Saprudin Ithur
PERANG DILAUT
BATU PUTIH
1.
KERAJAAN BARRAU
Disepanjang pesisir sungai Kuran yang kemudian hari
dikenal dengan sungai Berau, sejak abab ke- 13 sudah ada pemukiman penduduk.
Bagi masyarakat Berau pusat-pusat pemukiman itu disebutnya dengan BANUA’ sedang pemukiman yang lebih kecil
disebutnya dengan RANTAU. Kemudian hari istilah Banua’ itu juga menjadi nama
suku Berau yang dikenal dengan suku Banua’, kota juga disebutnya dengan Banua.
Mau kekota Tanjung Redeb, oleh penduduk yang berdomisili jauh dari kota disebutnya
dengan ANDAK KA-BANUA’. Sedangkan Rantau juga berarti suatu tempat yang
terletak antara tanjung/tikungan sungai dengan tanjung/tikungan sungai yang
lainnya. Tujuh banua dan rantau yang
dikenal itu adalah Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung,
Banua Lati, Rantau Sawakung, dan Rantau Bunyut disatukan menjadi sebuah
kerajaan yang dikenal dengan nama KERAJAAN BARRAU. Kerajaan Barrau mulai
memerintah sejak abad ke-14. Raja pertamanya Baddit Dipatung yang bergelar ADJI
SOERJA NATAKASOEMA dan istrinya Baddit Dikurindan dengan gelar ADJI
PARMAISOERI. Raja pertama ini
memerintah cukup lama, tidak kurang dari tiga puluh dua tahun dari tahun 1400
sampai dengan tahun 1432. Pusat kerajaan di Rantau Pattung sungai Lati.
Sungai Lati adalah salah satu
anak sungai Kuran atau yang lebih dikenal dengan nama sungai Barrau. Di dalam
sungai Lati, kiri kanan sungai Lati adalah tanah dataran rendah yang sangat
subur dan sangat luas. Daerah itu dipilih sebagai pusat kerajaan, disekitarnya
adalah tanah datar yang sangat luas itu dijadikan lahan persawahan pasang surut
oleh kerajaan. Tahun ketahun kerajaan Barrau terus berkembang, hubungan luar
negeri ditingkatkan seperti dengan kerajaan Brunai, Kerajaan Solok di Filipina,
dengan Kerajaan Kutai, kerajaan Banjar, kerajaan Makasaar, kerajaan Bugis, dan beberapa
kerajaan di pulau Jawa. Perdagangan semakin ramai, terbukti dengan datangnya
kapal-kapal dan perahu pedagang dari luar, hilir mudik kapal-kapal itu datang
dan pergi dari pelabuhan kerajaan Barrau di sungai Lati, masa itu perdagangan
masih dengan cara barter, belum menggunakan mata uang.
Wilayah kerajaan Barrau masa
itu sangat luas dari Tanjung Mangkalihat diselatan sampai dengan Kinabatangan
Malaysia Timur, Bulungan dibawah kerajaan Barrau sampai dengan akhir tahun
seribu tujuh ratusan. Kerajan Bulungan memisahkan diri pada saat terjadinya
perpecahan kerajaan Barrau. Dengan luasnya wilayah daratan, dan luas laut serta
panjangnya pantai Kerajaan Barrau harus berkerja keras untuk menjaga keamanan
pantai dan lautnya. Kerajaan membangun pasukan laut yang kuat untuk menjaga
keamanan pedagang yang datang dan pergi. Perahu dan kapal yang banyak datang
kekerajaan Barrau adalah pedagang dari Sulawesi (Bugis), Solok dan Brunai.
Hasil hutan seperti getah kalapiai, damar, lilin madu, cula badak, rotan,
sirap, gaharu diangkut ke Sulawesi, Filipina, dan Brunai, dari sana baru
diangkut ke jazirah Arab, Cina dan Eropah.
Setelah memerintah selama tiga
puluh dua tahun, pemerintahan dilanjutkan oleh putra Adji Soerja Natakasoema,
yaitu Adji Nikulam, dilanjutkan oleh Adji Nikutak, Adji Nigindang, Adji Panjang
Ruma, Adji Toemangoeng Barani, Adji Dilayas, Adji Pangiran Toea, Adji Pangiran
Dipati, Sultan Muhammad Hasanuddin, Sultan Amiril Mukminin, Sultan Muhammad Zainal
Abidin, kemudian kerajaan Barrau terbagi dua menjadi Kerajaan Sambaliung dan
Kerajaan Gunung Tabbur. Kerajaan Sambaliung di pimpin oleh Raja Alam sedangkan
Kerajaan Gunung Tabbur dipimpin oleh Sultan Muhammad Badaruddin.
Pemerintahan Kerajaan atau kesultanan sejak tahun
1400 sampai dengan tahun 1959, sejak tahun 1959 sepenuhnya menjadi wilayah
Republik Indonesia diangkat seorang Bupati sebagai pemimpin kepala daerah
Kabupaten Berau membawahi empat kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raddab,
Kecamatan Gunung Tabbur, Kecamatan Sambaliung dan Kecamatan Talisayan.
2.
RAJA ALAM MEMISAHKAN DIRI
Raja pertama Berau Aji Surya Natakusuma menyatukan tujuh
Banua dan Rantau menjadi satu kerajaan, kemudian raja-raja selanjutnya
mempertahankan wilayah kekuasaan sekaligus meluaskan wilayah kerajaan sampai
Kinabatangan Malaysia Timur diwilayah utara, sedangkan keselatan berbatasan
dengan kerajaan Kutai di Tanjung Mangkalihat. Wilayah yang sangat luas itu
bertahan sampai akhir tahun seribu tujuh ratus-an. Pada tahun seribu delapan
ratusan kerajaan Bulungan memisahkan diri dari kerajaan Berau.
Raja ke Sembilan
Aji Dilayas mempunyai permaisuri dua orang, permaisuri pertama mempunyai
seorang putra si Amir namanya bergelar Aji Pangiran Tua. Permaisuri pertama
wafat, Aji Dilayas menikah lagi dengan Ratu Agung. Perkawinan yang kedua
melahirkan seorang putra pula, Hasan namanya diberi gelar Aji Pangiran Dipati. Kedua
putranya yang gagah rupawan itu sangat disayangi oleh Aji Dilayas. Ratu Agung,
permaisuri kedua Aji Dilayas juga sayang pada Pangiran Tua. Kasih sayang yang
ia berikan tidak berbeda dengan putranya sendiri Hasan. Ratu Agung tidak
mungkin menyia-nyiakan si Amir, pertama si Amir adalah putra Raja Berau,
yang kedua si Amir telah menjadi yatim sejak masih bayi, yang ketiga
memang menjadi kewajibannya untuk merawat dan memelihara si Amir, karena alasan
itulah Aji Dilayas memilihnya sebagai wanita terbaik untuk pendampingnya di
kerajaan berau. Ratu Agung paham benar kedua anak itu adalah calon pengganti
raja dikemudian hari. Walaupun selalu muncul rasa khawatir didalam hati,
apabila Aji Pangiran Tua menjadi raja maka sebagai penggantinya nanti bukanlah
Aji Pangiran Dipati adiknya, tetapi putra Aji Pangiran Tua sendiri. Kalau
demikian adanya maka kesempatan anak kandungnya Hasan untuk menjadi raja telah
sirna jauh dari harapan. Hal ikhwal pikirannya itu sering ia sampaikan kepada
putranya Hasan yang sudah beranjak dewasa, sering ia sampaikan kepada sanak
keluarganya yang selalu mendapinginya dengan setia.
Kehawatiran itu selalu menggoda dan mengiris perasaannya
yang paling dalam. Apapun alasannya, walaupun Hasan adalah adik Amir yang
keduanya ia sayangi, tetapi risau kesempatan itu tidak tergapai menjadi
bayangan ketika ia berbaring diperaduan malam. Kadangkala semalam suntuk Ratu Agung
tidak bisa memejamkan mata. Kata hatinya selalu mengatakan kepadanya “sudahlah
Ratu Agung, Amir adalah putramu juga yang kau rawat sejak ia masih kecil sampai
dewasa, Hasan putramu juga. Bedanya hanya Amir tidak lahir melalui rahimmu
sendiri, sedangkan ayahnya sama Raja Berau Aji Dilayas. Kenapa kau mesti risau
? si Amir menjadi raja, Ratu Agung yang
mendampingi, Hasan menjadi raja Ratu Agung juga yang mendampingi”.
Saat suara hati
itu menasihatiya, Ratu Agung kembali tenang dan tidurnya menjadi nyaman, tetapi
apabila muncul lagi sak wasangka kembali pikirannya melayang-layang keseluruh
penjuru langit dan petala bumi, membayangkan yang bukan-bukan. Kekhawatiran itu
muncul dan menguat lagi, menggodanya dengan pikiran yang merancang berbagai hal
agar putranya Aji Pangiran Dipati lebih dahulu menjadi raja……karena si Amir
sejak kecil ialah yang merawatnya maka pantaslah Hasan putranya yang menjadi
raja….dan banyak pikiran yang terancang sedemikian rupa yang selalu
memerintahkannya untuk berbuat lebih jauh. Godaan itu ia tangkis dan ia singkirkan
jauh-jauh, walaupun Ratu Agung tahu sejauh mananpun ia singkirkan pikiran tidak
baik itu, ia akan datang lagi dan menggodanya lagi.
Kubu Aji Pangiran Tua, sanak keluarga ibunda Pangiran
Tua sudah mengetahui gelagat kurang baik dari permaisuri raja ke Sembilan, Ratu
Agung dinilai tidak seimbang dalam merawat dan memberikan kasih sayang terhadap
si Amir. Putra pertama Aji Dilayas itu tidak mendapat tempat yang layak di
keraton, selalu saja si Hasan bersama ibundanya Ratu Agung. Prasangka itu sudah
menyatu dalam kubu permaisuri pertama yang telah wafat.
Setelah Aji Dilayas wafat mulai terjadi permasalahan.
Kedua putra Aji Dilayas muncul dan memproklamirkan keinginannya menggantikan
ayahandanya menjadi raja. Si Amir dan Hasan merasa memiliki hak untuk menduduki
takhta kerajaan. Kubu si Amir yang bergelar Aji Pangiran Tua menyatakan sebagai
putra pertama raja adalah yang paling berhak untuk menjadi raja. Begitu pula
dari kubu si Hasan yang didampingi oleh ibundanya Ratu Agung mengatakan
Hasan-lah yang paling berhak untuk menduduki takhta kerajaan Berau yang ke
sepuluh, sebab Amir tidak ada ibunya yang mendampinginya. Perselisihan dua kubu
itu semakin hari semakin memanas. Sampai-sampai keduanya masing-masing
menyiapkan kekuatan dan pasukan. Apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kedua kubu sudah siap untuk
bertahan dan menyerang lawan. Kedua kubu yang sudah terlanjur panas itu masing-masing bersikeras dengan haknya
sebagai penguasa kerajaan Berau. Dipersawahan, diperkebunan, pencari damar,
pencari getah kalapiai, pencari lilin madu, di lokasi mencari ikan sebagai
nelayan masing-masing kubu sudah memisahkan diri. Apabila sudah tidak
terbendung lagi dan harus berperang, kedua kubu yang sebenarnya adalah satu
rumpun dan satu keluarga itu sudah siap berperang mempertaruhkan nyawa.
Kerajaan Berau sangat genting, sedangkan pemimpin belum terpilih. Apabila
terjadi pertumpahan darah maka kerajaan Berau akan hilang dari sejarah.
Untuk menghindari perpecahan, kalangan bangsawan, wajir,
para punggawa, mangkubumi dan para menteri berkumpul bermusyawarah untuk
mencari jalan keluar yang terbaik, walaupun didalamnya ada pro dan kontra.
Berkat musyawarah dan mupakkat, membuahkan kesepakan, wilayah kerajaan Berau di
bagi menjadi dua daerah kekuasaan, yang masing-masing dikuasai oleh Aji
Pangiran Tua dan Aji Pangiran Dipati. Dalam pembagian wilayah tersebut lebih
kepada pembagian hasil dan pendapatan wilayah masing-masing. Sedangkan sebagai
pemimpin wilayah atau Raja Berau diatur secara bergantian yang menjadi raja
antara pihak Aji Pangiran Tua dan keturunannya dan Aji Pangiran Dipati dengan
keturunannya.
Wilayah kekuasaan nya adalah sebagai berikut :
- Aji Pangiran Tua menguasai daerah sebelah selatan dari Tanjung
Mangkalihat masuk sungai Kuran atau sungai Berau menuju hulu sampai
wilayah kiri kanan sungai Kelay.
- Aji Pangiran Dipati menguasai wilayah utara dari Kinabatangan
menyusur pantai sampai masuk sungai Kuran atau sungai Berau menuju kehulu
wilayah kiri kanan sungai Segah.
Atas kesepakatan tersebut kedua kubu yang berseteru
sedikit banyaknya merasa puas, kedua putra Aji Dilayas yang lain ibu itu
sama-sama mememiliki kesempatan untuk menjadi raja Berau. Kekosongan pemimpin
dikerajaan Berau setelah ayahda Aji Dilayas wafat harus segera diisi dengan
mengangkat raja baru. Hasil musyawarah mupakkat berlanjut pada pengangkatan
raja yang ke- 10 kerajaan Barrau. Raja kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua (
1640 – 1673 ), sedangkan adiknya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi
Mangkubumi yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat
pemerintahan Pangeran Tua ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang
saudagar musafir Arab yang bernama Mustafa. Sedangkan sebelumnya masih menganut
kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.
Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi
raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua
diangkat menjadi Raja Muda.
Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya
seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang diangkat
menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning ( 1700-1720
)sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan
hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya. Disini
Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan mulai
timbulnya keretakan dan perpecahan yang kedua kali. Alasannya benar karena raja
belum mangkat tetapi mengundurkan diri. Alasan ini tidak dapat diterima oleh
keturunan Aji Pangiran Tua, karena Aji Kuning masih muda dan masa
pemerintahannya cukup lama, yaitu selama dua puluh tahun.
Setelah Adji Kuning
wafat baru Hasanuddin dari keturunan Aji Pangiran Tua diangkat menjadi raja ke-13
dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin. Sultan Muhammad Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun 1750 (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam
dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770
). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja
Barrau.
Sultan Muhammmad
Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang
Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu Datu Amiril
Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu Syaifuddin, dan
Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok, sedangkan Datu
Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.
Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum Di Kuran. Karena ketika beliau wafat tahun 1767
dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung sekarang. Sedangkan Sultan Zainal Abidin
kawin dengan Adji
Galuh putri kesultanan Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara.
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang
berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam. Tata pemerintahan diatur
sedemikian rupa. Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat jabatan Menteri,
Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.
Atas kesepakan
untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di pindahkan ke
Muara Bangun. Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan cocok untuk
pertanian. Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan pemakaman
didekat istana itu.
Orang-orang Solok
yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di Tabbangan dan
orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.
Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini
wafat pada tahun 1800 dimakamkan di Muara
Bangun dan selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun. Makam
beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat dengan baik dan tangga
untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar pengunjung yang datang kemakam tersebut
bisa dengan nyaman. Makam asli masih menggunakan mesan batu alam tempo dulu
tanpa ukiran. Disekitarnya banyak makam-makam tua bermesan batu alam pula,
serta makam masyarakat Kampung Bangun di sekitarnya.
Sultan Badaruddin
dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800 - 1834). Kejadian ini sangat menyinggung
perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kesekian kali, karena seharusnya dari
keturunannya yang menjadi raja.
Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka
memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja pertama diangkat Alimuddin
sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja Alam memerintah
selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat pemerintahan di
Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur
yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak
pemerintahan Raja Alam berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi
menjadi dua kesultanan yaitu Kesultanan Tanjung/Sambaliung dan Kesultanan
Gunung Tabur.
Raja Alam sebagi
raja pertama di sungai Gayam bekerja keras bersama rakyatnya membuka hutan dan
membangun. Selain membangun istana yang terbuat dari kayu ulin juga membangun
rumah ibadah, jalan, perahu, kapal, tempat pemakaman, dan memanggil para pemuda
untuk dilatih menjadi laskar, mendidik beberapa orang untuk menjadi pegawai
kerajaan sekaligus penerima tamu raja. Raja Alam juga menjalin persahabatan
keluar terutama ke
Raja Alam lahir
pada tahun 1760 di Muara Bangun dengan nama Alimuddin. Ayahnya Sultan Amiril
Mukminin dan Ibunya seorang putri cantik dari Solok. Masa kecilnya Raja Alam
tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Alimuddin memiliki badan yang
tegap, kekar dan kuat. Ia memiliki ketrampilan yang spesipik sebagai pria
sejati, ia sering pula menghadapi kesulitan yang harus dipecahkannya sendiri.
Alimuddin kecil pandai bergaul dan disegani oleh teman-temannya. Sangat sayang
kepada teman dan dengan segala miliknya. Alimuddin marah besar apabila sesuatu
miliknya dirusak atau diambil orang lain. Dan ia sangat mencintai kedua orang
tuanya. Alimuddin walaupun trampil dan pandai bergaul tetapi tidak pernah
mengenyam pendidikan formal sebagaimana anak-anak sekarang. Pendidikan yang
diterima dari Ayahnya yang diwarisi dari leluhurnya Sultan Hasanuddin yang suka
merantau keluar negeri, akhirnya kawin dengan bangsawan Solok Pilipina Selatan
dan pendidikan agama. Pengalaman - pengalaman leluhurnya itu pada prinsipnya
mempengaruhi jiwa Alimuddin sampai dewasa dan ia sangat memperhatikan
kepercayaan rakyat.
Pada masa pemerintahannya, Raja Alam tidak menggunakan
kursi kerajaan yang bertatahkan permata, emas, intan dan berlian, mereka duduk
bersama dilantai yang beralaskan tikar kecil buatan rakyatnya sendiri. Dengan
demikian terlihat sekali kedekatannya dengan rakyat. Walaupun ia sangat
dihormati dan disegani, Raja Alam sangat menghormati rakyat serta tidak
sombong. Segala keputusan diambil secara musyawarah dengan seluruh rakyat.
Begitu pula dengan membangun istana
disungai gayam dan benteng pertahanan laut di Dumaring secara bahu membahu
bekerja dengan rakyatnya. Dikalangan rakyatnya orang-orang Dayak Segai, Raja Alam terkenal terampil mendulang emas.
3.
BELANDA MENJEJAKKAN KAKI DI TANAH BERAU
Seperti diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa
Belanda sudah datang ke Nusantara sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya
adalah berdagang, namun lama kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah,
dengan menguasai wilayah-wilayah subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke
Nusantara, Belanda
menggunakan politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan
Belanda memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di
Nusantara.
Bangsa Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau
( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900, Berayu menurut sejarawan Indonesia )
pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19.
Dengan kehadiran
Belanda di Barrau, Raja Alam merasa
terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan Belanda.
Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke Barrau, Raja
Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Orang Belanda
dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.
Permaisuri Raja Alam seorang putri yang berasal dari
kesultanan Wajo yang bernama Andi Nantu. Raja Alam bersahabat dengan
raja-raja di
Pada masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun
1810 banyak mendapat simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela
Raja Alam ( di Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).
Dengan persahabatan
Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan kurang bersahabat dengan Sultan Gunung
Tabur dan tidak bersahabat dengan Belanda, itu merupakan alasan yang kuat bagi Belanda untuk menekan
Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan ketika Belanda mampu mengambil simpati
Sultan Muhammad Badaruddin, Sultan Gunung Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling
bahu membahu dalam perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.
Raja Alam mendapat
sambutan baik dari luar maupun dari rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan
dan keberaniannya semakin mendapat simpati. Raja Alam seorang raja yang
memiliki semangat juang dan cinta tanah air. Ia tetap mempertahankan Barrau, Raja Alam tidak rela Barrau disentuh
dan diinjak oleh orang asing. Dan semua rakyat pengikutnya dengan rela
mengorbankan segala-galanya untuk raja dan daerah mereka. Dukungan dari rakyat
Bugis dan dukungan dari raja Solok dari
keturunan kakek buyutnya membuat Raja
Alam semakin kuat. Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan
keraton Raja Alam, sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan
Lungsuran Naga, Laut Batu Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta
Tembudan. Pantai dan laut antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung
Mangkalihat di kuasainya. Dengan kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing
yang akan masuk mendekati Tanjung Mangkalihat usir, kecuali kapal yang memiliki
hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk,
kapal-kapal Belanda juga diusir.
4. RAJA ALAM MEMBANGUN ARMADA LAUT YANG TANGGUH
Raja Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan
perahu-perahu perang Bugis yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta
Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih. Batu Putih dipimpin
oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin.
Selain bantuan dari
Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin oleh Syarif
Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja Alam mendapat
bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang berasal dari
tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.
Melihat gelagat
Raja Alam yang semakin memperkuat armada laut dan pertahanannya, kesempatan
baik untuk memecah belah rakyat Barrau, Belanda dengan akal liciknya bersahabat
dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin.
Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan tipu muslihat orang kulit putih.
Ketegangan antara kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan
Belanda semakin memanas dan memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk
menjalin persahabatan dan hubungan perdagangan, namun pihak Raja Alam
menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip tanah Barrau tidak boleh dikotori dan
diinjak-injak oleh orang asing yang berkulit putih seperti Belanda.
Pada tahun 1833
beberapa armada Belanda didatangkan dari Makassar menuju Barrau dengan
persenjataan lengkap. Dengan tidak disangka-sangka oleh pasukan Belanda,
ditengah perjalanan saat melewati laut Batu Putih di hadang pasukan armada laut
Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih sederhana dibanding dengan Belanda.
Pasukan Raja Alam yang gagah berani
dapat memukul mundur armada Belanda yang sengaja didatangkan itu.
Dengan dilakukannya penyerangan itu Raja Alam dianggap oleh Belanda sebagai
Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh sebagai perompak lanun
dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat yang mendukungnya,
dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah perjuangan. Bagi yang
mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah patriot-patriot
pejuang pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.
Awal tahun 1834
secara tidak terduga tiba sebuah kapal perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah
Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan
menempuh perjalanan panjang dari Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan
kemudian berputar menuju Barrau di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai
realisasi perjanjian antara Sultan Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang
menjanjikan bantuan kepada Kerajaan Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan
imbalan keuntungan perdagangan, atau karena terganggu keamanan pasukan Belanda
yang melintasi wilayah Batu Putih dengan penyerangan yang dilakukan oleh
pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin putra Raja Alam dan mengharuskan mereka
mundur dan kembali ke Makassar. Alasan Belanda pasukannya melintasi Batu Putih
adalah mengawal keamanan perdagangan rakyat dengan Hindia Belanda.
Kedatangan Belanda
dimanfaatkan oleh Sultan Barrau, dengan ajakan bersahabat dan mengakui
kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dengan bersumpah setia kepada Guberneman.
Dan Belanda berjanji akan membantu Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan
setiap ada pemberontakan.
Sesuai kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan
April 1834 menyiapkan pasukan Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet
De Heldin, De Briik Siwa, Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang
dilengkapi dengan perahu-perahu laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet.
Pasukan itu bergerak melintasi laut Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat.
Gemuruh kapal perang yang siap dengan tentara laut pilihan dan senjata semi
modern sudah mendekati Mangkalihat, pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk
Sumbang sudah mengetahui gelagat kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi
tidak bisa disampaikan kepada pemimpin pasukan di Batu Putih karena
keterbatasan transportasi. Informasi kedatangan pasukan laut Hindia Belanda
tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus
melintasi Pulau Kaniungan Besar, menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung
Perepat dan mendekati Pulau Manimbora. Disana pasukan laut Batu Putih siap
menghadang
5. PERANG DILAUT BATU PUTIH
Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut menyerang Batu Putih,
dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling bahu membahu pasukan
Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan Hindia Belanda menerjang
kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah beberapa buah kapal
pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan, dengan gagah berani
pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia Belanda yang sudah
menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi modern, sedangkan
pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan satu persatu
ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak, parang yang
tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur. Setelah
perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat. Dengan
amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama peperangan di
laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang berjatuhan, untungnya putra
Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri bersama beberapa orang
pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda meneruskan peperangannya ke
benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan dengan gagah berani, tetapi
sama saja mereka kalah hebat dan kalah persenjataan. Benteng Dumaring di
tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang pahlawan yang tersungkur mencium
bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju muara Lungsuran Naga dan
masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai Kuran tentara laut Belanda
dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.
Syarif Dakula yang
telah lebih dahulu bergerak kesungai Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima
Limboto yang bertahan diperairan sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan
laut Belanda. Perang pecah kembali di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang
Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran
Petta dan Panglima Limboto. Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam
peluru pasukan laut Belanda. Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan
diri ketepi sungai dan lari masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya
semua kapal yang menahan pasukan Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan
diri berenang disungai ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat
menyedihkan dan sangat memilukan. Pertahan Batu Putih sudah patah, pertahanan
di Dumaring sudah dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah,
tinggal pertahanan terakhir di sungai Gayam.
Ibu Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan
didampingi putranya Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan
mereka pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur
pasukan Belanda. Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat
menyerang setelah memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di
Dumaring, perang sungai di sungai Kuran.
Pasukan Raja Alam
yang telah dipersiapkan itu hancur cerai berai, akhirnya ibu
Raja Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan
semangat membara untuk mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih
tersisa dan melakukan perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja
Alam bersama puranya Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu
pasokan makanan oleh suku Dayak Ga;ai, Punan dan Lebbo. Melihat gelagat
pergerakan pasukan Raja Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda,
pasukan laut dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai
Barrau. Belanda menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.
Sultan Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih
sudah memindahkan Istananya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan
menjaga keamanan dan menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam
disungai Gayam yang sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk
dalam wilayah kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam.
Keinginan Belanda pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan
pasukan Belanda untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai
Kelay, namun dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan
masih berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh
saudara sendiri.
Belanda menangkap rakyat yang tidak berdosa dan
menyiksanya dengan maksud agar Raja Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama
raja alam tidak mau keluar dan menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa
oleh tentara belanda, dalam kurun waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang
menjadi bulan-bulan tentara Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan
kembali, agar dilihat oleh rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay.
Melihat banyak rakyatnya yang disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan
terharu, walaupun pengorbanan rakyatnya
adalah bagian perjuangan mempertahankan tanah air.
Sebagai Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya,
akhirnya Raja Alam dengan gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi
undangan Belanda untuk berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya
dalam perundingan yang telah diskenario
Belanda, Raja Alam ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut,
dan mengganggu keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut
Sulawesi. Kemudian Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi
Djalaluddin, putrinya Ratu Ammas Mira, Syarif
Dakula bersama anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar karena Raja Alam
tidak mau mengakui kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke
Makassar Syarif Dakula memberontak dan
mengamuk dalam kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan
istrinya Ratu Ammas Mira dipulangkan ke Batu Putih.
Menurut tokoh Dayak
Ahi di Tembudan yang mendukung perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan
Kapiten Tembaga mereka bahu membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan
dan mempertahankan Batu Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka
berperang habis-habisan untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak
Ahi diperitahkan membuat benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu
Putih dibumi hanguskan oleh Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal
pasukan Raja Alam, laskar tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di
Linggo dan Tembudan mundur masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya.
Semangat membara dengan pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling
bahu membahu, namun senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus
kalah. Selama perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring,
Linggo, Tembudan dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan
rakyatnya Dayak Ahi dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan
selalu maju paling depan.
Pada 18 September
1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning mengirim surat ke pada Hindia Belanda di
Banjarmasin, permohonan itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar
Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya di Barrau, walaupun dengan syarat
harus dipaksa
mengakui dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 24
Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di
Sungai Gayam telah hancur porak poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam
tidak mungkin kembali ke Tanjung Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda.
Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan
Belanda, Raja Alam membangun
pemerintahan di sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai akhir hayatnya Raja
Alam tetap dekat dengan rakyatnya.
Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani
memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional.
Raja Alam di makamkan di Sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum Marhum di Rindang. Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Talisayan itu
sampai sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi
nama Batalion 613 Raja Alam Tarakan.
Raja Alam meninggalkan sejarah yang seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan, kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah melupakan perjuangan Raja Alam sampai kapanpun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar