MEMBANGUN TUGU RAJA ALAM KEBANGGAAN BERAU
ASAL NAMA KOTA TANJUNG REDEB
Tanjung berarti tanah atau daratan yang menjorok
kelaut atau menjorok ketengah sungai. Contohnya Tanjung Mangkalihat, Tanjung
Batu, Tanjung Bohe yang berada di tepi laut. Tanah atau daratan yang luas
menjorok kelaut itulah yang disebut dengan Tanjung. Sedikit berbeda dengan
Tanjung Redeb atau Tanjung Selor misalnya, Tanjungnya berada dalam sungai,
tanah atau daratan yang menjorok dalam sungai, tetapi biasanya yang disebut
Tanjung itu adalah akibat dari sungai terbelah menjadi dua. Tetapi ada juga
yang lain. Contoh : akibat belokan
sungai, belokan sungai yang menjorok disebut Tanjung sedangkan seberangnya yang
terkikis disebut Teluk.
Tanjung Redeb adalah Tanjung hasil belahan dari satu
sungai, yaitu sungai Berau atau Kuran yang membelah menjadi dua sungai, atau
sungai Berau bercabang dua. Dari sungai Berau bercabang dua tersebut menjadi
sungai Segah dan sungai Kelay. Ujung awal dimulainya sungai membelah, atau
daratan yang menjorok diapit dua sungai membentuk Tanjung, disebut Tanjung. Yang
kemudian hari Tanjung itu dikenal dengan
nama Tanjung Redeb.
Kenapa Tanjung Redeb ?
Tanjung sudah dibahas diatas, sedangkan kata Redeb
kita bahas sekarang. Redeb berasal dari nama pohon, yaitu pohon Dadap atau dikenal juga dengan pohon Raddab dalam bahasa Banua (Berau). Pohon Raddab itu tumbuh subur diujung Tanjung,
tinggi dan besar, waktu musim berbunga, pohon Raddab berbunga lebat sampai
menutupi semua daunnya yang berwarna hijau. Bunga pohon Raddab berwarna merah.
Dilihat dari tengah sungai, bunga merah itu indah sekali.
Pada masa lalu masyarakat Berau belum mengenal
kendaraan darat seperti sepeda, motor, maupun mobil. Mereka hanya mengenal
perahu atau kapal, jadi perahu adalah
alat transportasi satu-satunya yang paling modern pada masa itu, perahu yang
diberi kain layar disebutnya perahu layar. Lalu lalang perahu di sungai Berau,
ada yang masuk menyusuri sungai Kelay atau masuk menyusuri sungai Segah, bunga
dadap atau raddab yang tumbuh diujung
tanjung itu terlihat indah sekali. Maka tanjung yang semula belum punya nama
itu disebut mereka dengan Tanjung Raddab, Tanjung yang ada pohon Raddab-nya.
Bahasa Berau Tanya : “Andai mana dangkita” jawab :”andai Tanjung” Tanya : “Tanjung apa”
jawab : “Tanjung Raddab”
Dengan berjalannya waktu, setelah merdeka mulailah
berdatangan suku bangsa lain ke Tanjung Raddab. Petugas pemerintah seperti
guru, polisi, tentara, pengadilan, kejaksaan, bahkan Bupati berganti-ganti.
Mereka yang datang pada umumnya mengganti hurup “a” pada kata Raddab menjadi hurup “e” dan mengurangi “d” yang dobel menjadi
satu”d” saja. Karena para pendatang menganggap kata Raddab itu adalah bahasa
asli Banua (Barrau) yang sebenarnya adalah Redeb. Sepengetahuan mereka orang
Banua tidak bisa menyebut hurup “e”, hurup “e” berubah menjadi hurup “a” dalam
bahasa Banua. Maka berubahlah kata
Raddab itu menjadi Redeb. Beberapa kali pergantian pejabat Bupati sepakat kata
Raddab berubah menjadi Redeb dalam bahasa Indonesia. Akhirnya semua instansi
yang ada di kota Tanjung Redeb sepakat
menyebut kota Tanjung Redeb sampai saat ini.
Ternyata pemahaman diatas adalah pemahaman yang
keliru, benar-benar keliru. Pohon tersebut namanya adalah pohon Dadap, dalam
bahasa Banua (Berau) disebut dengan Pohon Raddab, seharusnya tidak boleh
dirubah atau di Indonesia-kan menjadi Redeb, dengan demikian maka otomatis
merubah arti dan makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Raddab tersebut.
Oleh karena itu seharusnya segera dikembalikan nama
asli kota Tanjung Redeb tersebut menjadi Kota
Tanjung Raddab, yang berasal dari kata Pohon Dadap atau pohon Raddab.
Karena sampai saat ini belum ditemukan
arti kata Redeb sebenarnya, kecuali berasal dari kata Raddab.
RAJA ALAM
Kalimantan Timur
memiliki sejarah yang sangat universal dengan kerajaan Kutai, sebagai kerajaan
tertua di Indonesia. Selain itu di masing-masing daerah Kabupaten Kota juga
mempunyai sejarah kerajaan atau kesultanan masing-masing, seperti kesultanan
Paser, Kerajaan Kutai, kesultanan Bulungan, dan Kesultanan Berau. Belum lagi
sejarah masa penjajahan Belanda. Perlawanan rakyat terhadap Belanda, seperti
peristiwa perlawanan Raja Alam melawan Belanda di Kesultanan Tanjung yang
sekarang dikenal dengan kesultanan Sambaliung, penyerangan sekutu di
Balikpapan, Tarakan dan sempat membombardir Keraton Gunung Tabur dan Keraton
Sambaliung di Tanah Berau. Dengan
ditandai runtuhnya Keraton Gunung Tabur pada bulan Januari tahun 1945,
penyerangan itu dilakukan oleh tentara sekutu pada perang dunia ke dua untuk
melumpuhkan tentara Jepang.
Mari kita mulai
berbicara sejarah singkat Kerajaan Berau.
Kabupaten Berau memiliki dua orang tokoh yang memiliki nama besar dalam
perjalanan sejarahnya. Nama besar tersebut sampai saat ini masih mengaung dan
selalu menjadi buah bibir dimana-mana. Tokoh Besar tersebut adalah Baddit
Dipatung yang diberi gelar Adji Surya Natakasuma Raja Pertama Berau yang mampu menyatukan
rakyat Berau, nama besar Adji Surya Natakasuma diabadikan sebagai nama Korem
yang berkedudukan di Samarinda dengan nama Korem
Adji Surya Natakasuma, dan Sultan Alimuddin dikenal dengan Sultan Raja
Alam yang dianggap membangkang
terhadap pemerintahan Hindia Belanda, dan berperang melawan kolonial Belanda.
Nama besar Raja Alam diabadikan olek Batalion 613 Tarakan dengan nama Batalion 613 Raja Alam.
Selain itu Berau juga
mempunyai seorang tokoh perempuan yang sangat Legendaris dalam ceritera-ceritera rakyat Berau, dia
adalah Legenda Putri Kannik Sanifah. Ketika Ayahandanya bersama rakyat
Negeri Pantai sudah panik dan nyaris kalah melawan pasukan julung-julung yang
menyerang negerinya.Kannik Sanifah tampil dengan akal pikirnya yang cerdas dan
cemerlang, dapat memukul mundur pasukan julung-julung yang bagaikan monster
memenuhi sungai dan menyeranga rakyat. Namun sayang nasibnya tidak secantik dan
seelok parasnya. Ia kemudian difitnah, dan dikucilkan oleh masyarakatnya
sendiri dan kemudian dibuang ketengah lautan.
Baddit Dipatung dalam
legenda rakyat diceriterakan sebagai titisan Dewa. Waktu masih bayi ditemukan
oleh seorang kakek, namanya Inni
Baritu disebuah bambu besar yang
terbelah diantara ruas-ruasnya. Dibelahan bambu itulah bayi ditemukan yang
kemudian dikenal dengan nama Baddit Dipatung( pecah / keluar dari bambu
besar/petung ). Dirumah istri Inni Baritu yang dikenanl dengan nama Inni
Kabayan dalam waktu yang nyaris bersamaan menemukan bayi dikeranjang (
kurindan ). Keranjang itu tempat Inni Kabayan menyimpan benang dan kain yang
dibuatnya sendiri. Bayi tersebut kemudian diberi namaBaddit Dikurindan.Kedua
bayi yang ditemukan Inni Kabayan dan Inni Baritu itu kemudian dipelihara oleh
tujuh putri Puan Dipantai Rangga Batara sampai dewasa.
Setelah dewasa Baddit
Dipatung dan Baddit Dikurindan oleh rakyatnya yang terdiri dari tujuh Banua
yaitu rakyat Banua Marancang, Banua Pantai, Banua Kuran, Banua Bulalung, Banua
Lati, Rantau Suwakung , dan Rantau Bunyut sepakat untuk menjodohkan kedua
titisan Dewa itu menjadi suami istri dan kemudian Baddit Dipatung diangkat
menjadi Raja pertama dengan gelar Adji Surya Natakasuma ( 1400 – 1432 ) didampingi oleh istri
tercintanya Baddit Dikurindan yang bergelar Adji Permaisuri. Baddit Dipatung
inilah cikal bakal yang menurunkan raja-raja dan sultan kerajaan Berau yang
kemudian terbagi menjadi dua kesultanan,
yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.
Raja kedua Adji
Nikullam 1432-1461, raja ketiga Adji Nikutak 1461-1492, raja keempat Adji
Nigindang 1492-1530, raja kelima Adji Panjang Ruma 1530-1557, raja keenam Adji
Tumanggung Barani 1557-1589, raja ketujuh Adji Sura Raja 1589-1623, raja
kedelapan Adji Surga Balindung 1623-1644, raja kesembilan Adji Dilayas
1644-1673.
Pada masa raja ke- 9
Raja Adji Dilayas mempunyai putra dua orang yang berbeda ibu. Permaisuri
pertama melahirkan anak si Amir namanya yang kemudian bergelar Adji Pangeran
Tua. Setelah Permaisuri wafat, Adji Dilayas kawin lagi dengan Ratu
Agung.Perkawinan ini melahirkan pula seorang putra Hasan namanya, kemudian
bergelar Adji Pangeran Dipati.Setelah Ayahda Adji Dilayas wafat kedua
putranya sama-sama ingin menjadi raja. Maka Atas kesepakatan, wilayah Kerajaan
Barrau atau Kuran di bagi menjadi dua yaitu :
- Daerah sebelah selatan sungai Kuran atau sungai Barrau, dari Tanjung Mangkalihat, Teluk Sumbang sampai kehulu sungai Kelay menjadi kekuasaan Adji Pangeran Tua, sedangkan;
- Daerah sebelah Utara sungai Kuran, dari hulu sungai Segah sampai perbatasan Bulungan menjadi kekuasaan Adji Pangeran Dipati.
- Sedangkan yang menjadi Raja Kerajaan Barrau diatur secara bergantian dari pihak Adji Pangeran Tua maupun Adji Pangeran Dipati, sampai dengan keturunannya.
Hasil musyawarah
berlanjut pada pengangkatan raja yang ke- 10 kerajaan Barrau.
Raja Kesepuluh diangkat Adji Pangeran Tua (
1673-1700 ), sedangkan Adji Pangeran Dipati diangkat menjadi Mangkubumi yang
dipersiapkan untuk menjadi raja berikutnya. Pada saat pemerintahan Pangeran Tua
ini Islam mulai masuk yang dibawa oleh seorang saudagar musafir Arab yang
bernama Mustafa.Sedangkan sebelumnya masih menganut kepercayaan lama dan
pengaruh Agama Hindu.
Periode berikutnya Adji
Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 11 ( 1673 – 1700 ), sedangkan
Hasanuddin putra Adji Pangeran Tua diangkat menjadi Raja Muda.
Saat Adji Pangeran Dipati mengundurkan diri dari
takhtanya seharusnya yang menjadi raja adalah Hasanuddin Raja Muda, tetapi yang
diangkat menjadi raja oleh Adji Pangeran Dipati adalah putranya Adji Kuning (
1700-1720 )sebagai raja ke- 12, dengan alasan Adji Pangeran Dipati belum wafat
melainkan hanya mengundurkan diri, maka pemerintahan dilanjutkan oleh anaknya.
Disini Adji Pangeran Dipati sudah ingkar janji. Hal inilah yang menyebabkan
mulai timbulnya keretakan dan perpecahan.
Setelah Adji Kuning
wafat baru Hasanuddin diangkat menjadi raja ke – 13 dengan gelar Sultan
Muhammad Hasanuddin. Sultan Hasanuddin memerintah sampai dengan tahun (1720-1750 ). Pada masa ini agama Islam
dijadikan agama resmi kerajaan. Kemudian pada priode berikutnya diangkat Sultan Zainal Abidin ( 1750 – 1770
). Kemudian dilanjutkan dengan Sultan Badaruddin ( 1770 –1779 ) sebagai raja
Barrau.
Sultan
Muhammmad Hasanuddin beristri seorang putri Solok Philipina Selatan yang
bernama Dayang Lama. Dari hasil perkawinan ini lahir tiga orang putra yaitu
Datu Amiril Mukminin yang diangkat menjadi Sultan pada tahun 1779, Datu
Syaifuddin, dan Datu Djamaluddin. Putra kedua dan ketiga kembali ke Solok,
sedangkan Datu Amiril Mukminin menetap di Berau bersama ayahandanya.
Sultan Hasanuddin dikenal pula dengan sebutan Marhum
Di Kuran. Karena ketika beliau wafat
tahun 1767 dimakamkan di Kuran di hulu kampung Sukan Kecamatan Sambaliung sekarang. Sedangkan Sultan Zainal Abidin
kawin dengan Adji
Galuh putri kesultanan Pamarangan ( Jembayan ) Kutai Kertanegara.
Pada masa pemerintahan
Sultan Zainal Abidin yang berpusat di Marancang digalakkan ajaran Islam.Tata
pemerintahan diatur sedemikian rupa.Pegawai Kerajaan dilengkapi dan mengangkat
jabatan Menteri, Hulubalang, Mangkubumi, Wajir dan Punggawa.
Atas
kesepakan untuk mencari lahan pertanian yang lebih subur pusat kerajaan di
pindahkan ke Muara Bangun.Diwilayah sungai Bangun ini tanahnya sangat subur dan
cocok untuk pertanian.Selain membangun Istana juga dibangun pula Masjid dan
pemakaman didekat istana itu.
Orang-orang
Solok yang datang dan menetap di Berau di ijinkan mendirikan kampung di
Tabbangan dan orang-orang Tidung dari Bulungan membuat kampung di Paribau.
Sultan Zainal Abidin
Keturunan Adji Pangeran Dipati ini wafat pada tahun 1800 dimakamkan di
Muara Bangun dan selanjutnya dikenal
dengan Marhum Di Bangun. Makam beliau dikeramatkan, makam tersebut saat
ini terawat dengan baik dan tangga untuk menuju kemakam sudah dibuat, agar
pengunjung yang datang kemakam tersebut bisa dengan nyaman.Makam asli masih
menggunakan mesan batu alam tempo dulu tanpa ukiran.Disekitarnya banyak
makam-makam tua bermesan batu alam pula, serta makam masyarakat Kampung Bangun
di sekitarnya.
Sultan
Badaruddin dari keturunan Pangeran Dipati diangkat menjadi raja ke- 15 (1800
- 1834). Kejadian ini sangat menyinggung
perasaan keturunan Adji Pangeran Tua yang kedua kali, karena seharusnya dari
keturunannya yang menjadi raja.
Atas kesepakatan pihak
Adji Pangeran Tua mereka memisahkan diri, dan mengangkat raja sendiri. Sebagai
raja pertama diangkat Alimuddin sebagai Sultan dengan gelar Raja Alam. Raja
Alam memerintah selama 35 tahun ( 1813 – 1848 ). Raja Alam membangun pusat
pemerintahan di Sungai Gayam, kemudian hari berseberangan dengan pusat kerajaan
Gunung Tabur yang pusat pemerintahannya
dipindahkan dari Muara Bangun ke Gunung Tabur. Sejak pemerintahan Raja Alam
berdiri, maka secara resmi kerajaan Barrau terbagi menjadi dua kesultanan yaitu
Kesultanan Tanjung, yang kemudian hari dikenal dengan kesultanan Sambaliung dan
Kesultanan Gunung Tabur.
Disamping
permasalahan keluarga dan keturunan sebagai pemicu perpecahan juga andil besar
dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan strategi adu domba, salah satu
keturunan menjadi sahabat belanda dan pihak keturunan lain dijauhi Belanda. Akhirnya
Raja Alam dianggap sebagai perompak dan bajak laut yang selalu mengganggu
kapal-kapal Belanda dan kapal dagang yang dilindungi pasukan Laut Hindia Belanda
di kawasan selat Sulawesi antara Tanjung Mangkaliat dengan Tanah Kuning. Akhirnya
Raja Alam ditangkap dan dibuang ke Makassar.
PERANG MELAWAN ANGKATAN LAUT BELANDA
Seperti
diutarakan dalam sejarah, diketahui bangsa Belanda sudah datang ke Nusantara
sejak abad ke 17. Tujuan mereka pada mulanya adalah berdagang, namun lama
kelamaan sambil berdagang juga untuk menjajah, dengan menguasai wilayah-wilayah
subur dan kaya rempah-rempah. Sejak masuk ke Nusantara, Belanda menggunakan
politik adu domba. Politik itu pula yang merupakan keberhasilan Belanda
memporak porandakan kerajaan-kerajaan kecil dan besar yang ada di Nusantara.
Bangsa
Belanda menginjakkan kaki pertama di tanah Barrau ( Berouw dalam tulisan A.H. Spaan/1900,
Berayu menurut sejarawan Indonesia ) pada awal tahun 1800 M atau awal abad 19.
Dengan kehadiran Belanda di Barrau, Raja
Alam merasa terganggu. Istana Raja Alam di sungai Gayam mulai menjadi sorotan
Belanda. Gerak gerik Raja Alam selalu diawasi. Sejak awal Belanda masuk ke
Barrau, Raja Alam tidak mau berhubungan dengan orang-orang kulit putih itu.
Orang Belanda dianggapnya orang asing, penjajah, dan kafir.
Permaisuri
Raja Alam seorang putri yang berasal dari kesultanan Wajo yang bernama Andi
Nantu. Raja Alam bersahabat dengan raja-raja di Makassar. Sedangkan Sultan
Hasanuddin raja Makassar merupakan musuh bebuyutannya Belanda. Sultan
Hasanuddin tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda di Makassar. Sejak
perjanjian Bongaya antara Makassar dan Belanda tahun 1667 ditandatangani,
Hasanuddin tetap tidak mau mengakui penjajah Belanda dan tetap mengadakan
perlawanan. Pada masa itulah orang-orang Bugis banyak meninggalkan tanah
kelahirannya dengan menggunakan perahu pinisi
mencari tanah baru dirantau orang. Banyak yang sampai di Pulau Borneo, masuk ke
Paser, Kutai dan Barrau.
Pada
masa pemerintahan Raja Alam yang dimulai pada tahun 1810 banyak mendapat
simpatik dari orang-orang Bugis. Dan mereka turut membela Raja Alam ( di
Makassar dikenal dengan nama Raja Allang ).
Dengan persahabatan Raja Alam dengan raja-raja Bugis, dan
kurang bersahabat dengan Sultan Gunung Tabur dan Belanda, itu merupakan alasan
yang kuat bagi Belanda untuk menekan Raja Alam. Raja Alam semakin disudutkan
ketika Belanda mampu mengambil simpati Sultan Muhammad Badaruddin Sultan Gunung
Tabur. Belanda dan Gunung Tabur bersahabat dan saling bahu membahu dalam
perniagaan, pendidikan dan kebudayaan.
Raja Alam mendapat sambutan baik dari luar maupun dari
rakyatnya sendiri, kejujuran, ketangkasan dan keberaniannya semakin mendapat
simpati. Raja Alam seorang raja yang memiliki semangat juang dan cinta tanah
air. Ia tetap mempertahankan Barrau,
Raja Alam tidak rela Barrau disentuh dan diinjak oleh orang asing. Dan semua
rakyat pengikutnya dengan rela mengorbankan segala-galanya untuk raja dan
daerah mereka. Dukungan dari rakyat Bugis dan dukungan dari raja Solok dari keturunan kakek buyutnya membuat Raja Alam semakin kuat.
Kekuatannya dibagi, ada yang di sungai Gayam mempertahankan keraton Raja Alam,
sepanjang sungai Kuran sampai dengan Muara Sepinggan Lungsuran Naga, Laut Batu
Putih, pertahanan Darat Dumaring dan Linggo serta Tembudan. Pantai dan laut
antara muara Lungsuran Naga sampai Tanjung Mangkalihat di kuasainya. Dengan
kekuasaan wilayah laut itu semua kapal asing yang akan masuk mendekati Tanjung
Mangkalihat diusir, kecuali kapal yang memiliki hubungan diplomatik dan
hubungan dagang dengan kerajaan yang boleh masuk, kapal-kapal Belanda juga
diusir.
Raja
Alam membangun armada yang tangguh diperkuat dengan perahu-perahu perang Bugis
yang dipimpin langsung oleh Mertua Raja Alam Petta Pangeran. Angkatan Laut Raja Alam bermarkas di Batu Putih.
Batu Putih dipimpin oleh putra Raja Alam yang bernama Asyik Syarifuddin. Selain
bantuan dari Bugis, Raja Alam juga mendapat bantuan dari Solok yang dipimpin
oleh Syarif Dakula yang juga menantu Raja Alam. Dari Kerajaan Kutai pun Raja
Alam mendapat bantuan tentara, terutama pengikut raja Kutai Kartanegara yang
berasal dari tanah Bugis yang tinggal dipesisir pantai.
Melihat gelagat Raja Alam yang semakin memperkuat armada
laut dan pertahanannya, kesempatan baik untuk memecah belah rakyat Barrau,
Belanda dengan akal liciknya bersahabat dan memihak kerajaan Gunung Tabur yang
dipimpin Sultan Muhammad Badaruddin. Sultan sudah terpengaruh oleh bujuk rayu
dan tipu muslihat orang kulit putih.
Ketegangan antara
kerajaan Tanjung yang dipimpin Raja Alam dan Belanda semakin memanas dan
memuncak. Ketika itu Belanda ada upaya untuk menjalin persahabatan dan hubungan
perdagangan, namun pihak Raja Alam menolaknya. Raja Alam tetap berperinsip
tanah Barrau tidak boleh dikotori dan diinjak-injak oleh orang asing yang
berkulit putih seperti Belanda.
Pada tahun 1833 beberapa armada Belanda didatangkan dari
Makassar menuju Barrau dengan persenjataan lengkap. Dengan tidak
disangka-sangka oleh pasukan Belanda, ditengah perjalanan saat melewati laut
Batu Putih di hadang pasukan armada laut Raja Alam. Dengan senjata jauh lebih
sederhana dibanding dengan Belanda. Pasukan Raja Alam yang gagah berani dapat memukul mundur armada Belanda yang
sengaja didatangkan itu.
Dengan
dilakukannya penyerangan itu Raja Alam
dianggap oleh Belanda sebagai Pemberontak dan sahabat-sahabat Raja Alam dituduh
sebagai perompak lanun dilautan, itulah bahasa propaganda Belanda kepada rakyat
yang mendukungnya, dimana mereka tidak mengerti apa-apa tentang sebuah
perjuangan. Bagi yang mengetahui kebenaran Raja Alam dan pasukannya itu adalah
patriot-patriot pejuang yang ingin mengusir penjajah dibumi tercinta.
Awal tahun 1834 secara tidak terduga tiba sebuah kapal
perang nomor 18 kepunyaan Pemerintah Hindia Belanda dibawah Kapten Pelaut
Anemaet dan berlabuh disungai Kuran dengan menempuh perjalanan panjang dari
Makassar menuju Tarakan masuk ke Bulungan dan kemudian berputar menuju Barrau
di sungai Kuran. Kemungkinan besar sebagai realisasi perjanjian antara Sultan
Kutai dengan Belanda tahun 1756 yang menjanjikan bantuan kepada Kerajaan
Barrau, sekiranya ada pemberontakan dengan imbalan keuntungan perdagangan, atau
karena terganggu keamanan pasukan Belanda yang melintasi wilayah Batu Putih
dengan penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Laut Raja Alam yang dipimpin
putra Raja Alam dan mengharuskan mereka mundur dan kembali ke Makassar. Alasan
Belanda pasukannya melintasi Batu Putih adalah mengawal keamanan perdagangan
rakyat dengan Hindia Belanda.
Kedatangan Belanda dimanfaatkan oleh Sultan Barrau,
dengan ajakan bersahabat dan mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda
dengan bersumpah setia kepada Guberneman. Dan Belanda berjanji akan membantu
Sultan Barrau menumpas dan menghancurkan setiap ada pemberontakan.
Sesuai
kesepakan itu pasukan Marinir Belanda, pada bulan April 1834 menyiapkan pasukan
Maritimnya di Makassar, yang terdiri dari Korvet De Heldin, De Briik Siwa,
Skoner Krokodil, dan Kapal perang Kastor yang dilengkapi dengan perahu-perahu
laut dibawah Komando Kapten Laut Anemaet. Pasukan itu bergerak melintasi laut
Sulawesi menuju Tanjung Mangkalihat. Gemuruh kapal perang yang siap dengan
tentara laut pilihan dan senjata semi modern sudah mendekati Mangkalihat,
pasukan pengintai Raja Alam di Gunung Teluk Sumbang sudah mengetahui gelagat
kapal-kapal perang itu, tapi sayang informasi tidak bisa disampaikan kepada
pemimpin pasukan di Batu Putih karena keterbatasan transportasi. Informasi
kedatangan pasukan laut Hindia Belanda tidak dapat dikabarkan. Pasukan laut itu
melintasi wilayah Teluk Sumbang, terus melintasi Pulau Kaniungan Besar,
menyusuri Teluk Sulaiman, Biduk-Biduk, Tanjung Perepat dan mendekati Pulau Manimbora.
Disana pasukan laut Batu Putih siap menghadang
Pada Bulan September 1834 Armada Maritim tersebut
menyerang Batu Putih, dengan persenjataan Modern. Dengan sekuat tenaga saling
bahu membahu pasukan Raja Alam bertahan habis-habisan. Peluru dari pasukan
Hindia Belanda menerjang kapal-kapal kayu armada laut Raja Alam. Walaupun sudah
beberapa buah kapal pasukannya yang tenggelam pasukan laut itu masih bertahan,
dengan gagah berani pasukan laut Raja Alam terus menggempur pasukan Hindia
Belanda yang sudah menggunakan kapal perang berbadan besi dan bersenjata semi
modern, sedangkan pasukan laut Raja Alam hanya memiliki meriam yang ditembakkan
satu persatu ditambah dengan persenjataan tradisional seperti sumpit, tumbak,
parang yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Raja Alam dapat di pukul mundur.
Setelah perang laut dimenangkan Belanda, pasukannya sebagian naik kedarat.
Dengan amarah yang meluap-luap Batu Putih-pun dibumi hanguskan. Selama
peperangan di laut dan mempertahankan wilayah darat banyak korban yang
berjatuhan, untungnya putra Raja Alam, Sultan Kaharuddin dapat meloloskan diri
bersama beberapa orang pengikutnya masuk kedalam hutan. Pasukan Belanda
meneruskan peperangannya ke benteng Dumaring. Benteng Dumaring dipertahankan
dengan gagah berani, tetapi sama saja mereka kalah hebat dan kalah
persenjataan. Benteng Dumaring di tinggalkan, dengan meninggalkan puluhan orang
pahlawan yang tersungkur mencium bumi. Pasukan Belanda melanjutkan perjalanan
menuju muara Lungsuran Naga dan masuk kesungai Kuran (sungai Berau). Di sungai
Kuran tentara laut Belanda dihadang lagi oleh pasukan Raja Alam.
Syarif Dakula yang telah lebih dahulu bergerak kesungai
Kuran membantu Pangeran Petta dan Panglima Limboto yang bertahan diperairan
sungai Kuran telah siap menghadapi pasukan laut Belanda. Perang pecah kembali
di sungai Kuran yang dikenal dengan Perang Dikuran Raya. Pasukan Syarif Dakula
saling bahu membahu dengan pasukan Pangeran Petta dan Panglima Limboto.
Beberapa buah kapal pejuang tenggelam dihantam peluru pasukan laut Belanda.
Pasukan yang masih hidup berenang menyelamatkan diri ketepi sungai dan lari
masuk hutan disekitar sungai Beribit. Akhirnya semua kapal yang menahan pasukan
Belanda hancur dan kalah.yang tidak sempat menyelamatkan diri berenang disungai
ditembak mati oleh pasukan Belanda. Kejadian itu sangat menyedihkan dan sangat
memilukan. Pertahanan Batu Putih sudah patah, pertahanan di Dumaring sudah
dipukul mudur, pasukan yang bertahan disungai Kuran kalah, tinggal pertahanan
terakhir di sungai Gayam.
Ibu
Kota Tanjung dipertahankan langsung oleh Raja Alam dengan didampingi putranya
Hadi Djalaluddin, tetapi juga tidak bisa bertahan. Pasukan mereka pasukan yang
dipimpin langsung oleh Raja Alam tidak mampu memukul mundur pasukan Belanda.
Karena pasukan Maritim itu sangat kuat dan bersemangat menyerang setelah
memenangkan perang laut di laut Batu Putih, perang darat di Dumaring, perang
sungai di sungai Kuran.
Pasukan Raja Alam yang telah dipersiapkan itu hancur
cerai berai, akhirnya ibu kota dan pusat pemerintahan di Sungai Gayam dapat
dikuasai Belanda. Sedangkan Raja Alam bersama sebagian pasukannya mundur
kepedalaman sungai Kelay, keraton Raja Alam di sungai Gayam dibakar oleh
pasukan Belanda. Tidak ada satu rumahpun yang tertinggal semua dibakar habis
dengan maksud pasukan Raja Alam tidak bisa menyusun kekuatan lagi.
Raja
Alam mundur kepedalaman sungai Kelay. Disana dengan semangat membara untuk
mengusir Belanda kembali menyusun kekuatan yang masih tersisa dan melakukan
perlawanan dengan bergereliya. Selama dalam pelarian Raja Alam bersama putranya
Hadi Djalaluddin serta beberapa orang yang setia dibantu pasok makanan oleh
suku Dayak Ga’ai, Punan, dan Lebbo. Melihat gelagat pergerakan pasukan Raja
Alam yang masih menggangu ketenangan pemerintah Hindia Belanda, pasukan laut
dengan beberapa kapal perang tidak bisa meninggalkan sungai Barrau. Belanda
menyusun strategi untuk upaya penangkapan Raja Alam.
Sultan
Barrau sebelum terjadi perang laut di Batu Putih sudah memindahkan Istananya
dari Muara Bangun ke Gunung Tabur dengan alasan menjaga keamanan dan
menghindari kerajaan Tanjung dibawah pimpinan Raja Alam disungai Gayam yang
sangat cepat perkembangannya. Wilayah Bangun sudah masuk dalam wilayah
kekuasaan kerajan kesultanan Tanjung yang dipimpin Raja Alam. Keinginan Belanda
pada saat itu kesultanan Gunung Tabur-lah yang menggantikan pasukan Belanda
untuk memerangi Raja Alam yang sudah mundur kepadalaman sungai Kelay, namun
dengan Bijaksana Sultan Gunung Tabur menolak secara halus dengan alasan masih
berhubungan darah, tidak mungkin saling menyerang dan saling membunuh saudara
sendiri.
Belanda
menangkap rakyat yang tidak berdosa dan menyiksanya dengan maksud agar Raja
Alam keluar dan menyerahkan diri. Selama raja alam tidak mau keluar dan
menyerah, rakyat yang menjadi korban disiksa oleh tentara belanda, dalam kurun
waktu tiga bulan saja puluhan rakyatnya yang menjadi bulan-bulan tentara
Belanda disiksa sampai babak belur baru dilepaskan kembali, agar dilihat oleh
rajanya yang masih bertahan dihutan sungai Kelay. Melihat banyak rakyatnya yang
disiksa Belanda, Raja Alam sangat sedih dan terharu, walaupun pengorbanan
rakyatnya adalah bagian perjuangan
mempertahankan tanah air.
Sebagai
Raja yang cinta tanah air dan mencintai rakyatnya, akhirnya Raja Alam dengan
gagah berani keluar dari persembunyiannya memenuhi undangan Belanda untuk
berunding. Namun apa yang terjadi dengan akal liciknya dalam perundingan yang telah diskenario Belanda, Raja Alam
ditangkap dengan tuduhan ekstrimis, pemberontak, bajak laut, dan mengganggu
keamanan perdagangan laut antara Borneo dan Salebes di laut Sulawesi. Kemudian
Raja Alam bersama istrinya Andi Nantu, Putranya Hadi Djalaluddin, putrinya Ratu
Ammas Mira, Syarif Dakula bersama
anaknya dibuang oleh Belanda ke Makassar, karena Raja Alam tidak mau mengakui
kedaulatan Hidia Belanda. Dalam perjalanan pengasingan ke Makassar Syarif Dakula memberontak dan mengamuk dalam
kapal akhirnya tewas. Mayatnya di buang kelaut, sedangkan istrinya Ratu Ammas
Mira dipulangkan ke Batu Putih.
Menurut tokoh Dayak Ahi di Tembudan yang mendukung
perjuangan Raja Alam, yaitu Kapiten Bara dan Kapiten Tembaga mereka bahu
membahu dengan pasukan Raja Alam berperang melawan dan mempertahankan Batu
Putih, Tembudan, Linggo sampai dengan Dumaring. Mereka berperang habis-habisan
untuk mempertahankan daratan Batu Putih. Pasukan Dayak Ahi diperitahkan membuat
benteng pertahanan di tepian sungai Dumaring. Batu Putih dibumi hanguskan oleh
Belanda, Benteng Dumaring dengan rela harus ditinggal pasukan Raja Alam, laskar
tentara dibawah perintah Raja Alam dan Putranya di Linggo dan Tembudan mundur
masuk kehutan bersama dengan seluruh keluarganya. Semangat membara dengan
pasukan pemberani Dayak Ahi dan pasukan kerajaan saling bahu membahu, namun
senjata yang tidak seimbang membuat pasukan Raja Alam harus kalah. Selama
perang berlangsung di laut Batu Putih dan daratan Dumaring, Linggo, Tembudan
dan Batu Putih Raja Alam sangat terkesan dan memuji dengan rakyatnya Dayak Ahi
dan Dayak lainnya, mereka adalah rakyat yang pemberani dan selalu maju paling
depan.
Pada 18 September 1836 Sultan Gunung Tabur Adji Kuning
mengirim surat ke pada Hindia Belanda di Banjarmasin, permohonan itu atas dasar
pertimbangan yang sangat mendalam agar Raja Alam dibebaskan dan dipulangkan ke
tanah kelahirannya di Barrau walaupun dengan syarat harus mengakui dan tunduk
kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Pada tanggal 24 Juli 1837 Raja Alam tiba kembali ke
Barrau. Setibanya di Barrau Istananya di Sungai Gayam telah hancur porak
poranda dibakar Belanda, sehingga Raja Alam tidak mungkin kembali ke Tanjung
Sungai Gayam yang telah dikuasai Belanda. Untuk melanjutkan kehidupan di masa
tuanya dan tidak ingin melihat kelicikan Belanda, Raja Alam membangun pemerintahan di sungai Rindang Tembudan 1837 - 1852. Sampai
akhir hayatnya Raja Alam tetap dekat dengan rakyatnya.
Pada tahun 1852 Raja
Alam mangkat. Seorang raja yang gagah berani memiliki jiwa kepahlawanan sejati
dalam sejarah daerah Barrau, dan sejarah Nasional. Raja Alam di makamkan di
sungai Rindang dan selanjutnya di kenal dengan sebutan Marhum di Rindang.
Makam Marhum di Rindang Kampung Tembudan Kecamatan Batu Putih itu sampai
sekarang masih terawat dengan baik. Nama Raja Alam diabadikan menjadi nama
Batalion 613 Raja Alam Tarakan.
Raja Alam meninggalkan sejarah yang telah ditorehnya,
seharuskan ditulis dengan tinta emas, Raja Alam menjadi simbol kebangkitan,
kebanggaan, dan perjuangan masyarakat Barrau. Bahkan tercatat sebagai salah
satu Pahlawan Nasional yang cinta tanah air. Masyarakat Berau tidak akan pernah
melupakan perjuangan Raja Alam sampai
kapanpun.
TUGU RAJA ALAM
Dari sejarah dan perjuangan Raja Alam sepanjang
hayat untuk mempertahankan wilayah kekuasaan dan cinta tanah air yang tidak
terbantahkan tersebut, sudah sepantasnya oleh masyarakat Kabupaten Berau, oleh
Pemerintah Kabupaten Berau mendapatkan penghargaan dan penghormatan yang
setinggi-tingginya dan yang paling terbaik. Penghargaan dan penghormatan tersebut
menjadikan sebagai simbol Kebanggaan masyarakat Kabupaten Berau yang tangguh,
pantang menyerah, pemberani, perkasa, pekerja keras, pantang putus asa, rela
berkorban, berjuang sepanjang hayat, cinta tanah air, bersatu untuk membangun
Berau. Simbol semangat itu direalisasikan dan diabadikan dengan membangun
sebuah Tugu Besar TUGU RAJA ALAM setinggi
50 meter,
dengan lokasi di Ujung Tanjung kota Tanjung Redeb. Dibawah tugu Raja Alam itu
ditulis SELAMAT DATANG DIKOTA TANJUNG REDEB KOTA SANGGAM atau WEL COME TO TANJUNG RADDAB CITY
dan Sejarah Perjuangan Raja Alam. Patung besar itu, dibagian dalam ada ruang,
ruang itu dijadikan untuk semacam Museum mini untuk memajang foto-foto Raja
Alam dan sejarah Raja Alam dan foto Bupati dari pertama sampai dengan sekarang
dilengkapi dengan keterangan masa tugasnya.
Jadi fungsi Tugu Raja Alam selain sebagai simbol
kebanggaan masyarakat Berau yang tangguh dan pekerja keras, juga dijadikan
tempat rekreasi, hiburan, pendidikan dan ilmu pengetahuan masyarakat yang
berkunjung kesana.
Penulis adalah :
Kepala Bidang Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Berau
Episode 2015-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar