghasilan serta didukung oleh air
bersih, itulah sebabnya masyarakat dipulau itu dari dulu hingga sekarang betah menetap
disana. Walaupun tinggal disana penuh dengan tantangan dan resiko, terutama perompak
yang bisa kapan saja menjarah habis harta benda mereka dalam waktu sekejap.
Pelaut-pelaut ulung pulau Balikukup mampu mengarungi lautan sampai ke
sulawesi, Sabah Malaysia dan sampai ke Filipina. Membawa hasil laut dan sepulangnya dari
bepergian jauh itu mereka membawa kebutuhan sehari-hari untuk dipulau Balikukup.
Begitulah yang mereka lakukan secara rutin sepanjang tahun.
B.
SEBAGAI PETUGAS YANG SABAR DAN PEMBERANI
Penyelundupan
( Smokal ) barang dari luar negeri seperti barang – barang piring duralex,
gelas duralex, radio, pakaian, jam, gula putih, makanan, dan lain-lain dari
Tawau Malaysia Timur ke Kalimantan Timur wilayah utara cukup ramai dan
menggiurkan. Pulau Derawan, Pulau Maratua termasuk Pulau Balikukup adalah
tempat persinggahan sementara para pelaku smokal, dan daerah ini juga tempat
transaksi. Setelah itu oleh pedagang, barang-barang tersebut diangkut menuju
kota Tanjung Redeb, Samarinda bahkan sampai ke Pare-Pare, Palu dan Makasar.
Sebaliknya para smokal berangkat ke Tawau dari
Indonesia membawa muatan seperti buah kelapa,
kopra, besi tua, rotan, ikan dan rokok. Barang-barang tersebut langgsung
dibongkar dan dibeli oleh para toke ( pedagang cina ) di kota terdekat tetangga
kita di Malaysia, yaitu kota Tawau dengan uang ringgit, yang kemudian ditukar
dengan barang seperti tersebut diatas. Oleh karena itu masyarakat Pulau
Derawan, Pulau Maratua dan Pulau Balikukup sangat diperhitungkan. Kehidupan
mereka sudah lebih baik dan lebih maju dari penduduk lainya di Kabupaten Berau.
Kemudian smokal semakin meluas dan diikuti oleh banyak masyarakat lainnya
didaerah ini dengan tujuan tentu saja untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pada umumnya mereka yang melakukan smokal tersebut memang kehidupannya lebih
baik dari masyarakat kebanyakan, oleh karena itu smokal sangat menggiurkan dan
selalu menjadi buah bibir dimana-mana dan bahkan ada nilai lain yaitu
kebanggaan bagi pelaku smokal tersebut.
Dengan
demikian Pulau Balikukup selain pengahasil ikan, tripang, cumi-cumi, kima dan
lain-lain juga sebagai tempat persinggahan para nelayan yang datang dari luar
termasuk persinggahan sementara para pedagang dari Indonesia-Tawau-Indonesia
dan seterusnya yang membawa berbagai barang dari luar maupun dari dalam negeri.
Melihat dari perkembangan inilah pihak Kepolisian
perlu menempatkan petugasnya disana di Pulau Balikukup, bahkan di dirikan pos
Polisi, sedangkan Kepala Polisi Sektor ( Kapolsek ) – nya berada di Talisayan.
Yang jaraknya ratusan kilometer dan hanya dapat ditempuh dengan perahu atau kapal.
Pada tahun 1950-an masyarakat masih sangat jarang
yang memiliki kapal motor atau kapal yang menggunakan penggeraknya dengan mesin
kecuali milik Pemerintah.
Umumnya masyarakat masih menggunakan perahu layar,
setiap bepergian dari pulau ke pulau dan lainnya.
Pada tahun 1950 petugas kepolisian sudah berada
disana secara bergiliran selama tiga Bulan sampai dengan enam bulan antara petugas
yang ada di Kecamatan Talisayan, Biduk –Biduk dan Pulau Balikukup.
Petugas Kepolisian yang ditugaskan di Pulau Balikukup
oleh pemerintah pada tahun 1957 antara
lain sebagai berikut :
1.
Ajun Brigadir Polisi M. Samin yang
sekaligus sebagai Komandan Pos ( Danpos ) di Pulau Balikukup.
M. Samin berasal dari Tenggarong Ibu Kota
Kabupaten Kutai sekarang Kabupaten Kutai Kartanegara di Sungai Mahakam.
M. Samin menjadi Polisi tahun 1949,
setelah bertugas di Tenggarong, M. Samin dipindahkan ke Tarakan dan dari Tarakan
dipindahkan ke KPWIL ( Kepala Polisi Wilayah )
Berau. Pada bulan Januari 1957 M.
Samin ditugaskan di Pulau Balikukup sebagai Komandan Pos.
2. Agen Polisi Tingkat II Husin, jabatan anggota
Pos. Berasal dari Opas Kerajaan Bulungan.
Karena adanya penggabungan antara opas
kerajaan dan Opas Daerah Husin menggabungkan diri menjadi Polisi Umum,
Pendidikan di Tarakan.
Pendidikan formal Agen Polisi Tingkat
II Husin belum tamat SR. Namun karena
sangat dibutuhkan tenaganya, maka Husin diangkat menjadi Polisi Umum.
Husin lama bertugas di Tarakan, baru
kemudian dipindah tugaskan ke wilayah
Berau.
Husin adalah anggota Polisi yang senior
diantara petugas lain di Pulau Balikukup pada masa itu.
Pada bulan
Januari 1957 oleh KPWIL Berau ditugaskan ke Pulau Balikukup. Sebagai
Polisi tertua disana dan polisi yang pemberani.
3. Agen Polisi
Tingkat II Panut, jabatan anggota Pos.
Berasal dari Majalengka Jawa Barat (
keterangan lain menyebutkan berasal dari Solo Jawa Tengah ). Panut termasuk
anggota Polisi yang masih muda belia.
Tugas sebelum ke KPWIL Berau, Panut
bertugas di Banjarmasin kemudia dipindahkan ke
Balikpapan lalu ke Karisidenan Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke
KPWIL Berau, baru kemudian oleh KPWIL Berau menugaskan pada tahun 1957 ke Pulau
Balikukup, Panut juga pernah menjadi Brimob Polisi Umum.
4. Agen Polisi tingkat II Johanes Amanah, juga
sebagai anggota pos di Pulau Balikukup, asal dan kelahirannya di kota Ambon Maluku.
Pendidikan Kepolisian di Ambon.
Apda Johanes Amanah juga termasuk anggota
polisi yang masih tergolong muda, pada waktu bertugas di Pulau Balikukup
usianya baru 28 tahun.
Polisi asal Ambon ini dipindahkan ke
Balikpapan, kemudian dari Balikpapan
dipindahkan lagi ke Tarakan dan terus ke Berau. Pada bulan Januari 1957 Apda
J.Amanah ditugaskan di pos polisi Pulau Balikukup.
5. Agen Polisi Tingkat II Riong Batong, jabatan sebagai anggota Pos.
Riong Batong berasal dari Malinau Kabupaten Bulungan
Pendidikan menjadi Polisi di kota Tarakan, juga termasuk polisi yang masih muda
belia.
Setelah menjadi Polisi Apda Riong Batong dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL Berau.
Pada bulan Januari 1957 Apda Riong Batong
suku Dayak yang mirip orang cina itu ditugaskan ke Pulau Balikukup sebagai
anggota polisi dan memperkuat keberadaan keamanan di pulau tersebut.
Karena pada saat itu pulau Balikukup cukup rawan sering terjadi pencurian
ikan, pengeboman ikan dan smokal.
Ajun
Brigadir Polisi Samin dengan empat orang anggota pos tersebut diatas adalah
orang-orang yang sabar. Sabar menerima perintah dan tugas dari atasannya,
walaupun mereka tahu bertugas seperti di pos Polisi Pulau Balikukup yang
ditengah lautan itu penuh resiko. Disamping resiko menghadapi masyarakat yang
sering melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan aturan, juga para nelayan
yang sekaligus sebagai penyelundup keluar negeri serta, perompak laut yang
datang dari luar Indonesia. Perompak yang sangat terkenal dan sadis perompak
dari Pilipina.
Mereka juga petugas yang pemberani, berani
menantang badai lautan yang kadangkala tidak bersahabat dengan siapapun, juga
berani merubah sikap masyarakat yang
menangkap ikan dengan mengunakan
bom yang sagat berbahaya buat diri mereka sendiri dan bakal merusak
habitat alam lingkungan laut, merusak terumbu karang yang indah dan membunuh
ikan dari yang besar sampai dengan yang paling kecil. Sedangkan ikan yang
diambil hanya yang dapat dijual saja, sedang yang lainnya hanya mati begitu
saja dan mengotori laut yang biru milik semua orang. Mereka juga berani
menghadapi segala macam ancaman keamanan seperti perompak laut ( Mundu ) yang
tidak kenal prikemanusiaan dan selalu siap setiap saat menjarah harta benda rakyat pulau Balikukup itu.
Wajar kalau mereka yang bersedia ditugaskan di
pulau Balikukup itu diberikan penghargaan dan acungan jempol. Belum lagi masalah hubungan dan informasi yang
sangat sulit, jangankan hubungan ke Tanjung Redeb, ke Kecamatan Talisayan saja
harus ditempuh berhari – hari pada waktu
itu. Padahal setiap informasi harus sesegera mungkin sudah dapat diterima oleh
orang lain atau atasan yang berada diluar lingkup pulau Balikukup tersebut.
Begitulah tugas yang diemban dengan bangga oleh
polisi M. Samin dan kawan-kawannya.
Yang harus diterimanya dengan penuh tanggung
jawab, iklas, sabar dan berani.
C. TERDAMPAR
Perahu
layar kecil bermuatan lima belas ton bergerak pelan mengikuti arus sungai yang
mulai surut seperti melata. Diburitan perahu seorang lelaki berperakan kekar
memegang kemudi, mengawasi kiri dan kanan perahu yang bergerak pelan itu. Oyong
nama lelaki muda kekar yang memegang kemudi itu sembari bersiul-siul dan sesekali menghisap rokok
daun nifahnya yang berasap banyak.
Pelabuhan Teluk Bayur semakin jauh ditinggalkan
dan kemudian menghilang saat memasuki tikungan sungai. Sungai Berau yang
panjang meliuk-liuk dan berliku-liku bagaikan ular naga raksasa, menjadi saksi
semua orang yang melintasi diatasnya. Dikiri kanan sungai masih tebal
tetumbuhan hijau subur, sebagai ranting cabang kayu dan semak-semak itu
menjuntai kesungai dan seperti terseret arus sepanjang sungai Berau yang asri.
Burung-burung berloncatan dari dahan dan ranting kecil, ada yang
kekuning-kenungan, hijau, merah muda dan abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu
dipohon yang lebih tinggi ada monyet yang menghambur, berteriak-teriak karena
merasa terusik oleh suara ramai orang diperahu yang melintasi kumpulan mereka
yang sedang menikmati daun-daun muda.
Kira-kira perjalanan sudah memakan waktu setengah
hari, melalui kampung Bedungun, Bujangga, Gunung Tabur, Tanjung, Sambaliung,
Maluang, Samburakat, Tanjung Perangat dan memasuki kawasan muara sungai Lati
dan terus sampai kekampung Pujut, dan jauh diseberangnya terlihat kampung yang
sangat ramai dan maju itulah kampung Sukan, kampungnya suku Banjar. Kampung
Sukan ditumbuhi pohon kepala yang tebal dan tertata. Ada pulau kecil dalam
sungai, terletak diantara Kampung Pujut dan Kampung Sukan, disana dipohon-pohon
yang lebat dengan ranting dan daunnya yang segar dan hijau, nampak puluhan ekor
monyet berhidung mancung monyet bekantan selalu mengawasi gerak gerik kehadiran
perahu yang melintasi kawasan mereka.
Angin
sedikit kencang meniup kain layar, kain layar menggelembung, perahu sedikit
miring kekiri. Oyong yang sekarang ditemani Acong masih asik dengan kemudinya
diburitan perahu, sesekali Acong dan Oyong
memukul-mukul paha dan tangannya yang digigit agas.
Ujar Acong yang berasal dari Sulawesi itu “ aku
lihat Berau ini tidak seperti dikampungku. Disini hutannya masih perawan yang
tergarap baru bagian pinggiran sungainya saja, itupun belum semuanya, negeri
kaya, negeri elok nan permai, hutannya hijau bagai hamparan permadani
dikatulistiwa, aku Yong........benar-benar
betah tinggal di Banua Berau, walaupun aku sulit ketemu dengan orang tua
dan keluarga di tanah Makasar “. Dan
kemudian Acong menganguk-anggukkan kepalanya tanda ia yakin benar akan mendapatkan kehidupan yang lebih
baik di perantauan.
Tiba-tiba
perahu berhenti, Oyong baru sadar kalau perahu yang dikemudikannya tiba-tiba
kandas naik diatas gosong pasir yang tidak seberapa jauh dari kampung Sukan
hilir. Saat perahu kandas air sungai
masih mengalir surut, apabila air sungai semakin dangkal, perahu yang kandas
kemungkinan terbalik, maka Oyong dan beberapa orang awak perahu turun keatas
gosong memasang galang dan tongkat, menjaga agar kapal tidak oleng dan tergling.
Muatan didalam palkah yang terdiri dari beras
gula, dan barang makanan lainnya diperbaiki agar tidak berat sebelah. Setelah
merasa aman dan kuat barulah Oyong dan kawan-kawannya yang bekerja sambil
bercerita kesana kemari itu naik keatas perahu dan membersihkan diri.
Kira-kira tiga jam lagi baru perahu mereka dapat
terapung, dan kacaunya arus air sungai sudah berbalik naik kearah hulu, dengan
demikian maka perahu tidak dapat bergerak kehilir, kecuali kalau ada angin
kencang berhembus yang dapat melawan arus air pasang.
Biasanya saat air pasang, mereka mengikat
perahunya didahan-dahan kayu yang berjuntai kesungai atau berjangkar ditengah
sungai. Perahu kapal mereka hanya mengandalkan kekuatan angin, tidak bermesin.
Kepulan
asap diburitan kapal semakin tebal, beberapa orang diburitan kapal sedang menanak
nasi dan mengoreng ikan kering belanak, sedang sayur terong yang dicampur
dengan kepala ikan kering sedang mendidih. Tak lama kemudian bau harum
terasi dibakar menyengat.
Menimbulkan gairah perut yang sudah
lapar. Udin yang sentimentil mengulek membuat sambal terasi, dan kemudian
mereka seawak kapal dengan lahapnya menikmati makan malam saat menjelang matahari
ditelan bumi.
Samin
dan Oyong makan sambil berhadapan diatas bris kapal, sedang
nasi yang sudah dicampur dengan sayur terong berasap mengepul, nasi ditiup-tiup
agar cepat dingin sedangkan sambal terasi sudah menumpuk disisi piring seng berbunga.
Tak
lama kemudian Oyong turun dari
atas bris dan menamabh nasinya yang
sudah lebih dahulu habis dilahapnya, nasi diatas piring sengnya numpuk
menggunung dan ia kembali naik keatas bris dekat dengan Samin Komandan Pos Polisi
Balikukup.
Bagi para perokok, maka paling nikmat setelah
makan pastilah merokok. Sambil mencari tempat yang pas menyandar dan sambil
mengobrol sana kemari.
Para penumpang dan awak kapal sekarang berpencar mencari tempat
masing-masing yang dianggapnya paling nyaman untuk bersantai setelah menikmati
makan sore itu, dan pasti tidak ketinggalan rokok putih yang dibawa para smokal
dari Malaysia Timur sebagai pendamping santai.
Suara monyet bekantan ramai memanggil anak-anaknya
yang liar melompat kesana kemari, suara burung rangkai, kalibarau ( cocokrowo
), tiung ( beo ) bersahutan dihutan belakang kampung sukan yang ramai dengan
rumah menghadap kesungai Berau, kesemuanya riuh menyambut datangnya senja.
Air sungai sudah mulai pasang, namun perahu masih
belum bergerak. Jangkar kapal dilabuh, menghindari
kapal itu larut terbawa arus air kembali kearah hulu. Samin komandan pos polisi
Pulau Balikukup ikut menumpang dikapal yang menuju Pulau Balikukup. Ajun
Brigadir Polisis M. Samin baru dari Tanjung Redeb Berau mengambil gajihnya dan
gajih teman-temannya. Kapal tanpa mesin itu baru sampai kepulau Balikukup empat
hari kemudian. Dilaut tidak bisa mengandalkan arus air seperti masih dalam
sungai, dilaut untuk menggerakkan kapal menggunakan layar dan ditambah dengan
kekuatan mendayung. Apabila angin bagus, maka kapal lebih cepat sampai tujuan.
Apabila angin kurang bersahabat atau angin tidak berhembus, kapal hanya
menyusur tidak terlalu jauh dari pantai. Apabila ada badai kapal bersembunyi
diteluk-teluk kecil dipesisir pantai yang mereka lalui. Kalau tidak sempat
bersembunyi ketika datang badai, bisa-bisa saja kapal mereka pecah ditengah
laut, atau terdampar diatas karang. Saat kejadian semacam itu awak kapal
berjibaku bejuang mati-matian untuk mempertahankan kapal agar selamat dari
badai yang menghantam. Ada yang menjaga kemudi, ada yang duduk dihaluan dengan
basah kuyup mengawasi haluan, ada yang bertugas menimba air hujan yang masuk
kedalam kapal, ada yang mengatur naik dan turunnya kain layar, sedangkan kapal
terus terombang ambing dihempas badai dan gelombang yang besar. Anak kapal dan
penumpang yang tidak tahan tersungkur, baring saja, dan mabuk laut. Saat
seperti itu semua makanan yang tadi masuk kedalam perut habis keluar lagi. Rasa
kapok untuk berlayar lagi muncul dalam mabuk berat seperti itu. Sakit, derita,
perih, mual, dan macam-macam lagi yang mendera bagi yang sedang mabuk. M. Samin
orang yang sudah terlatih, saat-saat seperti itu masih tenang dan kuat, dan dia
tidak mau tinggal diam, turun membantu anak kapal yang kepayahan.
D.
MENGINTAI DARI KUBURAN
Sebuah
kapal bermesin disel yang dibantu dengan layar itu bergerak dengan cepat melintasi
perbatasan laut Indonesia, Pilipin, dan Malaisia. Mereka datang dari wilayah
utara Kalimantan Timur menuju kearah selatan yaitu kepulau-pulau kecil yang
berada di Kabupaten Berau. Sebuah kapal bermesin disel seperti itu masih
termasuk langka di negeri kita, khususnya para pelaut dan nelayan yang mendiami
pesisir pantai dan pulau-pulau di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten
Berau.
Malam yang tenang tatkala diatas langit ditaburi
bintang gemintang, kapal motor itu sudah mulai memasuki perairan
laut Pulau Maratua dan terus bergerak kearah selatan. Dan menjelang subuh,
kapal motor itu sudah mendekati Pulau Balikukup.
Masyarakat Pulau Balikukup masih tidur lelap,
apalagi ditambah dengan angin yang semilir terus berhembus menembus sela-sela
batang kelapa dan kemudian merambah memasuki celah-celah dinding rumah yang
banyak berlubang, tubuh mereka semakin terasa dingin. Tubuh semakin kerisut
bundar ditutup dengan kain sarung. Mimpi-mimpi indah menemani tidur malam itu,
membuat tidur semakin nyenyak. Wow enaknya angin malam terus berhembus berpadu
dengan gemerisik gesekan daun kelapa.
Kapal
motor yang berasal dari Pilipin itu memperlambat gerak jalannya, sembari
memperhatikan keadaan pulau itu dari kejauhan. Setelah memang sudah dianggap mereka aman, baru kemudian
kapal tersebut bergerak lebih cepat dan memasuki daerah belakang pulau yang
tidak berpenduduk. Kokok ayam sudah mulai terdengan bersahutan ditengah pulau,
saat itu sebuah perahu kecil diturunkan dari geladak kapal, sekitar delapan
orang yang berpakaian siap tempur turun keperahu kecil ( kellean ) secara
bergantian, dan kedelapan orang tersebut dilengkapi dengan masing – masing
sebuah senjata bahu semi otomatis kaliber.
Pulau Balikukup yang letaknya sangat strategis,
dimana selalu dilintasi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru. Posisinya yang
berada jauh ditengah lauatan dan menjadi patokan bagi para pelaut serta nelayan
menarik indah dan kaya, maka tidak mengherankan kalau ada suara kapal yang
mendekat kearah pulau, karena dianggap masyarakat hal yang biasa dan memang
sering sudah mereka dengar kapal motor yang lalu lalang di sekitar pulau
Balikukup.
Penghuni
atau penduduk di Pulau Balikukup pada umumnya adalah suku Bajau. Suku Bajau
selai tinggal di Indonesia, mereka juga ada di Malaisyia, Brunai, Thailan,
Papua, dan Pilipina, maka hubungan keluarga dan sedarah antara suku-suku Bajau
yang berada baik di Indonesia, Malaisia dan Pilipin masih sangat kental. Oleh
karena itu tidaklah heran kalau mereka seringkali saling kunjung menggunjungi
diantara mereka, baik yang berada di Malaisya ke Indonesia atau sebaliknya, begitu
pula dengan suku Bajau di Pilipina, Brunai dan Thailan. Suku Bajau yang berasal
dari Pilipina adalah suku Bajau, Tagalok dan Solok dengan menggunaka bahasa
pengantar bahasa Bajau dan Tagalok, suku Bajau yang ada di Pulau Balikukup
masih satu bahasa dengan sebagaian suku Bajau yang berasal dari Pilipin,
Malaisya.
Subuh yang dingin itu delapan orang
awak kapal yang sudah turun dibelakang pulau, beristirahat sejenak menungugu
matahari terbit. Sedangkan kapal mereka itu kembali bergerak sedikit agak
menjauh dari pulau. Waktupun telah ditetapkan kapan harus berbuat, bergerak dan
menyerang. Sambil menahan dingin, rokok putih buatan Amerika teman yang paling
cocok buat mereka berdelapan itu, rokok dihisap dalam – dalam, dengan tujuan
tentu saja menghilangkan rasa keteganggan menjelang detik – detik penyerangan
yang sudah mereka siapkan sedemikian rupa.
Tepat
pukul 07.30 hari Rabu tanggal 22 Maret 1957 kedelapan mundu atau perompak yang
sudah lebih dahulu berada dipulau itu mulai bergerak mendekati kampung melalui
semak-semak dan masuk daerah pekuburan kampung.
Setelah mencari tempat yang paling tepat dan aman
untuk mereka, serta tidak mudah terlihat orang kampung yang sudah sibuk. Ada
yang sedang mandi, mencuci pakaian, menimba perahu dipantai, ada pula yang keluar
masuk rumah serta ada lagi yang duduk-duduk bermalas malasan, tiba-tiba
dikagetkan dengan datangnya sebuah kapal motor yang tidak pernah mereka kenal,
baik bentuk, badan kapal, warna catnya yang cerah dan bermesin dalam
dengan suara yang tidak mereka kenal.
Dari jauh samar-samar ada beberapa orang
yang memegang senjata yang diarahkan kepulau. Semua orang kampung yang melihat
kapal itu terbengong-bengong, kapal siapakah gerangan itu ataukah kapal.....kapal
mundu (Perompak, Bajak laut) yang sering mereka ceritakan dan menakutkan itu.
Ternyata memang benar, beberapa orang kampung berlari dari pantai
memberitahukan “ Mundu.!..........mundu !!! “.
Semua masyarakat masuk kedalam rumah, bersiap-siap
menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Karena melihat orang yang berada diatas
perahu motor itu mengarahkan senjata panjangnya kepulau, tentulah tidak lain
lagi selain Bajak laut yang datang tersebut.
- DIA MENYISIR PANTAI
Kelima
orang Polisi yang berada dipulau itu dengan sigapnya segera mempersiapkan diri
untuk menghadapi tamu tak diundang yang segera datang. Tak lama kemudian sudah
terjadi kontak senjata antara polisi dipulau dan perompak yang berada diatas
kapal. Dengan jarak yang sudah diperhitingkan, kapal terus bergerak menyisir
pantai yang berbelok. Dan dengan kemahiran Samin dalam menggunakan senjata
salah satu bajak laut yang berada dihaluan dapat ditemabaknya dengan
baik dan orang itu terjerembab kedalam kapal.
Melihat kejadian dan keberanian pilisi di pulau, kapal motor itu mencoba untuk
bergerak sedikit menjauh dari pulau.
Keempat
polisi lalu berpencar menjadi dua.
M.samin Komandan Pos asal Tenggarong dan Husin
Anggota Pos asal Bulungan berhadapan langsung dengan penembak dari kapal.
Panut dan Johanes Amanah berpindah keujung pasir
didepan perkampungan pulau Balikukup.
Sedangkan Riong Batong ditugaskan komandan pos
untuk menjaga keamanan pos mereka.
Kontak senjata antara kedua belah pihak terus
berlangsung, polisi terus berusaha bergerak semakin jauh.
Keempat
Polisi yang berada dipinggir pantai disemak-semak dekat dengan pohon-pohon
kelapa merasa lega dengan menjauhnya kapal itu.
Namun mereka tidak memperhitungkan dan samasekali
tidak menduga, ternyata mereka hanya dikelabui, persiapan pelurupun sudah
berkurang, Bajak laut datang dari arah belakang dan terus menerjang mereka yang
tidak siap itu. Sistim lambung yang diterapkan oleh Bajak Laut itu sangat
tepat, kontak senjata terdengar lagi. Delapan orang Bajak Laut yang siap tempur
itu sudah memuntahkan pelurunya kerumah-rumah penduduk yang dilaluinya, mereka
marah sekali, karena kedatangan mereka itu ternyata mendapatkan sambutan dengan
moncong senjata dan diketahui teman mereka di kapal sudah ada yang menjadi
korban oleh peluru polisi itu.
Semua
masyarakat tidak ada yang berani bergerak, dan kedelapan orang itu terus
mendekati pantai dimana keempat polisi berada.
Pertama-tama Husin dan Samin yang diterjang peluru,
karena senjata yang tidak seimbang itu,
gugur sebagai pahlawan pejuang yang membela rakyatnya. Keduanya tersungkur
kebumi pertiwi Pulau Balikukup.
Kedelapan orang itu terus bergerak dengan lebih
berani kearah ujung pasir pulau, dimana disana berada Panut dan Johanes Amanah.
Johanes
Amanah dan panut secara tiba-tiba dikejutkan dengan suara perintah bahasa
Tagalok yang artinya keluar dari persembunyian. Keduanya sudah tidak ada
kesempatan lagi, sudah terkepung oleh lima orang bajak laut, mereka tidak dapat
berbuat apa-apa lagi,
Namun keduanya masih dalam keadaan siap itu,
tidak mau keluar, keduanya saling tatap
dan manggut-mangut, saat keduanya akan mencoba menembak bajak laut yang berada
didepannya, tapi
peluru senjata semi otomatis para bajak laut dari
arah belakangnya lebih cepat dan lebih dahulu menyambar tubuh bagian belakang
kedua polisi itu. Walaupun tubuh keduanya sudah
terkulai, Bajak laut masih belum merasa puas,
pelurupun ditembakkan lagi kearah kepala keduanya. Setelah dirasa aman kelima
orang itu mendekati tubuh Panut dan J. Amanah dan kedua tubah yang tak bernyawa
lagi itu digulingkannya dengan kaki yang penuh pasir. Kemudian baru mereka
bergerak kembali kearah kampung yang senyap. Kampung Pulau Balikukup
benar-benar jadi kampung mati tak bernyawa, semua diam dan hening. Suara
tanggisan anak kecil yang ketakutanpun ditutup mulutnya oleh ibu atau kakaknya,
agar tidak menggangu suasana hening tegang itu.
Ditempat
lain dipos polisi Riong Batong dengan
sigap pergi dari posnya dan kemudian melepas pakaianya dan dimasukkannya
senjata dan pakaian itu kedalam semak-semak setelah ia mengetahui semua temannya sudah gugur
memenuhi panggilan Ilahi, kemudian ia pergi kedalam sebuah warung yang cukup
besar dipulau itu dengan bercelana pendek dan berkaos singlet. Wajahnya yang
mirip dengan cina itu kemudian ia mengaku sebagai pemilik toko, walaupun
beberapa kali ditanya oleh para bajak laut “ You Police..........you
police........? “
“bukan tuan saya bukan polisi.....tapi saya punya
jualan ini tuan “jawaban ini beberapa kali ia
sampaikan setiap bajak laut yang bertanya kepadanya.
Dan akhirnya Bajak laut itu percaya.
Walaupun
mereka masih penasaran dan curiga, diantara masyarakat yang ada itu diantaranya
ada polisi, tapi karena tidak ada lagi perlawanan, maka tidak ada permasalahan
lagi menurut hemat para perompak.
Dengan
leluasa para perompak menguasai pulau, sedang kapal yang tadi meninggalkan pulau sekarang sudah berada
didekat pulau dan beberapa orang turun dari kapal untuk bergabung.
Sebagian Bajak Laut berteriak ”keluar!!!.........keluar....Keluar
dari dalam rumah !!!
Dengan rasa ketakutan semua yang merasa diperintah
dengan terseok-seok mengikuti perintah dan kemudian duduk berkumpul dihalaman
rumah, siap menerima apa saja yang diperintah oleh para Bajak Laut yang
semakin ganas dan kasar itu.
Para
wanita menjadi santapan mereka, menjadi
bahan colekan dan tertawaan, bahkan ada yang ditarik paksa untuk mengikuti Bajak Laut yang bersenjata itu
keluar dari kelompok yang dikumpulkan dengan semuanya.
Semua barang yang bernilai seperti emas perak dan
permata lainnya yang melekat pada tubuh para kaum wanita diminta dan
dikumpulkan oleh para perompak.
Harta benda masyarakat yang ada diangkut kekapal
termasuk barang berharga lain seperti emas dan perak. Rumah semua digeledah
satu persatu, para ibu diseret kedalam rumah, dengan tujuan untuk menunjukkan
dimana letak harta benda yang berharga milik mereka. Dan semuanya ludes habis.
Barang toko yang diakui Riong Batong juga ludes diangkut oleh masyarakat pulau
yang diperintah Bajak laut dan dijaga ketat. Mereka tinggal mengelus dada.
Namun masih bersyukur jiwa mereka tidak dihabisi seperti apa yang dilakukan
para bajak laut terhadap polisi yang setia menjaga keamanan pulau mereka, gugur
tersungkur diujung pulau.
Harta
dapat dicari, sedangkan nyawa kalau sudah melayang terpisah dari badan tidak
ada lagi yang mampu mencari dan mengembalikannya, kecuali Tuhan Yang Maha Esa
yang menentukan.
Rasa ketakutan dan trauma terpancar semua diwajah
masyarakat Pulau Balikukup yang langsung merasakan kejadian ini, mereka rasakan
bukan sekadar dongeng dan cerita dari mulut kemulut yang mereka sering dengar
disetiap ada keramaian di pulau itu tentang kegalakan dan keganasan para perompak bajak laut, sekarang mereka
rasakan langsung.
Sedangkan
empat sosok tubuh yang terkapar diujung pulau belum ada nyang mengusik, darah
mengucur membasahi tubuh mereka, sedangkan senjata masih erat ditangan mereka.
Keempatnya tidak lagi bisa bercerita tentang diri dan kejadian itu. Tinggal
kita yang ditinggalkan ini yang berkewajiban mencatatnya dengan tinta emas,
kemudian membeberkan cerita dan sejarah perjuangan mereka yang gagah berani dan menjadi tauladan semua orang yang
hidup dinegeri ini.
Para
bajak laut itu tidak kurang dari tiga jam mengusai Pulau Balikukup dan
mengangkut habis semua harta benda masyarakat, baru kemudian bergegas bergerak
meninggalkan pulau yang telah terhenyak dan lumpuh. Dan kemudian kapal motor
yang laju itu menghilang kelaut lepas.
F. UPAYA
PERTOLONGAN
Pada
tahun 1957 Desa Pulau Balikukup sudah berbentuk Kelurahan dan lurahnya saat itu
adalah Bapak Antoyong ( suku Bajau ). Sedangkan Camatnya adalah Bapak Camat Mas
Temenggung berkedudukan di Talisayan.
Pada saat kejadian perompak di Pulau Balikukup ada
salah seorang yang tertembak bagian pipi pantatnya, harus segera dibawa kerumah
sakit. Dia adalah Bapak Tagolo ( Golo ) sesampainya di rumah sakit di Tanjung
Redeb, maka beritapun segera sampai ke KPWIL Berau di Teluk Bayur. Dan KPWIL
yang di jabat oleh Bapak Gusti Darum pangkat AIPDA (Ajun Pilisi Tingkat Dua).
Karena Kepolisian Berau dibawahi oleh Dan KPWIL
Tarakan, maka berita langsung disampaikan
ke Tarakan.
Dengan adanya berita tersebut maka dari Tarakan
langsung mengirim sebuah kapal motor BO 111 menuju Berau. Setelah mendapat
perintah dari Berau kapal motor BO 111 tersebut melanjutkan perjalanan ke pulau
Balikukup. Sebelum sampai ke Pulau Balikukup, kapal lebih dahulu singgah di
Talisayan untuk mengambil peti mayat dan selanjutnya berangkat ke pulau
Balikukup.
Karena peti mayat yang dibawa hanya tiga buah,
maka M. Samin dan Husin dimasukkan dalam satu peti dan Panut serta Johanes
Amanah masing-masing satu peti mayat.
Kemudian setelah siap dari Pulau Balikukup kapal
motor BO 111 langsung melaju menuju Tanjung Redeb. Keempat pahlawan yang gugur
di Pulau Balikukup dari tempat kejadian, penjemputan sampai dengan pemakaman
memakan waktu selama lima hari. Setelah divisum
dirumah sakit, dimandikan kemudian dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan
Wijaya Tanjung Redeb Kabupaten Berau.
Sampai
hari ini batu nisan atas nama M. Samin,
Husin, Johanes Amanah dan Panut terus menghiasi taman makam Pahlawan Wijaya,
sebagai bukti keberanianya untuk mengusir siapa saja yang mencoba untuk
mengusik rakyat negeri tercinta Indonesia ini.
Bagaimana dengan para pembaca yang budiman, mari berbuat yang terbaik
untuk Indonesia ?
Siapa lagi…..kalau bukan kita…..ayoooo……
G.
SENJATA YANG DIPERGUNAKAN ANGGOTA POLISI
1. M. Samin menggunakan senjata Madsen sebagai
Komandan Pos
2. Husin menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber 7,92 mm
3. Panut menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber 7,92 mm
4. Johanes Amanah menggunakan senjata api jenis
Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
5. Riong Batong menggunakan senjata api jenis
Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
INFORMAN
Dalam
menelusuri jejak perjuangan empat pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup,
informasi didapat dari berbagai sumber, diantaranya hasil dari wawancara
penulis dengan :
1. D a w
a i ( Almarhum ) Peltu Purnawirawan, saat kejadian
bertugas di Biduk-Biduk
Alamat
Jl. Tendean Tanjung Redeb, Barau Kalimantan Timur
Keterangan hari tanggal bulan dan tahun kejadian diambil dari buku saku
yang bersangkutan saat ditemui penulis
bulan September 1987
2. Alianang ( Almarhum ) Peltu
Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb,
Berau Kalimantan Timur
3.
Sarijan ( Almarhum )
Peltu Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb,
Berau Kalimatan Timur
4. Y a k
o b (
Almarhum ) Purnawirawan ( Opas kerajaan yang menjadi
Polisi Berau )
Alamat Keraton Sambaliung, Berau Kalimantan
Timur
5. Hasyim
Lurah Desa Tanjung Perepat Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau
6. Anggateng ( Almarhum ) Lurah
Desa Pantai Harapan Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau
7. Sersan
satu Seni Warji Polres Berau
Alamat Kampung Sambaliung dekat Mesjid lama
8.
Masyarakat Pantai Harapan, Tanjung Perepat dan Pulau Balikukup
9. Surat
Keterangan Kesaksian dari Polres Berau ( 05 Juni 1986 )
Keterangan :
Kisah empat pahlawan dengan
judul “ Pertempuran Melawan Maut “ ini dikumpulkan dan ditulis pada tahun 1987
(diketik dengan mesin ketik), diperbaiki tahun 2005, ditulis ulang tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar