Selasa, 05 Maret 2019

MERAH PUTIH PERTAMA DIKIBARKAN DI KABUPATEN BERAU, KALTIM, INDONESIA



GERAKAN PEMUDA AWAL KEMERDEKAAN
MENGIBARKAN BENDERA MERAH PUTIH PERTAMA DI BUMI BATIWAKKAL

OLEH : SAPRUDIN ITHUR

Pada masa penjajahan Belanda di Pulau Borneo, nama Berau sangat dikenal, karena diwilayah Berau ada dua kerajaan yaitu kerajaan/kesultanan Gunung Tabur dan Kerajaan/kesultanan Sambaliung, dan ada kota perdagangan sekaligus industri Batu Bara yang terkenal di Teluk Bayur. Kata Berau ada yang mengatakan berasal dari kata “BER-AU”, orang berau selalu mengatakan kata AU pengganti kata ya, orang yang selalu ber-au setiap berbicara, kemudian menjadi kata BERAU, ada pula yang mengatakan berasal dari kata pujian orang kulit putih ketika melihat hutan yang hijau ranau seperti permadani yang terhampar luas dihiasi bunga-bunga pohon besar dan tinggi berwarna merah, kuning, putih, coklat menjadi satu, ketika kena sinar matahari menebar warna kecoklatan, maka disebut meraka dengan pujian “brown”. Dari kata brown itu kemudian hari menjadi kata Berau. Brown yang berarti warna coklat,  warna kecoklatan dipandang dari kejauhan dan dari udara. Asal mula kata Berau itu berasal dari kata Barrau dalam bahasa orang Berau/Barrau, orang Berau juga sering disebut urang Banua atau orang Banua. Arti Banua adalah kota, kampung, atau tempat yang didiami sekelompok orang yang dianggap lebih ramai dari tempat-tempat lainnya, tetapi orang asli Barrau menyebut dirinya sebagai orang Banua. Orang asli Berau yang belum bercampur dengan suku-suku lain disebutnya Urang Banua. Orang yang tinggal di Berau pada umumnya disebutnya dengan orang atau urang Barrau, sedangka yang asli disebutnya Urang Banua.
Kemungkinan besar asal kata Barrau itu berasal dari kata “Birau”. Birau dalam bahasa Banua adalah seseorang yang banyak bicara, berbicara berlebihan atau orang yang selalu membuat heboh dengan bicaranya. Ada yang senang mendengarkan, ada yang kurang senang, yang kurang senang mengatakan “Birau sunggu urang attu”, banyak bicara/heboh orang itu, “Birau lakanakkah”, banyak bicara/membuat heboh anak tersebut. Maka kata Birau lebih mendekati kata Berau atau Barrau. Untuk kebenaran pernyataan kata Ber-au, brown, atau Birau tersebut diatas perlu dilakukan pendalaman dan penelitian secara sungguh-sungguh.
Tempat penambangan Batu Bara diwilayah Timur Boneo pada masa itu ada di Teluk Bayur Berau dan ada di Loa Kulu Kutai Kertanegara. Batu bara Berau sejak tahun 1800-an mulai dibuka oleh perusahaan Stankolen Mascapay Parapatan (SMP) dibawah Makasar di Salebes (Sulawesi Selatan), masa puncak produksi batu bara SMP tahun 1900-an yaitu tahun 1920-1945. Batu bara Teluk Bayur yang diangkut keluar Boneo itu adalah batu bara terbaik dan pilihan. Perusahaan Stankolen Mascapay Parapatan yang ada di Berau pertama dibuka di Parapatan, tempat turunnya batu bara melalui pelabuhan Kampung Bujangga, dari Pelabuhan Bujangga batu bara diangkut ke Pulau Jawa dan lain-lain.  Kemudian hari pusat perusahaan SMP dipindahkan ke Kampung Teluk Bayur sampai dengan masa penjajahan Jepang dan diteruskan oleh Perusda yang kemudian tidak tahu aralnya, akhirnya merugi. Pada masa SMP mulai membangun perusahaan di Teluk Bayur didatangkan tenaga kerja dari pulau Jawa dan dari menado. Pedagangnya didatangkan orang cina dari Batavia dan Surabaya.
Dimasa Perusda tidak mengerti berbuat apa untuk menjalankan roda ekonomi dan manajemen  perusahaan yang pada masa Belanda sangat popular dengan meninggalkan lokomotif dan rel kereta api pengangkut batu bara yang sangat bagus, jalan-jalan dengan drainase yang tertata dengan baik dan apik, perkantoran perusahaan yang sudah modern pada masa itu, perumahan pejabat dan karyawan,  kolam renang, sekolah, rumah sakit, gedung bioskop, Kamar Bola tempat dansa dan bermain Bilyard, lapangan sepak bola, dan pelabuhan batubara yang permanen.
Untuk mengawasi gerak gerik dua kesultanan Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada masa Belanda, pemerintahan Belanda membangun perkantoran di Ujung Tanjung, kurang lebih 12 Km lebih kehilir dari perusahaan Stankolen Mascapay Parapatan. Dari tempat itu Belanda dengan mudah mengawasi kegiatan Keraton Sambaliung dan Keraton Gunung. Nama tempat tersebut kemudian hari dikenal dengan nama Tanjung Redeb, kemudian hari dikenal dengan kota Tanjung Redeb. Cabang Sungai Berau persis tepat di Tanjung Redeb membelah menjadi dua sungai yaitu sungai Segah dan Sungai Kelay. Stankolen Mascapay Parapatan beroperasi disungai Segah dengan mengambil batu bara sampai tembus kesungai Kelay.
Nama Tanjung Redeb Berasal dari dua kata yaitu TANJUNG dan RADAB. Tanjung adalah bibir tanah ditengah belahan sungai Berau yang menjadi dua sungai yaitu sungai Segah dan sungai Kelay, sedangkan Radab adalah sejenis pohon kayu tinggi dan besar yang pada musim tertentu berbunga indah dengan warna merah. Keberadaan pohon Radab yang berbunga merah itu terlihat setiap orang yang datang atau melintasi sungai Barau masuk kesungai Kelay ataupun masuk kesungai Segah. Di Tanjung yang ada pohon Radab itu kemudian hari dikenal dengan nama Tanjung Raddab atau Tanjung Redeb.
Oleh pemerintah Hindia Belanda Tangjung Redeb mulai dibangun beberapa rumah kantor dan membangun jalan. Pada tahun 1940 jalan tembus antara Tanjung Redeb dengan Teluk Bayur mulai dibangun menyusuri sungai Segah sepanjang 12 Km. Disepanjang jalan itu ditanami pohon karet oleh masyarakat. Pada saat itu Berau disamping memproduksi batu bara  juga memproduksi getah karet. Dari pedalaman sangat dikenal dengan produksi damar, getah kalapiai, lilin madu, cula badak, dan rotan.
Badak Berau sudah punah karena selama lebih 50 tahun diburu dan dibunuh untuk diambil culanya. Sangat disayangkan Badak Berau bercula satu sudah punah, masyarakat sekarang tidak bisa lagi melihat dan menyaksikan Badak Berau yang unik itu. Semua itu pasti kesalahan manusia yang melakukan pembunuhan secara masal pada masa lalu. Oleh karena itu binatang langka yang lain yang masih ada seperti orang utan, macan dahan yang dikenal dengan rimaung daan, beruang madu, kukang, buaya, penyu, beberapa jenis ikan yang ada dilaut maupun disungai paling hulu harus dijaga dan dijamin kelangsungan hidupnya, agar tidak habis seperti Badak Berau. Yang menjaganya pastilah kita semua yang tinggal di Bumi Batiwakkal ini.
Selain jalan tembus Teluk Bayur-Tanjung Redeb, jalan dikota Tanjung Redeb juga dibangun beberapa ruas jalan, dari pelabuhan rumah pembesar Belanda menuju (yang sekarang) jalan Dr. Sutomo sampai jalan Kartini lalu membelok menyusuri sungai Segah yaitu Jl. Pulau Derawan juga dibangun. Di Jl. Pulau Derawan seorang Tokoh Muslim dan panutan dari Banjar yang dikenal dengan Guru Ali Junaidi membangun Mesjid, perumahan tempat tinggal, dan lokasi pemakaman.
Jepang masuk ke wilayah Berau sejak tahun 1942 sampai awal tahun 1945, kemudian dilanjutkan lagi oleh Belanda sampai tahun 1949. Selama penjajahan Jepang di Berau ceritera menyenangkan hampir  tidak pernah terdengar, selalu ceritera tragis, menyedihkan dan pembantaian yang terjadi. Pada masa penjajahan Jepang rakyat Berau banyak yang jadi korban. Banyak yang dibantai dan di pancung oleh tentara Jepang. Rakyat menjadi ciut dan takut berbuat, khawatir dicurigai sebagai pembangkang atau dianggap melawan Jepang. Resikonya adalah kepala dipancung dengan pedang panjang tentara Jepang. Sedikit saja permasalahan kemudian dilaporkan olek antek-antek Jepang kepada tentara Jepang yang hanya beberapa orang itu, langsung diambil tindakan tanpa tanya dan basa basi langsung dimasukkan penjara atau dipancung. Peristiwa heroik pernah terjadi diwilayah pantai Berau yaitu di Kampung Biduk-Biduk.
Pada masa penjajahan Belanda Biduk-Biduk dan sekitarnya tidak banyak yang dapat diceriterakan, tetapi pada masa penjajahan Jepang yang sebentar itu banyak kisah yang sangat menyayat dan menyedihkan. Pada tahun 1943 banyak orang-orang dewasa dan tua-tua yang ditangkap oleh laskar Jepang termasuk tokoh-tokoh masyarakat yang tinggal di Pulau Kaniungan Besar. Mereka ditangkap dan kemudian diangkut ke Balikpapan untuk diadili dan seterusnya dipenjarakan dengan tuduhan memberi bantuan makanan kepada tentara sekutu. Alasan itu diperkuat dengan seringnya masyarakat sekitar bepergian dan berlayar ke Sulawesi Tengah untuk menjual hasil perkebunan dan hasil nelayan, sekembalinya dari sana membawa barang pokok untuk kebutuhan masyarakat sehari-hari. Dalam perjalanan pulang pergi melintasi selat Makassar para nelayan dan pedagang itu sering bertemu dengan kapal selam sekutu. Namun mereka tidak pernah bertemu langsung dengan tentara sekutu tersebut. Karena mereka adalah nelayan dan membawa kebutuhan sehari-hari tidak pernah diganggu oleh kapal selam sekutu. Disebabkan oleh  ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan ingin mencari muka dengan laskar Jepang, mereka dilaporkan dan fitnah orang-orang yang tidak disukai. Sepanjang pesisir pantai selatan ada 50 orang yang di tangkap laskar atau tentara Jepang dan diangkut ke Balikpapan, hanya 10 orang diantara mereka yang bisa kembali dengan cara melarikan diri dari penjara Jepang di Balikpapan, pelarian itu dilakukan dengan cara berperahu kecil dan berjalan kaki dari Balikpapan menuju Samarinda, dan dari Samarinda berlayar menuju Biduk-Biduk dan sekitarnya. Dengan demikian perasaan sedih dan perasaan benci, dendam terhadap laskar Jepang sangat mendalam pada masyarakat yang tinggal dipesisir selatan Berau.
Pada tanggal 17 Agustus 1945  di Pegangsaan Timur 56 Jakarta kumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang terdengar secara samar-samar di Radio. Sejak itu masyarakat pantai sudah mengetahui Indonesia sudah Merdeka. Berita itu menjadi perbincangan dimana-mana, dikebun kelapa, dipantai, dipemancingan, diwarung dan lain-lain. Walaupun mereka banyak yang belum paham apa itu merdeka, nyatanya tentara Jepang masih dengan pongahnya. Mereka mengartikan kemerekaan adalah bebasnya mereka dari penjajahan, mereka pergi berlayar menuju ke Berau (Tanjung Redeb), ke Tarakan, ke Samarinda, ke Sulawesi Tengah, ke Kaniungan, ke Tanjung Buaya, ke Labuan Pinang aman tidak ada yang merampok atau menahan mereka yang tidak bersalah, kebutuhan sehari-hari tersedia itulah sebuah kemerdekaan yang hakiki.
Pada tanggal 25 Agustus 1945 jam lima subuh datanglah tiga orang tentara Jepang dengan menggunakan perahu kecil yang dibawa oleh Kiyama dan si Doyang penduduk Labuan Pinang. Semula mereka merapat di Giring-Giring membawa tiga orang tentara Jepang yang sedang tinggal dan menjaga serta mengawasi di lampu suar Tanjung Mangkaliat sebagai basis penjagaan keamanan Tanjung Mangkaliat dan Selat Makassar. Di ketahui wilayah itu sering terlihat munculnya kapal selam sekutu kepermukaan laut yang dapat sewaktu-waktu menghantam kapal milik Jepang yang melintasi wilayah itu, lampu suar atau mercu suar di Tanjung Mangkaliat sebagai patokan utama menuju keberbagai arah dan tujuan, seperti ke Tarakan, ke Samarinda, ke Balikpapan, dan ke Sulawesi Tengah.
Tiga orang tentara Jepang itu adalah Mizukami sebagai komandan, Morakami sebagai anggota, dan Hatano sebagai penghubung. Ketiga orang tentara Jepang yang didampingi dua orang dari Labuan Pinang dari Giring-Giring berjalan menuju Biduk-Biduk. Di Biduk-Biduk bertemu dengan Muhammad Bakri Japar yang baru beberapa hari melaksanakan pesta pernikahan. Ketiga tentara itu diterima dengan baik dirumah yang masih berhias setelah melaksakan pesta. Yang sangat mengejutkan bagi Muhammad Bakri pada percakapan itu adalah permintaan tentara Jepang itu. Tentara memberitahukan kepada Bakri tentang keinginannya mengumpulkan wanita-wanita, lalu diperintahkan kepada mereka untuk segera menyingkir atau mengungsi ketempat yang dianggap aman karena tentara sekutu selalu datang dan akan menyerang. Hanya yang membuat telinga M. Bakri sakit adalah setelah wanita semua berkumpul, tentara Jepang itu akan memilih wanita yang muda dan cantik untuk digauli seperti suami istri, sedang M. Bakri baru melaksanakan pesta pernikahan dengan seorang gadis cantik Hapidah namanya. Setelah diberikan tempat rumah untuk beristirahat ketiga Jepang yang kelelahan naik perahu dari Tanjung Mangkaliat itu sudah tertidur. Kesempatan itu digunakan oleh M. Bakri Japar untuk menghabarkan kepada rekan-rekan. Mendengar berita tersebut suasa menjadi panas, kebencian dan rasa dendam yang telah lama mengakar dimana dahulu orang tuanya, anaknya, saudaranya, keluarganya yang ditangkap Jepang dipenjarakan di Balikpapan dan tidak kembali serta tidak diketahui dimana kuburnya menjadi beringas, marah dan darahnya mendidih. Akhirnya keputusan dari beberapa orang pemberani adalah harus dibunuh, ketiga orang tentara Jepang itu harus dibunuh bagaimanapun caranya.
Dibawah komando M. Bakri Japar para tokoh dan para pemberani itu dibagi menjadi tiga kelompok :
1.       Kelompok yang dipimpin oleh Mahmude panggilan Wa Musa, Kabak, Ketang, dan Muhammad Taib ditugasi mengikuti seorang Jepang bernama Morakami pergi kerumah yang pernah didiami oleh bekas istrinya kumpul kebo yang dulu dipaksanya untuk menemaninya. Kerumah itu untuk mencari tembakau untuk rokok, namun orang yang tinggal dirumah itu sudah lama mengungsi keluar kampung. Ketika ingin mampir kerumah yang dituju seketika itu si Kabak dengan cepat memarang Morakami, tetapi morakami selalu siap dan sigap. Dalam kesempatan yang sangat sempit itu Morakami masih sempat menghindar dari amukan parang si Kabak yang sudah kalap, telinga Morakami sempat terhiris parang yang sangat tajam. Akhirnya terjadilah perkelahian yang sangat dahsyat ditepi pantai. Sabetan demi sabetan yang dilayangkan oleh Kabak bergantian dengan  Wa Musa, Ketang dan Taib masih dapat dihindari. Morakami menghindar sambil mundur dengan sigapnya. Akhirnya orang Jepang itu semakin terdesak dan kelelahan. Si  Ketang saat ini berhadapan langsung dengan Morakami, si Jepang sempat mengeluarkan pisau lipatnya untuk mengimbangi dan melawan. Ketang lebih dahulu mengayunkan parangnya. Morakami sempat menangkis dan berusaha menangkap parang Ketang. Keduanya sempat saling tarik menarik dengan segala kekuatan., namun mata parang yang tajam itu pasti mampu melukai tangan Morakami yang terus berusaha menghindar. Pak Ketang adalah orang yang cukup berumur hapir saja tenaganya tak mampu melawan kekuatan sang tentara. Dalam suasana yang sangat genting itu teman-teman Ketang datang membantu. Morakami melepaskan parang dan lari pontang panting, dengan tangan yang mengeluarkan darah segar. Masyarakat sekitar yang telah mengetahui dan mengintai datang beramai-ramai, dengan marah yang meluap-luap menghabisi Morakami dengan parang dan kayu. Morakami tewas dipantai Biduk-Biduk dengan luka yang sangat parah, seluruh tubuhnya seperti bekas dicincang rata dari kaki sampai kepalanya luka tebas dan memar.
2.       Kelompok yang dipimpin oleh M. Bakri Japar bersama Ua’ Cilla dan Sahabuddin tinggal dirumah mengatur pembunuhan tentara lainya Hatano. Hatano kesana kemari membawa alat komunikasi, dia sebagai penghubung menyampaikan informasi maupun menerima informasi dari luar. Dirumah itu senjata mereka selalu siap yang terdiri dari senjata laras panjang dua buah lengkap dengan pelurunya, sebuah pistol juga lengkap dengan pelurunya ditambah dengan beberapa buah geranat didalam sebuah kemasan tas sejenis ransel. M. Bakri menyiapkan beberapa buah kelapa muda yang sudah dikupas dan dilubangi, pada saat  Hatano menengadah minum air kelapa pada saat itulah Ua’ Cilla beraksi. Dengan sigapnya Ua, Cilla membacok batang leher Hatano yang lengah itu. Hampir putus batang leher Hatano ditebas parang panjang Ua’ Cilla. Hatano belum mati, ia sempat mengangkat kepalanya yang sudah terkulai dengan meletakkan kembali ketempatnya semula. Dalam keadaan seperti itu Hatano masih sempat menangkap tebasan Sahabuddin. Parang Sahabuddin ditangkapnya, saat itu M. Bakri bertindak menolong sahabatnya, Hatano menyingkir keluar rumah yang tinggi itu dan tersungkur didepan tangga dengan berlumuran darah. Tiba-tiba  datang H. Abdulah menebas Hatano yang sudah tersungkur itu dengan teriakan kemarahan “inilah orang Jepang yang memakan dua orang anakku…….”. Anak H. Abdulah ditangkap Jepang pada tahun 1943 lalu dan tidak pernah kembali lagi, inilah kesempatannya membalas dendam menahun. Kesempatan genting ini dipergunakan oleh Islam Coma dan Nurudin masuk kedalam rumah yang mendapat tugas khusus yaitu segera mengambil senjata dan geranat didalam ransel, sejata dan geranat itu segera dibawa lari jauh-jauh, apabila Jepang lainnya datang mengambil senjatasudah kehilangan senjatanya.
3.       Kelompok ketiga ini dipimpin oleh Tawile Haleke alias Abdul Khalik bersama Mulia, Musa dan Abdul Fatah berjalan menuju kearah utara bersama seorang komandan Jepanag, berencana menangkap seekor kuda untuk dijadikan kendaraan. Mizukami adalah seorang penembak jitu, makanya dijadikan komandan di wilayah pantai. Dalam perjalanan tersebut berhenti tepat dihalaman rumah besar milik Pute yang sering dipanggil Wa’ Menja. Serta  merta ia menghadap kearah pantai mendengar suara teriakan dan rebut-ribut jauh dipantai. Mizukami bertanya suara apa yang didengarnya itu. Dijawab oleh mereka itu ribut-ribut orang menangkap kuda. Keempat orang yang mengiringi Mizukami tidak ada yang berani mendahului untuk membunuh Mizukami. Pada kesempatan yang tepat, sebelum Mizukami mengetahui dipantai sedang terjadi perkelahian dengan Morakami, Tuwale Haleke yang masih sakit-sakitan melayangkan parangnya ke muka Mizukami, ditangkisnya dengan kedua tangannya sangat cekatan, tetapi menangkis parang yang tajam mengakibatkan kedua tangannya luka dan mukanya juga luka. Dengan kejadian itu Mizukami langsung lari menuju kerumah dimana senjata dan geranat disimpan, senjatanya sudah tidak ada Mizukami langsung lari menuju pantai, belum sampai kepantai di hadang beberapa orang dengan parang terhunus, berbelok dan masuk kedalam sebuah gudang milik Mading. Dari dalam gudang Mizukami berusaha tenang dan menawarkan dan mengajak berdamai. Luapan amarah yang mendidih dan sudah sampai di-ubun-ubun masyarakat tidak mau berdamai. Hanya satu keinginan mereka adalah Jepang harus mati dihadapan mereka. Si Doyang yang sudah pernah belajar menembak dengan tentara Jepang, menembak Mizukami dari luar gudang, yang berada didalam gudang terkena peluru senjatanya sendiri, ia keluar dari dalam gudang untuk melawan amukan warga yang sudah meluap-luap. Akhirnya Mizukami yang sudah banyak mengeluarkan darah dan ditembus peluru merebahkan diri di pantai dan menghembuskan nafas terakhirnya….mati dengan disaksikan orang sekampung, disaksikan langit, disaksikan pantai dan laut yang luas. Yang patut diteladani dari tentara Jepang itu adalah tidak ada kata menyerah, dan harus melawan walau sampai  ajal menjemputnya. Sedangkan keberanian orang-orang Biduk-Biduk juga patut mendapat penghargaan, dengan bersatu padu mereka dapat membantai tentara Jepang yang terlatih dan ahli menggunakan senjata, namun atas siasat M. Bakri Japar dan kawan-kawan ketiga tentara Jepang itu lengah dan meninggalkan senjatanya dirumah tempat mereka beristirahat.
Peristiwa bersejarah itu dimulai jam 11.00 waktu setempat sampai dengan jam 14.00. selama tiga jam itu terjadi pergumulan rakyat Biduk-Biduk membunuh tiga orang tentara jepang, tepatnya di tanggal 25 Agustus 1945 yang jatuh dibulan Ramadhan atau bulan puasa. Ketiga orang Jepang itu dikuburkan ramai-ramai di halaman rumah M. Bakri Japar, seorang pemuda yang baru menikah di kampung Biduk-Biduk. Pada saat yang bersamaan pulau Balikukup dijadikan tempat pengungsian dari daratan Talisayan, Batu Putih, Tanjung Perepat, Pantai Harapan, Biduk-Biduk dan sekitarnya. Mereka sengaja mengungsi ke pulau Balikukup, karena tentara Jepang tidak berani melaut sebab tentara sekutu datang dan menyerang tentara dan kapal-kapal Jepang dari laut. Para pengungsi yang tinggal di pulau Balikukup aman tidak dibantai tentara Jepang.
Disekitar pelabuhan yang ada sekarang di kota Tanjung Redeb, dulu ada beberapa rumah pejabat Belanda yang dilengkapi dengan mesin pembangkit listrik. Di Ujung Tanjung tinggal seorang pengusaha berkebangsaan Belanda tuan Coles namanya, setelah sepuh usahanya dilanjutkan oleh putranya tuan Andre. Untuk mengenang nama mereka diujung jalan Tendean ada sebuah gang tempat tinggal tuan Coles dan Tuan Andre diberi nama gang Ancol, singkatan dari nama Andre dan Coles.
Di Kampung Bugis sudah banyak rumah, Jl. Dr. Sutomo ada beberapa rumah, di Jl. Kartini juga berdiri beberap rumah, yang ramai rumah disepanjang sungai Segah di Kampung Batu Miang (Jl. Pulau Derawan) berhadapan dengan Kesultanan Gunung Tabur, lebih kehulu dari Batu Miang ada beberapa rumah lagi di Kampung Bujangga, terputus jauh baru sampai Kampung sungai Rinding, sedangkan Teluk Bayur adalah kota perusahaan Batu Bara yang sangat terkenal dan ramai. Ada informasi klub sepak bola AYak Amsterdam Belanda pernah datang di Teluk Bayur dan bermain bola di Lapangan sepak bola Teluk Bayur.
Sekitar Kesultanan sambaliung juga ramai, sama dengan di Gunung Tabur. Keraton Kesultanan Sambaliung yang ada sekarang di bangun pada tahun 1902, kemudian pembangunan bagian depan keraton dilanjutkan oleh Belanda pada tahun 1937. Kaca dan dinding jati dibagian dalam keratin didatangkan dari Pulau Jawa, pemborongnya adalah seorang warga keturunan Cina. Keraton Gunung Tabur pada tahun 1945 hancur dan terbakar dibom sekutu saat melumpuhkan pertahanan tentara Jepang, satu orang tewas dalam peristiwa itu, adalah seorang pelayan setia Sultan Gunung Tabur. Kerabat sultan sebelum kejadian sudah mengungsi kesungai Birang. Keraton di bangun kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1980-an, sekarang dijadikan Museum Batiwakkal Kabupaten Berau di Gunung Tabur diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Timur pada tahun 1992. Keraton Sambaliung selamat dari Bom sekutu, semua kerabat sultan sudah mengungsi ke sungai Buntu. Ada kisah mengatakan keraton Sambaliung selamat dari hantaman bom sekutu ditolong oleh si Garutu makhluk gaib yang memiliki tangan sangat besar. Bom yang jatuh tepat di Keraton Sambaliung dibuang oleh si Garutu yang memiliki tangan sangat besar itu. Bom yang jatuh disekitar Keraton Sambaliung ada beberapa yang meledak, tetapi banyak yang tidak meledak.
Sebelum belanda meninggalkan Nusantara, pada tahun 1940/1941 organisasi Sarikat Islam sudah berdiri di Berau. Organisasi itu sangat kuat dan mapan. Sarikat Islam sempat membangun kantor sekretariat di Jl. RA. Kartini di sebelah kanan kantor Nahdathul Ulama sekarang. Penjajahan berganti Sarikat Islam di Berau menjadi tidak aktif lagi, selama Jepang bercokol di Berau Sarikat Islam benar-benar fakum. Sarikat Islam adalah perkumpulan pemuda Islam dan tokoh Islam yang bertujuan untuk Indonesia Merdeka. Pada saat Jepang kalah dan harus meninggalkan Nusantara, Belanda kembali menguasai Indonesia, termasuk Berau dan seluruh Kalimantan. Perusahaan Stankolen Mascapay Parapatan diambil alih kembali oleh Belanda. Perusahaan Batu Bara itu berjalan kembali dengan normal, para pekerja kembali bekerja sebagaimana mestinya, ekonomi dan perdagangan di Berau kembali bergeliat seperti pada masa jayanya sebelum diambil alih Jepang. Gedung Sarikat Islam yang berdiri megah itu tidak difungsikan lagi. kemudian gedung itu dipergunakan oleh organisasi Pemuda yang pergerakan dan perjuangannya masih sama dengan Sarikat Islam yaitu Kemerdekaan Republik Indonesia agar tidak dikungkung lagi oleh penjajah yaitu pemerintahan Belanda dan Jepang. Organisasi kepemudaan itu adalah organisasi Pemuda I.N.I atau  Ikatan Nasional Indonesia.
Sejak tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia sudah dikumandangkan keseluruh penjuru Indonesia. Dengan gagahnya Soekarno dan Hatta atas nama seluruh rakyat Indonesia di Pegangsaan Timur 56 Jakarta memproklamirkan Indonesia. Indonesia merdeka…Indonesia merdeka, begitu lantangnya para pemuda meneriakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun kenyataannya dilapangan, didaerah-daerah belum terlepas dari kungkungan penjajahan Belanda, oleh karena itu Ikatan Nasional Indonesia dengan gencar memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Organisasi INI telah membagi-bagikan logo merah putih yang terbuat dari perak, logo merah putih sering atau selalu dikenakan pada peci atau dilekatkan dikenakan di baju didepan dada oleh para tokoh pemuda. Mengapa mereka lakukan itu, karena kumandang merdeka di Jakarta masih belum diakui oleh Belanda, dan Belanda masih enggan meninggalkan tanah Indonesia yang kaya dan subur. Logo merah putih ujar AM Jusup pemuda tinggi semampai, beredar sejak tahun 1946. Logo merah putih itu terbatas, diberikan kepada para pemuda yang dapat dipercaya serta kuat menyimpan rahasia. Kalau tidak maka kemungkinan besar ditangkap oleh polisi Belanda yang banyak orang Menado itu. Gerakan pemuda yang tergabung dalam Ikatan Nasional Indonesia yang disingkat dengan I.N.I bergerak dengan gencar dibidang politik kemerdekaan Indonesia. Aji Muhammad Jusup bersama teman-teman seorganisasi membagikan logo merah putih sekaligus menyebarkan berita Indonesia telah Merdeka, kita para pemuda berkewajiban mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Pertemuan-pertemuan para pemuda sering dilaksanakan yang dipimpin langsung oleh AM. Jusup. Pertemuan tersebut dilaksanakan di Gedung I.N.I dan dirumah-rumah para pemuda pejuang secara bergantian, untuk menghindari kecurigaan tentara Belanda. Pertemuan dilaksanakan selain di kota Tanjung Redeb juga dilakukan di Teluk Bayur, di Gunung Tabur, di Sambaliung, di Sukan, di Batu-Batu, dan di Pulau Besing. Peran Aji Muhammad Jusup dalam menyebar luaskan informasi Indonesia Merdeka sangat diperhitungkan, selain seorang tokoh pemuda pada saat itu AM. Jusup juga seorang terpelajar, seorang Guru, seorang olah ragawan, dan seorang yang mumpuni dalam pergaulan dikalangan atas, serta mempunyai kelebihan dalam berpidato.
Pada tanggal 27 Desember 1949 saat terjadinya penyerahan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda kepangkuan Ibu Pertiwi Bendera, Merah Putih dengan gagahnya dikibarkan dihalaman Gedung Ikatan Nasional Indonesia I.N.I. untuk pertama kalinya diseluruh bumi Batiwakkal Berau. Sejak itulah Belanda tidak lagi mengibarkan bendera merah putih biru dinegeri kita termasuk di Kabupaten Berau. Pada saat pengibaran Bendera Merah Putih Pertama itu dilakukan oleh Aji Muhammad Jusup bersama teman-temannya dari organisasi Ikatan Nasinal Indonesia. AM Jusup dan teman-teman dengan gagahnya menatap langit mengangkat tangannya sampai dijidat seraya menghormat bendera merah putih. Setelah kedaulatan Indonesia kembali ke pangkuan ibu pertiwi, pergerakan pemuda I.N.I. tidak ada lagi dan menghilang entah kemana rimbanya. Ceritera heruik ini sebagai bukti bahwa para pemuda itu selalu berada didepan untuk segala pergerakan. Saat inipun pemuda tetap selalu berada didepan untuk melakukan perubahan agar Kabupaten Berau menjadi lebih baik dan lebih sejahtera. Dulu Merah Putih, sekarang juga Merah Putih. Merah Putih Menuju Indonesia Hebat.

SUSUNAN PENGURUS IKATAN NASIONAL INDONESIA BERAU 1946-1949 :
KETUA                  : ADJI MUHAMMAD JUSUP (AM. YUSUP)
WAKIL                   : ADJI RADEN PERWIRO (AR. PERWIRO)
PENULIS               : DUMA K.S
WAKIL                   : CHAIRUL ARIF
BENDAHARA      : SYAHRIL BIN H. ANANG
WAKIL                   : H. ABBAS
UNSUR PEMUDA:                               1. DJAMALUDDIN AJAK
                                                                2. ISKANDAR
                                                                3. MASRAN
                                                                4. KALIMUN

Aji Muhammad Jusup Almarhum lebih dikenal dan lebih akrab dengan panggilan AM. Yusup adalah seorang pemuda eksentrik dan selalu tampil dengan rapi berbadan kurus tinggi dan lincah, saat berbicara apalagi berpidato selalu semangat penuh dengan aura kepemimpinan yang selalu termotivasi. AM. Yusup pemuda kelahiran Berau pernah mejadi Guru Volk School dimasa Belanda di Teluk Bayur, kemudian menjadi Anggota DPRD pada dekade tahun 1980-an dari Partai Demokrasi Indonesia. Sampai usianya lanjut AM. Yusup masih memimpin organisasi persatuan Veteran Kabupaten Berau dan beberapa organisasi lainnya. AM. Yusup yang lincah itu pandai bermain Tenis lapangan. Penampilan beliau selalu rapi dan eksentrik, ketika berjalan kaki langkahnya selalu cepat karena pada masanya berjalan kaki adalah biasa dan punya sepeda atau naik sepeda sudah keluarga yang mapan. Lebih separo hidupnya AM. Yusup mengabdikan dirinya pada kegiatan organisasi kepemudaan dan organisasi kemasyarakatan. Sampai sepuhpun AM. Yusup masih memimpin beberapa organisasi. Selamat jalan Adji Muhammad Jusup, Merah Putih tetap Berkibar di Bumi Batiwakkal, namamu tetap kami kenang sepanjang masa, Negara kita saat ini sudah menjadi Negara yang sangat maju dengan bukti kenaikan pendapatan perkapita masyarakat kita terus meningkat setiap tahunnya.    
Gedung I.N.I. terletak di jalan RA. Kartini tepatnya berada disebelah Gedung Nahdathul Ulama sekarang. Gedung I.N.I. tersebut sudah tidak ada lagi, tetapi bentuk dan modelnya dari depan masih dapat digambarkan. Gedung INI dibangun dengan gaya rumah panggung bahan kayu, atap sirap bentuk atapnya datar sedikit diatas dan kuncup kebawah, tangga naik kerumah terbuat dari kayu ulin, dibagian depan rumah ada halaman yang cukup luas untuk apel pengurus INI,  teras rumah  bisa tempat santai dan duduk, pintu dari papan, jendela juga dari papan yang diketam halus. Dinding rapi dibagian dalam, tiang atau balok dirian rumah kelihatan dari luar. Ukuran bangunan rumah 5 meter x 9 meter.



















 
















Jl. RA. Kartini
 





 Ditulis pertama oleh :
Saprudin Ithur pada tanggal 8 Maret 1993 Penilik Kebudayaan Kandepdikbud Kecamatan Tanjung Redeb
Ditulis kembali hari Rabu 12-13 Pebruari 2014 di Tanjung Redeb
Diperbaiki ulang 23 Oktober 2014
Informan : AM. Jusup Ketua I.N.I (Almarhum)

2 komentar:

  1. Alhamdulillah ada tulisan mengenai kakek saya Adji Raden Perwiro.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Pa Firdaus Perwiro. terima kasih. Adji Raden Perwiro adalah salah satu tokoh pemuda pada zamannya, yang patut menjadi kebanggaan dan panutan para pemuda saat ini di Kabupaten Berau

      Hapus