SAPRUDIN ITHUR
BADDIL
KUNING
BADDIL KUNING DI KESULTANAN GUNUNG
TABBUR SANGAT DIHORMATI, DIKERAMATKAN, DAN DIJADIKAN PUSAKA KERAJAAN.
KEBERADAANNYA SAMPAI SAAT INI MASIH TERPELIHARA DENGAN BAIK DIRUMAH PUTRI.
BADDIL KUNING DIJADIKAN SALAH SATU GAMBAR LAMBANG KERAJAAN KESULTANAN GUNUNG
TABBUR
Luas
wilayah kerajaan Berau tidak terhingga didaratan Borneo. Dari Tanjung
Mangkalihat berbatasan dengan Kerajaan Kutai sampai ke Kina Batangan berbatasan
dengan Kerajaan Berunai, dilaut berbatasan dengan Selat Makassar dan kerajaan
Suluk di Filipina. Lautannya sangat luas, apalagi daratannya lebih luas lagi.
Bangsa Dayak yang ada di pedalaman sungai Segah dan pedalaman sungai Kelay
sangat setia kepada kerajaan Berau. Orang-orang Dayak tidak rela wilayahnya di ganggu
dan dirambah oleh bangsa-bangsa lain yang datang dari hutan belantara Borneo.
Mereka berani dan rela menumpahkan darah yang terakhir untuk mempertahankan
wilayah kerajaan Berau. Begitu pula bangsa Dayak yang ada di dalam sungai
Bulungan dan didalam sungai Melinau, mereka rela berkorban untuk mempertahankan
wilayah kerajaan sampai nafas penghabisan. Kerajaan Berau sangat dikenal oleh
negeri-negeri tetangga sebagai wilayah yang kaya dengan hasil hutan ikutan,
rakyatnya makmur. Rumah-rumah mereka berdiri ditepi-tepi sungai disepanjang
sungai Berau, sungai Segah, sungai Kelay, sungai Bulungan, sungai Melinau dan
sungai-sungai lainnya diwilayah kerajaan Berau. Untuk menjaga keamanan dan
mengambil hasil keuntungan jual beli di setiap perkampungan, kerajaan mengirim
para utusan kesana. Disana para utusan itu langsung menyatu dengan masyarakat
setempat. Yang masih jejaka langsung diberikan jodoh ditempat baru tersebut,
yang sudah berkeluarga langsung disiapkan rumah oleh kepala adat atau kepala
suku ditempat tugasnya. Beberapa bulan sekali pasukan kerajaan mengunjungi
wilayahnya untuk menemui para petugas kerajaan yang telah ditempatkan,
mengambil hasil pembagian hasil dari rakyatnya yang setia. Tetapi karena
luasnya wilayah dan masih sulitnya transportasi, rakyat seumur hidupnya belum
tentu bisa bertemu langsung dengan Sultannya. Tetapi cerita-cerita tentang
kehebahatan, kepiawaiannya sang pemimpin para sultan dipusat kerajaan sering
didengar rakyat melalui utusan kerajaan yang datang ke kampung-kampung seluruh
wilayah kerajaan.
Pada
masa pemerintahan Sultan yang ke empat belas dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin
tahun 1779 sampai dengan tahun 1800 masehi, kerajaan Berau yang dikenal pada
masa itu dengan nama kerajaan Berayu sudah sangat maju. Pertanian dan perkebunan
digalakkan. Hasil pertanian melimpah, hasil perkebunan juga melimpah. Daerah
pertanian pasang surut yang sangat subur ada di dataran Marancang, dataran
Kuran, dan dataran Bangun. Di tempat itu digalakkan pertanian, hasil pertanian
melimpah ruah. Diperbukitan Paribau dan sekitarnya sangat subur ditanami
buah-buahan. Buah durian, buah elai, buah tiwadak (cempedak), buah nangka, buah
malaka (nenas), buah gaddang (pepaya) melimpah. Ubi dan keladi juga tumbuh
subur dengan menghasilkan umbinya yang besar-besar. Hutan Berayu masih sangat
lebat, hasil ikutan kehutanan sangat banyak dan beragam. Hasil hutan ikutan ada
rotan, ada damar, ada getah kalapiai, dan ada lilin madu. Hasil pertanian dan
perkebunan sebagian dijual ke negara tetangga yang membutuhkan seperti
kesultanan Suluk, kesultanan Berunai. Pada musim kemarau di Salebes, hasil
pertanian dan perkebunan kerajaan Berayu dikirim sampai ke negeri Bugis. Hasil
hutan seperti damar, lilin madu, getah kalapiai menjadi barang dagangan yang
sangat popular pada masa kesultanan Berayu.
Sultan
Zainal Abidin suka berburu, pada waktu senggang sultan berangkat berburu
bersama kerabat dan orang-orang yang sama menyukai berburu dihutan.
Berangkatlah rombongan menuju hutan belantara dibelakang Marancang. Sultan
dengan gagahnya mengendari kuda, sedangkan para pendamping dan hulubalang
berjalan kaki didepan disamping dan dibelakang Sultan. Sultan yang senang
berdiskusi, kesempatan semacam ini dijadikannya ajang diskusi santai dan rilek.
Dari percakapan panjang itu Sultan Zainal Abidin banyak mendapat informasi.
Terus terang saja informasi yang ia dapatkan sekarang ini tidak pernah ia
dapatkan pada saat Sultan menjalankan roda pemerintahan. Pada umumnya pejabat
kesultanan sampai rakyat biasa tidak berani menyampaikan sesuatu yang terlalu
spesipik dan mendasar, dapat dikatakan tabu kalau menyampaikan sesuatu yang
dianggap tidak patut, tidak sopan, tidak pantas, tidak memiliki tatakrama dan
sebagainya. Tetapi saat perjalanan berburu, sembari menikmati alam nan asri,
berbagai cerita muncul dengan sendirinya dan mengalir apa adanya, tanpa
aling-aling. Karena dalam perjalanan semacam ini, salah sebut, salah kata tidak
melanggar hukum dan kepatutan. Malah sebaliknya hal-hal semacam itu menjadi
bahan lelucon dan bahan tertawaan. Sebenarnya kalau boleh dibilang, Sultan
mencuri informasi dalam kesempatan semacam ini.
Perjalan
masuk hutan lebat itu sudah cukup lama, sudah beberapa jam. Apabila dalam
perjalanan ada rumput, kayu atau tali temali menghalangi perjalanan sultan dan
rombongan, tugas para pendamping untuk membersihkan semak belukar itu. Ditengah
hutan belantara yang pohonnya besar-besar, dengan akar-akar yang berjuntai
besar dan panjang, dibawahnya bersih. Hanya tebalnya hamparan daun kering yang
membuat suara berisik saat rombongan melintas tempat itu, kaki-kaki mereka
menginjak daun-daun kering. Daun pohon-pohon besar dan tinggi itu menutup
langit. Cahaya matahari sulit menembus tebalnya dedaunan. Apabila didorong
angin sinar matahari sesekali tembus sampai ketanah berbentuk bundar, berbentuk
segitiga, berbentuk segi empat miring dan tidak beraturan. Sinar matahari itu
berlari kesana kemari mengikuti gerakan daun-daun yang didorong angin. Wah
atraksi yang sangat menakjubkan dan mengesankan……..
Sesudah
sampai pada suatu tempat yang nyaman, aman, diketinggian, dekat dengan sungai,
rombongan berhenti. Para pendamping dan hulubalang yang berpengalaman langsung
bekerja membuat tenda tempat untuk berlindung dan berteduh apabila datang
hujan, untuk tempat peraduan apabila malam telah larut.
Perlu
diceritakan tenda yang dimaksud bukan tenda seperti milik pramuka, seperti
milik tentara, atau seperti milik anak-anak yang bermain disamping rumahnya
dengan mendirikan tenda yang sudah terangkai. Tenda disini harus membuat dari
potongan kayu-kayu yang tersedia dihutan, sedangkan atapnya disusun dari daun
palm hutan yang lebar sedemikian rupa. Sedangkan untuk dinding juga dari
daun-daun yang tersedia dihutan. Jadi tenda itu ya membuat rumah kecil ditengah
hutan yang biasa disebut pondok….begitu. untuk membuat pondok sementara
tersebut membutuhkan waktu satu sampai
dua jam sudah siap untuk di tempati Sultan, untuk rombongan lainnya membuat
disekeliling tenda Sultan.
Ketika
para pembantunya sedang bekerja membuat tenda Sultan dengan beberapa orang yang
memang ahli berburu sudah bergerak mencari binatang buruan. Sampai sore tidak
ada satu binatangpun yang muncul, seperti kijang,
kancil, rusa, banteng, landak, rimaung
daan dan binatang lainnya tidak ada yang melintas, apalagi yang sengaja
muncul dihadapan para pemburu. Malampun tiba, setelah selesai makan malam,
masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk merebahkan kepala….wah…wah…wah
tertidur pulas semua. Ya maklum karena kelelahan berjalan kaki dan menyiapkan
tenda, setelah makan ya langsung tidur. Nikmaaaattttt……
Esok
harinya perburuan kembali dilaksanakan, dengan demikian segala persiapan sudah
dilakukan sejak pagi-pagi sekali. Satu jam sudah lewat, dua jam sudah dilalui,
tiga jam sudah dilampaui, tidak ada satu binatangpun yang didapat, jangankan di
tangkap atau ditombak yang melintas seperti kilat saja tidak ada yang terlihat.
Benar-benar kurang beruntung perburuan kali ini. Biasanya sudah beberapa ekor pelanduk (kancil), beberapa ekor kijang (menjangan), dan payau (rusa) sudah didapat. Bahkan banteng
sang binatang yang sangat pemberani dan kuatpun dengan ketangkasan Sultan serta
rombongan dengan mudah melumpuhkannya. Lagi-lagi masih kurang beruntung,
mungkin setelah makan siang keberuntungan akan tiba.
Kenyataannya
tetap saja sama seperti kemarin, pagi tadi dan siang ini. Jangankan menemui
binatang buruan, suara payau yang melengking, suara teriakan rimaung daan
(macan dahan) pun tidak terdengar. Pada saat yang ditunggu-tunggu, tiba-tiba
anjing-anjing yang dibawa rombongan berburu itu menyalak dan menggonggong tidak
jauh dari tempat rombongan pemburu. Suara anjing-anjing yang menggonggong itu
berkumpul disuatu tempat. “Ach kita kalah cepat dengan anjing-anjing itu” bisik
Sultan tanpa memperhatikan kiri kanan. Sultan Zainal Abidin dan rombongan memperkirakan
anjing-anjing mereka yang terlatih itu sudah lebih dahulu menangkap buruan,
tanpa memberi kesempatan kepada para pemburu yang sudah bernafsu untuk segera
mendapatkan binatang buruan. Begitu rombongan tiba ditempat anjing-anjingnya
menggonggong semuanya terkejut, yang digonggong kuyuk (anjing) itu adalah benda berwarna Kuning. Sultan langsung
memerintahkan beberapa orang untuk memeriksa benda kuning tersebut. Ternyata
senjata yang terbuat dari kuningan, meriam kuningan berbadan langsing sepanjang
satu meter lebih. “Baddil Kuning
Baginda Sultan” lapor mereka setelah memeriksa secara seksama, kemudian
mengangkatnya. Sultan memerintahkan Baddil Kuning itu dinaikkan diatas kuda.
Selanjutnya langsung memerintahkan kepada semua rombongan pemburu sore ini juga
kembali ke keraton.
Belum
jauh dari tempat itu anjing-anjing kembali menggonggong dengan keras dan ribut
sekali. “Apalagi yang di ributkan anjing-anjing itu” ujar sultan
bertanya-tanya. Diperintahkan beberapa orang hulubalang untuk memeriksa kembali
tempat tadi, dimana ditemukannya meriam kuningan. Ternyata masih ada, yaitu
tempat meletakkan meriam kuningan, berupa sebuah batu tua panjang empat puluh
senti meter, bagian ujung batu itu melengkung keatas. Seolah bantal tempat
berbaringnya Baddil Kuning. kaki Baddil Kuning yang disebut orang Berau dengan
bantalan meriam atau Bantalan Baddil
Kuning. Bantalan itu juga dinaikkan diatas kuda yang seharusnya ditunggangi
Sultan. Setelah bantalan Baddil Kuning diambil dan dibawa, anjing-anjing itu
tidak lagi menggonggong, semua diam dan tenang.
Pada
saat bersamaan, saat Baddil Kuning dibawa oleh Sultan menuju Keraton, semua
burung tidak ada yang bersuara, kereriang hutan juga tidak ada yang bersuara,
monyet yang biasa ribut berebut makanan juga sepi, binatang lain juga sepi,
semuanya hening, lengang, kosong tanpa suara. Barangkali ini adalah sebuah
pertanda sebagai penghormatan yang paling tinggi bagi seluruh penghuni alam,
penghuni hutan, dengan diangkutnya Baddil Kuning bersama bantalannya menuju
kediaman Sultan Barrau.
A. Penyakit Melanda Kerajaan Berau
Kerajaan
Barrau yang sudah maju itu, beberapa tahun kemudian dengan tiba-tiba saja
dilanda penyakit menular, penyakit yang sangat mematikan. Penyakit tersebut
dikenal dengan nama penyakit Sampar-sampar,
penyakit itu mirip dengan penyakit kolera. Penyakit melanda sampai dipusat
kerajaan di Marancang. Sultan sangat masgul, bingung apa yang harus dilakukan
untuk menghentikan penyakit yang menular itu. Di Banua Pantai, Banua Suwakung,
dan beberapa Banua dan Rantau lainnya dibagian hilir sungai Barrau sudah lebih
dahulu diserang penyakit sampar-sampar tersebut, disana sudah banyak yang
menjadi korban. Orang yang kena penyakit sampar-sampar itu menangis kesakitan
dan teriak-teriak dikarnakan tubuhnya terasa panas seperti dibakar api.
Mendengar jeritan dan tangisan yang sangat memilukan itu, Sultan benar-benar
tidak berdaya. Ia kumpulkan semua pejabat kerajaan yang masih sehat tidak kena
penyakit sampar-sampar untuk mencari jalan keluar melawan penyakit, tidak ada
satu keputusanpun yang dapat diambil. Setiap malam sultan berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Memohon ampun, memohon petunjuk untuk menghentikan penyakit yang
menimpa rakyatnya tersebut.
Pada
malam Jumat, setelah lelap dalam peraduan, Sultan bermimpi. Dalam mimpi itu
sultan mendapat petunjuk gaib “Coba Baddil Kuning itu kau mandikan, airnya
dibuang di hulu sungai” seperti itu mimpi sultan. Saat itu Sultan terperanjat,
kaget dan terbangun. “Ini jelas sebuah petunjuk….ya petunjuk dari Tuhan Yang
Maha Esa, Tuhan Penguasa Alam Semesta” bisik sultan dalam pikirannya. Kata-kata
itu tidak mau hilang dari pikiran Sultan. Dan Sultan yakin ini memang sebuah
petunjuk dari penguasa alam yang maha luas.
Siang
harinya langsung diadakan upacara permandian. Baddil Kuning dimandikan,
digosok-gosok sampai bersih, mengkilat dan kuning cerah, air permandian itu
dimasukkan kedalam tempayan. Lalu air permandian itu dibawa menuju kehulu
sungai dengan sebuah perahu kerajaan, didampingi dengan beberapa buah perahu
lainnya. Sesampainya ditempat tujuan yang telah ditentukan, langsung dipimpin
Sultan, semua rombongan berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar penyakit
yang menimpa seluruh rakyat Barrau segera sembuh. Air permandian Baddil Kuning
itu ditumpah kesungai Barrau yang dikenal juga dengan nama sungai Kuran.
Bersamaan dengan air sungai itu bercampur menjadi satu dengan air permandian
Baddil Kuning.
Dari
hulu sampai hilir semua masyarakat Berau menggunakan air sungai sebagai jalan
menggunakan perahu, digunakan untuk mandi, untuk mencuci, untuk air minum, air
untuk menanak nasi dan lain-lain. Hanya dalam tempo dua tiga hari saja
tersebarlah habar dari semua Banua dan Rantau bahwa penyakit sampar-sampar
sudah hilang, semua yang sakit sudah sembuh semua. Begitu mendengar habar dan
berita tersebut, betapa bahagia dan suka cita Sultan Zainal Abidin langsung
bersyujud dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berterima kasih kepada
Tuhan, bahwa penyakit Sampar-sampar yang menimpa rakyat telah sirna, sembuh
semuanya.
Sejak
saat itu derajat Baddil Kuning naik, yang biasanya hnaya dibiarkan begitu saja
tergeletak dibelakang pintu, sekarang tempatnya dipindahkan kedalam kotak yang
telah disiapkan dengan baik. Kemudian dibungkus dengan kain kuning. Ditempatkan
di Balairung dimana Sultan biasa menerima tamu dan kerabat. Dengan demikian
maka Baddil Kuning atau Meriam Kuning itu tidak boleh lagi disembarangkan,
tidak boleh lagi diletakkan disembarang tempat, menjadi dihormati.
B. Perampokan Besar-Besaran
Mendayung
perahu dari muara sungai Berau, namanya Muara Lungsuran Naga, Muara Pegat, dan
Muara Kasai mencapai satu hari atau dua kali air pasang baru sampai ke pusat
pemerintahan Kerajaan Berau di Marancang. Perahu yang ditumpangi besar dan
sarat membawa muatan tidak mampu didayung ketika air surut. Pada saat air surut
perahu diikat dipohon atau dahan-dahan pohon yang menjulur kesungai menunggu
air sungai pasang kembali. Begitu air mulai pasang, barulah perahu didayung
lagi menuju kehulu. Waktu air surut, air sungai mengalir dengan deras, perahu
besar tidak mampu didayung melawan arus. Kecuali perahu kecil, tetap bisa
mengarungi sungai walaupun melawan arus yang sedang surut. Satu kali surut dan
satu kali pasang dalam waktu satu hari satu malam, sekali surut dan sekali
pasang. Artinya air pasang selama enam sampai sepuluh jam, begitu pula
sebaliknya. Tenggang waktu keduanya air sementara bertahan, saat puncak
kedalaman bertahan beberapa waktu, baru surut lagi. Begitu pula waktu surut
sekali, air bertahan sebelum mulai pasang kembali. Waktu bertahan saat surut
itu, air dari hulu tetap turun seperti air surut, karena dorongan air dari hulu
sungai yang terus turun dan keluar kelaut. Dengan demikian maka perjalanan
melalui sungai cukup memakan waktu, tetapi tidak ada jalan lain kecuali melalui
jalur sungai.
Hubungan
antara kampung dengan pusat kekerajaan Kesultanan Berayu semuanya melalui jalur
sungai. Jadi jalur transportasi pada masa lalu semua menggunakan sungai dan
atau laut. Untuk mempercepat lajunya perahu, biasanya ditambah dengan layar,
semakin lebar kain layar yang dibuka dan dibentangkan, serta ditambah dengan
hembusan angin yang kencang dapat mempercepat jalannya perahu. Tetapi
sebaliknya, apabila tidak ada angin maka kekuatan mendayunglah yang menjadi
andalan. Dayung terus….
Sambil
mendayung, anak-anak bermain sambil menyanyi apa saja sebagai upaya menghibur
diri. Wanita dewasa memasak air untuk disuguhkan kepada kaum lelaki yang gigih
dan perkasa mendayung perahu. Air yang dimasak tidak repot, tinggal mengambil
air sungai yang ada langsung dimasak. Diperahu sudah disiapkan sejak sebelum
berangkat kayu kering untuk menyalakan api, gula, dan kopi. Teh yang digunakan
adalah kulit kayu Sappang atau kulit
kayu Ulin yang sudah dibersihkan dan
dikeringkan, kedua kulit tersebut direndam diair panas atau direbus, airnya
berubah warna seperti teh. Menjelang siang, matahari sudah berada diatas
kepala, kaum wanita menanak nasi dan membakar ikan. Para lelaki yang mendayung,
sambil melerai rasa penat juga menghibur diri dengan menyanyi. Nyanyian itu sampai
saat ini masih sangat popular yaitu Dindang
Babassai. Nyanyian itu berupa susunan pantun, pantun-pantun yang
dinyanyikan sesuai dengan kejadian saat itu, apa yang ada saat itu, apa yang
dirasakan saat itu, atau isi nyanyian itu menyindir anak-anak, menyindir pemuda
yang lemah dalam mendayung perahu, menyindir kaum wanita atau memuji
kecantikannya. Sesekali orang separahu tertawa gelak mendengarkan lagu
berpantun Dindang Babassai tersebut, apabila isi nyanyiannya lelucon dan lucu.
Pemuda yang disindir kembali mendayung denganh kuat, wanita yang dipuji
kecantikannya menutup wajah malu ter-sipu-sipu. Sedangkan anak-anak yang
mendengarkan Dindang Babassai sambil bermain adu tangkas jari, sebagian
tertidur dengan pulas.
Hembusan
angin masih seperti tadi, mendorong kain layar dengan kencang. Kain itu seperti
hendak lari lebih cepat dari perahu yang ditariknya, menggelembung cembung di
dorong angin. Nyanyian Dindang Babassai terus bersambung, begitu ujung pantun
hampir selesai disambut dengan yang lain, pasti isi nyanyiannya tidak mau
kalah. Penat mendayung tidak dirasa, ceria terlihat kental dalam senyum dan
gelak tawa. Air sungai tetap mengalir, air pasang masih mendorong kehulu, pohon
asam perangat masih menghiasi sepanjang sungai, daun nipah masih melambai-lambai,
sedangkan bekantan asik memetiki pucuk pohon perangat yang segar dan hijau.
Agai, Ulai, lihatlah burung itu, burung kalibarau, burung tiung masih bersiul
menyanyikan lagu-lagu keindahan alam, mudahnya memetik buah yang ranum.
Lihatlah burung tiung, burung enggang, terbang dengan gagahnya menyeberangi
sungai Kuran yang luas. Lihatlah burung putih leher panjang itu, terbang tinggi
bergerombol, sesekali membentuk formasi panah, sesekali membentuk formasi hurup
M, sesekali membentuk dua baris berbanjar, yah pongah sekali burung-burung itu.
Pasukan
kerajaan penjaga muara secara bergiliran menjaga pintu masuk melalui muara
Kasai, muara Pegat, dan muara Lungsuran Naga. Pasukan tersebut menggunakan
perahu kecil yang bisa muat tiga sampai lima orang menjaga keamanan muara.
Selain menjaga keamanan muara saat ada perahu atau kapal layar yang akan masuk
menuju kerajaan, juga melaporkan kejadian atau serangan orang jahat datang dari
luar. Saat ada kejadian dimuara sungai menghadap yang kelaut itu, dengan sigap
dan tangkas mereka langsung menuju kekota untuk melaporkan kepada baginda raja
Sultan di Marancang, dan tindakan apa yang harus segera dilakukan oleh
kerajaan.
Pagi
yang cerah, matahari mengintip disela awan disudut langit paling bawah, sejajar
dengan laut. Pancar kemerahan memecah menembus awan, awan putih itu berganti
warna, bingung menyebut warna awan itu, merah bukan, putih juga bukan. Warna
itu menjadi putih bercampur hitan, ada bias merah saat cahaya matahari melawan,
menusuk menembus awan tebal. Semburat cahaya itu lolos menembus lubang awan
yang lebih tipis. Ach cahaya elok itu tembus menghantam pohon-pohon mangrove
yang tumbuh lebat diujung tanjung muara Lungsuran Naga. Kemudian cahaya itu
naik dengan cepat bersama dengan matahari yang semakin meninggi. Aduh…yang naik
itu mataharinyakah, atau bumi yang berputar melawan arah matahari yang
menimbulkan keanggunan matahari menyinari bumi. Yaccchhhh…habis
dah…..mataharinya sudah keluar, tak sanggup lagi menatapnya…..
Dari
kejauhan di muara Lungsuaran Naga, muara sungai Berau yang paling luas dan
besar terlihat sebuah kapal perahu layar yang sangat besar dan megah….penjaga
muara memperhatikan dengan seksama. Kapal layar itu pasti tidak berani masuk
sungai dimalam hari, pasti kapal baru yang belum pernah masuk ke sungai Kuran.
Kapal itu bergerak menuju muara, berarti berniat masuk kedalam sungai Kuran
melalui muara Lungsuran Naga. Kapal besar itu sangat mencurigakan, sebelum
terlambat, harus segera dilaporkan kepada Baginda Raja Sultan Zainal Abidin.
Laporan
baru sampai kepada Baginda Raja, kapal perompak yang besar sudah menyampaikan
pengumuman. Isi pengumuman itu semua orang yang ada didarat, disungai jangan
melakukan perlawanan, apabila melakukan perlawanan semua masyarakat akan
dibunuh dan semua rumah akan dibakar. Mendengar pengumuman tersebut, dan
melihat pasukan digeladak kapal yang sudah siap siaga dengan senjata lengkap.
Pasukan kerajaan Barrau tidak sempat mengambil sikap dan merencanakan
perlawanan. Dari pada mati konyol melawan pasukan laut yang sudah siap siaga
dengan senjata dan meriamnya yang diarahkan ke kota kesultanan Barrau
Marancang. Sultan langsung mengambil sikap, memerintahkan kepada rakyatnya agar
tidak melakukan perlawanan. Meriam perompak yang diarahkan ke kesultanan Barrau
itu terdiri dari meriam penghancur dan meriam api yang siap membakar semua
rumah penduduk yang berada disepanjang sungai Marancang. Sebenarnya rakyat
Sultan Zainal Abidin siap melawan, siap bertempur sampai titik darah yang
terakhir apabila diperintah Sultan. Sedangkan Sultan berpikir lain, demi
keselamatan rakyatnya, demi keselamatan anak-anak penerus kerajaan, demi
keselamatan semua, maka diperintahkan kepada semua pasukan dan rakyatnya agar
tidak melalukan perlawanan. Biarlah harta mereka ambil asal jangan rakyat dibantai
semua oleh para perompak Lanun yang terkenal sangat ganas baik dilaut maupun
didarat itu.
Dengan
tidak ada perlawanan, pasukan perampok dengan pongahnya langsung turun dengan
senjata lengkap dan pakaian lengkap. Semua orang diperintahkan keluar dari rumah
masing-masing dan dikumpulkan dihalaman keraton. Sultan Zainal Abidin sudah
menyingkir ketempat lain. Semua harta milik rakyat berupa emas, perak,
kuningan, keramik, tempayan, tombak dan barang berharga lainnya dirampas.
Diangkut kekapal perompak, kapal perompak sampai sarat. Semua harta yang ada
dalam keraton juga diangkut semua.
Melihat
suasana sudah aman, sultan secara diam-diam kembali dan masuk kekeraton.
Memeriksa satu persatu semua barang yang ada didalam keraton. Terakhir Sultan
Zainal Abidin sempat membuka lemari
tempat menyimpan barang yang dikeramatkan, yaitu Baddil Kuning. Ternyata barang
keramat tersebut juga diambil perompak, Baddil Kuning sudah tidak berada
ditempatnya lagi. Sultan berupaya mengambil kembali Baddil Kuning, namun tidak
mungkin dengan cara kekerasan. Harus mencari cara yang terbaik dan termulia,
tetapi tidak harus mengorbankan rakyatnya yang sudah tidak berdaya. Harta
mereka sudah habis dirampas perompak Mundu berasal dari Solok.
Perompak
tidak pernah mengenal Sultan Zainal Abidin seperti apa rupa wajahnya,
kesempatan ini dimanfaatkan Sultan untuk menyamar dengan berpakaian biasa,
berpakaian rakyat biasa. Ditepi sungai rombongan perompak bersiap-siap untuk
meninggalkan kerajaan Barrau di Banua Marancang. Saat itulah Sultan langsung
menuju pelabuhan kecil, langsung naik kekapal. Perompak mengusir orang yang
datang dan naik kekapalnya. Tetapi ada yang aneh terjadi pada saat Sultan naik
dan berdiri ditepi kapal, kapal perompak yang sudah sarat dengan barang
rampasan itu tiba-tiba miring. Sultan diusir dari kapal, tetapi orang yang
diusir tetap naik lagi dan meminta ijin untuk dibawa bersama rombongan. Nakhoda
memperhatikan orang yang memaksa ikut dan naik kekapalnya, aneh dan luar biasa.
Begitu orang itu menginjakkan kaki dipinggir kapal, kapal langsung miring
seolah ingin terbalik bahkan kemungkinan bisa tenggelam. Berat tubuh manusia itu jadi perhatian sang nakhoda,
berat tubuhnya lebih dua ratus kilogram, bahkan mencapai setengah ton, buktinya
begitu orang itu menginjakkan kaki ditepi kapal, kapal langsung goyang dan
miring. Pasti orang sakti mandraguna orang yang mau turut serta dengan
rombongan para perompak ilanun mundu dari tanah Solok. Dari pada terjadi
sesuatu, orang yang meminta dibawa ke Solok itupun diijinkan turut bersama
berlayar menuju Solok dengan sarat tidak boleh membuat onar didalam kapal.
Persyaratan itu diterima oleh Sultan yang menyamar orang biasa. Nakhoda,
pemimpin perompak dan awak kapal yakin dan percaya orang itu jujur dengan
kata-katanya.
Siang
berganti malam. Malampun telah berganti siang. Perjalanan menuju Solok sudah
lebih separo jalan, artinya tidak sampai dua malam lagi rombongan sudah tiba
ditujuan. Pimpinan perompak bertanya pada orang yang turut di kapalnya. “Sampai
dinegeri Solok anda mau kemana” dengan santai Sultan menjawab “aku minta
ditempatkan dirumah yang tidak ada dapurnya, turunkan saja aku dirumah tanpa
dapur” yang mendengar semua tertawa. Rumah yang tidak ada dapurnya, aneh…..
Sesampainya
di negeri Solok, nakhoda ingat, satu-satunya rumah yang dimaksud orang yang
menumpang kapalnya itu pasti Mesjid. Ya Mesjid adalah rumah yang tidak ada
dapurnya. “Silahkan tuan, itu rumah tanpa dapur, silahkan tuan tinggal disana”
setengah mengejek kepada Sultan yang turun dengan sigap dan santai. “terima kasih
tuan-tuan, saya suka tinggal disana” sembari menunjuk sebuah Mesjid ditepi
pantai. Ketika turun, menginjakkan kaki ditepi kapal, kapal tidak oleng, kapal
tidak miring, bergerak sedikitpun tidak. Tidak sama pada saat Sultan naik
kekapal tiga hari yang lalu, langsung miring, seolah berat tubuhnya mencapai
setengah ton.
Ditempat
tinggal barunya itu Sultan Zainal Abidin langsung akrab dan langsung dikenal
masyarakat sekitarnya. Orang baru tersebut sangat alim dan dikenal dengan orang
alim dari negeri seberang. Setelah beberapa bulan tinggal di negeri Solok,
Sultan sudah pasih berbahasa Solok, Sultan mengajar mengaji dan mengajar agama.
Mengajarkan Sembahyang dengan baik dan benar, mengajarkan Tauhit dan Akhlak
yang mulia. Muridnyapun banyak, ia dikenal dengan Orang Alim Dari Negeri
Seberang.
Pada
suatu saat Orang Alim Dari Negeri Seberang menyampaikan sesuatu, yang menurut
muridnya sedikit janggal. Baddil Kuning yang dibawa dari negeri seberang harus
dipelihara dan tidak boleh dirusak, karena Baddil Kuning itu datang dari jauh
dan sangat dihormati dinegeri seberang. Khabar itu sampai ketelinga Raja Solok,
tetapi tidak dihiraukan.
Orang
Alim memanggil salah satu muridnya. Segera sampaikan kepada raja kalian “Benda
Baddil Kuning jangan dirusak-rusak, apabila dirusak buah-buahan dinegeri ini
menjadi pahit”. pesan guru langsung disampaikan kepada Raja Solok. Raja Solok
hanya tersenyum, tidak memperdulikan pesan dari orang alim yang tinggal dirumah
tanpa dapur. Tetapi sebaliknya Raja menjadi heran, apa perdulinya orang alim
itu dengan benda Baddil Kuning yang dirampas anak buahnya dinegeri seberang.
Mereka tidak percaya dengan pesan tersebut.
Raja
Solok yang tidak percaya ingin menguji kebenaran pesan yang pernah diterimanya
melalui murid orang alim. Diperintahkan
kepada anak buahnya untuk memotong Baddil Kuning. Saat memotong datang lagi
utusan dari Mesjid, mengingatkan agar jangan merusak Baddil Kuning. Raja
langsung memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan memotong Baddil Kuning.
Raja berpikir dari mana orang alim itu tahu, kalau dikeraton saat ini sedang
memotong Baddil Kuning. Apakah orang alim itu punya mata-mata dalam keraton
ini, atau memiliki kelebihan yang luar biasa, kekuatan mata hati yang sangat
tajam bisa melihat apa saja yang kami lakukan disini. Siapa orang alim itu
sebenarnya. Akh…sudahlah, untuk apa aku pikirkan sejauh itu. Yang pasti, orang
alim itu orang biasa-biasa saja.
Tidak
sampai sebulan setelah kejadian itu, buah-buahan mulai masak. Apa yang terjadi.
Memang benar yang terjadi. Begitu dimakan benar semuanya pahit, buah yang ada
dikota semua menjadi pahit, buah yang ada di desa dan kampung semuanya pahit,
bahkan buah yang ada didalam hutan juga rasanya sangat pahit. Sepahit menggigit
biji buah langsat…benar-benar menjadi pahit. Buah-buahan tidak ada yang bisa
dimakan.
Menghubungkan
dua kejadian antara merusak Baddil Kuning dengan pahitnya buah-buahan.
Mengingat pesan yang disampaikan murid orang alim yang tinggal di Mesjid,
menjadikan raja solok menjadi bingung, ketir, dan ketakutan. Jangan-jangan
nanti padi yang sedang menguning juga menjadi pahit. Apabila bulir buah padi
semuanya menjadi pahit, rakyat negeri Solok bisa kelaparan, kekurangan pangan,
beras tidak tersedia. Wah gawat…sangat berbahaya……”orang alim itu harus segera
dipanggil menghadap aku dikerajaan ini”. Ujar raja dalam hati.
Matahari
semburat, cahaya mulai menerangi alam semesta. Dengan pelan-pelan tapi pasti,
cahaya itu semakin terang dan terus terang. Matahari mulai menampakkan diri
sedikit demi sedikit, separo, dan nampak sepenuhnya. Waw matahari itu seperti
berlari kecil meninggalkan bumi, dan saat ini ia tampil dengah pongah dan
gagahnya. Pagi itu Raja Solok sudah bangun, bangun dengan seribu pertanyaan.
Titik terakhir pertanyaan yang ada dikepalanya adalah “apa yang terjadi apabila
bulir-bulir padi rakyatku semua menjadi pahit, padahal bulir padi tersebut
bagian dari buah..ackh keterlaluan…apabila aku harus mengorbankan rakyat…hanya
gara-gara kesombonganku yang tidak sungguh-sungguh mendengarkan pesan dan
nasihat orang lain yang sebenarnya adalah rakyatku sendiri, yang sangat perduli
dengan Rajanya”. Hari ini orang alim itu harus aku panggil…..
Setelah
mendapat berita orang alim diundang Raja Solok untuk menghadap, orang alim
bersiap-siap, menuju ke keraton Solok didampingi beberapa orang muridnya yang
setia. Sesampainya di hadapan Raja, mulailah terjadi perbincangan. Pembicaraan
panjang lebar, kehilir dan kehulu, kelaut dan kedarat, tetapi pertanyaan
sebenarnya belum juga disampaikan oleh Raja. Sultan Zainal Abidin diajak makan
bersama. Waktu makan itupun perbincangan sangat lancar dan cair. Orang alim
tidak menampakkan sedikitpun rasa curiga kepada Raja. Sebaliknya Raja Solok
semakin yakin bahwa orang yang bercakap-cakap dengan dirinya adalah orang
pandai dan berbudi pekerti mulia. Jawabannya sang tamu sangat santun, dengan
tata kerama bahasa yang bagus, guyonannyapun sangat familier dan pantas. “Siapa
orang ini sebenarnya” Tanya Raja dalam hatinya, “pasti bukan orang alim biasa,
hebat dan pandai sekali menyusun kata-kata”.
Sudah
terlalu banyak pujian yang harus Raja berikan kepada sang tamu, walaupun pujian
itu semua hanya disimpan dalam hati, tetapi raja secara sadar harus memberikan
pujian berkali-kali. Pikirannya berputar-putar, mencari celah, mencari tanya
yang tepat agar dapat dibongkar siapa sebenarnya tamu dihadapannya. Yah…ia
patut dihormati.
Selesai
makan perbincangan masih terus berlanjut. Raja semakin yakin kepada tamunya.
Apalagi ketika memaparkan negeri yang jauh, tamunya sangat mengenal wilayah
negeri seberang, sampai diperbatasan Kina Batangan, bercerita kerajaan Bugis,
bercerita kerajaan Kutai, sampai bercerita kerajaan Berunai, mengenal sekali
dengan prilaku jahat orang dari negeri Solok, perompak-perompak lanun mundu
yang menjarah dilaut sampai kewilayah kerajaan Barrau. Setelah Raja Solok yakin
akan menjalin persahabatan dan persaudaraan kenegri seberang, barulah Sultan
Zainal Abidin mengakui dirinya sebenarnya. “Aku adalah Sultan Zainal Abidin
dari kerajaan Barrau yang berkedudukan di Marancang”. Mendengar pengakuan
tersebut betapa kagetnya Raja Solok. Raja langsung memerintahkan kepada para
pembantunya untuk menyiapkan tempat tinggal yang bagus dan pantas, menyiapkan
pasukan khusus untuk menjaga keamanan Sultan Zainal Abidin.
Sultan
Zainal Abidin menolak dengan halus. “Aku masih ingin tinggal bersama
murid-muridku di Mesjid dan memakmurkan Mesjid bersama mereka”. Keinginan
Sultan dikabulkan oleh Raja Solok untuk masih tinggal di Mesjid. Tetapi apapun
alasannya, raja Solok sangat malu dengan tamunya, seharusnya ia bertanggung
jawab atas keamanan dan keselamatan tamu terhormatnya. Walaupun Sultan Zainal
Abidin tinggal di Mesjid bersama muridnya, tetapi sudah tidak seperti biasanya,
penjagaan keamanan Sultan tetap dilakukan oleh Kerajaan Solok.
Raja
Solok merasa khawatir dan iba dengan Sultan Zainal Abidin, selama ini tinggal
ditempat yang tidak layak bagi seorang Sultan. Sebagai penggantinya Sultan
diberi pasukan dan pengawal. Kemudian dibuatkan sebuah kapal besar dan megah.
Lalu Sultan dipulangkan kenegerinya di negeri Banua Marancang bersama dengan
pengawal dan harta benda untuk rakyat kerajaan Barrau yang dulu dirampas
hartanya. Baddil Kuning yang dikeramatkan juga dikembalikan kenegeri Barrau
bersama Sultannya Zainal Abidin.
Saat
keberangkatan Sultan Zainal Abidin menuju negeri seberang kerajaan Barrau di
Banua Marancang dilepas langsung oleh Raja Solok. Raja Solok berkali-kali
menyampaikan minta maaf kepada Sultan Barrau. Jalinan persahabatan dan
persaudaraan dibangun dengan saling menghargai dan saling menghormati satu sama
lainnya. Raja Solok berjanji tidak ada lagi rakyatnya yang boleh merampok
kewilayah kerajaan Barrau dengan alasan apapun.
Murid-murid
orang alim sultan Zainal Abidin banyak yang menangis berpisah dengan sang guru
yang berhati mulia, yang selalu berkata-kata dengan kehalusan budi pekerti,
seorang guru yang selalu menyayangi anak-anak dan remaja, menghormati sebaya
dan yang lebih tua. Apabila muridnya ada yang sakit, orang alim tersebut selalu
menengok dan mendoakannya agar cepat sembuh, dan seterusnya. Kenangan manis
itulah yang membuat para muridnya harus menangis terisak-isak dihadapan Rajanya
dan gurunya, karena hari ini mereka harus berpisah dengan sang guru yang
berhati lurus dan berakhlak mulia. Selamat jalan semuanya…selamat jalan negeri
Solok…aku harus kembali kenegeriku…membangun negeriku kembali. Kerajaan Solok
yang ditinggal oleh Sultan Zainal Abidin, bersama murid-murid Sultan Zainal
Abidin, raja Solok melakukan perubahan,
membangun kasih sayang, membangun kelembutan, membangun moral mulia,
menghormati sesama, sedikit demi sedikit raja merubah kebiasaan rakyatnya untuk
menjadi orang baik, menjadi pedagang dikota, menjadi pedagang antar pulau,
menjadi nelayan, pekerja, pekebun dan lain-lain. Untuk merubah kebiasaan lama
sebagai perompak, lanun, mundu, menjarah kapal-kapal yang melintas, menjarah
rantau dan banua, menjarah harta benda dan memperkosa orang yang lemah, menjadi
manusia yang lebh baik, pekerja keras dengan tidak merampok lagi
Pengawal
Sultan Zainal Abidin yang ikut bersamanya kekerajaan Barrau, kemudian hari
menjadi cikal bakal orang-orang Solok yang mendiami Pulau Derawan dan
sekitarnya. Orang Solok dan Bajau yang tinggal dipesisir dan pulau ditugaskan
Sultan sebagai penjaga laut, penjaga pulau dan pantai, mengamankan laut dan
pulau-pulau diwilayah pemerintahan kesultanan Barrau. Sejak itu pula
persahabatan dan jalinan persaudaran antara kesultanan Barrau dan kerajaan
Solok berjalan dengan baik, hubungan keduanya semakin meningkat, hubungan
dagangpun berjalan dengan lancar pula.
Pusat
kerajaan Barau di Marancang oleh Sultan Zainal Abidin dipindahkan ke Muara
Bangun. Disana dibuka lahan pertanian dan perkebunan, dibangunan keraton,
dibangun Mesjid, dibangun komplek pemakaman. Kemudian perangkat kerajaan
dibenahi, pembagian hasil diseluruh Banua dan Rantau (kota dan desa) diatur
dengan arif dan bijaksana dengan syarat tidak boleh membebankan seluruh
rakyatnya. Rakyat harus hidup sejahtera, keamanannya dilindungi oleh kerajaan.
Hukum dan aturan yang digunakan kerajaan adalah hukum dan peraturan Islam.
Pada
usia sepuh, Sultan Zainal Abidin menghadap Tuhan Yang Maha Esa dengan tenang
dan senyum. Beliau Mangkat, rakyatnya yang setia melepaskan Sultan dengan
berkabung selama tujuh hari tujuh malam. Sultan dimakamkan dipuncak bukit
ditepi sungai Bangun. Makam itu sekarang dikeramatkan oleh rakyatnya dan
seluruh masyarakat Barrau. Makam Sultan Zainal Abidin dikenal dengan makam
Marhum Dibangun, dikenal pula sebagai Makam Keramat di Sungai Bangun.
C. Makam Keramat
Percaya
atau tidak itu tidak masalah, bagi yang ingin membuktikan kebenarannya silahkan
datang ke Makam Keramat Marhum Di Bangun. Yang ingin bernazar ke makam keramat
biasanya membawa kain kuning yang bagus 2 meter, beras kuning, lilin, laddup
(beras yang dioseng-oseng sampai merekah), membawa minyak harum, apabila perlu
bawa kemenyan. Kain kuning diikatkan di mesan dan ditaburi minyak harum. Lalu
silahkan berdoa sesuai dengan keinginan. Bagi yang belum punya anak, bagi yang
belum punya jodoh, bagi yang ingin rejeki bertambah silahkan datang dan berdoa
di Makam Keramat Marhum Di Bangun. Buktikan kehebatan Makam Keramat tersebut.
Yang sudah berhasil silahkan dating lagi, dengan melepaskan rindu dan ucapan
terima kasih.
D. Baddil Kuning
Baddil
Kuning yang dikeramatkan dan memiliki sejarah panjang di Kerajaan Barrau,
disimpan turun temurun oleh keturunan sultan Barrau sampai sekarang. Saat ini
Baddil Kuning tersimpan dengan baik di kediaman Putri Sultan Achmad Maulanan di
lokasi Situs Keraton Gunung Tabbur. Rumah kediaman Putri Sultan disebut
masyarakat Gunung Tabur dengan Keraton. Dikeraton yang dibangun oleh Pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1948, Sultan Achmad Maulana bersama Permaisuri
dan putra-putrinya tinggal disana sampai akhir hayat beliau. Baddil Kuning
disimpan dalam lemari dan terawatt dengan baik, posisi Baddil Kuning berdiri
didalam lemari tersebut. Dibungkus dengan kain kuning, berlapis-lapis dan
rapat. Tamu tidak diperkenankan memegang apalagi membuka bungkus Baddil Kuning.
Memegang sebaiknya seijin Putri, karena tugas putri merangkap sebagi juru kunci
dan menyampaikan nazar setiap yang datang kekeraton.
Keraton
Gunung Tabur yang asli pada bulan Januari 1945 terbakar habis saat sekutu
melakukan penyerangan dan pengeboman di Teluk Bayur, Tanjung Redeb, Gunung
Tabur, dan Sambaliung, untuk melumpuhkan kekuatan tentara Jepang yang sempat
berkuasa selama lima tahun di Nusantara. Kejadian tersebut sangat mengiris
perasaan rakyat Barrau, menyiksa dan menyengsarakan rakyat Barrau terutama yang
berdomisili di Teluk Bayur, Tanjung Redeb, Gunung Tabbur, Sambaliung, Merancang
dan Sukkan.
Baddil
Kuning yang ada di kediaman Putri sampai saat ini masih terpelihara dengan baik
dan dikeramatkan. Bagi yang percaya dan untuk lebih meyakinkan silahkan
berkunjung kerumah Putri Gunung Tabbur, sekaligus berkunjung ke Museum
Batiwakkal, melihat tiang sisa bangunan Keraton yang terbakar, pemakaman
Sultan, dan Mesjid Tua Keraton Gunung Tabbur. Pasangan Baddil Kuning juga ada
di Keraton Sambaliung.
BADDIL KUNING MASIH ADA SAMPAI SEKARANG, DIBUNGKUS PAKAI KAIN KUNING DILETAKKAN DI DALAM LEMARI DIRUMAH PUTRI GUNUNG TABUR
BalasHapus