Selasa, 11 Agustus 2015

LEGENDA LAMIN TALUNGSUR



“ LAMIN TALUNGSUR"
 Oleh : Saprudin Ithur

Lamin adalah rumah orang Dayak yang panjang, besar, dan tinggi. Dirumah lamin itu tinggal sekian banyak orang, masing-masing keluarga dengan masing-masing bilik sederhana. Bilik itu membatasi keluarga satu dengan keluarga lainnya. Diantara sekian banyak orang yang tinggal di lamin itu, ada tinggal seorang janda. Janda itu telah ditinggalkan suaminya sejak anaknya masih sangat kecil, namanya Minai. Ia memiliki dua orang anak yang sekarang sudah besar. Anak yang pertama berumur sembilan tahunperempuan namanya Man’a, sedangkan adiknya baru berumur enam tahun laki-laki namanya Jit Jiu. Kedua anak itu selalu rukun, jarang sekali terdengar pertengkaran diantara keduanya, apalagi sampai berkelahi. Sifat kakaknya baik, selalu mengalah pada adiknya, sedangkan adiknya selalu mengerti walaupunh sedikit lucu dan lugu. Begitulah kehidupan bertiga beranak itu selalu rukun dan damai.
Karena hidup dalam keluarga besar dalam satu rumah lamin, beban hidup seorang janda  tidak menjadi berat. Sebab dalam lingkungan mereka tidak ada yang dibedakan satu sama liannya. Mereka hidup selalu tolong-menolong dan gotong-royong. Oleh karena itu pekerjaan seberat apapun dikerjakan dengan beramai-ramai, maka pekerjaan itu menjadi ringan.
Kedua anak Minai, meskipun usianya masih relatuf muda sudah pandai bekerja dan membantu ibunya. Anak pertamanya perempuan si Man’a sudah pandai menanak nasi, merebus air dan membakar ikan dan daging. Sedangkan adiknya senang membantu ibu dan kakaknya.
Ikan untuk lauk makan, mereka dapatkan dengan cara ditangkap di sungai atau mengail. Sedangkan daging mereka peroleh dengan cara berburu di hutan. Setiap berburu mereka selalu membawa anjing untuk mengepung hewan buruan. Sedangkan senjata atau alat berburunya adalah mandau, sumpit dan tombak. Kemanapun mereka pergi senjata-senjata ini jarang tertinggal dan selalu terselip di pinggang atau dipegang di tangan.
Ketika malam telah tiba, dengan segera mereka beristirahat, tidur nyenyak dengan  buaian angin malam bercampur embun yang membuat menjadi semakin dingin. Lamin yang damai itu disaksikan oleh awan yang  berarak melintasi tempat mereka. Menengok ke bawah, awan itu tersenyum lalu pergi lagi.
Pada hari minggu Minai pergi ke tepian sungai dengan membawa kail ditangan. Sesampainya di tepi sungai ia mencari-cari tempat yang bagus dan banyak ikannya. Dipilihnya tempat yang teduh, rindang oleh dedaunan, airnya tenang serta tempatnya bersih dan mudah untuk meletakkan kail serta mudah untuk menariknya. Cukup lama Minai berada di tempatnya tersebut, namun kailnya belum ada yang memakan, tidak ada seekor ikanpun yang ia dapat. Ibu tersebut heran bercampur kesal, sepengetahuannya sebentar saja mengail di tempat ini sudah banyak ikan yang  ia peroleh. Minai tetap sabar menanti sampai dapat. Matanya nanap menatap kearah kail diletakkan. Sesekali kail itu seperti ditarik ikan yang sedang bermain-main. Tapi setelah di angkat sedikit ke atas, tidak ada apa-apa yang tersangkut di mata pancing, hanya umpan kailnya yang habis.
Angin sepoi-sepoi yang bertiup mengenai raut muka ibu, gemerisik daun kering beradu sesama. Terdengar bergantian, ranting-ranting kecil patah-patah dikejauhan, seperti terinjak seorang raksasa. Si Minai terus menanti, menanti, dan… “Hiii…” tiba-tiba ia terpekik, tepat di hadapannya seekor ulat bulu menggantung, menggeliat-geliat seperti memohon bantuan. Minai tidak menghiraukan ulat bulu itu, lalu menggeser duduknya ke kanan menjauhi ulat bulu itu. Ia  gunakan seraungnya mengusir ulat itu sehingga ulat jatuh ke sungai. Bersamaan dengan itu Minai terkejut, sebab kailnya bergerak, ada yang menarik. Bergerak kesana-kemari, ketika ia berusaha untuk menarik dan mengangkat stik kayu kailnya, terasa begitu berat. Dengan sigap Minai terus berusaha menariknya, dan seekor ikan menggelepar-gelepar karena tersangkut mata kailnya.
Ikan itu besar dan panjang. Kulitnya licin tanpa sisik, bersirip, warnanya hitam mengkilap, seperti belut. Dalam bahasa Berau ikan itu namanya Jallau. Atau dikenal juga dengan nama mersapi. Ikan jallau sangat besar, cukup untuk dimakan hingga tiga hari.
Setelah berberes, ibu janda bergegas pulang. Sampai di rumah, ikan jallau hasilnya kailnya itu di bersihkan dan di potong-potong menjadi beberapa bagian ditepian sungai.
Satu-satunya cara yang paling mudah untuk memasak ikan tentu dengan di bakar.
Harum jallau yang dibakar menghambur sekeliling lamin. Minyak dari badan ikan jallu menetes kebara api. Sampai bara api hampir mati oleh tetesannya. Rasanya kitapun ingin cepat-cepat mencicipi. Ah sedap sekali.
Sejak tadi Minai sudah pergi kekebun mencari lalapan. anak perempuannya  si Man’a yang mendapat tugas menjaga ikan dan membalik-baliknya hingga masak. Sebelum ibunya pergi sempat berpesan kepada anaknya, “jangan kau tertawa di depan ikan yang sedang dibakar…tidak boleh, pamantang”. Sedang bau harum jallau dibakar itu semakin menghambur jauh diluar lamin.
Tapi apa yang terjadi, pesan tinggal pesan, Man’a dan Jit Jiu  lain pula lakunya. Apabila ia merasa aneh dan lucu maka tertawalah mereka. Tanpa menyadari hal ikhwal, akibat apa yang nantinya mereka terima. Awalnya memang hanya si Jit Jiu yang selalu tertawa, dan mudah tergoda untuk tertawa, sedangkan kakaknya si Man’a masih mampu menahan diri, masih bisa menegur adiknya yang melanggar pesan para orang tua itu.
Sejak dahulu mereka percaya benar kalau sedang membakar ikan, tidak boleh tertawa dihadapan dapur atau di hadapan tempat membakar ikan itu. Karena bagali, pamantang, dilarang menurut adat. Prilaku semacam itu bisa menimbulkan malapetaka yang tidak dapat dielakkan.
Kedua anak itu belum mengerti  apa maksud pesan dari ibunya. Mereka tahunya takut, apabila sedang diingatkan dan dimarahi, sedang peringatan itu mudah terlupakan oleh anak-anak seperti Man’a dan Jit Jiu. Awalnya mereka masih ingat dan saling mengingatkan, tapi setelah asyik semuanya menjadi lupa. Tertuju hanya pada satu perhatian, maka lupalah semuanya.
Ikan Jallau yang dibakar semakin kering, semakin meggeliat-geliat seperti hendak turun dari tempat pembakaran. Ketika sudah hampir jatuh, Man’a atau Jit Jiu letakkan kembali ke atas bara api. Begitu beberapa kali mereka lakukan sambil tertawa. Mereka terus tertawa sampai terbahak-bahak, hingga tidak ingat apa-apa dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar mereka bedua. “kak, kak..lihat itu ikannya turun lagi”. Ucap adiknya di sela tawanya.
“tangkap…tangkap dik….taruh  di situ lagi..” sambil menunjuk bara api, sedang Jallau menggeliat.
Di luar lamin angin sudah kencang menerobos daun-daun kayu dan bahkan menumbangkan pohon-pohon. Yang sedang berada di ladang semua bergegas pulang. Mereka heran dan bertanya-tanya ada apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
“Aku telah kalian siksa…aku telah kalian potong-potong untuk dijadikan makanan, tapi mengapa kalian menertawai aku seperti itu?” tiba-tiba suara muncul dari arah ikan yang sedang dibakar itu.
Kedua anak yang asyik tertawa….tidak terkejut, tapi mereka malah tertawa semakin keras.
“kak, dia bilang kita potong-potong..hahaha… mana bisa turun ya kak hahahah….sedangkan kita di sini.” Kata si adik. “iya..iya” Man’a menambahkan
“panggillah ibu kalian jika ingin melihat aku turun dari sini.” Sambung ikan itu. “aku akan tersambung lagi seperti semula dan turun bersama lami dan kalian ke dasar sungai…aku akan hidup bebas seperti sediakala.” Ujar ikan jallau dibara api
“hahahaha..dia mau bersambung kembali..kak, dia mau bersambung kembali kak…”kata Jit Jiu mengolok-ngolok semakin keras.
“iya..iya…masa ada ikan yang sudah dipotong mau menyambung lagi”.
“kalian ingin melihat buktinya?!” tanya si ikan
“bersambunglah..turunlah kalau memang kau bisa.” Tantang kedua anak tersebut bersamaan.
“baik……lihatlah!”
Maka secara sepontan dan teratur ikan jallau itu mulai menyambung kembali, bagian demi  bagian tubuhnya yang sudah terpotong-potong hingga tubuhnya kembali seperti semula tanpa ada bekas potongan sama sekali. Dengan  perlahan-lahan ikan itu tanpa merasa kepanasan bergerak turun dari atang dapur tempatnya dibakar.
Semua penghuni lamin telah berkumpul dalam rumah panjang itu, kaget melihat apa yang terjadi. Sedangkan di luar lamin angin bertiup semakin kencang dan terus bertambah kencang. Minai tidak sempat berbuat apa-apa, hanya menatap apa yang telah dilakukan kedua anaknya, kedua anaknya itu telah melanggar sumpah, telah melanggar Pamantang, telah melanggar adat nenek moyang.
Bersamaan dengan ikan turun, laminpun ikut bergerak turun. Tanah sekitar lamin itu longsor dan turun. Terus longsor masuk kedalam sungai mengikuti gerak dan geliat ikan jallau. Suara teriakan histeris ketakutan terdengar sangat kencang disepenjuru lamin menembus gunung-gunung dan sampai keawan gemawan, anak-akan berlari mendekap ibu dan ayahnya. Orang-orang tua sibuk berlari kesana kemari hanya disekitar lamin tidak mengerti harus berbuat apa. Anjing melolong kencang seperti memburu hantu, ayam terbang sambil berteriak tidak jelas memaknai situasi, semuanya hanya berteriak, berlari, ketakutan, tapi tidak menjauh dari lamin yang siap tenggelam. Dalam waktu yang sangat singkat lamin beserta isinya itu turun ke dasar sungai bersama dengan orang-orang tua, remaja, anak-anak, ayam dan anjing peliharaan yang ada ditempat itu. Sedangkan ikan jallau yang bersama lamin turun kedasar sungai langsung berenang dengan pongahnya, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ikan jallau itu hidup kembali seperti semula tanpa cedera sedikitpun.
Lamin tenggelam dan menghilang kedalam sungai seperti ditelan bumi………....
Dengan kejadian tersebut, maka tempat itu dikenal dengan LAMIN TALUNGSUR. Dibuktikan dengan sungai sekitar kejadian menjadi lebih lebar dan membentuk teluk. Konon tempat tersebut sangat angker, kalau kebetulan melalui tempat itu pada malam hari, tidak boleh berbicara sembarangan dan menimbulkan suara gaduh. Pada malam-malam jum’at tertentu, maka nampaklah rumah lamin didasar sungai.







Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar