Minggu, 06 Desember 2020
Selasa, 15 September 2020
PEMBANTAIAN TENTARA JEPANG
PEMBANTAIAN OLEH TENTARA JEPANG
Oleh : Saprudin Ithur
Begitu Tentara
Jepang datang dan mendarat di pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur, masyarakat Teluk
Bayur menyambutnya dengan suka cita. Rakyat Berau yakin dengan datangnya Jepang
sebagai saudara tua, pasti ada peningkatan dan perubahan dimana-mana. Selama
penjajahan Belanda rakyat tidak ada perubahan apa-apa, masih sepertu dulu,
miskin dan tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan seperti anak-anak Belanda
dan anaknya priyayi budak Belanda.
Apalagi mendengar bahwa Jepang bersama Indonesia adalah saudara. Jepang
dan Indonesia akan membuat Asia kaya raya. Berita manis tersebut menggugah
perasaan semua rakyat Berau yang ada di
Teluk Bayur, Gunung Tabur, Sambaliung, Tanjung Redeb, dan sekitarnya. Mereka
semua siap menerima perubahan dan siap melakukan perubahan yang lebih baik.
Tetapi kenyataan sangat jauh berbeda, tidak seperti yang mereka semua
bayangkan. Hanya setahun saja berada di Berau, Jepang sudah berubah total,
kecurigaan terhadap rakyat sangat sensitif dan luar biasa. Mendengar ceritera
ada rakyat yang mengatakan pemerintahan Belanda lebih baik dari pemerintahan
Jepang, rakyat langsung ditangkap dan
dibantai dengan cara dipancung. Mendengar ada sekutu mau datang dari seseorang,
ratusan para pemuda, tokoh masyarakat, pemuka agama, ulama ditangkap, sampai
sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya dan dimana kuburnya. Tragis
memang, tapi begitulah kenyataan yang dirasakan oleh rakyat Berau. Banyak orang
tua kehilangan putranya, banyak istri dan anak kehilangan suami dan ayahnya.
I. JEPANG MASUK
BERAU
Pada awal tahun
1942 perusahaan batu bara milik Belanda Stankolen Mascapay Parapatan (SMP) masih berjalan sebagaimana
mestinya. Kegiatan mengeluarkan batu bara dari perut bumi di wilayah Teluk
Bayur masih berjalan. Lokomotif pengangkut batu bara dari sumur penggalian di
Rantau Panjang sampai ke pelabuhan bongkar muat masih hilir mudik seperti
biasa. Pelabuhan bongkar muat batu bara juga masih berjalan seperti biasa.
Kapal pengangkut batu bara dari pelabuhan Teluk Bayur masih ada dan berangkat
menuju pulau Jawa seperti biasa. Artinya perdagangan batu bara pada waktu itu
masih berjalan dengan lancar.
Berita Jepang
mengalahkan Belanda sudah terdengar dimana-mana, berita radio menjadi andalan
informasi pada masa itu. Radio masih sangat jarang, orang kebanyakan belum
mampu untuk membeli radio. Oleh karena itu masyarakat berkumpul mendengarkan
berita yang dipancarkan melalui radio. Berita radio tersebut disebarkan oleh
para pendengar kepada semua orang di Teluk Bayur. Masyarakat Teluk Bayur sejak
setahun yang lalu (1941) sudah tahu bahwa wilayah jajahan Hindia Belanda yaitu
Indonesia sudah dikuasai tentara Jepang, dengan diawalinya pada tanggal 8
Desember 1941 Pearl Harbour di Hawai diserang mendadak oleh Angkatan Laut
Jepang dibawah pimpinann Laksamana Yamamoyo. Perang Pasifik tidak dapat
dihindarkan antara Amerika Serikat dengan Dai Nippon Jepang. Pengaruh serangan
Jepang yang mendadak dan sangat berani itu sangat berpengaruh kepada dunia.
Sedangkan di Eropah Jerman menyerang dan menguasai wilayah Balkan, tentara Nazi
menguasai dan mencaplok nagara Balkan Schier Eiland. Pengaruh kekuatan dan
keberanian tentara Laut Jepang di Asia mengusir penjajah dari Eropah seperti Inggris,
Belanda, juga Amerika. Belanda kalah tanding dilaut dan didarat dengan tentara
Laut dan Darat Jepang. Pada tahun 1942 tentara Belanda sudah tidak ada lagi di
Berau, para pemegang peralatan penting orang-orang Belanda yang ada di Teluk
Bayur juga sudah meninggalkan Teluk Bayur.
Yang tertinggal para pekerja,
para mandor, tentara, polisi orang pribumi, makanya produksi bata bara masih
berjalan. Mereka pergi meninggalkan
Teluk Bayur secara diam-diam menuju Tarakan dan sebagian lagi menuju
Balikpapan, orang Indonesia pada umumnya tidak mengetahui kepergian orang-orang
Belanda itu dari Teluk Bayur dan Tanjung Redeb. Para pekerja tambang batu bara
juga tidak mengetahui hal ikhwal perginya orang-orang Belanda dari Teluk Bayur
dan Tanjung Redeb. Hanya para pegawai penting diperusahaan saja yang tahu,
itupun harus dirahasikan. Belanda masih yakin akan kembali ke Berau dan
menjalankan usahanya di Teluk Bayur. Belanda yakin Jepang tidak akan lama
menguasai Nusantara atau Hindia Belanda. Kebutuhan batu bara untuk menggerakkan
mesin kereta api, mesin kapal, dan menggerakkan mesin listrik masih sangat
penting, oleh karena itu perusahaan batu bara tetap berjalan seperti biasa.
Pada pertengahan
tahun 1942 tentara Jepang masuk ke Berau dan menduduki Berau tanpa pertempuran,
langsung menuju Teluk Bayur. Karena Teluk Bayur pada masa itu adalah daerah
strategis yang dikuasai lebih dahulu. Setelah Teluk Bayur dikuasai sepenuhnya
oleh Jepang, barulah tentara Jepang bergerak ketempat-tempat lain seperti
Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Sambaliung, Talisayan, Batu Putih, Biduk-Biduk,
Pulau Derawan dan Pulau Balikukup. Jepang juga melakukan penjagaan dibeberapa
mercu suar seperti di Tanjung Mangkalihat, dan Pulau Maratua.
Sebelum bala tentara Jepang datang di Teluk Bayur, bulan Januari 1942 bala tentara Jepang lebih dahulu menguasai Pulau minyak Tarakan. Dari Tarakan, tentara Jepang berangkat menuju Berau dengan menggunakan dua buah kapal motor perang sejenis Korpet mendarat di pelabuhan Sanggrai Teluk Bayur. Sanggrai adalah istilah lain dari nama pabrik penggergajian pada masa penjajahan Belanda, disana tai gergajian atau kotoran limbah penggergajian menumpuk menggunung. Didekat sanggrai itulah ada sebuah pelabuhan besar dan kokoh dari bahan kayu ulin seluruhnya. Sanggrai berada sekitar empat ratus meter dibelakang gedung mewah kamar bola atau boll room.
Pasukan Jepang
sebanyak dua kompi kurang lebih 70 orang langsung mendarat dan membentuk
barisan masuk kota Teluk Bayur langsung ke lapangan sepak bola Teluk Bayur.
Selanjutnya mereka berbagi menuju kantor perusahaan batu bara, ke pasar Teluk
Bayur, kekamar bola, kepelabuhan muat batu bara, pelabuhan penggergajian kayu
di Silo. Memeriksa semua gerbang lokomotif, pelabuhan, dan ada yang langsung
menuju pusat perbengkelan Perusahaan Batu Bara didekat terowongan. Semuanya
sudah aman, tentara Belanda tidak ada lagi, orang-orang penting Belanda sudah
tidak ada lagi, bekas polisi warga pribumi direkrut untuk membantu keamanan
Teluk Bayur yang kemudian hari dikenal dengan nama Jompo. Seminggu kemudian tentara Jepang baru bergerak menuju
Tanjung Redeb, ke Keraton Gunung Tabur, dan ke Keraton Sambaliung. Semua
tempat-tempat itu dikuasai dengan mudah tanpa ada perlawanan.
Setelah semua
dikuasai dan aman, baru tentara Jepang bergerak berbagi ada yang menuju Pulau
Derawan, Talisayan, Pulau Balikukup, Biduk-Biduk, dan Pulau Kaniungan. Setelah
itu sebagian mereka kembali lagi kepusat kota di Teluk Bayur. Tentara Jepang di
Teluk Bayur sangat disegani masyarakat, karena setiap bertemu wajib hormat
kepada tentara Jepang. Sebagian orang senang dengan cara seperti itu, akhirnya
semua rakyat yang ada mau tidak mau belajar bagaimana menghormat tentara Jepang
dengan baik dan benar. Dengan cara semacam itu tentara Jepang sangat senang,
mereka menganggap rakyat Indonesia sopan dan menghormati keberadaan tentara
Jepang.
Saat Jepang baru datang berbaris menjadi dua
regu langsung menuju lapangan bola, dilapangan mereka bubar. Salah satu tentara
Jepang memanggil seorang remaja yang menyaksikana kedatangan tentara Jepang, memanggil dan bertanya kepada seorang
Remaja Uning namanya “kura..kura” sambil melambaikan tangan, Uning mendekat
balik bertanya dengan sikap sopan kepada sang tentara Jepang “ada apa tuan”
lalu ia tanya lagi “Indonesia” Uning menjawab ”ya tuan” lalu katanya “ jotolah
Indonesia….Indonesia bagus, Indonesia Jepang sama samalah” lalu lanjutnya lagi
“Asia sama-sama, nanti Indonesia Jepang bikin Asia kaya raya, belanda semua
usir” Uning mendengar ucapak tentara Jepang yang memanggilnya itu sangat
senang. Jepang mengusir Belanda ingin menjadikan Indonesia kaya raya, ingin
menjadikan Asia kaya raya, dalam pikiran Uning masa depan Indonesia menjadi
lebih baik, tidak ada lagi kemiskinan, tidak ada lagi orang yang tidak punya
baju, makanan selalu ada, rokok dan tembakau selalu ada, tidak ada lagi
kelaparan, tidak ada lagi kelas-kelas yang membedakan derajat orang kulit
putih, orang kulit campuran dan pribumi. Pada masa Belanda orang pribumi
menjadi orang nomor tiga, nomor terakhir, nomor terendah, nomor kelas budak,
kelas pembantu, kelas babu, kelas yang tidak berdaya. Seluruh rakyat Indonesia pasti gembira dan senang
menerima kedatangan Jepang.
Kurang lebih
sebulan lamanya tentara Jepang sudah menguasai sepenuhnya Berau datanglah
seorang Jepang ke Tanjung sekarang Tanjung Redeb, langsung menduduki dan
menempati tempat kedudukan Kepala Pemerintahan Belanda di Tanjung Redeb yang
telah ditinggalkan. Disana langsung dibukalah kantor pemerintahan Jepang yang
dikenal dengan sebutan Bunken Kanrikan
Jumisya dengan dikepalai oleh Kinoshita
dengan jabatan sebagai Kanrikan. Kepala kantor pemerintahan Jepang diwilayah
Berau. Dengan demikian maka resmilah Jepang berkuasa sepenuhnya di tanah Berau,
baik pertahanan, keamanan, dan pemerintahan menjadi tanggung jawab pemerintahan
Jepang.
Para pemuda
direkrut dilatih ketentaraan, dilatih apel dan menghormat bendera Jepang.
Disekolah dilatih baris-berbaris, apel pagi dan hormat bendera, para pekerja
juga dilatih baris berbaris, apel dan hormat bendera Jepang. Hasil didikan
tentara Jepang sampai sekarang masih melekat di masyarakat Indonesia, setiap
hari Senin sekolah melaksanakan apel bendera, masuk kelas berbaris, pulang
dengan berbaris. Dikantor-kantor melaksanakan apel pagi dan apel siang. Pada
hari-hari besar juga diadakan apel. Para pejabat duduk dengan santai, pasukan
yang mengikuti apel berdiri dengan sikap siap dan istirahat.
Perlu ada
keberanian untuk merubah kebiasaan apel hari-hari besar yang sudah biasa
dilaksanakan pemerintah sejak dulu dengan peserta apel berdiri satu sampai dua
jam, menjadi peringatan hari-hari besar nasional dan internasional dengan
semuanya duduk dalam sebuah gedung atau ruang yang disiapkan dengan baik.
Semuanya berdiri hanya pada saat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengikuti
pembacaan Pancasila serta mengheningkan cipta. Selain itu semuanya duduk saja.
Acara gelar apel peringatan hari kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus
dilapangan terbuka yang berdiri hanya pasukan khusus seperti Tentara Nasional
Indonesia, Polisi republik Indonesia, Satuan Pengamanan, Pertahanan Sipil, dan
Pasukan Penggerek Bendera, yang memang terlatih untuk berdiri lama. Selain itu semuanya duduk dengan hikmad. Berdiri
semua ketika Penggerekan Bendera Merah Putih, pembacaaan Pancasila, pembacaan
Undang-Undang Dasar 1945, dan mengheningkan Cipta. Sedangkan mendengarkan suara
sirine detik-detik proklamasi, mendengarkan pidato cukup dengan duduk dan hikmad.
Pada
upacara-upacara apel hari-hari besar nasional dan internasional dihadiri
sembilan puluh lima persen oleh Pegawai Negeri Sipil, TNI, Polri, dan Pelajar
yang didampingi oleh guru-gurunya masing-masing. Kehadiran masyarakat umum
seperti pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, organisasi
kemasyarakatan hanya lima persen bahkan kurang dari itu. Kenapa demikian : Pertama, mereka tidak mau meninggalkan
usaha dan pekerjaannya; kedua, sangat
melelahkan dengan sikap berdiri dalam waktu cukup lama; ketiga, gengsi kenapa harus berdiri; keempat, tidak ada sangsi; kelima,
tidak ada manfaatnya. Yang terjadi seolah-olah apel bendera atau apel hari-hari
besar nasional dan internasional itu hanya kegiatan pemerintah saja,
pesan-pesan pidato hanya untuk pemerintah dan pelajar saja, tidak ada kesan
khusus untuk mendorong dan memotivasi masyarakat secara umum. Oleh karena itu
sikap masyarakat dengan adanya apel hari-hari besar tersebut terkesan tidak ada
arti dan makna apa-apa, kecuali mebuang-buang waktu dan capek saja. Para
pejabat jauh dari rakyat, ada jurang pemisah antara pasukan yang berdiri dengan
pejabat dan undangan yang duduk dengan santainya.
Pada tahun
pertama sikap tentara Jepang sangat bagus dan simpatik, para pemuda yang
direkrut latihan baris-berbaris dan latihan ketentaraan selalu siap mengikuti
dengan senang hati. Para pemuda bangga menjadi pasukan yang terlatih walaupun
tidak pakai senjata. Para pemuda berbondong-bondong mendaftarkan diri, dan
merasa malu kalau tidak termasuk yang dilatih baris berbaris oleh tentara
Jepang. Keamanan ketentraman dimana-mana terjamin, dipasar aman, dipelabuhan
aman, ditempat pekerjaan aman dan semuanya aman. Walaupun rasa aman itu
sebagian rakyat Indonesia merasa aman tentram yang dipaksakan.
II. PERILAKU JEPANG
BERUBAH
Pada tahun
pertama tentara Jepang menginjakkan kaki di bumi Batiwakkal belum banyak
pengaruh terhadap ekonomi rakyat, berbeda dengan tahun kedua ekonomi rakyat
semakin merosot diakibatkan perusahaan tambang yang ada di Teluk Bayur tidak
bisa berjalan dengan baik, produksi menurun, upah tenaga kerja juga otomatis
menurun. Imbasnya kepada daya beli masyarakat semakin menurun. Rakyat kecil
yang menjual sayur mayur, umbi-umbian, buah-buhan merosot dan merugi. Nelayan
yang menjual hasil tangkapannya juga kurang banyak pembeli. Ekonomi rakyat
benar-benar menurun dan daya beli juga semakin menurun. Ditambah lagi pasokan
sembako dari luar daerah yang sangat dibutuhkan rakyat juga semakin langka,
garam, gula, tembakau, beras semakin langka di pasaran. Pasokan dari luar
daerah sulit. Kapal pembawa sembako sangat jarang datang, kapal pengangkut batu
bara juga semakin jarang datang, semuanya berimbas kepada rakyat Indonesia di
Berau.
Yang dulu kapal KPM (Koninklijk Pakervaart Maatschappy)
mengangkut ribuan ton batu bara dari Teluk Bayur keluar daerah, sekembalinya
kapal tersebut membawa barang seperti susu, kain, makanan kaleng dan lain-lain
tidak beroperasi lagi. Kapal-kapal tersebut dialihkan jalurnya menuju Australia
sekaligus mengangkut pengungsi bangsa Belanda dari Indonesia, maka yang terjadi
pasokan barang keperluan dari Pulau Jawa, dari Makassar tidak ada lagi. Rakyat
Berau kondisinya semakin sulit dan memburuk. Pemerintahan yang ada di Gunung
Tabur dan Sambaliung memerintahkan rakyat segera menanam sayur-sayuran,
umbi-umbian, dan padi untuk menghindari kelaparan. Ditambah lagi perilaku
tentara Jepang yang semakin reaktif dan semakin mengganas.
Sejak akhir
tahun 1943 dan seterusnya keadaan di
Berau semakin sulit dan mencekam, benar-benar paceklik. Barang makanan apapun
yang ada di toko-toko sudah semua kosong. Toko semua terpaksa harus tutup,
karena barang tidak ada lagi yang dapat dijual. Kalau tidak mau mati kelaparan
satu-satu cara adalah dengan meningkatkan bercocok tanam. Rakyat Berau harus berjuang,
harus bekerja keras. Masyarakat Gunug Tabur menanam padi sawah pasang surut
disekitar Gunung Tabur, di Merancang, ada sebagian di sungai Birang, dan di
pulau Besing. Masyarakat Sambaliung berladang di Simanuk, di Rantau panjang,
dan di Tumbit. Penduduk di Tanjung Redeb, Teluk Bayur dan Rinding tidak
ketinggalan berkebun dan menanam padi, mereka berkebun ubi dan menanam sayuran
didataran sekitar mereka tinggal masing-masing, atau masuk hutan membuka lahan
agar memiliki kebun lebih luas. Sebagian mereka ada yang pindah ke Sukan dan
lain-lain untuk mencari kehidupan dengan cara berkebun, menanam ubi, sayur, dan
buah-buahan. Sebagian besar rakyat Berau badannya kurus-kurus, pucat, dan
berjalan lemah tidak berdaya karena kekurangan makanan.
Sampai sejauh itu
pengorbanan rakyat Berau, kekurangan makanan, badannya kurus, pucat, lemah,
tidak berdaya. Padahal rakyat Berau tidak ada urusan dengan perang di Eropah,
rakyat Berau tidak mengerti dengan penyerangan secara mendadak yang dilakukan
oleh Jepang, rakyat Berau juga tidak pernah paham dengan Jepang ingin menguasai
Asia, membikin Asia Kaya Raya, rakyat Berau juga tidak mengerti kapan Belanda
berakhir dan meninggalkan Indonesia, kapan Jepang mulai menjajah Nusantara,
rakyat Berau juga tidak pernah tahu kapal-kapal yang biasa datang ke Teluk
Bayur mengangkut batu bara sudah dialihkan menuju Australia mengangkut para
pengungsi bangsa Belanda. Rakyat Berau yang tahunya saat ini miskin papa, tidak
punya apa-apa, tidak punya uang, menjual hasil kebunnya dengan cara barter
tidak ada yang bisa dibarterkan, tidak ada yang beli. Toko sudah tutup semua,
dengan demikian maka garam tidak ada, gula tidak ada, gandum tidak ada, minyak
tidak ada, kain tidak ada, pakaian tidak ada, tembakau tidak ada. Apalagi
yang nama susu, coklat, makanan kaleng adalah barang mewah untuk
masyarakat Berau, semuanya tidak ada. Para pekerja tambang sebagai konsumen
atau pembeli utama sayur-sayuran,
umbi-umbian, buah-buahan yang dijual masayarakat sekitar tambang tidak bisa
membeli dengan kontan, semuanya hutang. Karena mereka juga tidak punya uang.
Untuk barter dengan barang yang dimiliki para pekerja juga tidak ada lagi yang
bisa dibarterkan. Semuanya sudah habis. Para pekerja tambang batu bara harus
berjuang alih profesi dengan membuka lahan menanam padi, menanam sayur, menanam
ubi, menanam jagung. Tanaman tersebut semuanya ya untuk makan, untuk pengisi
perut, mereka semua berjuang untuk hidup. Belum lagi serangan hama. Babi
menyerang kebun ubi, jagung dan padi, tikus menyerang padi dan ubi, ratusan
monyet menyerang padi dan jagung, ribuan burung menyerang padi yang baru
mengeluarkan buah. Mereka yang berkebun harus berjuang melawan hama yang
mengganas, mereka tinggal dikebun bersama keluarganya masing-masing. Rakyat
Berau tidak lagi perlu memikirkan pendidikan anak-anak, tidak lagi memikirkan
kesehatan, tidak lagi memikirkan syetan, jin, hantu yang sering mengganggu dan
menggoyang rumah dan pondok mereka ditengah hutan, yang paling penting hanya
satu ada bahan makanan yang dapat dimakan untuk bertahan hidup, agar tidak mati
kelaparan. Yang tidak mampu membuka lahan untuk berkebun karena lemah dan
sakit-sakitan, atau karena malas, karena gengsi adalah bagian dari korban
kelaparan dan kematian yang terus bergiliran.
Selain hama, banyak pencuri yang mengambil ubi dikebun, sayur dan
buah-buahan karena kebutuhan. Banyak rakyat Berau yang mati kelaparan. Mereka
adalah korban perang yang tidak pernah mengerti dengan perang. Perangnya
dimana, dahsyatnya perang itu seperti apa mereka tidak pernah melihatnya,
mereka tidak pernah tahu. Tetapi akibat
peang, kesengsaraan, kelaparan, kemiskinan, mereka semua merasakan dan menjadi
korbannya. Rakyat Berau hanya menjadi korban perang saja, selebihnya tidak
tahu, tidak mengerti apa-apa.
Kesengsaraan
rakyat berau tidak sampai disitu saja, masih ada yang lebih perih dan memilukan
yaitu prilaku tentara Jepang yang semakin mengganas, garang, dan sadis. Sedikit
saja membuat kesalahan rakyat Berau didamprat, dihardik dengan sumpah serapah
yang sangat kasar, dipukul, ditempeleng, ditinju bahkan sampai diinjak-injak.
Yang dulu tersenyum sudah hilang, yang dulu suka menyapa sudah hilang, yang
dulu tentara banyak berteman dengan para pemuda dan pemudi untuk belajar bahasa
Indonesia dan Bahasa Daerah sudah hilang. Yang celaka sekali para Jompo-jompo
orang pribumi juga ikut-ikutan menjadi ganas, mendamprat, menghardik dengan
kasar kepada bangsanya sendiri. Seolah-olah mereka bagian dari tentara Jepang
yang lagi linglung dan stress.
Tentara Jepang
mencurigai siapa saja perempuan atau laki-laki. Rakyat Berau tidak boleh
mendengarkan siaran radio, membaca buku, majalah dan Koran diperiksa dan
dicurigai. Para Jompo bergerak keseluruh penjuru kota dan kampung, apabila ada
yang mencurigakan atau patut dicurigai langsung dilaporkan kepada tentara
Jepang. Orang-orang yang dilaporkan oleh jompo itu langsung dijemput dan
langsung diperiksa.
III. PENANGKAPAN
DAN PEMBANTAIAN
Perang dunia ke
dua berkecamuk di seluruh dunia, tentara sekutu gabungan dari berbagai Negara
Eropah, Australia dan Amerika melawan penguasa dunia. Di Eropah sekutu melawan
tentara Nazi Jerman yang sangat kejam, di Asia sekutu memerangi Jepang yang
sudah menguasai hampir seluruh daratan Asia dan pulau-pulau disekitar Asia
termasuk Indonesia. Tentara Jepang yang sudah tersebar didaratan Asia berjibaku
melawan tentara sekutu Amerika, Australia, Inggris dan lain-lain. Tempat-tempat
strategis diseluruh Asia seperti lapangan Terbang, kilang-kilang minyak,
pelabuhan dijadikan sasaran bom. Bom meledak dimana-mana, api membumbung,
kebakaran besar tidak bisa dihindarkan. Tidak luput pula Indonesia, untuk
mengusir Jepang di Nusantara dikerahkan tentara angkatan udara Australia dan
dibantu Amerika.
Peperangan yang
banyak memakan korban dipihak tentara Jepang, membuat tentara Jepang diseluruh
Indonesia dalam keadaan siaga penuh, begitu pula dengan keadaan Berau. Tentara
Jepang yang ada di Berau dalam keadaan genting dan siaga penuh. Semua rakyat
Berau menjadi sasaran kemarahan tentara Jepang. Informasi mengenai tentara
sekutu yang menyerang Asia ditutup rapat. Tentara Jepang dan pusat pemerintahan
Jepang di Tanjung Redeb waktu apel selalu menyampaikan kegagahan tentara Jepang
dimedan perang melawan Amerika, melawan Inggris, melawan Australia. Perang
melawan sekutu adalah perang Suci, penjajahan bangsa Eropah dan Amerika harus
diusir dari Asia. Propaganda itu selalu disampaikan kepada pegawai pemerintahan
Jepang, untuk meyakinkan bahwa Jepang tidak kalah. Setiap orang yang mengetahui
berita kekalahan Jepang melawan sekutu menjadi korban penangkapan Tentara
Jepang. Akhirnya kecurigaan semakin tidak mendasar, orang-orang yang ditangkap
dicurigai sebagai mata-mata musuh, sebagai mata-mata sekutu, rakyat menjadi
korbannya. Ada yang dicurigai, walaupun tidak mengerti apa-apa langsung ditangkap
dan dibawa entah kemana. Ada tidak kurang dari 700 orang rakyat Berau menjadi
korban keganasan tentara Jepang. Penangkapan dilakukan di Teluk Bayur,
penangkapan dilakukan di Tanjung Redeb, penangkapan juga dilakukan di Gunung
Tabur, penangkapan di Sambaliung, penangkapan di Talisayan, penangkapan di
Biduk-Biduk, penangkapan di Labuan Kelambu, penangkapan di Teluk Sumbang, dan
penangkapan di Pulau Kaniungan. Hanya
dalam kurun waktu dua tahun korbannya mencapai 700 orang. Rakyat
Indonesia yang ditangkap itu ada yang dikirim ke Tarakan dan ada yang dikirim
ke Balikpapan, yang tidak terkirim diselesaikan di Teluk Bayur dan Tanjung
Redeb. Setelah ditangkap dipenjarakan sebagian besar langsung dipancung. Dimana lokasi pembantaiannya
sampai sekarang tidak diketahui oleh rakyat Berau, kecuali kejadian pembantaian
di Sanggrai pembantaian terakhir tentara Jepang terhadap masyarakat kampung
Rinding. Tenggang waktu penjajahan
Jepang yang singkat itu meninggalkan duka yang mendalam bagi rakyat Berau.
Banyak anak-anak kehilangan ayahnya, banyak ibu-ibu kehilangan suaminya yang
sampai sekarang tidak pernah tahu dimana kubur ayah atau suami mereka.
Anak-anak korban penangkapan dan pembantaian tentara Jepang yang tidak berdosa
itu dengan susah payah, dengan penuh pengorbanan, dengan penuh kasih sayang
dibesarkan oleh ibunya yang janda, oleh kakek neneknya yang miskin, dan oleh
sanak keluarga. Alangkah sakit dan perihnya perasaan anak-anak tanpa dosa itu
menjadi korban keganasan perang dimasa penjajahan Jepang.
Selain orang
Indonesia yang menjadi korban, banyak pula orang asing yang ada di Berau jadi
korban pembantaian tentara Jepang, dr. Lucardie bersama anaknya yang masih
berusia lima dan enam tahun juga menjadi korban keganasan tentara Jepang.
Padahal dr. Lucardie sangat berjasa terhadap tentara Jepang, Jompo-jompo, dan
rakyat Indonesia yang pernah berobat dan dirawatnya waktu sakit. Rakyat Berau
pada umumnya mengenal dr. Lucardie sebagai dokter yang baik, merawat siapa saja
yang datang kepadanya. Tentara Jepang yang sakit malaria dirawatnya dengan
baik, jompo yang sakit dirawatnya denga baik, para pekerja tambang batu bara
dirawatnya dengan baik, rakyat biasa juga dirawatnya dengan baik. dr. Lucardie
memperlakukan pasien sama, semua dirawat dengan baik. akhir hidupnya sangat
tragis dipancung oleh tentara Jepang yang menggunakan orang-orang pribumi
sebagai algojonya.
IV.PEMBANTAIAN
DI KAMPUNG MARANCANG
Tentara Jepang
tidak hanya melakukan pembantaian di kota-kota, seperti Teluk Bayur, Tanjung
Raddap, Gunung Tabur, dan Sambaliung, tetapi juga melakukan pembantaian sampai
ke Banua Marancang (Marancang sekarang masuk wilayah Kecamatan Gunung Tabur).
Kampung marancang pada tahun 1940-an termasuk kampung yang sangat ramai, bahkan
pada masa berdirinya kerajaan Berau atau Berayu pada tahu 1400, Marancang sudah
disebut Banua Marancang. Artinya tempat yang sungguh ramai pada masa itu.
Para penghianat
yang mengabdi pada tentara Jepang pikirannya sangat licik, kotor, dan tidak
berkeprimanusiaan. Mereka melaporkan siapa saja kepada tentara Jepang apabila
diketahui sebagai antek Belanda atau antek Sekutu yang melaporkan keberadaan
tentara Jepang kepada Sekutu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh antek-antek
Jepang untuk melaporkan orang-orang yang tidak disukai kepada tentara Jepang. Orang-orang
yang dilaporkan tersebut langsung ditangkap, lalu dibawa kesebuah tempat dan
langsung dieksekusi mati dengan cara dipancung lehernya oleh algojo Jepang.
Sangat mengerikan dan sadis.
Di kampong
Marancang ada tujuh orang yang jadi korban kesadisan tentara Jepang, dua orang
Tionghoa berasal dari Pulau Bassing, dan lima orang sukui Banua dan suku Banjar
dari kampung Pujut dan kampung Marancang. Salah satu diantaranya sedang
berbelanja disebuah warung di kampung Pujut, tidak mengerti dan tidak tahu menahu,
tiba-tiba langsung ditangkap jompo dan dibawa ke Marancang dikumpulkan menjadi
satu, jadi tujuh orang. Ketujuh orang tersebut dibantai dengan sadis oleh
algojo Jepang di Kampung Marancang ditepi lubang yang telah disiapkan.
Sebelum
dipancung lehernya, satu persatu kepala pesakitan ditutup dengan kain putih
berbentuk kompi seperti sarung bantal, lalu dibawa ketepi lubang dan dipancung.
Tubuh pesakitan masih menggelepar, tubuhnya yang sudah tidak berkepala itu
didorong dengan sebelah kaki oleh algojo masuk kedalam lubang. Sampai selesai
ketujuh orang yang dipancung itu, menumpuk tindis menindis didalam lubang yang
tidak terlalu besar. Lubang sumur itu langsung ditutup dengan tanah. Kejadian
itu persisnya pada tahun 1944.
V. SERANGAN
SEKUTU MENGHANCURKAN KERATON GUNUNG TABUR
Propagandan
jepang melalui kepala Pemerintahan Jepang di kota Tanjung Redeb sering
berpidato dihadapan para pegawainya saat berbaris apel, mengatakan bahwa bala
tentara Jepang dimana-mana disegala medan laga dan medan perang, berhasil
menghancurkan kekuatan tentara Inggris dan tentara Amerika, Perang Asia Timur
Raya dibawah pimpinan saudara tua Dai Nippon adalah perang suci untuk
membebaskan bangsa Asia dari belenggu penjajahan Inggris, Amerika, dan Belanda.
(A. Maulana, 27) propaganda itu berhasil mempengaruhi pegawai-pegawainya dengan
keyakinan Jepang tidak akan terkalahkan oleh tentara sekutu, meskipun
bergabungnya kekuatan dan persenjataan yang modern untuk mengusir Jepang.
Berita propaganda itu tidak ada pengaruhnya terhadap
rakyat Berau yang dalam keadaan serba kekurangan, mereka tahu penjajahan itu
tidak ada yang baik. Bahkan rakyat Indonesia mengatakan sampai kapanpun
pemerintahan Jepang itu tidak ada baiknya, jahat terus. Terbukti selama dua
tahun terakhir ini kelaparan melanda rakyat, kemiskinan dan serba kekurangan
tidak bisa dihindarkan, ditambah lagi banyak rakyat yang ditangkap tentara
Jepang semakin membuat kesengsaraan dan kesedihan yang mendalam. Oleh karena
itu propaganda apapun yang dilakukan pemerintahan Jepang, rakyat Berau sudah
bosan dan tidak percaya lagi. Kenyataannya sengsara terus, sampai kapanpun
tentara Jepang jahat terus. Tidak ada baiknya.
Akhir tahun 1944
sekutu semakin gencar menyerang pertahanan Jepang dimana-mana. Sebaliknya
Jepang semakin ganas dan haus darah, menangkap orang tidak berdosa dimana-mana.
Diseluruh wilayah yang dikuasai Jepang terjadi pembantaian besar-besaran,
diseluruh Indonesia juga terjadi pembantaian diaman-mana. Ratusan ribu rakyat
Indonesia yang tidak berdosa jadi sasaran kemarahan tentara Jepang. Tentara
sekutu selain menyerang seluruh pertahanan Jepang, dari pesawat tempurnya
menghamburkan kertas yang isi beritanya penyerangan dan kesuksesan Amerika
mengalahkan Jepang dengan gambar Jenderal Mac Arthur. Berau mencekam, rakyat
diam seribu bahasa, bersembunyi didalam rumah atau bersembunyi di tempat-tempat
yang aman.
Para pejabat
bangsa Indonesia yang ada di Berau seperti, Adji Barni Natasuarna, Abidinsyah,
Abdul Haris masing-masing sebagai kepala Onderdistrik, Datu Agil putra Sultan Sambaliung,
Papilaya Kepala Bea Cukai dan beberapa tokoh lainnya sering melakukan
pertemuan. Mereka sangat miris melihat rakyat Berau yang sengsara, serba
kekurangan. Tentara Jepang sudah mulai kehilang percaya diri, propaganda yang
dilakukan rakyat sudah tidak percaya, serangan tentara angkatan udara sekutu
semakin gencar. Uapaya terbaik bagaimana menyelamatkan rakyat dari kerangan
sekutu dan dari keganasan tentara Jepang. Rakyat lebih percaya pada informasi
yang disampaikan para pejabat pribumi, kesmpatan itu digunakan sebaik-baiknya
untuk meyakinkan rakyat. Untuk upaya penyelamatan rakyat, maka dibangunlah
tanda dengan suara keras yang dikenal dengan alaram. Bila suling alaram itu
berbunyi panjang tiga kali berturut-turut tandanya pesawat terbang sekutu datang.
Saat itu pula rakyat mencari tempat perlindungan masing-masing, agar terhindar
dari peluru yang dimuntahkan dari pesawat terbang dan yang dijatuhkan. Apabila
pesawat tempur itu sudah hilang dan tidak kembali lagi dibunyikan alaram
sebagai tanda sudah aman, rakyat boleh kembali kerumahnya masing-masing untuk
melakukan aktifitas seperti biasa.
Pada akhir tahun
1944 semua pejabat bangsa Jepang yang masih ada di Berau, Bulungan dan Malinau
harus berangkat ke Tarakan. Mereka diperintahkan untuk berkumpul semua di
Tarakan untuk melakukan tindakan dan upaya selanjutnya. Setelah Biak dan
Morotai dikuasai oleh sekutu terjadi lagi serangan udara yang lebih dahsyat
yang dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan pesawat-pesawat B24 terhadap
kota Tarakan. Serangan utama ditujukan untuk menghancurkan tangki-tangki
minyak, pelabuhan Lingkas dan lapangan terbang Juata Tarakan dihancurkan.
Setelah pulau Tarakan dikuasai sepenuhnya oleh tentara Sekutu, selanjutnya
giliran Berau jadi sasaran tentara sekutu.
Pada bulan Januari
tahun 1945 pesawat tempur B24 dan pesawat pengebom B29 menuju Berau, yang
menjadi sasarannya Kota Tanjung Redeb,
Teluk Bayur, Gunung Tabur, dan Sambaliung, sasaran peluru-peluru pesawat tempur
B24 langsung ke Teluk Bayur, kemudian menghamburkan peluru di Tanjung Rdeb,
Sambaliung dan gunung Tabur. Selanjut digantikan pesawat pembomB29
mengaung-aung dilangit Berau berputar beberapa kali, kemudian menukik dan
menjatuhkan beberapa buah bom diatas keraton Gunung Tabur. Keraton Gunung Tabur
hancur dan terbakar. Kemudian berputar-putar lagi lalu menukik diatas keraton
Sambaliung melepaskan beberapa buah bom. Keraton Sambaliung selamat dari
bom-bom tersebut. Sebagian bom meledak tidak jauh dari keraton tetapi tidak
sedikitpun merusak keraton dan ada beberapa buah bom yang jatuh jauh dari
keraton tetapi tidak meledak. Menurut tuturan dan kisah selamatnya keratin
Sambaliung dari hantaman bom sekutu itu karena bantuan Si Garutu jin sahabat
Sultan yang sangat besar. saat bom jatuh tangan Garutu kelihatan diatas keraton,
melindungi keraton membuang semua bom
yang jatuh tepat mengenai keraton. Dengan bantuan si Garutu tersebut
keraton Sambaliung selamat dari hantaman
bom-bom sekutu.
Keraton
Sambaliung selamat, sedangkan Keraton Gunung Tabur jadi korban serangan sekutu
dalam upaya untuk melumpuhkan kekuatan Jepang. Keraton Gunung Tabur yang
terbuat dari kayu seluruhnya berbentuk rumah panggung terbakar habis tinggal
menyisakan beberapa tiang ulin bagian
dapur keraton. Tiang-tiang ulin yang
tersisa menjadi saksi bisu kejamnya peperangan. Beberapa tiang yang tertinggal
masih ada sampai sekarang menjadi salah satu kekayaan cagar budaya Kabupaten
Berau yang sangat dilindungi.
Sebelum terjadi
penyerangan dan pengeboman besar-besar yang dilakukan sekutu kewilayah Berau, warga
sebagian besar sudah mengungsi, sebagian lagi berlindung ditempat-tempat yang
aman. Keluarga keraton Gunung Tabur, Sultan Achmad Maulana Muhammad
Chalifatullah bersama istri, anak, keluarga, dan rombongan sudah mengungsi ke
sungai Birang, sedangkan Sultan Sambaliung, Sultan Muhammad Aminuddin bersama
istri-istri, anak-anak, dan keluarga semua mengungsi di dalam Sungai Buntu.
Keluarga kedua keraton tersebut semuanya dalam keadaan selamat.
Tentara sekutu
sudah menguasai seluruhnya wilayah jajahan Jepang, tentara Jepang yang tersisa
yang masih berada di Tanjung Redeb dan sekitar tidak bisa keluar dari
Berau,mereka terkurung, mereka berkumpul di Tanjung Redeb. Keluar lewat laut
kapal-kapal berbendera Jepang tidak bisa, telah dikepung sekutu disekitar Teluk
Sulaiman sampai Tanjung Mangkalihat. Disana kapal selam sekutu berbendera
Australia siap menenggelamkan kapal-kapal yang mencurigakan termasuk kapal
tentara jepang. Satu-satu jalan yang bisa ditempuh menembus lewat pedalaman
Kelay menuju sungai Mahakam. Dari hulu Mahakam menggunakan perahu sampai ke
Samarinda.
Setelah sekutu
menang perang dunia II yang diakhiri dengan membumi hanguskan Nagasaki dan
Hirosima dengan bom Atom yang sangat dahsyat, Jepang menyerah kalah tanpa
sarat. Kemenangan sekutu tidak langsung menduduki Indonesia secara resmi.
Kevakuman kekuasaan tersebut dimanfaat sebaik-baiknya oleh para pemuda bangsa
Indonesia untuk memproklamasikan bangsa Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945
Proklamasi dikumandangkan digedung Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta. Ir. Sokarno dan Drs. M. Hatta atas
nama bangsa Indonesia membacakan tek Proklamsi kemudian menyanyikan Lagu
Indonesia Raya bersamaan dengan menaikkan Bendera Merah Putih. Kemerdekaan
Republik Indonesia diumum keseluh penjuru dunia.
Imbas dari kalah
perang adalah seluruh tentara dan perangkat pemerintahan Jepang harus segera
meninggalkan Indonesia kembali kenegaranya. Proses pemulangan warga Negara
Jepang yang kalah perang tersebut butuh waktu dan persiapan yang matang. Dalam
perjalanannya penuh tantangan dan resiko. Rakyat Berau dalam keadaan mencekam,
di mana-mana tidak ada barang yang dijual, masyarakat kelaparan, untunglah ubi
jalar dan ubi kayu atau singkong, keladi, serta pucuk-pucukan tumbuh subur
dijadikan sebagai makanan pengganti beras dan gandum.
Akhir Agustus
tahun 1945 Seorang pemuda bernama Samsuddin bin Ramlie (Ambi) salah satu yang
ditugaskan tentara Jepang untuk mengantarkan rombongan tentara Jepang melewati
pedalaman sungai Kelay. Rombongan berangkat dari Tanjung Redeb menuju kampung
Muara Lesan dengan naik perahu. Beberapa orang pemuda yang mengantar tentara
Jepang itu dalam ancaman senjata tentara Jepang, senjata laras panjang tentara
Jepang yang diantar siap siaga, apabila terjadi hal-hal yang mencurigakan
langsung tembak. Samsuddin dan kawan-kawan dengan gagahnya mendampingi tentara
Jepang walaupun dalam keadaan terancam.
Perahu didayung dan didorong dengan tanggar melawan arus sungai selama
dua hari dua malam sampai di Kampung Muara Lesan. Dari Muara Lesan melanjutkan
perjalanan dengan perahu lagi menuju kampung orang Dayak Punan dipedalaman
Kelay. Dari sana baru jalan kaki selama dua hari tembus di sungai Wahau. Di
Wahau rombongan pengantar Samsuddin dan kawan-kawan kembali ke Muara Lesan.
Tentara Jepang yang tadinya selalu mengancam dengan moncong senjata sangat
berterima kasih pada para pemuda pemberani. Ucapan terima kasih tersebut mereka
ucapkan puluhan kali baru mereka berpisah dengan tujuan masing-masing. Kalau
tidak cepat diantar, tentara Jepang itu
pasti jadi bulan-bulan rakyat Berau yang ingin balas dendam. Sakit hati yang
luar biasa atas kebiadaban tentara Jepang yang menangkap Ayah, suami, putra
mereka tanpa salah beberapa waktu lalu belum dapat ditumpahkan kepada tentara
Jepang yang kalah perang dengan sekutu. Sedangkan tentara Jepang melanjutkan
perjalanan menyusuri sungai Mahakam sampai kota Samarinda diantar oleh orang
Dayak Wahau dengan naik perahu selama beberapa hari. Perjuangan hidup mati
tentara Jepang dilakukan dengan penuh perjuangan, walaupun sesakit apapun
mereka tetap lakukan dengan penuh tanggung jawab dengan segala pengorbanan.
Samsuddin
sebagai pelaku sejarah yang pernah mengantarkan tentara Jepang itu lahir di
Muara Lesan tahun 1912. Ayahnya seorang tokoh berasal dari Barabai Kalimantan
Selatan, ditunjuk oleh Sultan terakhir Sambaliung Sultan Muhammad Aminuddin
mejadi Pambakal (Kepala Kampung) pertama di Muara Lesan. Tugas utama Pambakal
Ambi untuk mengumpulkan hasil hutan dari suku Dayak Lebbo, Dayak Ga’ai, dan
Dayak Punan. Samsuddin lama tinggal di kampung Muara Lesan lama. Pada masa
jayanya pertambangan batu bara di Teluk Bayur, pernah tinggal di rumah bangsal
Teluk Bayur. Terakhir beliau tinggal di ujung Tanjung gang Ancol sampai sepuh.
Meninggal bulan Januari tahun 2002 dimakamkan di pemakaman Muslim Sambaliung.
VI. JOMPO
DIKEROYOK DISUNGAI BULUH
Pada tanggal 1
Agustus tahun 1945, Hirosima dan Nagasaki belum dibom atom saat itu, tentara
Jepang masih menangkap beberapa orang tokoh dari Kampung Rinding yang dicurigai
sebagai mata-mata Sekutu. Kampung Rinding didiami oleh suku Banjar sejak
ratusan tahun lalu, empat kilometer dari kota Teluk Bayur. Jalan darat antara kampung Rinding dengan
Teluk Bayur sudah bagus dengan pengerasan batu yang rapi. Oleh karena itu
sepeda petugas polisi, motor Herly keamanan, dan mobil jip tentara sering lalu
lalang dari Teluk Bayur-Rinding. Selain
Kampung Rinding orang-orang Banjar juga tinggal di Kampung Batu Miang dan di
Kampung Sukan. Sesepuh Rinding sebanyak dua belas orang ditangkap tentara
Jepang setelah mendapat laporan dari jompo atau polisi Jepang yang pada umumnya
adalah orang pribumi. Dua belas orang yang ditangkap tersebut langsung diangkut
ke Teluk Bayur.
Sebenarnya
Jepang sudah mengetahui bagaimana kekuatan tentara sekutu menyerang seluruh
pertahanan tentara Jepang. Kekuatan angkatan udara sekutu dengan pesawat
pengebom milik Amerika dan kekuatan angkatan Laut dengan kapal-kapal selam yang
canggih milik Australia sudah merepotkan pertahanan Jepang. kota Tarakan dan
kota Balikpapan sebagai daerah produksi minyak dengan kilang-kilangnya sudah
banyak yang hancur dan terbakar. Bandar udara dan pelabuhan laut di Tarakan
sudah di bombardir. Tetapi dengan kesombongan dan kecongkakannya masih
melakukan kebiadaban terhadap rakyat yang tidak berdosa. Yang menjadi dasar
alasan penangkapan adalah menjadi mata-mata sekutu, menginformasikan kekuatan
Jepang yang ada di Berau, dengan demikian tentara sekutu mudah melakukan
penyerangan terhadap pertahanan tentara Jepang. Dengan dasar alasan tersebut
rakyat dijadikan domba sembelihan atas kebiadaban tentara Jepang. Oleh
kebiadaban tentara Jepang tersebut yang membuat rakyat tidak percaya lagi
dengan kemampuan Jepang, selalu mereka katakan “penjajahan Jepang tidak pernah
baik, jahat terus”.
Akhir bulan
Agustus tahun 1945, masyarakat Berau tidak mengetahui apa yang terjadi,
tiba-tiba seluruh tentara Jepang sudah tidak ada lagi di Berau. Sebenarnya
perangkat pemerintahan Jepang dan tentara sebagian besar sudah berangkat menuju
Tarakan melalui Tanah Kuning, sisanya dari Tanjung Redeb ke Samarinda
menggunakan perahu melalui hulu sungai Kelay, kemudian dilanjutkan dengan
berjalan kaki sampai ke Wahau, dari Wahau naik perahu lagi sampai Samarinda.
Kepergian tentara Jepang tersebut dilakukan secara diam-diam sekaligus
menyelamatkan diri. Ada juga sebelumnya tentara jepang berjalan kaki dari Teluk
Bayur Menuju Labanan lanjut ke Kelay terus ke Samarinda, ada juga yang menembus
ke Sangkulirang lalu lanjut ke Samarinda.
Kedua belas
orang yang ditangkap di Kampung Rinding itu langsung dibawa tentara Jepang ke
Teluk Bayur, langsung dibawa ke Sanggrai tidak jauh dari kamar bola atau ball
room. Sanggrai adalah tempat penggergajian. Tidak jauh dari pabrik
penggergajian itu ada tumpukan menggunung tai gergajian atau kotoran sisa
penggergajian. Ditempat itu langsung digali buat lubang. Disana ke dua belas
orang tokoh masyarakat Rinding dengan tangan terikat kebelakang di pancung
lehernya, setelah putus kepalanya langsung didorong dengan kaki tubuhnya masuk
kedalam lubang tersebut. Masyarakat Rinding pada waktu itu sangat marah, tetapi
tidak bisa berbuat apa-apa. Nanti dilaporkan Jompo kepada tentara bisa menjadi
korban berikutnya ditangkap tentara. Akhirnya masyarakat yang marah itu menahan
diri saja tidak berbuat apa-apa, tetapi ingin membalas dendam itu sangat kuat.
Hanya waktu dan kesempatan saja lagi yang belum ada kapan melakukan pembalasan
dendan kesumat tersebut.
Jakarta sudah
memproklamirkan Republik Indonesia, Indonesia sebagai Negara merdeka sudah
tersebar diseluruh dunia walaupun Belanda masih belum mau mengakui. Rakyat
secara sukarela membentuk barisan keamanan, penjagaan sebagai implementasi
melaksanakan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Barisan rakyat
dimasing-masing kampung dibentuk untuk mempertahankan Proklamasi. Pada saat
semangat-semangatnya rakyat membangun kekuatan datang Jompo berpakaian lengkap
dengan santainya naik sepeda ke Kampung Rinding sampai di Sungai Buluh. Jompo
tersebut masih merasa pongah dengan pakaian seragam yang dikenakannya. Jompo
pribumi tersebut seorang kelahiran Ambon namanya si Garuda yang dulu dikenal
rakyat Berau Jompo yang sangat bengis dan kejam tidak tahu kalau masyarakat
Kampung Rinding ingin membalas dendam kepada tentara Jepang dan sangat membenci
para Jompo yang bengis dan kejam.
Bulan Nopember
1945 kejadian itu bermula. Bekas Jompo namanya Garuda itu bersepada dengan
santai sambil tersenyum pongah kepada siapa saja yang dilintasinya. Warga yang
dilintasinya nyeletuk dalam hati ”senyum-senyum seperti baik-baiknya saja….cari
aksi…jompo kejam dan sadis” pada umumnya orang yang dilintasi si Garuda diam
saja tidak member reaksia apapun. Garuda menyangka dirinya masih penuh dengan
wibawa, tidak ada orang yang berani menatap dan menyapanya seperti masa Jepang
masih ada di Berau. Sampai disungai Buluh singgah dirumah kawannya. Warga
sungai Buluh sebenarnya sudah siap-siap dengan kedatangan Jompo tersebut untuk
segera melakukan tindakan. Setiap orang dirumah-rumah sudah siap, senjata sudah
siap seperti parang, Mandau, linggis, bujak dan tombak. Waktu itu masyarakat
baru saja bubar dari Sembahyang Hari Raya Haji atau Sembahyang Hari Raya Aidhul
Adha.
Begitu singgah
dirumah tersebut, Garuda langsung diikuti dari belakang. Sampai ditempat tujuan
selesai meletakkan sepedanya Garuda berjalan menuju halaman rumah langsung
didorong dengan sekuat tenaga oleh orang yang mengikutinya, dengan tombak yang
ada berdiri didekat kejadian itu langsung dihunjamkan ketubuh si Garuda yang
kekar dan kuat. Mengetahui dirinya didorong dan ditumbak, Garuda langsung lari
kearah belakang rumah, tetapi Garuda dikejutkan disana sudah ada beberapa orang
pemuda si Uning dan kawan-kawan. Langsung memukul kepala dan bagian tubuhnya
dengan keras dengan potongan kayu. Si garuda terkapar dan jatuh kedalam sumur.
Dalam keadaan tidak berdaya, diperiksa kantong atau saku baju dan celana untuk
mencari daftar orang-orang yang mau ditangkap lagi. Dari dalam sumur Garuda
diangkat lalu tangannya diikat kebelakang. Pemuda tidak berniat membunuh si
Garuda walaupun dia dulu salah satu Jompo yang sangat kejam waktu menjalankan
tugas dan perintah tentara Jepang. Tanya para pemuda yang menangkapnya “ditaroh
dimana sesepuh kami yang ditangkap tempo hari” garuda dengan mengucurkan darah dibagian sisi kanan
dadanya dan mencucurkan air mata menahan rasa sakit dikepala, belakang dan dada
kanannya menjawab dengan jujur “Kami Jompo-Jompo tidak tahu dibawa kemana, kami
hanya menjalankan tugas melaporkan saja. Yang menangkap dan mengeksekusi
tentara jepang dengan algojonya”. Diantara Jompo yang ditangkap rakyat ada yang
mengatakan sesepuh Rinding dipancung di Sanggrai, ditumpukan kotoran gergajian,
disana digali lubang dan kedua belas sesepuh Rinding tersebut dikubur disana.
TRADISI TEPUNG TAWAR ADALAH KEARIFAN LOKAL
TRADISI TEPUNG TAWAR
Oleh : Saprudin Ithur
Tepung Tawar adalah salah satu tardisi yang melekat sejak nenek moyang dahulu kala, sejak ratusan tahun bahkan sudah ribuan tahun yang lalu. Kebiasaan atau tradisi tersebut masih dapat dipertahankan dan berjalan dimasyarakat sebagaimana mestinya dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik Indonesia. Karena memang tradisi itu masih menyatu dengan masyarakatnya sebagai bagian dari Budaya Lokal atau lebih populernya disebut dengan Kearipan Lokal. Karena menjadi bagian dari kearipan lokal, maka menjadi penting untuk dipertahankan dan dilestarikan. Bahkan melalui pelestarian tradisi tersebut, Tradisi Tepung Tawar menjadi bagian dari Atraksi Budaya yang dapat dan layak dipertontonkan kepada generasi muda sebagai generasi penerus bangsa, tamu pemerintah, dan pengunjung atau pelancong (Turis) yang datang di Kabupaten Berau. Untuk persembahan saat menerima tamu datang Tepung Tawar Kuur Sumangat namanya
Tradisi Tepung Tawar adalah bagian dari kebudayaan lokal, sedangkan kebudayaan lokal adalah bagian dari kebudayaan nasional. Oleh karena itu kebudayaan lokal sangat penting, karena seluruh kebudayaan lokal yang ada di nusantara menjadi satu dalam wadah kebudayaan nasional. Kebudayaan adalah simbol kekuatan dan jati diri suatu bangsa, yang membedakan antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Yang membedakan bangsa satu dengan bangsa lainnya. Lebih lima ratus suku bangsa dengan bahasa daerahnya masing-masing, puluhan ribu tradisi, seni, budaya yang masih berkembang, menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi perkembangan sejarah dan kemajuan bangsa Indonesia. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika adalah simbol persatuan dan kesatuan yang harus tetap dipertahankan, artinya perbedaan bukan berarti perpecahan tetapi sebaliknya perbedaan itu adalah kekayaan yang membawa keberuntungan sekaligus sebagai pemersatu yang kokoh dan kuat bagi bangsa Indonesia.
Menurut kamus Bahasa Indonesia, Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan dimasyarakat; penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling baik dan benar. Sedangkan Tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 10 tahun 2014 Tentang Pedoman Pelestarian Tradisi, pasal 1 alinea 1 mengatakan bahwa, Pelestarian Tradisi adalah upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan suatu kebiasaan dari kelompok masyarakat pendukung kebudayaan yang penyebaran dan pewarisannya berlangsung secara turun temurun. Bahkan dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut juga menyentuh tentang Perlindungan adalah Upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat menimbulkan kerusakan, kerugian, atau kepunahan kebudayaan yang berkaitan dengan bidang tradisi berupa ide/gagasan, perilaku, dan karya budaya termasuk harkat dan martabat serta hak budaya yang diakibatkan oleh perbuatan manusia ataupun proses alam. Pengembangan adalah upaya dalam berkarya, yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan ide/gagasan, perilaku, dan karya budaya yang berupa perubahan, penambahan, atau penggantian sesuai aturan dan norma yang berlaku pada komunitas pemiliknya tanpa mengorbankan orisinalitasnya. Dan Pemanfaatan adalah upaya penggunaan karya budaya untuk kepentingan pendidikan, agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan itu sendiri.
Dengan begitu pentingnya kebudayaan lokal sebagai kearipan lokal, maka apabila kebudayaan lokal, tradisi, kebiasaan, seni, budaya yang telah lama ada kemudian kikis, lenyap, atau dihapus, dihilangkan atas nama tertentu, maka secara otomatis kebudayaan nasional akan hapus pula. Dapat dipastikan suatu bangsa tersebut akan hapus pula dari muka bumi. Oleh karena itu tradisi, yang melekat di masyarakat lokal harus tetap dipertahankan dan dilestarikan, karena semua itu bagian dari kekuatan, keutuhan, dan jati diri bangsa.
Ada beberapa macam Tepung Tawar yang
masih hidup dimasyarakat suku Banua antara lain :
1. Tepung Tawar Menyambut Tamu yang baru
datang
2. Tepung Tawar baru membeli kendaraan
darat
3. Tepung Tawar baru memiliki atau baru
beli kapal
4. Tepung Tawar baru membeli Pesawat, Tepung Tawar buka rute baru
5. Tepung Tawar menurunkan perahu atau kapal
Begitu tamu datang, disambut dengan
upacara Tepung Tawar yang
dikenal juga dengan Kuur Sumangat. Tamu bagi masyarakat Berau adalah orang yang
istimewa dan dihormati. Maka dari itu diperlakukan istimewa pula. Dibacakan
Salawat nabi, disiram atau ditaburi dengan beras kuning yang sudah dicampur
dengan irisan pandan harum, kemudian
dengan menggunakan daun linjuang dan daun sarimbangun yang telah diikat dengan
kain kuning, tamu diperciki air yang sudah dicampur dengan minyak wangi di
kedua telapak tangannya, kepala (ubun-ubun), bahu, dan kaki. Kuur Sumangat
bermakna sebagai penghargaan dan
penghormatan keada tamu, datang dengan baik-baik, tiada kekurangan suatu apa,
kembalinyapun tidak kurang suata apapun, artinya selamat dari datang sampai
dengan pulangmya. Yang diniatkan tercapai dan terkabul, sampai pada tujuan,
semua yang dilakukan dan dikerjakan mendapat ridho dan berkah dari Tuhan Yang
Maha Esa.
Serba kuning seperti pembungkus kain
kuning, pengikat kain kuning, busana kain kuning adalah penghormatan dan
kebesaran, daun Sarimbangun bermakna apa yang diniatkan, apa yang dilakukan segera
terbangun, yang sudah ada menjadi lebih baik, yang belum ada segera terbangun.
Sedangkan daun Linjuang artinya terjuang, semua yang diperjuangankan akan
segera tercapai dan terwujud.
Upacara Tepung Tawar untuk menyambut tamu-tamu
agung biasanya dirangkai dengan acara :
1. Pengalungan Bunga, disini biasanya
pengalungan Kalung Manik
2. Tepung Tawar, dan
3. Tari Kuur Sumangat
Membeli kendaraan baru, motor roda dua
atau mobil. Sebelum dipakai untuk bekerja atau untuk berusaha sebaiknya di
Tepung Tawar lebih dahulu. Tujuan Tepung Tawar disini adalah dengan harapan
agar kendaraan tersebut, selama dipakai, digunakan, baik untuk pribadi ataupun
untuk usaha tidak membawa malapetaka, seperti rebah, terguling, jatuh kejurang,
menabrak dan mencelakai orang lain, atau mencelakai dan mencederai pemakai atau
pemilik. Kendaraan selalu bermanfaat, apabila dijadikan sebagai usaha, usahanya
lancar dan berkelanjutan, usaha bertambah maju, berkembang dan mendapat untung.
Sebelum Tepung Tawar dilaksanakan, siapkan air secukupnya didalam gelas, lalu
air tersebut dibacakan ayat-ayat suci Al Qur’an, Surah Yasin, pakai dian
sebagai penerang (lilin terbuat dari lilin madu), air kemudian ditaburi minyak
wangi. Setelah selesai dibacakan Surah Yasin, dengan menggunakan daun Linjuang
dan daun Sarimbangun, dibacakan Selawat Nabi, air dipercikkaa disekeliling
kendaraan. Dimulai bagian depan, seluruh ban, setang kiri kanan untuk motor
roda dua, setir mobil untuk kendaraan roda empat atau lebih, kaca depan, bagian
atas mobil dan bagian dalam mobil.
Fungsi lampu Dian atau Lilin yang terbuat dari lilin madu adalah sebagai penerangan. Orang baik itu selalu terang-terangan sedangkan orang jahat itu selalu gelap-gelapan. Artinya apa saja yang dilakukan harus jelas dan terang, usaha juga harus diniatkan dengan terang dan sungguh-sungguh, lakukan dengan sungguh-sungguh, dan bekerja dengan sunggu-sungguh. Minyak wangi adalah sebagai bukti barang masih baru, namanya masih baru tentu memiliki aroma tersendiri, disini dengan aroma wewangian dari munyak wangi tertentu (Minyak wangi cap duyung). Sedangkan Makna daun linjuang, daun sarimbangun, dan beras kuning sama dengan diatas. Setelah dilakukan Tepung Tawar, baru kendaraan boleh beroperasi sebagaimana mestinya.
Tepung Tawar untuk Kapal yang mampu
menjelajahi ratusan kilometer, masuk sungai dan menyeberangi laut antar pulau,
upacara Tepung Tawarnya lebih besar dan mengundang orang banyak untuk menyaksikan
dan mendoakan.
Persiapan Tepung Tawar antara lain,
menyiapkan seekor ayam jantan muda yang bagus sehat dan bersih, telur ayam kampung,
beras kuning, daun sirih, kapur sirih, gambir, pinang, kain kuning, minyak
wangi, dian, paku/besi dan pisau. Sebagai alat untuk pemercik air di gunakan
daun linjuang dan daun sarimbangun di satukan dengan ikatan kain kuning.
1. Tepung Tawar atau Pallas dimaknai
dengan meminta restu, meminta ijin, kepada penguasa air
dan penguasa tanah yaitu nabi Khaidir dan Nabi Ilyas. Dengan meminta
ijin tersebut
kendaraan atau kapal yang berjalan dilaut atau disungai sudah mendapat
restu dan ijin dari
nabi penguasa air. Dengan demikian semuanya berjalan dengan mulus dan
lancar tidak ada
halangan atau suatu apapun.
2. Ayam jantan dipotong, darahnya
diambil untuk campuran ungkal lainya. Memotong ayam itu
dimaknai dengan berkorban. Pengorbanan pemilik kapal sebelum kapalnya berlayar
dan
berusaha diatas air. Jangan sampai kapal tersebut mengorbankan penumpang
atau awak kapal.
3. Dian adalah lampu lilin yang terbuat
dari lilin madu dinyalakan sebagai penerang. Dimaknai
dengan terang-terangan. Berusaha dengan terang, kerja keras, kerja sama,
saling berhubungan,
menguntungkan. Tidak gelap-gelapan atau sembunyi-sembunyi, tidak berbuat
jahat. Karena
perbuatan jahat dimaknai dengan gelap-gelapan.
4. Kain Kuning. Kuning adalah warna
kebesaran, warna yang dipakai oleh sultan dan raja-raja
Melayu. Kain Kuning digunakan sebagai
pengikat daun linjuang dan daun sarimbangun, kain
kuning juga diikatkan di haluan kapal sebagai tanda ijin untuk memulai
berlayar dan berusaha.
5. Paku atau Besi adalah sebagai
pemberat. Besi dimaknai dengan jangkar, ketika kapal berlabuh
menggunakan jangkar dari besi agar bisa bertahan, diam, dan seimbang.
6. Minyak Wangi sebagai pengharum.
Dimaknai kendaraan baru pasti harum, namanya juga
masih baru. Kapal baru melintas dimana-mana ditandai dengan masih harum
oleh wewangian.
Tahapan Tepung Tawar :
1. Potong Ayam, darahnya di masukkan
dalam mangkok putih dicampur dengan ungkal (daun
sirih, gambir, pinang, kapur sirih, paku/besi), sedikit beras kuning,
diberi air dan ditetesi
minyak wangi.
2. Kain Kuning dicelupkan kedalam
mangkok putih diatas, dibawa kehaluan kapal. Kain kuning
Yang sudah sebagian basah sarat makna itu diikat dihaluan kapal.
3. Dengan membaca Salawat beras kuning
taburkan dari haluan sampai buritan kapal, sebagian
ditaburkan ke air.
4. Dengan menggunakan daun linjuang dan
daun sarimbangun memercikkan air dalam mangkok
putih yang sudah bercampur, keseluruh kapal, muka, samping kanan, kiri, belakang,
atas,
bawah, dan dalam kapal.
5. Sisanya dipercikkan ke air disekitar
kapal, dan dihamburkan semua keair.
6. Baca doa dan makan bersama
7. Ayam yang sudah dipotong dibawa oleh
pelaku Tepung Tawar atau diberikan kepada yang
mau menerima.
Informan : Amma Dai (H. Masdar)
Tokoh Adat dan Budaya Berau (Orang pintar, Pelatih Terbang, Tari Jepen, dan
Kuntau)
Tinggal di Jl. Yos Sudarso Tanjung Redeb Berau Kaltim
IKAN NAIK RAJA DALAM BAHASA DAYAK GA'AI TUK PEAS
TUK PEAS
IKAN NAIK RAJA
Oleh : Saprudin Ithur
Tuk Peas dalam bahasa Dayak Ga’ai,
artinya Ikan Naik Raja. Ikan Naik
Raja adalah perilaku unik ikan patin dan ikan salap waktu bertelur. Ikan
tersebut waktu bertelur naik kehulu Ngui (sungai).
Saya yakin perjalanan ikan-ikan itu bisa mencapai dua tiga hari baru sampai
kedaerah tujuan yang tidak lagi ada pasang surutnya, sesuai tempat yang
diinginkan untuk bertelur. Perjalanan panjang yang memakan waktu cukup lama dan
melelahkan tersebut membutuhkan pengorbanan yang luar biasa bagi ikan patin dan
ikan salap. Sepanjang perjalanan harus melintasi medan berbahaya dan menantang,
serta bermacam bahaya pemangsa, seperti
ular, buaya, labi-labi (bulus),
kura-kura, manusia, kendaraan yang lalu lalang disepanjang sungai. Kendaraan
dan suara mesin seperti speedboat, kapal, perahu bermesin ketinting, dan
pekerja penambang pasir, semuanya menggunakan mesin yang bersuara keras dan
memekakkan telinga. Suara mesin-mesin tersebut bisa menjadikan trauma yang
dalam bagi ikan-ikan dan makhluk lain yang tinggal di sungai dan sekitar sungai.
Melintasi arus sungai yang berbahaya dengan jeram atau giram yang airnya sangat
deras. Sekali lagi perjuangan untuk bertelur saja ikan patin dan ikan salap
harus menerjang seribu bahaya, rintangan, dan tantangan. Belum lagi pemangsa
sesama ikan seperti ikan baung,
ikan kakap
sungai, ikan aruan (gabus), ikan Jallau (mersapi/belut bersirip).
Ditempat yang sudah paling sesuai dan waktu yang tepat, barulah telur-telurnya dikeluarkan dari dalam perutnya dengan cara yang sangat menyakitkan, pastinya. Yaitu dengan cara menggosok-gosokkan tubuhnya, terutama bagian perutnya ke batu-batu koral yang banyak berhamburan disepanjang sungai Kelay. Tumpukan batu koral sebesar genggaman orang dewasa, sebesar dua genggaman oran dewasa menumpuk membangun pulau ditengah sungai, atau sedikit menepi sungai. Tumpukan membentuk pulau itu luasnya ada yang dibawah seratus meter, tetapi ada juga yang sampai dua ratus- tiga ratus meter panjangnya. Tumpukan batu koral tersusun begitu rapinya berbentuk pulau disebut masyarakat Berau dengan Karassik. Karassik muncul dan kelihatan waktu air surut atau kemarau, apabila air besar atau banjir pulau-pulau kecil disungai Kelay yang dinamai karassik tidak nampak, semua tenggelam. Batu-batu koral itu menumpuk dan membentuk seperti pulau terjadi saat sungai banjir besar, banjir besar membawa batu koral dari hulu sungai, batu-batu tersebut bergulingan didorong arus air yang kencang dan menurun. Yang besar tertinggal lebih jauh dihulu, yang sedikit lerbih kecil, tertinggal lebih kehilir, lebih kecil lagi tertinggal lebih kehilir lagi, sedangkan yang paling kecil dan pasir tertinggal didaerah sungai yang terjadi pasang surut. Alam menyediakan batu dan pasir disungai Berau begitu dengan segala keteraturannya. Maka menjadi penting waktu kemarau, waktu musim hujan, sampai banjir. Dari peroses alam itu menyediakan batu koral, dari yang besar sampai yang kecil, begitu serba jadi, begitu pula dengan pasir. Batu koral dan pasir tersebuit digunakan manusia sebagai bahan bangunan rumah dan gedung-gedung.
Ikan patin dan salap menggosokkan, melompat dan menghempas-hempaskan tubuhnya, bahkan sampai melompat keatas tumpukan koral, baru kemudian pelan-pelan turun lagi kesungai, hanya semata-mata upayanya untuk mengeluarkan puluhan ribu telur dari dalam perutnya. Telur-telur itu sebagian melengket dibatu koral yang terpanggang, sebagian lagi melengket dibatu koral yang sedikit basah, ada sebagian lagi yang melayang-layang diantara koral yang ada airnya sedikit tetapi tidak terbawa arus, sebagian lagi lepas dan terbawa arus kehilir sungai. Yang tersimpan dan melekat dibatu koral dan benda-benda lainnya disekitar koral tersebut, kemungkinan terjemur cahaya matahari beberapa waktu menetas dan menjadi anakan (nener). Sedangkan yang larut dibawa arus air yang deras, kemungkinan untuk menjadi anakan sangat kecil, rentan dimangsa ikan lain. Dibawah, dihilir sungai tempat tuk peas, pemangsa telur ikan yang larut sudah siap melahapnya. Ikan kakap sungai dan ikan baung yang bermulut besar memakan dengan lahap telur-telur yang terhambur dan larut mengikuti arus sungai. Ikan kakap dan ikan baung tidak merasa berdosa memakan semua telur-telur yang larut tersebut. Ikan kakap sungai dan ikan baung membutuhkan asupan makanan bergizi tinggi untuk tubuhnya yang kuat dan gesit. Sebagian kecil yang larut dibawa arus ada yang menempel di akar, dibatu, di daun-daun, sebagian diantaranya juga menetas dan menjadi anakan patin dan salap.
Karassik disapanjang sungai Kelai ratusan jumlahnya, karena panjang sungai
kelai lebih 200 kilo meter. Hampir semua Karassik sudah memiliki nama. Dapat
dicontohkan nama karassik tersebut antara lain : Atuk Natuya (Kampung Merasa),
Jo’ Geng (Blekai Lesan), Jo’ Long Kling (Lesan Dayak), Long Sam (Lesan Dayak),
Jo’ Long Mendau (Lesan Dayak), Long Ngui Hit (Lesan Dayak), Jo’ Bo’ Ping (Lesan
Dayak). Jo’ artinya pulau, long artinya muara sungai, Ngui artinya sungai. Namanya unik-unikkan,
dan bahasanya juga unik, bahasa Dayak asli Berau seperti itu. Disepanjang
sungai Kelai ada ratusan karassik, di anak sungai Kelai yang besar seperti
sungai Inaran, sungai Lesan ada puluhan karassik. Begitu pula dengan sungai
Segah, ada ratusan karassik yang membuat keindahan sepanjang alur sungai,
selain alamnya yang masih asri, unggas beterbangan hilir mudik, binatang melata
masih saja sering terlihat menyeberang sungai. Semarak keindahan alam tersebut
dihiasi dengan penduduk yang mendiami beberapa tempat disepanjang sungai, yang
masih kental dengan kebudayaan Dayak seperti tari-tarian, musik, nyanyian, tradisi
menugal, menangkap ikan, berburu, meramu hasil hutan, memanjat pohon madu,
memanjat gua sarang, dan bahasa. Peninggalan prasejarah dan sejarah masih dapat
disaksikan di pedalaman. Disana ada peninggalan gambar batu cadas berbentuk
telapak tangan dan beberapa jenis gambar binatang. Usia gambar cadas tersebut
sudah mencapai 10.000 tahun. Artinya sejak 10.000 tahun yang lalu di sini
dipedalaman Berau sudah ada kehidupan, sudah ada manusia yang tinggal di
gua-gua karst. Dibeberapa gua lainnya ada makam dalam gua yang disebut orang Dayak
Berau Lungun. Makam lungun tersebar dibeberapa tempat, seperti di pegunungan karst
Merabu, Mapulu, Merapun, Pegunungan Nyapa, Long Dem, Batu Belah, pegunungan
Suaran, Liang Batu Libas, Liang Pa Umbak, dan di pedalaman sungai Segah. Lungun
membuktikan kehidupan manusia yang semakin maju, dan terjadinya hubungan
perdagangan yang dibuktikan dengan peninggalan Cagar Budaya seperti beberapa
jenis peralatan pertukangan terbuat dari besi, tempayan, dan botol keramik dan
kaca peninggalan Belanda. Bukti-bukti tersebut sebagai bukti sejarah perjalanan
kehidupan manusia purba sampai dengan bukti-bukti hubungan perdagangan dengan
orang luar yang datang atau sebaliknya orang dalam yang bepergian keluar
benar-benar ada.
Ada kemungkinan manusia yang hidup pada masa 10.000 tahun yang lalu
di gua karst sekitar Merabu ada hubungannya dengan kejadian banjir besar yang
melanda hampir menutupi seluruh permukaan bumi yaitu pada zaman Nabi Nuh. AS. Diantara mereka ada yang terdampar
dipegunungan karst Merabu Kabupaten Berau, merekalah yang menjadi manusia purba
dengan meninggalkan gambar-gambar cadas tersebut. Apabila ya dan benar dari
pernyataan penulis ini, maka manusia yang ada di Borneo, di Kalmantan sekarang
adalah keturunan langsung Nabi Nuh. AS. Wao…hebat….
Tuk Peas atau ikan naik raja terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu
saja. Biasanya terjadi saat musim kemarau, saat itu karassik sepanjang sungai
timbul. Menurut keterangan tokoh masyarakat Dayak di sungai Kelai, ikan naik
raja setiap tahun terjadi dibulan Juli dan bulan Agustus. Pada bulan itupun
tidak setiap saat, hanya sewaktu-waktu saja.
Tanda-tanda saat tuk peas antara lain :
1.
Musim kemarau;
2.
Karassik timbul semua;
3.
Malam menjelang dini hari
terasa dingin sekali, sampai terasa menusuk tulang;
4.
Embun waktu subuh tebal.
5.
Dimulai pukul 5 pagi sampai
pukul 7 pagi, kadang-kadang kesiangan sampa pukul 8 pagi.
6.
Tempatnya berpindah-pindah.
Apabila terganggu. Pagi berikutnya pindah ke karassik lainnya lebih kehulu.
7.
Tempat-tempat yang menjadi
idola ikan naik raja adalah : karassik Atuk Natuya (Kampung Merasa), karassik
Jo’ Geng (Blekai Lesan), karassik Jo’ Long Kling (Lesan Dayak), karassik Long
Sam (Lesan Dayak), karassik Jo’ Long Mendau (Lesan Dayak), karassik Long Ngui
Hit (Lesan Dayak), dan karassik Jo’ Bo’ Ping (Lesan Dayak).
Saat seperti itulah biasanya ikan naik raja. Masyarakat kampung
mengejar momen tuk peas untuk meraih rejeki. Mereka beramai-ramai menangkap
ikan patin dan ikan salap saat ikan naik raja. Ada yang membawa sauk, ada yang
membawa jala, dan lain-lain. Ikan yang didapat untuk dimakan, apabila ada yang
berminat membeli, untuk dijual, dikeringkan, dan disalai. Saat ikan naik raja,
ribuan ikan salap dan patin melompat-lompat di karassik untuk bertelur. Apabila sudah
selesai bertelur ikan patin dan ikan salap itu pergi dan menghilang entah
kemana.
Atraksi ikan naik raja atau Tuk Peas itu sangat memukau dan istimewa.
Momen tersebut adalah momen langka, karena tidak setiap saat ada. Yang menunggu
untuk menyaksikan atraksi alam itupun belum tentu bisa bertemu dan melihat
langsung. Kejadiannya sangat singkat, waktunya saat masih sangat pagi,
tempatnya bisa berpindah-pindah. Bagi yang ingin menyaksikan harus menunggu
momen yang tepat diantara bulan Juli dan bulan Agustus.
SEJARAH 4 PAHLAWAN DIMAKAM PAHLAWAN WIJAYA BERAU 1957
SAPRUDIN ITHUR
PERTEMPURAN MELAWAN
MAUT
KISAH EMPAT
PAHLAWAN
GUGUR
DI PULAU BALIKUKUP
TAHUN 1957
A. PULAU KECIL DITENGAH LAUTAN
Pulau
kecil ditengah lautan ini sejak ratusan tahun lalu sudah ada penduduknya. Disamping
menjadi tempat tinggal, juga pulau kecil itu menjadi tempat persinggahan dan
peristirahatan para nelayan. Pulau yang
dikelilingi lautan itu kaya akan ikan – ikan dan jenis – jenis lain yang hidup
dalam lautan, trumbu karang sampai kepantai pulau begitu indahnya. Deburan
ombak tidak pernah berhenti berganti arah sesuai dengan arah angin yang datang
dan membawa gelombang terus menerus siang dan malam. Uh pokoknya bukan main,
seperti dalam dunia hayal ketika kita berada disana.
Pulau
kecil itu adalah Pulau Balikukup yang terkenal dikalangan pelaut dan para
nelayan, karena pulau ini sejak dulu menjadi salah satu anjir atau tanda laut
bagi para pelaut dan nelayan, maka pulau kecil itu sangat dikenal namanya.
Apabila kita naik kapal, pulau itu seperti tujuan yang ingin dicapai, terlihat
dari kejauhan. Setelah dilalui dan kapal menjauh meninggalkan pulau, pulau Balikukup diletakkan seolah
diburitan kapal sampai kemudian menghilang ditelan laut. Dan begitulah anjir
laut itu menjadi patokan dan tak akan dilupakan oleh semua para penumpang,
bahkan menjadi buah bibir berjam – jam, maka sampailah kapal kemuara sungai
Berau yang dikenal dengan nama Muara Lungsuran Naga. Memasuki sungai Berau kapal dan para penumpangnya disambut
oleh tingginya gunung Padai yang memilki cerita dan legenda sendiri.
Pulau
Balikukup terletak di Kecamatan Biduk – Biduk Kabupaten Berau Propinsi
Kalimantan Timur. Penduduknya berkisar diantara 200 jiwa. Kemudian hari setelah
adanya pemekaran Kecamatan di Kabupaten Berau, Pulau Balikukup masuk wilayah Kecamatan
Batu Putih. Pulau kecil itu ditumbuhi
ratusan pohon kelapa yang tinggi menjulang keangkasa serta kayu dan rumput –
rumput liar.
Apakah
pulau ini mempunyai kelebihan ?
Ya, tentu
saja memiliki
kelebihan tersendiri, makanya pulau kecil itu sangat menarik dan membuat orang
bisa betah tinggal disana. Aa kelebihannya ?
Walau
jauh dari daratan dan dikelilingi oleh laut, namun air bersih dapat mencukupi penduduk dari dahulu
sampai sekarang. Disana hanya ada sebuah
sumur yang terletak ditengah – tengah pulau bertepatan dan berdekatan dengan
Mesjid Pulau Balikukup yang dapat digunakan sebagai air minum dan sangat
bersih. Sumur unik dan satu –satunya itu adalah salah satu keunikan Pulau
tersebut. Bagaimana dengan disekitarnya ? masih banyak sumur – sumur lain,
namun airnya
tidak dapat dijadikan air minum kecuali hanya
dijadikan untuk mandi dan mencuci pakaian. Oleh karena itu sumur didekat Mesjid
tersebut menjadi tumpuan penduduk, para pelaut dan nelayan lain yang datang
kepulau Balikukup. Disamping pasir putih yang melilit pulau begitu padu, serta
pada malam hari sesekali penyu hijau dan penyu sisik mampir untuk sekedar
bertelur disana.
Mesjid tua sampai sekarang masih terawat dengan
baik.
Sedangkan mayoritas Penduduknya adalah
suku Bajau, dan masih ada suku – suku
lain seperti Bugis, Berau, cina yang
turut berdomisili disana dan telah terjadi kawin mawin.
Mata
pencaharian masyarakatnya adalah nelayan. Karena mudahnya mencari penghasilan serta didukung oleh air
bersih, itulah sebabnya masyarakat dipulau itu dari dulu hingga sekarang betah menetap
disana. Walaupun tinggal disana penuh dengan tantangan dan resiko, terutama perompak
yang bisa kapan saja menjarah habis harta benda mereka dalam waktu sekejap.
Pelaut-pelaut ulung pulau Balikukup mampu mengarungi lautan sampai ke
sulawesi, Sabah Malaysia dan sampai ke Filipina. Membawa hasil laut dan sepulangnya dari
bepergian jauh itu mereka membawa kebutuhan sehari-hari untuk dipulau Balikukup.
Begitulah yang mereka lakukan secara rutin sepanjang tahun.
B.
SEBAGAI PETUGAS YANG SABAR DAN PEMBERANI
Penyelundupan
( Smokal ) barang dari luar negeri seperti barang – barang piring duralex,
gelas duralex, radio, pakaian, jam, gula putih, makanan, dan lain-lain dari
Tawau Malaysia Timur ke Kalimantan Timur wilayah utara cukup ramai dan
menggiurkan. Pulau Derawan, Pulau Maratua termasuk Pulau Balikukup adalah
tempat persinggahan sementara para pelaku smokal, dan daerah ini juga tempat
transaksi. Setelah itu oleh pedagang, barang-barang tersebut diangkut menuju
kota Tanjung Redeb, Samarinda bahkan sampai ke Pare-Pare, Palu dan Makasar.
Sebaliknya para smokal berangkat ke Tawau dari
Indonesia membawa muatan seperti buah kelapa,
kopra, besi tua, rotan, ikan dan rokok. Barang-barang tersebut langgsung
dibongkar dan dibeli oleh para toke ( pedagang cina ) di kota terdekat tetangga
kita di Malaysia, yaitu kota Tawau dengan uang ringgit, yang kemudian ditukar
dengan barang seperti tersebut diatas. Oleh karena itu masyarakat Pulau
Derawan, Pulau Maratua dan Pulau Balikukup sangat diperhitungkan. Kehidupan
mereka sudah lebih baik dan lebih maju dari penduduk lainya di Kabupaten Berau.
Kemudian smokal semakin meluas dan diikuti oleh banyak masyarakat lainnya
didaerah ini dengan tujuan tentu saja untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pada umumnya mereka yang melakukan smokal tersebut memang kehidupannya lebih
baik dari masyarakat kebanyakan, oleh karena itu smokal sangat menggiurkan dan
selalu menjadi buah bibir dimana-mana dan bahkan ada nilai lain yaitu
kebanggaan bagi pelaku smokal tersebut.
Dengan
demikian Pulau Balikukup selain pengahasil ikan, tripang, cumi-cumi, kima dan
lain-lain juga sebagai tempat persinggahan para nelayan yang datang dari luar
termasuk persinggahan sementara para pedagang dari Indonesia-Tawau-Indonesia
dan seterusnya yang membawa berbagai barang dari luar maupun dari dalam negeri.
Melihat dari perkembangan inilah pihak Kepolisian
perlu menempatkan petugasnya disana di Pulau Balikukup, bahkan di dirikan pos
Polisi, sedangkan Kepala Polisi Sektor ( Kapolsek ) – nya berada di Talisayan.
Yang jaraknya ratusan kilometer dan hanya dapat ditempuh dengan perahu atau kapal.
Pada tahun 1950-an masyarakat masih sangat jarang
yang memiliki kapal motor atau kapal yang menggunakan penggeraknya dengan mesin
kecuali milik Pemerintah.
Umumnya masyarakat masih menggunakan perahu layar,
setiap bepergian dari pulau ke pulau dan lainnya.
Pada tahun 1950 petugas kepolisian sudah berada
disana secara bergiliran selama tiga Bulan sampai dengan enam bulan antara petugas
yang ada di Kecamatan Talisayan, Biduk –Biduk dan Pulau Balikukup.
Petugas Kepolisian yang ditugaskan di Pulau Balikukup
oleh pemerintah pada tahun 1957 antara
lain sebagai berikut :
1.
Ajun Brigadir Polisi M. Samin yang
sekaligus sebagai Komandan Pos ( Danpos ) di Pulau Balikukup.
M. Samin berasal dari Tenggarong Ibu Kota
Kabupaten Kutai sekarang Kabupaten Kutai Kartanegara di Sungai Mahakam.
M. Samin menjadi Polisi tahun 1949,
setelah bertugas di Tenggarong, M. Samin dipindahkan ke Tarakan dan dari Tarakan
dipindahkan ke KPWIL ( Kepala Polisi Wilayah )
Berau. Pada bulan Januari 1957 M.
Samin ditugaskan di Pulau Balikukup sebagai Komandan Pos.
2. Agen Polisi Tingkat II Husin, jabatan anggota
Pos. Berasal dari Opas Kerajaan Bulungan.
Karena adanya penggabungan antara opas
kerajaan dan Opas Daerah Husin menggabungkan diri menjadi Polisi Umum,
Pendidikan di Tarakan.
Pendidikan formal Agen Polisi Tingkat
II Husin belum tamat SR. Namun karena
sangat dibutuhkan tenaganya, maka Husin diangkat menjadi Polisi Umum.
Husin lama bertugas di Tarakan, baru
kemudian dipindah tugaskan ke wilayah
Berau.
Husin adalah anggota Polisi yang senior
diantara petugas lain di Pulau Balikukup pada masa itu.
Pada bulan
Januari 1957 oleh KPWIL Berau ditugaskan ke Pulau Balikukup. Sebagai
Polisi tertua disana dan polisi yang pemberani.
3. Agen Polisi
Tingkat II Panut, jabatan anggota Pos.
Berasal dari Majalengka Jawa Barat (
keterangan lain menyebutkan berasal dari Solo Jawa Tengah ). Panut termasuk
anggota Polisi yang masih muda belia.
Tugas sebelum ke KPWIL Berau, Panut
bertugas di Banjarmasin kemudia dipindahkan ke
Balikpapan lalu ke Karisidenan Tarakan dan dari Tarakan dipindahkan ke
KPWIL Berau, baru kemudian oleh KPWIL Berau menugaskan pada tahun 1957 ke Pulau
Balikukup, Panut juga pernah menjadi Brimob Polisi Umum.
4. Agen Polisi tingkat II Johanes Amanah, juga
sebagai anggota pos di Pulau Balikukup, asal dan kelahirannya di kota Ambon Maluku.
Pendidikan Kepolisian di Ambon.
Apda Johanes Amanah juga termasuk anggota
polisi yang masih tergolong muda, pada waktu bertugas di Pulau Balikukup
usianya baru 28 tahun.
Polisi asal Ambon ini dipindahkan ke
Balikpapan, kemudian dari Balikpapan
dipindahkan lagi ke Tarakan dan terus ke Berau. Pada bulan Januari 1957 Apda
J.Amanah ditugaskan di pos polisi Pulau Balikukup.
5. Agen Polisi Tingkat II Riong Batong, jabatan sebagai anggota Pos.
Riong Batong berasal dari Malinau Kabupaten Bulungan
Pendidikan menjadi Polisi di kota Tarakan, juga termasuk polisi yang masih muda
belia.
Setelah menjadi Polisi Apda Riong Batong dari Tarakan dipindahkan ke KPWIL Berau.
Pada bulan Januari 1957 Apda Riong Batong
suku Dayak yang mirip orang cina itu ditugaskan ke Pulau Balikukup sebagai
anggota polisi dan memperkuat keberadaan keamanan di pulau tersebut.
Karena pada saat itu pulau Balikukup cukup rawan sering terjadi pencurian
ikan, pengeboman ikan dan smokal.
Ajun
Brigadir Polisi Samin dengan empat orang anggota pos tersebut diatas adalah
orang-orang yang sabar. Sabar menerima perintah dan tugas dari atasannya,
walaupun mereka tahu bertugas seperti di pos Polisi Pulau Balikukup yang
ditengah lautan itu penuh resiko. Disamping resiko menghadapi masyarakat yang
sering melakukan penangkapan ikan tidak sesuai dengan aturan, juga para nelayan
yang sekaligus sebagai penyelundup keluar negeri serta, perompak laut yang
datang dari luar Indonesia. Perompak yang sangat terkenal dan sadis perompak
dari Pilipina.
Mereka juga petugas yang pemberani, berani
menantang badai lautan yang kadangkala tidak bersahabat dengan siapapun, juga
berani merubah sikap masyarakat yang
menangkap ikan dengan mengunakan
bom yang sagat berbahaya buat diri mereka sendiri dan bakal merusak
habitat alam lingkungan laut, merusak terumbu karang yang indah dan membunuh
ikan dari yang besar sampai dengan yang paling kecil. Sedangkan ikan yang
diambil hanya yang dapat dijual saja, sedang yang lainnya hanya mati begitu
saja dan mengotori laut yang biru milik semua orang. Mereka juga berani
menghadapi segala macam ancaman keamanan seperti perompak laut ( Mundu ) yang
tidak kenal prikemanusiaan dan selalu siap setiap saat menjarah harta benda rakyat pulau Balikukup itu.
Wajar kalau mereka yang bersedia ditugaskan di
pulau Balikukup itu diberikan penghargaan dan acungan jempol. Belum lagi masalah hubungan dan informasi yang
sangat sulit, jangankan hubungan ke Tanjung Redeb, ke Kecamatan Talisayan saja
harus ditempuh berhari – hari pada waktu
itu. Padahal setiap informasi harus sesegera mungkin sudah dapat diterima oleh
orang lain atau atasan yang berada diluar lingkup pulau Balikukup tersebut.
Begitulah tugas yang diemban dengan bangga oleh
polisi M. Samin dan kawan-kawannya.
Yang harus diterimanya dengan penuh tanggung
jawab, iklas, sabar dan berani.
C. TERDAMPAR
Perahu
layar kecil bermuatan lima belas ton bergerak pelan mengikuti arus sungai yang
mulai surut seperti melata. Diburitan perahu seorang lelaki berperakan kekar
memegang kemudi, mengawasi kiri dan kanan perahu yang bergerak pelan itu. Oyong
nama lelaki muda kekar yang memegang kemudi itu sembari bersiul-siul dan sesekali menghisap rokok
daun nifahnya yang berasap banyak.
Pelabuhan Teluk Bayur semakin jauh ditinggalkan
dan kemudian menghilang saat memasuki tikungan sungai. Sungai Berau yang
panjang meliuk-liuk dan berliku-liku bagaikan ular naga raksasa, menjadi saksi
semua orang yang melintasi diatasnya. Dikiri kanan sungai masih tebal
tetumbuhan hijau subur, sebagai ranting cabang kayu dan semak-semak itu
menjuntai kesungai dan seperti terseret arus sepanjang sungai Berau yang asri.
Burung-burung berloncatan dari dahan dan ranting kecil, ada yang
kekuning-kenungan, hijau, merah muda dan abu-abu. Tidak jauh dari tempat itu
dipohon yang lebih tinggi ada monyet yang menghambur, berteriak-teriak karena
merasa terusik oleh suara ramai orang diperahu yang melintasi kumpulan mereka
yang sedang menikmati daun-daun muda.
Kira-kira perjalanan sudah memakan waktu setengah
hari, melalui kampung Bedungun, Bujangga, Gunung Tabur, Tanjung, Sambaliung,
Maluang, Samburakat, Tanjung Perangat dan memasuki kawasan muara sungai Lati
dan terus sampai kekampung Pujut, dan jauh diseberangnya terlihat kampung yang
sangat ramai dan maju itulah kampung Sukan, kampungnya suku Banjar. Kampung
Sukan ditumbuhi pohon kepala yang tebal dan tertata. Ada pulau kecil dalam
sungai, terletak diantara Kampung Pujut dan Kampung Sukan, disana dipohon-pohon
yang lebat dengan ranting dan daunnya yang segar dan hijau, nampak puluhan ekor
monyet berhidung mancung monyet bekantan selalu mengawasi gerak gerik kehadiran
perahu yang melintasi kawasan mereka.
Angin
sedikit kencang meniup kain layar, kain layar menggelembung, perahu sedikit
miring kekiri. Oyong yang sekarang ditemani Acong masih asik dengan kemudinya
diburitan perahu, sesekali Acong dan Oyong
memukul-mukul paha dan tangannya yang digigit agas.
Ujar Acong yang berasal dari Sulawesi itu “ aku
lihat Berau ini tidak seperti dikampungku. Disini hutannya masih perawan yang
tergarap baru bagian pinggiran sungainya saja, itupun belum semuanya, negeri
kaya, negeri elok nan permai, hutannya hijau bagai hamparan permadani
dikatulistiwa, aku Yong........benar-benar
betah tinggal di Banua Berau, walaupun aku sulit ketemu dengan orang tua
dan keluarga di tanah Makasar “. Dan
kemudian Acong menganguk-anggukkan kepalanya tanda ia yakin benar akan mendapatkan kehidupan yang lebih
baik di perantauan.
Tiba-tiba
perahu berhenti, Oyong baru sadar kalau perahu yang dikemudikannya tiba-tiba
kandas naik diatas gosong pasir yang tidak seberapa jauh dari kampung Sukan
hilir. Saat perahu kandas air sungai
masih mengalir surut, apabila air sungai semakin dangkal, perahu yang kandas
kemungkinan terbalik, maka Oyong dan beberapa orang awak perahu turun keatas
gosong memasang galang dan tongkat, menjaga agar kapal tidak oleng dan tergling.
Muatan didalam palkah yang terdiri dari beras
gula, dan barang makanan lainnya diperbaiki agar tidak berat sebelah. Setelah
merasa aman dan kuat barulah Oyong dan kawan-kawannya yang bekerja sambil
bercerita kesana kemari itu naik keatas perahu dan membersihkan diri.
Kira-kira tiga jam lagi baru perahu mereka dapat
terapung, dan kacaunya arus air sungai sudah berbalik naik kearah hulu, dengan
demikian maka perahu tidak dapat bergerak kehilir, kecuali kalau ada angin
kencang berhembus yang dapat melawan arus air pasang.
Biasanya saat air pasang, mereka mengikat
perahunya didahan-dahan kayu yang berjuntai kesungai atau berjangkar ditengah
sungai. Perahu kapal mereka hanya mengandalkan kekuatan angin, tidak bermesin.
Kepulan
asap diburitan kapal semakin tebal, beberapa orang diburitan kapal sedang menanak
nasi dan mengoreng ikan kering belanak, sedang sayur terong yang dicampur
dengan kepala ikan kering sedang mendidih. Tak lama kemudian bau harum
terasi dibakar menyengat.
Menimbulkan gairah perut yang sudah
lapar. Udin yang sentimentil mengulek membuat sambal terasi, dan kemudian
mereka seawak kapal dengan lahapnya menikmati makan malam saat menjelang matahari
ditelan bumi.
Samin
dan Oyong makan sambil berhadapan diatas bris kapal, sedang
nasi yang sudah dicampur dengan sayur terong berasap mengepul, nasi ditiup-tiup
agar cepat dingin sedangkan sambal terasi sudah menumpuk disisi piring seng berbunga.
Tak
lama kemudian Oyong turun dari
atas bris dan menamabh nasinya yang
sudah lebih dahulu habis dilahapnya, nasi diatas piring sengnya numpuk
menggunung dan ia kembali naik keatas bris dekat dengan Samin Komandan Pos Polisi
Balikukup.
Bagi para perokok, maka paling nikmat setelah
makan pastilah merokok. Sambil mencari tempat yang pas menyandar dan sambil
mengobrol sana kemari.
Para penumpang dan awak kapal sekarang berpencar mencari tempat
masing-masing yang dianggapnya paling nyaman untuk bersantai setelah menikmati
makan sore itu, dan pasti tidak ketinggalan rokok putih yang dibawa para smokal
dari Malaysia Timur sebagai pendamping santai.
Suara monyet bekantan ramai memanggil anak-anaknya
yang liar melompat kesana kemari, suara burung rangkai, kalibarau ( cocokrowo
), tiung ( beo ) bersahutan dihutan belakang kampung sukan yang ramai dengan
rumah menghadap kesungai Berau, kesemuanya riuh menyambut datangnya senja.
Air sungai sudah mulai pasang, namun perahu masih
belum bergerak. Jangkar kapal dilabuh, menghindari
kapal itu larut terbawa arus air kembali kearah hulu. Samin komandan pos polisi
Pulau Balikukup ikut menumpang dikapal yang menuju Pulau Balikukup. Ajun
Brigadir Polisis M. Samin baru dari Tanjung Redeb Berau mengambil gajihnya dan
gajih teman-temannya. Kapal tanpa mesin itu baru sampai kepulau Balikukup empat
hari kemudian. Dilaut tidak bisa mengandalkan arus air seperti masih dalam
sungai, dilaut untuk menggerakkan kapal menggunakan layar dan ditambah dengan
kekuatan mendayung. Apabila angin bagus, maka kapal lebih cepat sampai tujuan.
Apabila angin kurang bersahabat atau angin tidak berhembus, kapal hanya
menyusur tidak terlalu jauh dari pantai. Apabila ada badai kapal bersembunyi
diteluk-teluk kecil dipesisir pantai yang mereka lalui. Kalau tidak sempat
bersembunyi ketika datang badai, bisa-bisa saja kapal mereka pecah ditengah
laut, atau terdampar diatas karang. Saat kejadian semacam itu awak kapal
berjibaku bejuang mati-matian untuk mempertahankan kapal agar selamat dari
badai yang menghantam. Ada yang menjaga kemudi, ada yang duduk dihaluan dengan
basah kuyup mengawasi haluan, ada yang bertugas menimba air hujan yang masuk
kedalam kapal, ada yang mengatur naik dan turunnya kain layar, sedangkan kapal
terus terombang ambing dihempas badai dan gelombang yang besar. Anak kapal dan
penumpang yang tidak tahan tersungkur, baring saja, dan mabuk laut. Saat
seperti itu semua makanan yang tadi masuk kedalam perut habis keluar lagi. Rasa
kapok untuk berlayar lagi muncul dalam mabuk berat seperti itu. Sakit, derita,
perih, mual, dan macam-macam lagi yang mendera bagi yang sedang mabuk. M. Samin
orang yang sudah terlatih, saat-saat seperti itu masih tenang dan kuat, dan dia
tidak mau tinggal diam, turun membantu anak kapal yang kepayahan.
D.
MENGINTAI DARI KUBURAN
Sebuah
kapal bermesin disel yang dibantu dengan layar itu bergerak dengan cepat melintasi
perbatasan laut Indonesia, Pilipin, dan Malaisia. Mereka datang dari wilayah
utara Kalimantan Timur menuju kearah selatan yaitu kepulau-pulau kecil yang
berada di Kabupaten Berau. Sebuah kapal bermesin disel seperti itu masih
termasuk langka di negeri kita, khususnya para pelaut dan nelayan yang mendiami
pesisir pantai dan pulau-pulau di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten
Berau.
Malam yang tenang tatkala diatas langit ditaburi
bintang gemintang, kapal motor itu sudah mulai memasuki perairan
laut Pulau Maratua dan terus bergerak kearah selatan. Dan menjelang subuh,
kapal motor itu sudah mendekati Pulau Balikukup.
Masyarakat Pulau Balikukup masih tidur lelap,
apalagi ditambah dengan angin yang semilir terus berhembus menembus sela-sela
batang kelapa dan kemudian merambah memasuki celah-celah dinding rumah yang
banyak berlubang, tubuh mereka semakin terasa dingin. Tubuh semakin kerisut
bundar ditutup dengan kain sarung. Mimpi-mimpi indah menemani tidur malam itu,
membuat tidur semakin nyenyak. Wow enaknya angin malam terus berhembus berpadu
dengan gemerisik gesekan daun kelapa.
Kapal
motor yang berasal dari Pilipin itu memperlambat gerak jalannya, sembari
memperhatikan keadaan pulau itu dari kejauhan. Setelah memang sudah dianggap mereka aman, baru kemudian
kapal tersebut bergerak lebih cepat dan memasuki daerah belakang pulau yang
tidak berpenduduk. Kokok ayam sudah mulai terdengan bersahutan ditengah pulau,
saat itu sebuah perahu kecil diturunkan dari geladak kapal, sekitar delapan
orang yang berpakaian siap tempur turun keperahu kecil ( kellean ) secara
bergantian, dan kedelapan orang tersebut dilengkapi dengan masing – masing
sebuah senjata bahu semi otomatis kaliber.
Pulau Balikukup yang letaknya sangat strategis,
dimana selalu dilintasi oleh kapal-kapal dari berbagai penjuru. Posisinya yang
berada jauh ditengah lauatan dan menjadi patokan bagi para pelaut serta nelayan
menarik indah dan kaya, maka tidak mengherankan kalau ada suara kapal yang
mendekat kearah pulau, karena dianggap masyarakat hal yang biasa dan memang
sering sudah mereka dengar kapal motor yang lalu lalang di sekitar pulau
Balikukup.
Penghuni
atau penduduk di Pulau Balikukup pada umumnya adalah suku Bajau. Suku Bajau
selai tinggal di Indonesia, mereka juga ada di Malaisyia, Brunai, Thailan,
Papua, dan Pilipina, maka hubungan keluarga dan sedarah antara suku-suku Bajau
yang berada baik di Indonesia, Malaisia dan Pilipin masih sangat kental. Oleh
karena itu tidaklah heran kalau mereka seringkali saling kunjung menggunjungi
diantara mereka, baik yang berada di Malaisya ke Indonesia atau sebaliknya, begitu
pula dengan suku Bajau di Pilipina, Brunai dan Thailan. Suku Bajau yang berasal
dari Pilipina adalah suku Bajau, Tagalok dan Solok dengan menggunaka bahasa
pengantar bahasa Bajau dan Tagalok, suku Bajau yang ada di Pulau Balikukup
masih satu bahasa dengan sebagaian suku Bajau yang berasal dari Pilipin,
Malaisya.
Subuh yang dingin itu delapan orang
awak kapal yang sudah turun dibelakang pulau, beristirahat sejenak menungugu
matahari terbit. Sedangkan kapal mereka itu kembali bergerak sedikit agak
menjauh dari pulau. Waktupun telah ditetapkan kapan harus berbuat, bergerak dan
menyerang. Sambil menahan dingin, rokok putih buatan Amerika teman yang paling
cocok buat mereka berdelapan itu, rokok dihisap dalam – dalam, dengan tujuan
tentu saja menghilangkan rasa keteganggan menjelang detik – detik penyerangan
yang sudah mereka siapkan sedemikian rupa.
Tepat
pukul 07.30 hari Rabu tanggal 22 Maret 1957 kedelapan mundu atau perompak yang
sudah lebih dahulu berada dipulau itu mulai bergerak mendekati kampung melalui
semak-semak dan masuk daerah pekuburan kampung.
Setelah mencari tempat yang paling tepat dan aman
untuk mereka, serta tidak mudah terlihat orang kampung yang sudah sibuk. Ada
yang sedang mandi, mencuci pakaian, menimba perahu dipantai, ada pula yang keluar
masuk rumah serta ada lagi yang duduk-duduk bermalas malasan, tiba-tiba
dikagetkan dengan datangnya sebuah kapal motor yang tidak pernah mereka kenal,
baik bentuk, badan kapal, warna catnya yang cerah dan bermesin dalam
dengan suara yang tidak mereka kenal.
Dari jauh samar-samar ada beberapa orang
yang memegang senjata yang diarahkan kepulau. Semua orang kampung yang melihat
kapal itu terbengong-bengong, kapal siapakah gerangan itu ataukah kapal.....kapal
mundu (Perompak, Bajak laut) yang sering mereka ceritakan dan menakutkan itu.
Ternyata memang benar, beberapa orang kampung berlari dari pantai
memberitahukan “ Mundu.!..........mundu !!! “.
Semua masyarakat masuk kedalam rumah, bersiap-siap
menjaga kemungkinan yang akan terjadi. Karena melihat orang yang berada diatas
perahu motor itu mengarahkan senjata panjangnya kepulau, tentulah tidak lain
lagi selain Bajak laut yang datang tersebut.
- DIA MENYISIR PANTAI
Kelima
orang Polisi yang berada dipulau itu dengan sigapnya segera mempersiapkan diri
untuk menghadapi tamu tak diundang yang segera datang. Tak lama kemudian sudah
terjadi kontak senjata antara polisi dipulau dan perompak yang berada diatas
kapal. Dengan jarak yang sudah diperhitingkan, kapal terus bergerak menyisir
pantai yang berbelok. Dan dengan kemahiran Samin dalam menggunakan senjata
salah satu bajak laut yang berada dihaluan dapat ditemabaknya dengan
baik dan orang itu terjerembab kedalam kapal.
Melihat kejadian dan keberanian pilisi di pulau, kapal motor itu mencoba untuk
bergerak sedikit menjauh dari pulau.
Keempat
polisi lalu berpencar menjadi dua.
M.samin Komandan Pos asal Tenggarong dan Husin
Anggota Pos asal Bulungan berhadapan langsung dengan penembak dari kapal.
Panut dan Johanes Amanah berpindah keujung pasir
didepan perkampungan pulau Balikukup.
Sedangkan Riong Batong ditugaskan komandan pos
untuk menjaga keamanan pos mereka.
Kontak senjata antara kedua belah pihak terus
berlangsung, polisi terus berusaha bergerak semakin jauh.
Keempat
Polisi yang berada dipinggir pantai disemak-semak dekat dengan pohon-pohon
kelapa merasa lega dengan menjauhnya kapal itu.
Namun mereka tidak memperhitungkan dan samasekali
tidak menduga, ternyata mereka hanya dikelabui, persiapan pelurupun sudah
berkurang, Bajak laut datang dari arah belakang dan terus menerjang mereka yang
tidak siap itu. Sistim lambung yang diterapkan oleh Bajak Laut itu sangat
tepat, kontak senjata terdengar lagi. Delapan orang Bajak Laut yang siap tempur
itu sudah memuntahkan pelurunya kerumah-rumah penduduk yang dilaluinya, mereka
marah sekali, karena kedatangan mereka itu ternyata mendapatkan sambutan dengan
moncong senjata dan diketahui teman mereka di kapal sudah ada yang menjadi
korban oleh peluru polisi itu.
Semua
masyarakat tidak ada yang berani bergerak, dan kedelapan orang itu terus
mendekati pantai dimana keempat polisi berada.
Pertama-tama Husin dan Samin yang diterjang peluru,
karena senjata yang tidak seimbang itu,
gugur sebagai pahlawan pejuang yang membela rakyatnya. Keduanya tersungkur
kebumi pertiwi Pulau Balikukup.
Kedelapan orang itu terus bergerak dengan lebih
berani kearah ujung pasir pulau, dimana disana berada Panut dan Johanes Amanah.
Johanes
Amanah dan panut secara tiba-tiba dikejutkan dengan suara perintah bahasa
Tagalok yang artinya keluar dari persembunyian. Keduanya sudah tidak ada
kesempatan lagi, sudah terkepung oleh lima orang bajak laut, mereka tidak dapat
berbuat apa-apa lagi,
Namun keduanya masih dalam keadaan siap itu,
tidak mau keluar, keduanya saling tatap
dan manggut-mangut, saat keduanya akan mencoba menembak bajak laut yang berada
didepannya, tapi
peluru senjata semi otomatis para bajak laut dari
arah belakangnya lebih cepat dan lebih dahulu menyambar tubuh bagian belakang
kedua polisi itu. Walaupun tubuh keduanya sudah
terkulai, Bajak laut masih belum merasa puas,
pelurupun ditembakkan lagi kearah kepala keduanya. Setelah dirasa aman kelima
orang itu mendekati tubuh Panut dan J. Amanah dan kedua tubah yang tak bernyawa
lagi itu digulingkannya dengan kaki yang penuh pasir. Kemudian baru mereka
bergerak kembali kearah kampung yang senyap. Kampung Pulau Balikukup
benar-benar jadi kampung mati tak bernyawa, semua diam dan hening. Suara
tanggisan anak kecil yang ketakutanpun ditutup mulutnya oleh ibu atau kakaknya,
agar tidak menggangu suasana hening tegang itu.
Ditempat
lain dipos polisi Riong Batong dengan
sigap pergi dari posnya dan kemudian melepas pakaianya dan dimasukkannya
senjata dan pakaian itu kedalam semak-semak setelah ia mengetahui semua temannya sudah gugur
memenuhi panggilan Ilahi, kemudian ia pergi kedalam sebuah warung yang cukup
besar dipulau itu dengan bercelana pendek dan berkaos singlet. Wajahnya yang
mirip dengan cina itu kemudian ia mengaku sebagai pemilik toko, walaupun
beberapa kali ditanya oleh para bajak laut “ You Police..........you
police........? “
“bukan tuan saya bukan polisi.....tapi saya punya
jualan ini tuan “jawaban ini beberapa kali ia
sampaikan setiap bajak laut yang bertanya kepadanya.
Dan akhirnya Bajak laut itu percaya.
Walaupun
mereka masih penasaran dan curiga, diantara masyarakat yang ada itu diantaranya
ada polisi, tapi karena tidak ada lagi perlawanan, maka tidak ada permasalahan
lagi menurut hemat para perompak.
Dengan
leluasa para perompak menguasai pulau, sedang kapal yang tadi meninggalkan pulau sekarang sudah berada
didekat pulau dan beberapa orang turun dari kapal untuk bergabung.
Sebagian Bajak Laut berteriak ”keluar!!!.........keluar....Keluar
dari dalam rumah !!!
Dengan rasa ketakutan semua yang merasa diperintah
dengan terseok-seok mengikuti perintah dan kemudian duduk berkumpul dihalaman
rumah, siap menerima apa saja yang diperintah oleh para Bajak Laut yang
semakin ganas dan kasar itu.
Para
wanita menjadi santapan mereka, menjadi
bahan colekan dan tertawaan, bahkan ada yang ditarik paksa untuk mengikuti Bajak Laut yang bersenjata itu
keluar dari kelompok yang dikumpulkan dengan semuanya.
Semua barang yang bernilai seperti emas perak dan
permata lainnya yang melekat pada tubuh para kaum wanita diminta dan
dikumpulkan oleh para perompak.
Harta benda masyarakat yang ada diangkut kekapal
termasuk barang berharga lain seperti emas dan perak. Rumah semua digeledah
satu persatu, para ibu diseret kedalam rumah, dengan tujuan untuk menunjukkan
dimana letak harta benda yang berharga milik mereka. Dan semuanya ludes habis.
Barang toko yang diakui Riong Batong juga ludes diangkut oleh masyarakat pulau
yang diperintah Bajak laut dan dijaga ketat. Mereka tinggal mengelus dada.
Namun masih bersyukur jiwa mereka tidak dihabisi seperti apa yang dilakukan
para bajak laut terhadap polisi yang setia menjaga keamanan pulau mereka, gugur
tersungkur diujung pulau.
Harta
dapat dicari, sedangkan nyawa kalau sudah melayang terpisah dari badan tidak
ada lagi yang mampu mencari dan mengembalikannya, kecuali Tuhan Yang Maha Esa
yang menentukan.
Rasa ketakutan dan trauma terpancar semua diwajah
masyarakat Pulau Balikukup yang langsung merasakan kejadian ini, mereka rasakan
bukan sekadar dongeng dan cerita dari mulut kemulut yang mereka sering dengar
disetiap ada keramaian di pulau itu tentang kegalakan dan keganasan para perompak bajak laut, sekarang mereka
rasakan langsung.
Sedangkan
empat sosok tubuh yang terkapar diujung pulau belum ada nyang mengusik, darah
mengucur membasahi tubuh mereka, sedangkan senjata masih erat ditangan mereka.
Keempatnya tidak lagi bisa bercerita tentang diri dan kejadian itu. Tinggal
kita yang ditinggalkan ini yang berkewajiban mencatatnya dengan tinta emas,
kemudian membeberkan cerita dan sejarah perjuangan mereka yang gagah berani dan menjadi tauladan semua orang yang
hidup dinegeri ini.
Para
bajak laut itu tidak kurang dari tiga jam mengusai Pulau Balikukup dan
mengangkut habis semua harta benda masyarakat, baru kemudian bergegas bergerak
meninggalkan pulau yang telah terhenyak dan lumpuh. Dan kemudian kapal motor
yang laju itu menghilang kelaut lepas.
F. UPAYA
PERTOLONGAN
Pada
tahun 1957 Desa Pulau Balikukup sudah berbentuk Kelurahan dan lurahnya saat itu
adalah Bapak Antoyong ( suku Bajau ). Sedangkan Camatnya adalah Bapak Camat Mas
Temenggung berkedudukan di Talisayan.
Pada saat kejadian perompak di Pulau Balikukup ada
salah seorang yang tertembak bagian pipi pantatnya, harus segera dibawa kerumah
sakit. Dia adalah Bapak Tagolo ( Golo ) sesampainya di rumah sakit di Tanjung
Redeb, maka beritapun segera sampai ke KPWIL Berau di Teluk Bayur. Dan KPWIL
yang di jabat oleh Bapak Gusti Darum pangkat AIPDA (Ajun Pilisi Tingkat Dua).
Karena Kepolisian Berau dibawahi oleh Dan KPWIL
Tarakan, maka berita langsung disampaikan
ke Tarakan.
Dengan adanya berita tersebut maka dari Tarakan
langsung mengirim sebuah kapal motor BO 111 menuju Berau. Setelah mendapat
perintah dari Berau kapal motor BO 111 tersebut melanjutkan perjalanan ke pulau
Balikukup. Sebelum sampai ke Pulau Balikukup, kapal lebih dahulu singgah di
Talisayan untuk mengambil peti mayat dan selanjutnya berangkat ke pulau
Balikukup.
Karena peti mayat yang dibawa hanya tiga buah,
maka M. Samin dan Husin dimasukkan dalam satu peti dan Panut serta Johanes
Amanah masing-masing satu peti mayat.
Kemudian setelah siap dari Pulau Balikukup kapal
motor BO 111 langsung melaju menuju Tanjung Redeb. Keempat pahlawan yang gugur
di Pulau Balikukup dari tempat kejadian, penjemputan sampai dengan pemakaman
memakan waktu selama lima hari. Setelah divisum
dirumah sakit, dimandikan kemudian dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan
Wijaya Tanjung Redeb Kabupaten Berau.
Sampai
hari ini batu nisan atas nama M. Samin,
Husin, Johanes Amanah dan Panut terus menghiasi taman makam Pahlawan Wijaya,
sebagai bukti keberanianya untuk mengusir siapa saja yang mencoba untuk
mengusik rakyat negeri tercinta Indonesia ini.
Bagaimana dengan para pembaca yang budiman, mari berbuat yang terbaik
untuk Indonesia ?
Siapa lagi…..kalau bukan kita…..ayoooo……
G.
SENJATA YANG DIPERGUNAKAN ANGGOTA POLISI
1. M. Samin menggunakan senjata Madsen sebagai
Komandan Pos
2. Husin menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber 7,92 mm
3. Panut menggunakan senjata api jenis Mauser
senpi bahu Kaliber 7,92 mm
4. Johanes Amanah menggunakan senjata api jenis
Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
5. Riong Batong menggunakan senjata api jenis
Mauser senpi bahu Kaliber 7,92 mm
INFORMAN
Dalam
menelusuri jejak perjuangan empat pahlawan yang gugur di Pulau Balikukup,
informasi didapat dari berbagai sumber, diantaranya hasil dari wawancara
penulis dengan :
1. D a w
a i ( Almarhum ) Peltu Purnawirawan, saat kejadian
bertugas di Biduk-Biduk
Alamat
Jl. Tendean Tanjung Redeb, Barau Kalimantan Timur
Keterangan hari tanggal bulan dan tahun kejadian diambil dari buku saku
yang bersangkutan saat ditemui penulis
bulan September 1987
2. Alianang ( Almarhum ) Peltu
Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb,
Berau Kalimantan Timur
3.
Sarijan ( Almarhum )
Peltu Purnawirawan
Alamat Jl. Pulau Panjang Tanjung Redeb,
Berau Kalimatan Timur
4. Y a k
o b (
Almarhum ) Purnawirawan ( Opas kerajaan yang menjadi
Polisi Berau )
Alamat Keraton Sambaliung, Berau Kalimantan
Timur
5. Hasyim
Lurah Desa Tanjung Perepat Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau
6. Anggateng ( Almarhum ) Lurah
Desa Pantai Harapan Kecamatan Biduk-Biduk Kabupaten Berau
7. Sersan
satu Seni Warji Polres Berau
Alamat Kampung Sambaliung dekat Mesjid lama
8.
Masyarakat Pantai Harapan, Tanjung Perepat dan Pulau Balikukup
9. Surat
Keterangan Kesaksian dari Polres Berau ( 05 Juni 1986 )
Keterangan :
Kisah empat pahlawan dengan
judul “ Pertempuran Melawan Maut “ ini dikumpulkan dan ditulis pada tahun 1987
(diketik dengan mesin ketik), diperbaiki tahun 2005, ditulis ulang tahun 2010.