BATURUNAN
Oleh : Saprudin Ithur
1. Sejarah
Sejak 10.000-4.000 tahun yang
lalu manusia purba sudah mendiami wilayah karst dan gua-gua yang ada disekitar
Merabu sampai didaerah Bengalon dan sekitarnya, dibuktikan dengan peninggalan
gambar batu cadas berbentuk telapak tangan dan beberapa jenis binatang di gua
Beloyot, gua Abu dan beberapa gua lain ada disekitar Merabu, Mapulu dan
Merapun. Pada sekitar tahun 2.000 sampai
tahun 1.500 yang lalu, manusia purba tersebut berkembang lebih maju, mereka
mulai membangun komunitas, dengan berkelompok dan hidup lebih modern, walaupun
masih belum sepenuhnya meninggalkan tempat tinggal awal mereka, yaitu gua-gua
dipegunungan karst. Komunitas yang lebih maju, mulai mendiami pesisir sungai
yang terpisah dari gua. Pada akhir tahun 1.500 sudah ada beberapa tempat ditepi
sungai dan pesisir pantai didiami manusia secara berkelompok, namun masih
berpindah-pindah. Begitu datang manusia baru ke wilayah mereka, kelompok-kelompok
yang belum mampu menyesuaikan diri, mereka langsung pergi menjauh lebih masuk ke
hulu-hulu sungai atau kepedalaman, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri
dengan manusia baru tejadilah hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dengan cara
perkawinan. Selain yang dijelaskan diatas, manusia pertama yang mendiami
gua-gua karst itu tidak pindah kedaerah pedalaman seperti yang dijelaskan
diatas, tetapi mereka memang mendiami tempat itu sejak awal. Oleh pergerakan
alam dengan naiknya dasar laut lebih tinggi membangun daratan baru yang sangat
luas. Selain itu proses alam ribuan tahun membentuk delta-delta baru seperti
gundukan pasir dan gundukan lumpur yang terbawa dari daratan yang sangat jauh
melalui aliran sungai atau saat banjir besar, delta-delta tersebut membentuk daratan
semakin luas. Maka wilayah batu dan pegunungan karst yang dahulunya ribuan
tahun yang lalu berada ditepi laut, sekarang sudah berada jauh dari tepi laut.
Bahkan ada yang sampai ratusan kilo meter ditengah daratan. Air yang terperangkap oleh pegunungan dan bebatuan
karst berusaha untuk keluar, keluar dari batu dan pegunungan karst itu mengalir
ketempat yang lebih rendah dengan membentuk sungai-sungai kecil, sungai-sungai
kecil itu menyatu menjadi sungai besar sampai kelaut. Kelompok manusia yang
dahulunya mendiami gua-gua karst secara berangsur-angsur pindah ke tepi-tepi
sungai membentuk komunitas satu atau dua keturunan disana, begitu pula kelompok
atau keturunan lainnya membangun dan membentuk komunitas dan kekuatan untuk bertahan
hidup diwilayah baru. Akhirnya kehidupan di gua-gua ditinggalkan dan semuanya
tinggal di tepi-tepi sungai. Sungai dijadikan tempat mencari ikan, mandi dan
lain-lain. Sungai juga dijadikan jalan penghubung yang sangat modern dijamannya
setelah mengenal rakit dan perahu. Disungai selain mudah mendapat atau
menangkap ikan, disungai juga mudah menangkap binatang, seperti babi, rusa,
kijang dan lain-lain. Binatang tersebut ditangkap saat mereka menyeberang
sungai yang dikenal dengan Malangui. Kalau babi dikenal dengan Bai Malangui.
Orang-orang yang tinggal dipedalaman panen ikan saat ikan naik raja. Saat musim
kemarau, air sungai surut ikan patin dan
ikan salap bertelur. Ketika mereka melakukan ritual bertelur, ikan patin dan
ikan salap melompat-lompat sambil menggesekkan perutnya ke batu-batu koral yang
terhampar, sebagian lagi melompat-lompat sampai naik diatas gundukan koral yang terhampar di
sepanjang sungai dipedalaman. Saat itulah mereka, masyarakat yang mendiami
tepi-tepi sungai di hulu atau dipedalaman panen ikan dan makan ikan sepuasnya.
Kelompok ini kemudian menjadi
lebih maju dan lebih modern dari yang pergi masuk kepedalaman atau yang tetap
mendiami disekitar pegunungan karst. Kelompok-kelompok atau kominitas yang
lebih banyak dan lebih ramai kemudian dikenal Banua dan kelompok yang lebih
sedikit di sebut dengan Rantau. Kemudian hari tempat yang lebih ramai atau kota
disebut dengan Banua. Sedangankan yang lebih sedikit penduduknya disebut dengan
Rantau. Tetapi kata atau sebutan Rantau juga berarti tempat, yaitu sungai yang
lurus antara dua belokan disebut orang Berau dengan Rantau. Artinya sungai yang
lurus diapit oleh dua belokan, sungai yang lurus tersebut disebut Rantau.
Penduduk yang tiggal disana, tetapi tidak begitu ramai disebut juga dengan
Rantau. Banua dan Rantau tersebut antara lain, Banua Pantai, Banua Marancang, Banua
Kuran, Banua Bulalung Banua Lati, Rantau Suwakung, dan Rantau Bunyut. Ada
kemungkinan besar, sebelum berdirinya kerajaan Berau atau Berayu menurut
tulisan Muh. Yamin, wilayah ini dibawah Kerajaan Sriwijaya. Sejak masa
Sriwijaya sudah menyebarkan orang-orang diseluruh wilayah kekuasaannya sampai
ke wilayan Banua dan Rantau yang ada di pesisir laut dan pesisir sungai Berau di Borneo. Orang-orang utusan Sriwijaya
tersebut menjadi perwakilan disana, baik untuk pemerintahan Sriwijaya maupun untuk
memungut hasil atau pajak diwilayah Banua dan Rantau. Petugas yang datang dari
Sriwijaya itu kawin mawin di Banua dan Rantau Berayu, kawin dengan orang-orang
Dayak asli yang mendiami wilayah pesisir sungai dan pesisir pantai, percampuran
orang Sriwijaya dengan orang Dayak tersebut menjadi cikal bakal orang Barrau.
Orang Barrau keturunan Melayu dari Sumatera, keturunan dari Melayu utusan
Sriwijaya. Kemudian hari dikenal dengan orang Berau.
Setelah sekian lama dengan
berjalannya waktu keturunan kerajaan Sriwijaya, keturunan Dayak asli dengan
Melayu Sriwijaya tersebut menjadi para punggawa dan pemimpin di Banua dan
Rantau, dengan pengalaman mereka dari kerajaan Sriwijaya kemudian hari
mendirikan pemerintahan sendiri dengan merdeka. Yaitu Kerajaan Berau. Bahasa pemersatu
atau bahasa Negara Kerajaan Barrau adalah bahasa Banua atau bahasa Barrau. Bahasa
Barrau atau bahasa Banua tersebut adalah bahasa baru hasil perpaduan, percampuran
bahasa Melayu Sriwijaya, Dayak Asli, Hindu, dan bahasa alam sekitar sesuai
lingkungan kehidupan mereka. Kerajaan Barrau juga dikenal dengan Kerajaan
Berayu (tulisan Sejarawan nasional Muh. Yamin). Kerajaan Berau berdiri pada
tahun 1.400 Masehi, dipimpin oleh Baddit Dipattung dengan gelar Adji Soerja
Natakesoema. Soerja (Surya) artinya matahari, Natakesuma artinya menata Negara.
Luas wilayahnya dari Tanjung Mangkalihat berbatasan dengan kerajaan Kutai,
sampai di Kina Batangan berbatasan dengan Kerajaan Berunai. Lautnya berbatasan
dengan Kerajaan Solok atau Suluk dan Laut Salebes (Sulawesi).
Dengan bahasa nasionalnya adalah
Bahasa Barrau atau Banua, maka orang Dayak yang masuk diwilayah Kerajaan Berau
dan pendatang seperti Tidung, Berunai, dan Suluk yang ada di pesisir sungai,
pesisir pantai dan pulau-pulau harus menggunakan bahasa pergaulan, bahasa persatuan
yaitu Bahasa Banua. Oleh karena itu orang Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, Dayak
Punan, dan Dayak Basaf harus bisa berbahasa Banua, maka bahasa Dayak Ga’ai,
Lebbo, Basaf dan Punan banyak dipengaruhi dan bercampur dengan bahasa Melayu
Banua. termasuk kata yang sangat popular di masyarakat Barrau yaitu Baturunan.
2. Filosofi Baturunan
Dimaksud Baturunan adalah
membantu orang lain bersama-sama dengan ikhlas.
Contoh :
1)
apabila ada salah satu penduduk yang belum
selesai menuai (memanen) padi, secara ikhlas tetangga sekitarnya yang sudah
selesai menuai padi miliknya rame-rame membantu menuai sampai dengan selesai.
2) Salah
satu diantara masyarakat yang selesai membuat perahu. Perahu ditepung tawar (di
kuur sumangati), dilanjutkan dengan menurunkan perahu ke sungai, diundang
tetangga dan kerabat makan bersama dilanjutkan dengan mendorong perahu
beramai-ramai sampai ke sungai (air).
3) Ketika
salah satu masyarakat mengadakan pesta perkawinan, tetangga secara ikhlas
datang membantu ramai-ramai, sesuai dengan kemampuan dan keterampilan
masing-masing.
4) Upacara
adat, misalnya upacara Manguati Banua. Semuanya secara sadar turut mendukung
dan mengikuti semua kegiatan dan ritual yang dilaksanakan.
5) Upacara
hari besar agama, misalnya Maulid Nabi. Semuanya datang ke Mesjid, membersihkan
Mesjid, menghias Mesjid. Semuanya datang memeriahkan Mesjid dengan membawa
Puncak Rasul yang telah dihias. Selesai acara, Puncak Rasul dipotong-potong
dibagikan kepada semua yang hadir.
Jadi Baturunan adalah tradisi
lama gotong royong yang tanpa diperintah, atas kesadaran sendiri untuk membantu
orang lain, ikhlas dan dengan senang hati.
Filosofi Baturunan masih relevan
dengan keadaan sekarang, didalamnya terkandung makna yang sangat tinggi, yaitu solidaritas,
kerja sama, kekompakan, kekerabatan, tenggang rasa, tidak memandang kaya dan miskin, tidak
memandang suku, agama, dan ras, siapa saja yang membutuhkan pertolongan harus
segera diberikan pertolongan, silaturahmi, pertemanan, menghormati yang tua,
menghargai yang muda, persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, bangga dengan
budaya daerah.
3. Baturunan Manurunkan
Parau
Pemerintah Daerah melalui Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau mengangkat kembali Budaya Upacara Baturunan.
Mulai tahun 2014, dihalaman Museum Batiwakkal Kabupaten Berau di Gunung Tabbur
diadakan upacara Baturunan Manurunkan Parau. Perahu lomba yang ada disamping
Museum di tepung tawar oleh Putri, dibacakan doa oleh sesepuh Agama Gunung
Tabbur, lalu perahu yang beratnya lebih 300 kilo gram itu diangkat
beramai-ramai, diangkat ramai-ramai dengan satu komando. Lalu diturunkan
kesungai Segah. Ikut mengangkat Baturunan Manurunkan Parau antara lain Bupati
Berau, Wakil Bupati Berau, Sekretaris Daerah, Pemangku Adat Gunung Tabbur dan
Pemangku Adat Sambaliung, Kepala SKPD, perwakilan paguyuban, tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan lain-lain. Filosofi yang terkandung didalam Budaya Baturunan Manurunkan
Parau tersebut antara lain :
silaturahmi, pertemanan, persahabatan, keamanan, kekerabatan, kerja
sama, kekompakan, satu tujuan, menggalang persatuan dan kesatuan masyarakat
Berau untuk membangun Berau bersama-sama, bangga dengan budaya daerah.
Tujuan pokoknya Baturunan
Manurunkan Parau adalah Gotong Royong, kebersamaan, kekompakan, satu tujuan,
persatuan dan kesatuan untuk membangun Berau, dan bersama-sama membangun untuk masyarakat
Berau sejahtera.
Tanjung Redeb, 24 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar