Selasa, 15 September 2020

RAJA ALAM PERANG DILAUT BATU PUTIH

 

Saprudin Ithur

 

 

PERANG DILAUT

 

BATU PUTIH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.      KERAJAAN BARRAU

 

Disepanjang pesisir sungai Kuran yang kemudian hari dikenal dengan sungai Berau, sejak abab ke- 13 sudah ada pemukiman penduduk. Bagi masyarakat Berau pusat-pusat pemukiman itu disebutnya dengan  BANUA’ sedang pemukiman yang lebih kecil disebutnya dengan RANTAU. Kemudian hari istilah Banua’ itu juga menjadi nama suku Berau yang dikenal dengan suku Banua’, kota juga disebutnya dengan Banua. Mau kekota Tanjung Redeb, oleh penduduk yang berdomisili jauh dari kota disebutnya dengan ANDAK KA-BANUA’. Sedangkan Rantau juga berarti suatu tempat yang terletak antara tanjung/tikungan sungai dengan tanjung/tikungan sungai yang lainnya.  Tujuh banua dan rantau yang dikenal itu adalah Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua Lati, Rantau Sawakung, dan Rantau Bunyut disatukan menjadi sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama KERAJAAN BARRAU. Kerajaan Barrau mulai memerintah sejak abad ke-14. Raja pertamanya Baddit Dipatung yang bergelar ADJI SOERJA NATAKASOEMA dan istrinya Baddit Dikurindan dengan gelar ADJI PARMAISOERI. Raja pertama ini memerintah cukup lama, tidak kurang dari tiga puluh dua tahun dari tahun 1400 sampai dengan tahun 1432. Pusat kerajaan di Rantau Pattung sungai Lati.  

Sungai Lati adalah salah satu anak sungai Kuran atau yang lebih dikenal dengan nama sungai Barrau. Di dalam sungai Lati, kiri kanan sungai Lati adalah tanah dataran rendah yang sangat subur dan sangat luas. Daerah itu dipilih sebagai pusat kerajaan, disekitarnya adalah tanah datar yang sangat luas itu dijadikan lahan persawahan pasang surut oleh kerajaan. Tahun ketahun kerajaan Barrau terus berkembang, hubungan luar negeri ditingkatkan seperti dengan kerajaan Brunai, Kerajaan Solok di Filipina, dengan Kerajaan Kutai, kerajaan Banjar, kerajaan Makasaar, kerajaan Bugis, dan beberapa kerajaan di pulau Jawa. Perdagangan semakin ramai, terbukti dengan datangnya kapal-kapal dan perahu pedagang dari luar, hilir mudik kapal-kapal itu datang dan pergi dari pelabuhan kerajaan Barrau di sungai Lati, masa itu perdagangan masih dengan cara barter, belum menggunakan mata uang.

Wilayah kerajaan Barrau masa itu sangat luas dari Tanjung Mangkalihat diselatan sampai dengan Kinabatangan Malaysia Timur, Bulungan dibawah kerajaan Barrau sampai dengan akhir tahun seribu tujuh ratusan. Kerajan Bulungan memisahkan diri pada saat terjadinya perpecahan kerajaan Barrau. Dengan luasnya wilayah daratan, dan luas laut serta panjangnya pantai Kerajaan Barrau harus berkerja keras untuk menjaga keamanan pantai dan lautnya. Kerajaan membangun pasukan laut yang kuat untuk menjaga keamanan pedagang yang datang dan pergi. Perahu dan kapal yang banyak datang kekerajaan Barrau adalah pedagang dari Sulawesi (Bugis), Solok dan Brunai. Hasil hutan seperti getah kalapiai, damar, lilin madu, cula badak, rotan, sirap, gaharu diangkut ke Sulawesi, Filipina, dan Brunai, dari sana baru diangkut ke jazirah Arab, Cina dan Eropah.

Setelah memerintah selama tiga puluh dua tahun, pemerintahan dilanjutkan oleh putra Adji Soerja Natakasoema, yaitu Adji Nikulam, dilanjutkan oleh Adji Nikutak, Adji Nigindang, Adji Panjang Ruma, Adji Toemangoeng Barani, Adji Dilayas, Adji Pangiran Toea, Adji Pangiran Dipati, Sultan Muhammad Hasanuddin, Sultan Amiril Mukminin, Sultan Muhammad Zainal Abidin, kemudian kerajaan Barrau terbagi dua menjadi Kerajaan Sambaliung dan Kerajaan Gunung Tabbur. Kerajaan Sambaliung di pimpin oleh Raja Alam sedangkan Kerajaan Gunung Tabbur dipimpin oleh Sultan Muhammad Badaruddin.

Pemerintahan Kerajaan atau kesultanan sejak tahun 1400 sampai dengan tahun 1959, sejak tahun 1959 sepenuhnya menjadi wilayah Republik Indonesia diangkat seorang Bupati sebagai pemimpin kepala daerah Kabupaten Berau membawahi empat kecamatan yaitu kecamatan Tanjung Raddab, Kecamatan Gunung Tabbur, Kecamatan Sambaliung dan Kecamatan Talisayan.

 

 

2.      RAJA ALAM MEMISAHKAN DIRI

 

Raja pertama Berau Aji Surya Natakusuma menyatukan tujuh Banua dan Rantau menjadi satu kerajaan, kemudian raja-raja selanjutnya mempertahankan wilayah kekuasaan sekaligus meluaskan wilayah kerajaan sampai Kinabatangan Malaysia Timur diwilayah utara, sedangkan keselatan berbatasan dengan kerajaan Kutai di Tanjung Mangkalihat. Wilayah yang sangat luas itu bertahan sampai akhir tahun seribu tujuh ratus-an. Pada tahun seribu delapan ratusan kerajaan Bulungan memisahkan diri dari kerajaan Berau.

 Raja ke Sembilan Aji Dilayas mempunyai permaisuri dua orang, permaisuri pertama mempunyai seorang putra si Amir namanya bergelar Aji Pangiran Tua. Permaisuri pertama wafat, Aji Dilayas menikah lagi dengan Ratu Agung. Perkawinan yang kedua melahirkan seorang putra pula, Hasan namanya diberi gelar Aji Pangiran Dipati. Kedua putranya yang gagah rupawan itu sangat disayangi oleh Aji Dilayas. Ratu Agung, permaisuri kedua Aji Dilayas juga sayang pada Pangiran Tua. Kasih sayang yang ia berikan tidak berbeda dengan putranya sendiri Hasan. Ratu Agung tidak mungkin menyia-nyiakan si Amir, pertama si Amir adalah putra Raja Berau, yang kedua si Amir telah menjadi yatim sejak masih bayi, yang ketiga memang menjadi kewajibannya untuk merawat dan memelihara si Amir, karena alasan itulah Aji Dilayas memilihnya sebagai wanita terbaik untuk pendampingnya di kerajaan berau. Ratu Agung paham benar kedua anak itu adalah calon pengganti raja dikemudian hari. Walaupun selalu muncul rasa khawatir didalam hati, apabila Aji Pangiran Tua menjadi raja maka sebagai penggantinya nanti bukanlah Aji Pangiran Dipati adiknya, tetapi putra Aji Pangiran Tua sendiri. Kalau demikian adanya maka kesempatan anak kandungnya Hasan untuk menjadi raja telah sirna jauh dari harapan. Hal ikhwal pikirannya itu sering ia sampaikan kepada putranya Hasan yang sudah beranjak dewasa, sering ia sampaikan kepada sanak keluarganya yang selalu mendapinginya dengan setia.

Kehawatiran itu selalu menggoda dan mengiris perasaannya yang paling dalam. Apapun alasannya, walaupun Hasan adalah adik Amir yang keduanya ia sayangi, tetapi risau kesempatan itu tidak tergapai menjadi bayangan ketika ia berbaring diperaduan malam. Kadangkala semalam suntuk Ratu Agung tidak bisa memejamkan mata. Kata hatinya selalu mengatakan kepadanya “sudahlah Ratu Agung, Amir adalah putramu juga yang kau rawat sejak ia masih kecil sampai dewasa, Hasan putramu juga. Bedanya hanya Amir tidak lahir melalui rahimmu sendiri, sedangkan ayahnya sama Raja Berau Aji Dilayas. Kenapa kau mesti risau ? si Amir  menjadi raja, Ratu Agung yang mendampingi, Hasan menjadi raja Ratu Agung juga yang mendampingi”.

 Saat suara hati itu menasihatiya, Ratu Agung kembali tenang dan tidurnya menjadi nyaman, tetapi apabila muncul lagi sak wasangka kembali pikirannya melayang-layang keseluruh penjuru langit dan petala bumi, membayangkan yang bukan-bukan. Kekhawatiran itu muncul dan menguat lagi, menggodanya dengan pikiran yang merancang berbagai hal agar putranya Aji Pangiran Dipati lebih dahulu menjadi raja……karena si Amir sejak kecil ialah yang merawatnya maka pantaslah Hasan putranya yang menjadi raja….dan banyak pikiran yang terancang sedemikian rupa yang selalu memerintahkannya untuk berbuat lebih jauh. Godaan itu ia tangkis dan ia singkirkan jauh-jauh, walaupun Ratu Agung tahu sejauh mananpun ia singkirkan pikiran tidak baik itu, ia akan datang lagi dan menggodanya lagi.

Kubu Aji Pangiran Tua, sanak keluarga ibunda Pangiran Tua sudah mengetahui gelagat kurang baik dari permaisuri raja ke Sembilan, Ratu Agung dinilai tidak seimbang dalam merawat dan memberikan kasih sayang terhadap si Amir. Putra pertama Aji Dilayas itu tidak mendapat tempat yang layak di keraton, selalu saja si Hasan bersama ibundanya Ratu Agung. Prasangka itu sudah menyatu dalam kubu permaisuri pertama yang telah wafat.

Setelah Aji Dilayas wafat mulai terjadi permasalahan. Kedua putra Aji Dilayas muncul dan memproklamirkan keinginannya menggantikan ayahandanya menjadi raja. Si Amir dan Hasan merasa memiliki hak untuk menduduki takhta kerajaan. Kubu si Amir yang bergelar Aji Pangiran Tua menyatakan sebagai putra pertama raja adalah yang paling berhak untuk menjadi raja. Begitu pula dari kubu si Hasan yang didampingi oleh ibundanya Ratu Agung mengatakan Hasan-lah yang paling berhak untuk menduduki takhta kerajaan Berau yang ke sepuluh, sebab Amir tidak ada ibunya yang mendampinginya. Perselisihan dua kubu itu semakin hari semakin memanas. Sampai-sampai keduanya masing-masing menyiapkan kekuatan dan pasukan. Apabila  terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kedua kubu sudah siap untuk bertahan dan menyerang lawan. Kedua kubu yang sudah terlanjur panas itu  masing-masing bersikeras dengan haknya sebagai penguasa kerajaan Berau. Dipersawahan, diperkebunan, pencari damar, pencari getah kalapiai, pencari lilin madu, di lokasi mencari ikan sebagai nelayan masing-masing kubu sudah memisahkan diri. Apabila sudah tidak terbendung lagi dan harus berperang, kedua kubu yang sebenarnya adalah satu rumpun dan satu keluarga itu sudah siap berperang mempertaruhkan nyawa. Kerajaan Berau sangat genting, sedangkan pemimpin belum terpilih. Apabila terjadi pertumpahan darah maka kerajaan Berau akan hilang dari sejarah.

Untuk menghindari perpecahan, kalangan bangsawan, wajir, para punggawa, mangkubumi dan para menteri berkumpul bermusyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik, walaupun didalamnya ada pro dan kontra. Berkat musyawarah dan mupakkat, membuahkan kesepakan, wilayah kerajaan Berau di bagi menjadi dua daerah kekuasaan, yang masing-masing dikuasai oleh Aji Pangiran Tua dan Aji Pangiran Dipati. Dalam pembagian wilayah tersebut lebih kepada pembagian hasil dan pendapatan wilayah masing-masing. Sedangkan sebagai pemimpin wilayah atau Raja Berau diatur secara bergantian yang menjadi raja antara pihak Aji Pangiran Tua dan keturunannya dan Aji Pangiran Dipati dengan keturunannya.

Wilayah kekuasaan nya adalah sebagai berikut :

  1. Aji Pangiran Tua menguasai daerah sebelah selatan dari Tanjung Mangkalihat masuk sungai Kuran atau sungai Berau menuju hulu sampai wilayah kiri kanan sungai Kelay.
  2. Aji Pangiran Dipati menguasai wilayah utara dari Kinabatangan menyusur pantai sampai masuk sungai Kuran atau sungai Berau menuju kehulu wilayah kiri kanan sungai Segah.

 

Atas kesepakatan tersebut kedua kubu yang berseteru sedikit banyaknya merasa puas, kedua putra Aji Dilayas yang lain ibu itu sama-sama mememiliki kesempatan untuk menjadi raja Berau. Kekosongan pemimpin dikerajaan Berau setelah ayahda Aji Dilayas wafat harus segera diisi dengan mengangkat raja baru. Hasil musyawarah mupakkat berlanjut pada pengangkatan raja yang ke- 10 kerajaan Barrau. Raja kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua ( 1640 – 1673 ), sedangkan adiknya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi yang dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat pemerintahan Pangeran Tua ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab yang bernama Mustafa. Sedangkan sebelumnya masih menganut kepercayaan lama dan pengaruh Agama Hindu.

Periode berikutnya Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.

Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari takhtanya seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning ( 1700-1720 )sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat melainkan hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya. Disini Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan mulai timbulnya keretakan dan perpecahan yang kedua kali. Alasannya benar karena raja belum mangkat tetapi mengundurkan diri. Alasan ini tidak dapat diterima oleh keturunan Aji Pangiran Tua, karena Aji Kuning masih muda dan masa pemerintahannya cukup lama, yaitu selama dua puluh tahun.

            Setelah Adji Kuning wafat baru Hasanuddin dari keturunan Aji Pangiran Tua diangkat menjadi raja ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Hasanuddin. Sultan Muhammad  Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun 1750  (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya  diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770 ). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja Barrau.

            Sultan Muhammmad Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang bernama Dayang Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu Datu Amiril Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu Syaifuddin, dan Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok, sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.

Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum Di Kuran.  Karena ketika beliau wafat tahun 1767 dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung  sekarang. Sedangkan Sultan Zainal   Abidin   kawin  dengan   Adji   Galuh    putri   kesultanan     Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara.            

Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam. Tata pemerintahan diatur sedemikian rupa. Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat jabatan Menteri, Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.

            Atas kesepakan untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di pindahkan ke Muara Bangun. Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan cocok untuk pertanian. Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan pemakaman didekat istana itu.

            Orang-orang Solok yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di Tabbangan dan orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.

Sultan Zainal Abidin Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat pada tahun 1800 dimakamkan di Muara  Bangun dan selanjutnya dikenal dengan Marhum Di Bangun. Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat ini terawat dengan baik dan tangga untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar pengunjung yang datang kemakam tersebut bisa dengan nyaman. Makam asli masih menggunakan mesan batu alam tempo dulu tanpa ukiran. Disekitarnya banyak makam-makam tua bermesan batu alam pula, serta makam masyarakat Kampung Bangun di sekitarnya.

            Sultan Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800 -  1834). Kejadian ini sangat menyinggung perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kesekian kali, karena seharusnya dari keturunannya yang menjadi raja.

Atas kesepakatan pihak Adji Pangeran Tua mereka memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai raja pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja Alam memerintah selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat pemerintahan di Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan Gunung Tabur yang pusat pemerintahannya dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi menjadi dua kesultanan yaitu Kesultanan Tanjung/Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur.

            Raja Alam sebagi raja pertama di sungai Gayam bekerja keras bersama rakyatnya membuka hutan dan membangun. Selain membangun istana yang terbuat dari kayu ulin juga membangun rumah ibadah, jalan, perahu, kapal, tempat pemakaman, dan memanggil para pemuda untuk dilatih menjadi laskar, mendidik beberapa orang untuk menjadi pegawai kerajaan sekaligus penerima tamu raja. Raja Alam juga menjalin persahabatan keluar terutama ke Makassar, Kutai  dan Solok Philipina Selatan. Istana dibangun dengan tiang-tiang ulin yang besar-besar. Istana berbentuk rumah panggung besar dan tinggi itu dalam waktu beberapa bulan sudah rampung dikerjakan. Raja Alam juga membangun armada laut yang tangguh.

            Raja Alam lahir pada tahun 1760 di Muara Bangun dengan nama Alimuddin. Ayahnya Sultan Amiril Mukminin dan Ibunya seorang putri cantik dari Solok. Masa kecilnya Raja Alam tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya. Alimuddin memiliki badan yang tegap, kekar dan kuat. Ia memiliki ketrampilan yang spesipik sebagai pria sejati, ia sering pula menghadapi kesulitan yang harus dipecahkannya sendiri. Alimuddin kecil pandai bergaul dan disegani oleh teman-temannya. Sangat sayang kepada teman dan dengan segala miliknya. Alimuddin marah besar apabila sesuatu miliknya dirusak atau diambil orang lain. Dan ia sangat mencintai kedua orang tuanya. Alimuddin walaupun trampil dan pandai bergaul tetapi tidak pernah mengenyam pendidikan formal sebagaimana anak-anak sekarang. Pendidikan yang diterima dari Ayahnya yang diwarisi dari leluhurnya Sultan Hasanuddin yang suka merantau keluar negeri, akhirnya kawin dengan bangsawan Solok Pilipina Selatan dan pendidikan agama. Pengalaman - pengalaman leluhurnya itu pada prinsipnya mempengaruhi jiwa Alimuddin sampai dewasa dan ia sangat memperhatikan kepercayaan rakyat.

Pada masa pemerintahannya, Raja Alam tidak menggunakan kursi kerajaan yang bertatahkan permata, emas, intan dan berlian, mereka duduk bersama dilantai yang beralaskan tikar kecil buatan rakyatnya sendiri. Dengan demikian terlihat sekali kedekatannya dengan rakyat. Walaupun ia sangat dihormati dan disegani, Raja Alam sangat menghormati rakyat serta tidak sombong. Segala keputusan diambil secara musyawarah dengan seluruh rakyat. Begitu pula dengan  membangun istana disungai gayam dan benteng pertahanan laut di Dumaring secara bahu membahu bekerja dengan rakyatnya. Dikalangan rakyatnya orang-orang Dayak Segai,  Raja Alam terkenal terampil mendulang emas.

 

 

3.      BELANDA MENJEJAKKAN KAKI DI TANAH BERAU

 

Seperti diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa Belanda sudah datang ke Nusantara sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya adalah berdagang, namun lama kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah, dengan menguasai wilayah-wilayah subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke Nusantara, Belanda menggunakan politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan Belanda memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di Nusantara.

Bangsa Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau ( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900, Berayu menurut sejarawan Indonesia ) pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19.

            Dengan kehadiran Belanda di Barrau,  Raja Alam merasa terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan Belanda. Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke Barrau, Raja Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu. Orang Belanda dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.

Permaisuri Raja Alam seorang putri yang berasal dari kesultanan Wajo yang bernama Andi Nantu. Raja Alam bersahabat dengan raja-raja di Makassar. Sedangkan Sultan Hasanuddin raja Makassar merupakan musuh bebuyutannya Belanda. Sultan Hasanuddin tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda di Makassar. Sejak perjanjian Bongaya antara Makassar dan Belanda tahun 1667 ditandatangani, Hasanuddin tetap tidak mau mengakui penjajah Belanda dan tetap mengadakan perlawanan. Pada masa itulah orang-orang Bugis banyak meninggalkan tanah kelahirannya  dengan menggunakan perahu pinisi mencari tanah baru dirantau orang. Banyak yang sampai di Pulau Borneo, masuk ke Pasir, Kutai dan Barrau.

Pada masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun 1810 banyak mendapat simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela Raja Alam ( di Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).

            Dengan persahabatan Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan kurang bersahabat dengan Sultan Gunung Tabur dan tidak bersahabat dengan Belanda, itu merupakan alasan yang kuat bagi Belanda untuk menekan Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan ketika Belanda mampu mengambil simpati Sultan Muhammad Badaruddin, Sultan Gunung Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling bahu membahu dalam perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.

            Raja Alam mendapat sambutan baik dari luar maupun dari rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan dan keberaniannya semakin mendapat simpati. Raja Alam seorang raja yang memiliki semangat juang dan cinta tanah air. Ia tetap mempertahankan  Barrau, Raja Alam tidak rela Barrau disentuh dan diinjak oleh orang asing. Dan semua rakyat pengikutnya dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk raja dan daerah mereka. Dukungan dari rakyat Bugis dan dukungan dari raja Solok  dari keturunan kakek  buyutnya membuat Raja Alam semakin kuat. Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan keraton Raja Alam, sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan Lungsuran Naga, Laut Batu Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta Tembudan. Pantai dan laut antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung Mangkalihat di kuasainya. Dengan kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing yang akan masuk mendekati Tanjung Mangkalihat usir, kecuali kapal yang memiliki hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk, kapal-kapal Belanda juga diusir.

           

 

4.      RAJA ALAM MEMBANGUN ARMADA LAUT YANG TANGGUH

 

Raja Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan perahu-perahu perang Bugis yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih. Batu Putih dipimpin oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin.

            Selain bantuan dari Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin oleh Syarif Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja Alam mendapat bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang berasal dari tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.

            Melihat gelagat Raja Alam yang semakin memperkuat armada laut dan pertahanannya, kesempatan baik untuk memecah belah rakyat Barrau, Belanda dengan akal liciknya bersahabat dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin. Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu dan tipu muslihat orang kulit putih.

Ketegangan antara kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan Belanda semakin memanas dan memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk menjalin persahabatan dan hubungan perdagangan, namun pihak Raja Alam menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip tanah Barrau tidak boleh dikotori dan diinjak-injak oleh orang asing yang berkulit putih seperti Belanda.

            Pada tahun 1833 beberapa armada Belanda didatangkan dari Makassar menuju Barrau dengan persenjataan lengkap. Dengan tidak disangka-sangka oleh pasukan Belanda, ditengah perjalanan saat melewati laut Batu Putih di hadang pasukan armada laut Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih sederhana dibanding dengan Belanda. Pasukan Raja Alam yang gagah berani  dapat memukul mundur armada Belanda yang sengaja didatangkan itu. 

            Dengan dilakukannya penyerangan itu  Raja Alam dianggap oleh Belanda sebagai Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh sebagai perompak lanun dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat yang mendukungnya, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah perjuangan. Bagi yang mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah patriot-patriot pejuang pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.

            Awal tahun 1834 secara tidak terduga tiba sebuah kapal perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan menempuh perjalanan panjang dari Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan kemudian berputar menuju Barrau di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai realisasi perjanjian antara Sultan Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang menjanjikan bantuan kepada Kerajaan Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan imbalan keuntungan perdagangan, atau karena terganggu keamanan pasukan Belanda yang melintasi wilayah Batu Putih dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin putra Raja Alam dan mengharuskan mereka mundur dan kembali ke Makassar. Alasan Belanda pasukannya melintasi Batu Putih adalah mengawal keamanan perdagangan rakyat dengan Hindia Belanda.

            Kedatangan Belanda dimanfaatkan oleh Sultan Barrau, dengan ajakan bersahabat dan mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dengan bersumpah setia kepada Guberneman. Dan Belanda berjanji akan membantu Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan setiap ada pemberontakan.

Sesuai kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan April 1834 menyiapkan pasukan Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet De Heldin, De Briik Siwa, Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang dilengkapi dengan perahu-perahu laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet. Pasukan itu bergerak melintasi laut Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat. Gemuruh kapal perang yang siap dengan tentara laut pilihan dan senjata semi modern sudah mendekati Mangkalihat, pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk Sumbang sudah mengetahui gelagat kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi tidak bisa disampaikan kepada pemimpin pasukan di Batu Putih karena keterbatasan transportasi. Informasi kedatangan pasukan laut Hindia Belanda tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus melintasi Pulau Kaniungan Besar, menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung Perepat dan mendekati Pulau Manimbora. Disana pasukan laut Batu Putih siap menghadang

           

 

5.      PERANG DILAUT BATU PUTIH

 

Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut menyerang Batu Putih, dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling bahu membahu pasukan Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan Hindia Belanda menerjang kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah beberapa buah kapal pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan, dengan gagah berani pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia Belanda yang sudah menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi modern, sedangkan pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan satu persatu ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak, parang yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur. Setelah perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat. Dengan amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama peperangan di laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang berjatuhan, untungnya putra Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri bersama beberapa orang pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda meneruskan peperangannya ke benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan dengan gagah berani, tetapi sama saja mereka kalah hebat dan kalah persenjataan. Benteng Dumaring di tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang pahlawan yang tersungkur mencium bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan menuju muara Lungsuran Naga dan masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai Kuran tentara laut Belanda dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.

            Syarif Dakula yang telah lebih dahulu bergerak kesungai Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima Limboto yang bertahan diperairan sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan laut Belanda. Perang pecah kembali di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran Petta dan Panglima Limboto. Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam peluru pasukan laut Belanda. Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan diri ketepi sungai dan lari masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya semua kapal yang menahan pasukan Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan diri berenang disungai ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sangat memilukan. Pertahan Batu Putih sudah patah, pertahanan di Dumaring sudah dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah, tinggal pertahanan terakhir di sungai Gayam.

Ibu Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan didampingi putranya Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan mereka pasukan yang dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur pasukan Belanda. Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat menyerang setelah memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di Dumaring, perang sungai di sungai Kuran.

            Pasukan Raja Alam yang telah dipersiapkan itu hancur cerai berai, akhirnya ibu kota dan pusat pemerintahan di Sungai Gayam dapat dikuasai Belanda. Sedangkan Raja Alam bersama sebagian pasukannya mundur kepedalaman sungai Kelay, keraton Raja Alam di sungai Gayam dibakar oleh pasukan Belanda. Tidak ada satu rumahpun yang tertinggal semua dibakar habis dengan maksud pasukan Raja Alam tidak bisa menyusun kekuatan lagi.

Raja Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan semangat membara untuk mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih tersisa dan melakukan perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja Alam bersama puranya Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu pasokan makanan oleh suku Dayak Ga;ai, Punan dan Lebbo. Melihat gelagat pergerakan pasukan Raja Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda, pasukan laut dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai Barrau. Belanda menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.

Sultan Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih sudah memindahkan Istananya dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan menjaga keamanan dan menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam disungai Gayam yang sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk dalam wilayah kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam. Keinginan Belanda pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan pasukan Belanda untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai Kelay, namun dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan masih berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh saudara sendiri.

Belanda menangkap rakyat yang tidak berdosa dan menyiksanya dengan maksud agar Raja Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama raja alam tidak mau keluar dan menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa oleh tentara belanda, dalam kurun waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang menjadi bulan-bulan tentara Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan kembali, agar dilihat oleh rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay. Melihat banyak rakyatnya yang disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan terharu, walaupun pengorbanan rakyatnya  adalah bagian perjuangan mempertahankan tanah air.

Sebagai Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya, akhirnya Raja Alam dengan gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi undangan Belanda untuk berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya dalam perundingan  yang telah diskenario Belanda, Raja Alam ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut, dan mengganggu keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut Sulawesi. Kemudian Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi Djalaluddin, putrinya Ratu Ammas Mira, Syarif  Dakula bersama anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar karena Raja Alam tidak mau mengakui kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke Makassar  Syarif Dakula memberontak dan mengamuk dalam kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan istrinya Ratu Ammas Mira dipulangkan ke Batu Putih.

            Menurut tokoh Dayak Ahi di Tembudan yang mendukung perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan Kapiten Tembaga mereka bahu membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan dan mempertahankan Batu Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka berperang habis-habisan untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak Ahi diperitahkan membuat benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu Putih dibumi hanguskan oleh Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal pasukan Raja Alam, laskar tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di Linggo dan Tembudan mundur masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya. Semangat membara dengan pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling bahu membahu, namun senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus kalah. Selama perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring, Linggo, Tembudan dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan rakyatnya Dayak Ahi dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan selalu maju paling depan.

            Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning mengirim surat ke pada Hindia Belanda di Banjarmasin, permohonan itu atas dasar pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke tanah kelahirannya di Barrau, walaupun dengan syarat harus dipaksa mengakui dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda.

            Pada tanggal 24 Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di Sungai Gayam telah hancur porak poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam tidak mungkin kembali ke Tanjung Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda. Untuk melanjutkan kehidupan di masa tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan Belanda,  Raja Alam membangun pemerintahan di sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan rakyatnya.

Pada tahun 1852 Raja Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional. Raja Alam di makamkan di Sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum Marhum di Rindang. Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Talisayan itu sampai sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama Batalion 613 Raja Alam  Tarakan.

            Raja Alam meninggalkan sejarah yang seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan, kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah melupakan  perjuangan Raja Alam sampai kapanpun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar