Selasa, 11 Agustus 2015

BATURUNAN



BATURUNAN
Oleh : Saprudin Ithur
1. Sejarah  
Sejak 10.000-4.000 tahun yang lalu manusia purba sudah mendiami wilayah karst dan gua-gua yang ada disekitar Merabu sampai didaerah Bengalon dan sekitarnya, dibuktikan dengan peninggalan gambar batu cadas berbentuk telapak tangan dan beberapa jenis binatang di gua Beloyot, gua Abu dan beberapa gua lain ada disekitar Merabu, Mapulu dan Merapun. Pada sekitar tahun  2.000 sampai tahun 1.500 yang lalu, manusia purba tersebut berkembang lebih maju, mereka mulai membangun komunitas, dengan berkelompok dan hidup lebih modern, walaupun masih belum sepenuhnya meninggalkan tempat tinggal awal mereka, yaitu gua-gua dipegunungan karst. Komunitas yang lebih maju, mulai mendiami pesisir sungai yang terpisah dari gua. Pada akhir tahun 1.500 sudah ada beberapa tempat ditepi sungai dan pesisir pantai didiami manusia secara berkelompok, namun masih berpindah-pindah. Begitu datang manusia baru ke wilayah mereka, kelompok-kelompok yang belum mampu menyesuaikan diri, mereka langsung pergi menjauh lebih masuk ke hulu-hulu sungai atau kepedalaman, sedangkan yang dapat menyesuaikan diri dengan manusia baru tejadilah hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dengan cara perkawinan. Selain yang dijelaskan diatas, manusia pertama yang mendiami gua-gua karst itu tidak pindah kedaerah pedalaman seperti yang dijelaskan diatas, tetapi mereka memang mendiami tempat itu sejak awal. Oleh pergerakan alam dengan naiknya dasar laut lebih tinggi membangun daratan baru yang sangat luas. Selain itu proses alam ribuan tahun membentuk delta-delta baru seperti gundukan pasir dan gundukan lumpur yang terbawa dari daratan yang sangat jauh melalui aliran sungai atau saat banjir besar, delta-delta tersebut membentuk daratan semakin luas. Maka wilayah batu dan pegunungan karst yang dahulunya ribuan tahun yang lalu berada ditepi laut, sekarang sudah berada jauh dari tepi laut. Bahkan ada yang sampai ratusan kilo meter ditengah daratan. Air  yang terperangkap oleh pegunungan dan bebatuan karst berusaha untuk keluar, keluar dari batu dan pegunungan karst itu mengalir ketempat yang lebih rendah dengan membentuk sungai-sungai kecil, sungai-sungai kecil itu menyatu menjadi sungai besar sampai kelaut. Kelompok manusia yang dahulunya mendiami gua-gua karst secara berangsur-angsur pindah ke tepi-tepi sungai membentuk komunitas satu atau dua keturunan disana, begitu pula kelompok atau keturunan lainnya membangun dan membentuk komunitas dan kekuatan untuk bertahan hidup diwilayah baru. Akhirnya kehidupan di gua-gua ditinggalkan dan semuanya tinggal di tepi-tepi sungai. Sungai dijadikan tempat mencari ikan, mandi dan lain-lain. Sungai juga dijadikan jalan penghubung yang sangat modern dijamannya setelah mengenal rakit dan perahu. Disungai selain mudah mendapat atau menangkap ikan, disungai juga mudah menangkap binatang, seperti babi, rusa, kijang dan lain-lain. Binatang tersebut ditangkap saat mereka menyeberang sungai yang dikenal dengan Malangui. Kalau babi dikenal dengan Bai Malangui. Orang-orang yang tinggal dipedalaman panen ikan saat ikan naik raja. Saat musim kemarau, air sungai surut  ikan patin dan ikan salap bertelur. Ketika mereka melakukan ritual bertelur, ikan patin dan ikan salap melompat-lompat sambil menggesekkan perutnya ke batu-batu koral yang terhampar, sebagian lagi melompat-lompat sampai  naik diatas gundukan koral yang terhampar di sepanjang sungai dipedalaman. Saat itulah mereka, masyarakat yang mendiami tepi-tepi sungai di hulu atau dipedalaman panen ikan dan makan ikan sepuasnya.
Kelompok ini kemudian menjadi lebih maju dan lebih modern dari yang pergi masuk kepedalaman atau yang tetap mendiami disekitar pegunungan karst. Kelompok-kelompok atau kominitas yang lebih banyak dan lebih ramai kemudian dikenal Banua dan kelompok yang lebih sedikit di sebut dengan Rantau. Kemudian hari tempat yang lebih ramai atau kota disebut dengan Banua. Sedangankan yang lebih sedikit penduduknya disebut dengan Rantau. Tetapi kata atau sebutan Rantau juga berarti tempat, yaitu sungai yang lurus antara dua belokan disebut orang Berau dengan Rantau. Artinya sungai yang lurus diapit oleh dua belokan, sungai yang lurus tersebut disebut Rantau. Penduduk yang tiggal disana, tetapi tidak begitu ramai disebut juga dengan Rantau. Banua dan Rantau tersebut antara lain, Banua Pantai, Banua Marancang, Banua Kuran, Banua Bulalung Banua Lati, Rantau Suwakung, dan Rantau Bunyut. Ada kemungkinan besar, sebelum berdirinya kerajaan Berau atau Berayu menurut tulisan Muh. Yamin, wilayah ini dibawah Kerajaan Sriwijaya. Sejak masa Sriwijaya sudah menyebarkan orang-orang diseluruh wilayah kekuasaannya sampai ke wilayan Banua dan Rantau yang ada di pesisir laut dan pesisir sungai  Berau di Borneo. Orang-orang utusan Sriwijaya tersebut menjadi perwakilan disana, baik untuk pemerintahan Sriwijaya maupun untuk memungut hasil atau pajak diwilayah Banua dan Rantau. Petugas yang datang dari Sriwijaya itu kawin mawin di Banua dan Rantau Berayu, kawin dengan orang-orang Dayak asli yang mendiami wilayah pesisir sungai dan pesisir pantai, percampuran orang Sriwijaya dengan orang Dayak tersebut menjadi cikal bakal orang Barrau. Orang Barrau keturunan Melayu dari Sumatera, keturunan dari Melayu utusan Sriwijaya. Kemudian hari dikenal dengan orang Berau.
Setelah sekian lama dengan berjalannya waktu keturunan kerajaan Sriwijaya, keturunan Dayak asli dengan Melayu Sriwijaya tersebut menjadi para punggawa dan pemimpin di Banua dan Rantau, dengan pengalaman mereka dari kerajaan Sriwijaya kemudian hari mendirikan pemerintahan sendiri dengan merdeka. Yaitu Kerajaan Berau. Bahasa pemersatu atau bahasa Negara Kerajaan Barrau adalah bahasa Banua atau bahasa Barrau. Bahasa Barrau atau bahasa Banua tersebut adalah bahasa baru hasil perpaduan, percampuran bahasa Melayu Sriwijaya, Dayak Asli, Hindu, dan bahasa alam sekitar sesuai lingkungan kehidupan mereka. Kerajaan Barrau juga dikenal dengan Kerajaan Berayu (tulisan Sejarawan nasional Muh. Yamin). Kerajaan Berau berdiri pada tahun 1.400 Masehi, dipimpin oleh Baddit Dipattung dengan gelar Adji Soerja Natakesoema. Soerja (Surya) artinya matahari, Natakesuma artinya menata Negara. Luas wilayahnya dari Tanjung Mangkalihat berbatasan dengan kerajaan Kutai, sampai di Kina Batangan berbatasan dengan Kerajaan Berunai. Lautnya berbatasan dengan Kerajaan Solok atau Suluk dan Laut Salebes (Sulawesi).
Dengan bahasa nasionalnya adalah Bahasa Barrau atau Banua, maka orang Dayak yang masuk diwilayah Kerajaan Berau dan pendatang seperti Tidung, Berunai, dan Suluk yang ada di pesisir sungai, pesisir pantai dan pulau-pulau harus menggunakan bahasa pergaulan, bahasa persatuan yaitu Bahasa Banua. Oleh karena itu orang Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, Dayak Punan, dan Dayak Basaf harus bisa berbahasa Banua, maka bahasa Dayak Ga’ai, Lebbo, Basaf dan Punan banyak dipengaruhi dan bercampur dengan bahasa Melayu Banua. termasuk kata yang sangat popular di masyarakat Barrau yaitu Baturunan.

2.  Filosofi Baturunan
Dimaksud Baturunan adalah membantu orang lain bersama-sama dengan ikhlas.
Contoh :
1)      apabila ada salah satu penduduk yang belum selesai menuai (memanen) padi, secara ikhlas tetangga sekitarnya yang sudah selesai menuai padi miliknya rame-rame membantu menuai sampai dengan selesai.
2)      Salah satu diantara masyarakat yang selesai membuat perahu. Perahu ditepung tawar (di kuur sumangati), dilanjutkan dengan menurunkan perahu ke sungai, diundang tetangga dan kerabat makan bersama dilanjutkan dengan mendorong perahu beramai-ramai sampai ke sungai (air).
3)      Ketika salah satu masyarakat mengadakan pesta perkawinan, tetangga secara ikhlas datang membantu ramai-ramai, sesuai dengan kemampuan dan keterampilan masing-masing.
4)      Upacara adat, misalnya upacara Manguati Banua. Semuanya secara sadar turut mendukung dan mengikuti semua kegiatan dan ritual yang dilaksanakan.
5)      Upacara hari besar agama, misalnya Maulid Nabi. Semuanya datang ke Mesjid, membersihkan Mesjid, menghias Mesjid. Semuanya datang memeriahkan Mesjid dengan membawa Puncak Rasul yang telah dihias. Selesai acara, Puncak Rasul dipotong-potong dibagikan kepada semua yang hadir.
Jadi Baturunan adalah tradisi lama gotong royong yang tanpa diperintah, atas kesadaran sendiri untuk membantu orang lain, ikhlas dan dengan senang hati.
Filosofi Baturunan masih relevan dengan keadaan sekarang, didalamnya terkandung makna yang sangat tinggi, yaitu solidaritas, kerja sama, kekompakan, kekerabatan, tenggang rasa,  tidak memandang kaya dan miskin, tidak memandang suku, agama, dan ras, siapa saja yang membutuhkan pertolongan harus segera diberikan pertolongan, silaturahmi, pertemanan, menghormati yang tua, menghargai yang muda, persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, bangga dengan budaya daerah.

3.  Baturunan Manurunkan Parau
Pemerintah Daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Berau mengangkat kembali Budaya Upacara Baturunan. Mulai tahun 2014, dihalaman Museum Batiwakkal Kabupaten Berau di Gunung Tabbur diadakan upacara Baturunan Manurunkan Parau. Perahu lomba yang ada disamping Museum di tepung tawar oleh Putri, dibacakan doa oleh sesepuh Agama Gunung Tabbur, lalu perahu yang beratnya lebih 300 kilo gram itu diangkat beramai-ramai, diangkat ramai-ramai dengan satu komando. Lalu diturunkan kesungai Segah. Ikut mengangkat Baturunan Manurunkan Parau antara lain Bupati Berau, Wakil Bupati Berau, Sekretaris Daerah, Pemangku Adat Gunung Tabbur dan Pemangku Adat Sambaliung, Kepala SKPD, perwakilan paguyuban, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain. Filosofi yang terkandung didalam Budaya Baturunan Manurunkan Parau tersebut antara lain :  silaturahmi, pertemanan, persahabatan, keamanan, kekerabatan, kerja sama, kekompakan, satu tujuan, menggalang persatuan dan kesatuan masyarakat Berau untuk membangun Berau bersama-sama, bangga dengan budaya daerah.
Tujuan pokoknya Baturunan Manurunkan Parau adalah Gotong Royong, kebersamaan, kekompakan, satu tujuan, persatuan dan kesatuan untuk membangun Berau, dan bersama-sama membangun untuk masyarakat Berau sejahtera.

Tanjung Redeb, 24 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar