“ LAMIN TALUNGSUR"
Oleh : Saprudin Ithur
Lamin adalah
rumah orang Dayak yang panjang, besar, dan tinggi. Dirumah lamin itu tinggal
sekian banyak orang, masing-masing keluarga dengan masing-masing bilik
sederhana. Bilik itu membatasi keluarga satu dengan keluarga lainnya. Diantara
sekian banyak orang yang tinggal di lamin itu, ada tinggal seorang janda. Janda
itu telah ditinggalkan suaminya sejak anaknya masih sangat kecil, namanya Minai.
Ia memiliki dua orang anak yang sekarang sudah besar. Anak yang pertama berumur
sembilan tahunperempuan namanya Man’a, sedangkan adiknya baru berumur enam
tahun laki-laki namanya Jit Jiu. Kedua anak itu selalu rukun, jarang sekali
terdengar pertengkaran diantara keduanya, apalagi sampai berkelahi. Sifat
kakaknya baik, selalu mengalah pada adiknya, sedangkan adiknya selalu mengerti
walaupunh sedikit lucu dan lugu. Begitulah kehidupan bertiga beranak itu selalu
rukun dan damai.
Karena hidup
dalam keluarga besar dalam satu rumah lamin, beban hidup seorang janda tidak menjadi berat. Sebab dalam lingkungan
mereka tidak ada yang dibedakan satu sama liannya. Mereka hidup selalu tolong-menolong
dan gotong-royong. Oleh karena itu pekerjaan seberat apapun dikerjakan dengan
beramai-ramai, maka pekerjaan itu menjadi ringan.
Kedua anak Minai, meskipun usianya
masih relatuf muda sudah pandai bekerja dan membantu ibunya. Anak pertamanya
perempuan si Man’a sudah pandai menanak nasi, merebus air dan membakar ikan dan
daging. Sedangkan adiknya senang membantu ibu dan kakaknya.
Ikan untuk lauk
makan, mereka dapatkan dengan cara ditangkap di sungai atau mengail. Sedangkan
daging mereka peroleh dengan cara berburu di hutan. Setiap berburu mereka
selalu membawa anjing untuk mengepung hewan buruan. Sedangkan senjata atau alat
berburunya adalah mandau, sumpit dan tombak. Kemanapun mereka pergi senjata-senjata
ini jarang tertinggal dan selalu terselip di pinggang atau dipegang di tangan.
Ketika malam telah
tiba, dengan segera mereka beristirahat, tidur nyenyak dengan buaian angin malam bercampur embun yang
membuat menjadi semakin dingin. Lamin yang damai itu disaksikan oleh awan yang berarak melintasi tempat mereka. Menengok ke
bawah, awan itu tersenyum lalu pergi lagi.
Pada hari minggu
Minai pergi ke tepian sungai dengan membawa kail ditangan. Sesampainya di tepi
sungai ia mencari-cari tempat yang bagus dan banyak ikannya. Dipilihnya tempat
yang teduh, rindang oleh dedaunan, airnya tenang serta tempatnya bersih dan
mudah untuk meletakkan kail serta mudah untuk menariknya. Cukup lama Minai berada
di tempatnya tersebut, namun kailnya belum ada yang memakan, tidak ada seekor
ikanpun yang ia dapat. Ibu tersebut heran bercampur kesal, sepengetahuannya
sebentar saja mengail di tempat ini sudah banyak ikan yang ia peroleh. Minai tetap sabar menanti sampai
dapat. Matanya nanap menatap kearah kail diletakkan. Sesekali kail itu seperti
ditarik ikan yang sedang bermain-main. Tapi setelah di angkat sedikit ke atas,
tidak ada apa-apa yang tersangkut di mata pancing, hanya umpan kailnya yang
habis.
Angin
sepoi-sepoi yang bertiup mengenai raut muka ibu, gemerisik daun kering beradu sesama.
Terdengar bergantian, ranting-ranting kecil patah-patah dikejauhan, seperti terinjak
seorang raksasa. Si Minai terus menanti, menanti, dan… “Hiii…” tiba-tiba ia
terpekik, tepat di hadapannya seekor ulat bulu menggantung, menggeliat-geliat
seperti memohon bantuan. Minai tidak menghiraukan ulat bulu itu, lalu menggeser
duduknya ke kanan menjauhi ulat bulu itu. Ia gunakan seraungnya mengusir ulat itu sehingga
ulat jatuh ke sungai. Bersamaan dengan itu Minai terkejut, sebab kailnya
bergerak, ada yang menarik. Bergerak kesana-kemari, ketika ia berusaha untuk
menarik dan mengangkat stik kayu kailnya, terasa begitu berat. Dengan sigap
Minai terus berusaha menariknya, dan seekor ikan menggelepar-gelepar karena
tersangkut mata kailnya.
Ikan itu besar dan panjang.
Kulitnya licin tanpa sisik, bersirip, warnanya hitam mengkilap, seperti belut. Dalam
bahasa Berau ikan itu namanya Jallau.
Atau dikenal juga dengan nama mersapi.
Ikan jallau sangat besar, cukup untuk dimakan hingga tiga hari.
Setelah
berberes, ibu janda bergegas pulang. Sampai di rumah, ikan jallau hasilnya kailnya
itu di bersihkan dan di potong-potong menjadi beberapa bagian ditepian sungai.
Satu-satunya cara yang paling
mudah untuk memasak ikan tentu dengan di bakar.
Harum jallau yang dibakar
menghambur sekeliling lamin. Minyak dari badan ikan jallu menetes kebara api.
Sampai bara api hampir mati oleh tetesannya. Rasanya kitapun ingin cepat-cepat
mencicipi. Ah sedap sekali.
Sejak tadi Minai
sudah pergi kekebun mencari lalapan. anak perempuannya si Man’a yang mendapat tugas menjaga ikan dan
membalik-baliknya hingga masak. Sebelum ibunya pergi sempat berpesan kepada
anaknya, “jangan kau tertawa di depan ikan yang sedang dibakar…tidak boleh,
pamantang”. Sedang bau harum jallau dibakar itu semakin menghambur jauh diluar
lamin.
Tapi apa yang
terjadi, pesan tinggal pesan, Man’a dan Jit Jiu lain pula lakunya. Apabila ia merasa aneh dan
lucu maka tertawalah mereka. Tanpa menyadari hal ikhwal, akibat apa yang
nantinya mereka terima. Awalnya memang hanya si Jit Jiu yang selalu tertawa,
dan mudah tergoda untuk tertawa, sedangkan kakaknya si Man’a masih mampu
menahan diri, masih bisa menegur adiknya yang melanggar pesan para orang tua
itu.
Sejak dahulu
mereka percaya benar kalau sedang membakar ikan, tidak boleh tertawa dihadapan
dapur atau di hadapan tempat membakar ikan itu. Karena bagali, pamantang,
dilarang menurut adat. Prilaku semacam itu bisa menimbulkan malapetaka yang
tidak dapat dielakkan.
Kedua anak itu belum mengerti apa maksud pesan dari ibunya. Mereka tahunya
takut, apabila sedang diingatkan dan dimarahi, sedang peringatan itu mudah
terlupakan oleh anak-anak seperti Man’a dan Jit Jiu. Awalnya mereka masih ingat
dan saling mengingatkan, tapi setelah asyik semuanya menjadi lupa. Tertuju hanya
pada satu perhatian, maka lupalah semuanya.
Ikan Jallau yang
dibakar semakin kering, semakin meggeliat-geliat seperti hendak turun dari tempat
pembakaran. Ketika sudah hampir jatuh, Man’a atau Jit Jiu letakkan kembali ke
atas bara api. Begitu beberapa kali mereka lakukan sambil tertawa. Mereka terus
tertawa sampai terbahak-bahak, hingga tidak ingat apa-apa dan tidak menyadari
apa yang sedang terjadi di sekitar mereka bedua. “kak, kak..lihat itu ikannya
turun lagi”. Ucap adiknya di sela tawanya.
“tangkap…tangkap dik….taruh di situ lagi..” sambil menunjuk bara api, sedang
Jallau menggeliat.
Di luar lamin angin
sudah kencang menerobos daun-daun kayu dan bahkan menumbangkan pohon-pohon. Yang
sedang berada di ladang semua bergegas pulang. Mereka heran dan bertanya-tanya ada
apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
“Aku telah kalian siksa…aku telah
kalian potong-potong untuk dijadikan makanan, tapi mengapa kalian menertawai aku
seperti itu?” tiba-tiba suara muncul dari arah ikan yang sedang dibakar itu.
Kedua anak yang asyik
tertawa….tidak terkejut, tapi mereka malah tertawa semakin keras.
“kak, dia bilang kita
potong-potong..hahaha… mana bisa turun ya kak hahahah….sedangkan kita di sini.”
Kata si adik. “iya..iya” Man’a menambahkan
“panggillah ibu kalian jika ingin
melihat aku turun dari sini.” Sambung ikan itu. “aku akan tersambung lagi
seperti semula dan turun bersama lami dan kalian ke dasar sungai…aku akan hidup
bebas seperti sediakala.” Ujar ikan jallau dibara api
“hahahaha..dia mau bersambung
kembali..kak, dia mau bersambung kembali kak…”kata Jit Jiu mengolok-ngolok
semakin keras.
“iya..iya…masa ada ikan yang
sudah dipotong mau menyambung lagi”.
“kalian ingin melihat buktinya?!”
tanya si ikan
“bersambunglah..turunlah kalau
memang kau bisa.” Tantang kedua anak tersebut bersamaan.
“baik……lihatlah!”
Maka secara sepontan dan teratur
ikan jallau itu mulai menyambung kembali, bagian demi bagian tubuhnya yang sudah terpotong-potong
hingga tubuhnya kembali seperti semula tanpa ada bekas potongan sama sekali.
Dengan perlahan-lahan ikan itu tanpa
merasa kepanasan bergerak turun dari atang dapur tempatnya dibakar.
Semua penghuni
lamin telah berkumpul dalam rumah panjang itu, kaget melihat apa yang terjadi.
Sedangkan di luar lamin angin bertiup semakin kencang dan terus bertambah
kencang. Minai tidak sempat berbuat apa-apa, hanya menatap apa yang telah
dilakukan kedua anaknya, kedua anaknya itu telah melanggar sumpah, telah
melanggar Pamantang, telah melanggar adat nenek moyang.
Bersamaan dengan ikan turun,
laminpun ikut bergerak turun. Tanah sekitar lamin itu longsor dan turun. Terus
longsor masuk kedalam sungai mengikuti gerak dan geliat ikan jallau. Suara
teriakan histeris ketakutan terdengar sangat kencang disepenjuru lamin menembus
gunung-gunung dan sampai keawan gemawan, anak-akan berlari mendekap ibu dan
ayahnya. Orang-orang tua sibuk berlari kesana kemari hanya disekitar lamin
tidak mengerti harus berbuat apa. Anjing melolong kencang seperti memburu
hantu, ayam terbang sambil berteriak tidak jelas memaknai situasi, semuanya
hanya berteriak, berlari, ketakutan, tapi tidak menjauh dari lamin yang siap
tenggelam. Dalam waktu yang sangat singkat lamin beserta isinya itu turun ke
dasar sungai bersama dengan orang-orang tua, remaja, anak-anak, ayam dan anjing
peliharaan yang ada ditempat itu. Sedangkan ikan jallau yang bersama lamin
turun kedasar sungai langsung berenang dengan pongahnya, seolah tidak pernah
terjadi apa-apa. Ikan jallau itu hidup kembali seperti semula tanpa cedera
sedikitpun.
Lamin tenggelam dan menghilang
kedalam sungai seperti ditelan bumi………....
Dengan kejadian
tersebut, maka tempat itu dikenal dengan LAMIN TALUNGSUR. Dibuktikan dengan
sungai sekitar kejadian menjadi lebih lebar dan membentuk teluk. Konon tempat
tersebut sangat angker, kalau kebetulan melalui tempat itu pada malam hari,
tidak boleh berbicara sembarangan dan menimbulkan suara gaduh. Pada malam-malam
jum’at tertentu, maka nampaklah rumah lamin didasar sungai.
Tamat