LEGENDA
DANAU TEBO’
O
L
E
H
SAPRUDIN ITHUR
DANAU TEBO’ GUA BELOYOT
TINTA EMAS
Suku Dayak
yang ada di Kabupaten Berau terdiri dari, Dayak Ga’ai, Dayak Lebo, Dayak Punan,
Dayak Basaf, dan Dayak Kenyah. Pada umumnya suku Dayak tersebut tinggal
dibantaran sungai. Arah kepedalaman ada disekitar bantaran sungai Segah, sungai
Kelay, sungai Inaran, sungai Lesan, sungai Birang, sungai Lati, dan sungai Sidu
ung. Dayak Ga’ai ada yang mendiami bantaran sungai Segah dan sungai Kelay, suku
Punan tinggal dipaling hulu sungai Segah dan hulu sungai Kelay, Dayak Lebo ada
di sungai Lesan dan sungai Kelay, Dayak Basaf mendiami sekitar bantaran sungai
Birang, Sungai Lati, sungai Suaran, dan diwilayah pantai seperti sungai Tabalar,
sungai Biatan, sungai Dumaring, sugai Capuak, sungai Nek Lenggo, sungai Lobang
Kalatak, sungai Sepinang dan digunung Teluk Sumbang, sedangkan Dayak Kenyah mendiami
sekitar sungai Kelay, Sungai Segah, dan sungai Sidu’ung.
Suku Dayak
yang terdekat dari ibu kota Kabupaten Berau, dari Kota Tanjung Redeb jaraknya
empat puluh kilometer, yang terjauh mencapai dua ratus kilometer. Sebelum ada
jalan tembus, jalan darat, untuk mencapai kampung-kampung orang Dayak
seluruhnya ditempat melalui sungai. Makanya kampng orang-orang Dayak tidak ada
yang dekat, semuanya jauh-jauh. Saat ini dengan diberlakukannya otonomi daerah,
pemerintah Kabupaten Berau bekerja keras membuat jalan menuju kampung-kampung
tersebut, sembilan puluh persen menuju kampung-kampung suku Dayak sudah tembus
melalui jalan darat. Jalan-jalan itu sebagian kecil sudah diaspal, sedangkan
yang lain sudah dilakukan pengerasan dengan batu dan pasir. Jarak tempuh yang
dahulu harus berhari-hari, sekarang sudah bisa ditempuh dalam hitungan jam.
Kampung paling ujung diwilyah pantai dan pedalaman bisa ditempuh dalam waktu
tiga sampai lima jam saja, dengan jarak seratus sampai dua ratus kilometer.
Setelah adanya jalan tembus, maka perubahan secara mendasar bagi suku Dayak
terjadi luar biasa. Pergaulan mereka semakin luas, pendidikan anak-anak semakin
baik dan meningkat, kesehatan semakin baik, bercocok tanam juga mendapat
perhatian pemerindah kabupaten didukung berbagai Lembaga Sosial Masyarakat yang
komit dalam pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Orang Dayak
tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat luar Kalimantan, yang tidak
bersahabat, yang tidak mau menerima orang baru, masih primitif, makan orang.
Yang penting seperti pepatah bilang “Diman Bumi Dipijak, Disana Langit
Dijunjung”. Orang Dayak masih kuat memelihara adat budaya dan tradisi. Kebudayaan
orang Dayak masih bertahan dan dipertahankan sampai saat ini. Mereka orang
Dayak sangat menghargai kebudayaan dan menghormati kebudayaan nenek moyang,
oleh karena itu jangan coba-coba mengganggu hak dasar mereka yaitu kebudayaan
yang masih melekat dan kental, mereka akan keluar dengan segala atribut
kebesaran Suku Dayak bersenjata Mandau dan Sumpit seperti berangkat menuju
medan tempur, siap mengambil kepala dengan nyata ataupun dengan gaib.
Sebaliknya orang Dayak sangat menerima siapa saja yang datang kedaerah mereka
yang bertujuan baik, apalagi yang membawa pengetahuan baru seperti ahli
bercocok tanam, suka berkesenian, ahli gizi, ahli kesehatan, para guru yang
memberikan pengetahuan baru kepada anak-anak mereka. Semuanya mereka terima
dengan terbuka dan suka cita.
Ceritera
Danau Tebo’ berasal dari suku Dayak Lebo Kampung Merabu Kecamatan Kelay
Kabupaten Berau Kalimantan Timur, Indonesia. Perjalanan menuju kampung Merabu
ditempuh dengan jalan darat seratus tiga puluh kilometer dengan waktu empat
jam. Selain terkenal dengan ceritera Danau Tebo’, Kampung Merabu juga memiliki
keindahan alam yang luar biasa dan masih asri. Hutannya masih asli, dihiasi
dengan sungai Nyadeng yang airnya berwarna hijau. Kami sebut dengan Nyadeng
Green River, pegunungan kars dengan gua-gua prasejarah, dimana meninggalkan
gambar telapak tangan yang sudah berusia lebih 4.000 tahun. Dari pegunungan
kars Merabu itulah ceritera Danau Tebo’ berasal.
Berau,
2014
Penulis
I. HUTAN BELANTARA TUMBUH DIBATU CADAS
Pernahkah
membayangkan pohon raksasa yang sangat besar, tentu banyak yang sudah melihat
ada di kebun Raya Bogor misalnya. Tetapi itu belum besar. Kalau masuk hutan
Kalimantan..wah…baru semua akan kaget. Pohon-pohon besar itu masih banyak
tumbuh dengan bebas dihutan belantara. Diameternya ada yang dipeluk tiga orang
dewasa bahkan sampai dipeluk lima orang dewasa masih belum sampai tangannya.
Hutan yang tumbuh di Kalimantan bukan hutan tanaman seperti pohon jati di Pulau
Jawa, semuanya hutan yang tumbuh dan berkembang secara alamiah, tumbuh bebas
dialam. Kalau pohon-pohon besar itu tumbuh ditanah lalu akar tunjangnya
menghunjam kebumi dengan kuat untuk menahan tinggi pohonnya saat diterjang
angin kencang, itu sudah biasa di Kalimantan, dimana-mana pohon-pohon itu
tumbuh dengan bebas ditanah datar ataupun pegunungan. Yang tidak biasa ketika
melihat pemandangan yang berbeda, melihat pohon-pohon besar seluas-luas mata
memandang tumbuh dibatu dan digunung-gunung batu yang tinggi, tajam dan terjal.
Tempat dan wilayah tumbuh pohon dibatu karang adanya di sekitar pesisir pantai
yang ada batu karangnya. Disana pohon-pohon besar tumbuh dengan suburnya dengan
akarnya masuk kesela-sela dan lubang-lubang batu karang.
Batu yang
hampir sejenis ada lagi namanya Kars, gunung kars, batu kars. Batu ini adalah
sejenis batu kapur. Batu kapur atau kars itu di Kabupaten Berau membentang dari
Tanjung Mangkalihat sampai di pedalaman sungai Lesan. Bentangan itu tidak
kurang dari tiga ratus kilometer panjangnya, sedangkan luasannya membujur dari
Kabupaten Berau dikisaran Tabalar, Suaran Nyapa, Merabu sampai diwilayah
Sangkulirang, Bengalon di Kabupaten Kutai Barat. Kars Sangkulirang Mangkalihat
itu sangat kaya dengan kandungan semen. Pohon kayu Hitam tumbuh lebat di
pesisir Biduk-Biduk sampai Batu Putih. Digunung-gunung kars itu banyak gua yang
sangat indah dan eksotik. Gua-gua digunung kars pernah dihuni manusia sejak
sepuluh ribu tahun yang lalu, gua-gua itu menjadi sarang burung wallet yang
sangat mahal dan sarang kelelawar. Gua kars juga dijadikan manusia prasejarah
sebagai tempat tinggal dan tempat pemakaman yang dikenal dengan Lungun dan
tempat ritual.
Dibatu kars
dan gunung kars itu ditumbuhi pohon-pohon yang sangat lebat dan besar-besar.
Keunikan pohon-pohon itu pastilah karena tumbuh diatas batu dengan akarnya yang
menghunjam masuk kebumi melalui lubang
di sela-sela batu. Aku sebut batu itu dengan batu cadas atau batu kapur yang
mengeras dan membentuk batu melampaui waktu yang sangat panjang sampai jutaan
tahun. Batu kars itu benar-benar keras, tetapi banyak lubang-lubang kecil,
sedang, dan besar. Lubang-lubang itu ada yang dangkal dan surut, tetapi ada
juga yang dalam dan panjang. Dalamnya ada yang mencapai tiga ratus sampai empat
ratus meter menukik kedalam bumi, sedangkan panjangnya ada yang sampai dua kilo
meter. Lubang-lubang besar itu dapat dimasuki sampai keujung, tetapi didalamnya
gelap gulita. Didalam lubang dan hampir setiap lubang bercabang-cabang, ada yang membentuk seperti
kamar-kamar, ada yang terus menembus keluar, ada yang terus masuk dan turun
kedasar bumi. Lubang yang dalamnya sampai tiga ratus meter biasanya ada sungai
dengan air yang mengalir deras. Sungai yang ada didalam gunung kars itu kemudian
keluar kepermukaan membentuk sungai. Sungai-sungai yang keluar dari dalam
gunung kars airnya berwarna hijau. Aku sebut sungai itu dengan Green River. Nyadeng
Green River misalnya yang ada di Kampng Merabu. Jenum Green River misalnya yang
ada disekitar gunung Nyapa. Nah lubang besar digunung kars itu dikenal dengan Gua,
orang Dayak Ga’ai menyebutnya dengan Guang, atau Liang. Ada Guang Petau, Guang
Lebo, Gua Lumut, Gua Beloyot, Liang Keh, Liang Abu dan lain-lain. Pohon besar
yang tumbuh dengan subur di kawasan hutan kars itu antara lain pohon Kapur,
Meranti, Ulin, Kerruing, Bengkirai dan masih banyak lagi yang lain. Buah-buahan
hutan antara lain buah rarung, buah sadon, buah durian, buah lahung, buah
tebella, buah sowan , buah maritam,
rambutan hutan, buah siboh, buah lengajar, buah asam, buah keledang, buah
terep, dan buah cempedak/tiwadak.
II. MELINTASI GUNUNG TERJAL DAN GUA PRA SEJARAH
Perjalanan
menuju Danau Tebo’ cukup jauh dari Kampung Merabu. Bagi orang-orang Dayak asli
suku Lebo’ dari kampung Merabu bisa mereka capai dalam waktu satu hari
dengan berjalan kaki, berangkat subuh
sampai di danau Tebo’ menjelang malam. Kalau yang pergi kesana orang-orang
biasa yang belum ahli dihutan dan berjalan dibatu naik turun gunung, bisa memakan waktu dua sampai tiga hari baru
sampai ke Danau Tebo’. Sepanjang perjalanan melalui hutan belantara yang tumbuh
diatas kars, sebagian besar melintasi gunung yang tinggi dan terjal. Oleh
karena itu bagi yang tidak biasa naik turun mendaki gunung batu-batu tajam dan
terjal pasti perjalanan sangat melelahkan dan sangat beresiko. Bagi yang
menyukai tantangan dan wisata ekstrim, berjalan kaki menuju Danau Tebio’ adalah
tantangan yang luar biasa, ekstrim dan menguji adrinalin. Gunung-gunung yang
dilintasi tidak ada yang namanya gunung diselimuti tanah, semua gunung dari
dasar sampai puncaknya adalah gunung batu kapur yang licin, tajam, dan terjal.
Terjatuh atau terperosok dilubang-lubang batu berisiko tinggi, bisa luka, terkilir,
bahkan bisa saja patah tulang. Kulit badan atau kepala tersentuh bagian yang
tajam bisa tergores dan luka, makanya harus super hati-hati. Ketinggian gunung
kars sampai mencapai tiga ribu lima ratus meter dari permukaan air laut. Dari
atas gunung melihat awan gemawan berada jauh dibawah sana, kita berada lebih
tinggi dari awan.
Selama
perjalanan jangan hawatir, walaupun panas terik tidak terkena panas. Pohon
besar dan lebat menutupi semua langit, cahaya matahari hanya sedikit yang tembus
dan menyentuh bumi. Daun pohon-pohon besar menutup rapat sinar matahari,
daun-daun itu berebut tinggi untuk menyerap sinar matahari sepanjang hari.
Sebaliknya kalau hujan, air hujan sebelum jatuh kebumi jatuh mengenai
daun-daun, ranting, dan dahan yang lebat dan subur, baru jatuh kebumi. Jatuhnya
air hujan lebih besar dari bulir-bulir hujan sebenarnya. Air hujan terkumpul
didaun, ranting, dahan baru jatuh dengan bulirnya lebih besar dari aslinya.
Asyik sekali kalau berjalan dihutan belantara yang hijau ranau. Dipayungi
dedaunan sembari melantunkan irama gemerisik gesekan daun dan ranting ketika
dihembus angin. Disana terdengar suara teriakan burung aruai, ayam hutan dan
teriakan orang utan….hehehe……diselingi suara kepakan sayap burung enggang dan
siulan rusa jantan yang sedang merayu betinanya.
Disepanjang
jalan menuju Danau Tebo banyak gua yang dilintasi, banyak pula lubang-lubang
batu yang berbentuk gua tapi dangkal. Disana terlihat keindahan batu alam yang
terbentuk sedemikian rupa, tercipta semula jadi. Saat yang bersamaan kita sadar
bahwa alam yang indah ini dijadikan oleh Sang Maha Pencipta dengan begitu
hebat, pasti yang menciptakan itu adalah Sang Maha Indah yang tiada duanya,
Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Ada yang berbentuk benjolan seperti
bibir dan lidah menjulur, berbentuk kursi, berbentuk meja, berbentuk sopa, ada
pula yang menonjol dari langit gua kebawah tajam dan menonjol dari dasar tajam
keatas yang kita kenal dengan stalaktid dan stalaknid. Didalam gua ada yang
bertingkat-tingkat, mengjorok kedalam dan menjorok keluar. Bercabang tidak
beraturan, ada pula yang membentuk kamar dan lain lain, semuanya indah sekali.
Didalam gua pasti gelap sekali, lampu dan senter harus siap lebih dari satu,
kalau tidak begitu mati lampu yang dibawa yang terlihat didalam gua hanyalah
gelap, gelap pekat, tidak bisa melihat apa-apa, benar-benar gelap gulita. Oleh
karena itu disarankan kepada wisatawan, pelancong, dan para pendamping atau
pemandu harus membawa dan menyiapkan senter yang bagus dan terang. Dengan
demikian maka keindahan dalam gua bisa dilihat dengan jelas. Betapa ruginya
saat menelusuri gua tidak menikmati apa-apa…rugiiiii…..sekaliiiiii…. Didalam
gua yang banyak kelelawar dan burung wallet, biasanya banyak ular piton dan
laba-laba hitam yang menyengat dan berbisa. Ular piton sebagai pemangsa
anak-anak burung dan kelelawar yang jatuh dari sarangnya.
Diantara gua-gua
itu ada gua yang pernah dijadikan tempat tinggal manusia jaman dulu. Apabila
ada tempat tinggal, maka pasti ada tempat melalukan ritual manusia purba yang
pernah hidup sejak lebih empat ribu tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalan
itu ada terlihat di dinding-dinding gua gambar-gambar telapak tangan dan gambar
binatang yang telah diteliti dengan seksama oleh tim ahli dibidangnya
masing-masing. Hasil penelitian itu menyebutkan manusia disana sudah ada dan
tinggal digua-gua gunung kars Kalimatan lebih empat ribu tahun yang lalu. Hasil
penelitian tersebut meyakinkan bahwa gua Beloyot dan Liang Abu di Kampung
Merabu adalah tempat manusia purba melakukan ritual, makanya banyak gambar
telapak tangan dan gambar beberapa jenis binatang yang hidup pada masa itu.
Sedangkan gua tempat tingal dan gua pemakaman ada ditempat lain. Mereka tinggal
digua-gua pada masa itu karena mereka belum pandai membuat rumah seperti sekarang
ini, oleh karena itu gua tempat tinggal dipilih mereka yang dekat dengan air,
mata air, atau anak sungai. Gua-gua yang menjadi tempat tinggal dipilih gua
yang terang banyak cahaya dan terhindar dari serangan binatang buas, buaya dan
ular.
Binatang besar
yang hidup disekitar gunung kars antara lain, Badak, Banteng, Beruang, Macan
dahan yang disebut orang Berau dengan Rimaung Daan, Rusa yang disebut orang
Berau dengan Payau, Babui atau babi, Orang Utan, Buaya, Biyawak dan Ular. Jenis
ular yang banyak antara lain Ular Sawa atau ular Piton, Ular Sendok atau ular
kobra, tentengel, Kunyit, tedung mengiyas, tedung banga’an, tedung bengkarut,
tedung goa, tedung benteran, tedung dapang. Banyak dikisahkan orang-orang tua dipedalaman
sungai Berau, ular sawa atau piton yang ada dihutan belantara tersebut besar-besar,
ada yang sebesar pohon kelapa. Oleh besarnya itu sangat ditakuti oleh manusia
purba, karena ular sawa bisa menelan dua orang manusia dalam waktu tidak lama,
sedangkan mereka sulit untuk membunuh ular besar itu. Peralatan mereka masih
sangat sederhana, upaya mereka tentu berusaha menghindar dari ular raksasa,
buaya dan binatang buas lainnya dengan mencari tempat tinggal digua yang tinggi
dan terjal.
III. SUKU
DAYAK LEBBO
Kampung suku Lebbu
atau Dayak Lebbo yang berada di Kecamatan Kelay, di anak sungai Kelay
namanya sungai Lesan.
Terdiri dari kampung Merapun, Kampung Merabu, Kampung Mapulu, dan Kampung
Panaan. Dayak Lebbo mendiami kawasan sungai Lesan sudah ribuan tahun, sebelumnya pandai
bercocok tanam dan membuat rumah mereka adalah suku pedalaman yang hidup berpindah dari satu
gua kegua lainnya, atau dari daerah buah-buahan yang banyak tumbuh dihutan
ketempat lain yang masih sedang ranum. Sebut saja suku yang berpindah-pindah
dalam hutan belantara yang masih luas dan bebas. Dengan demikian maka wilayah
tersebut adalah wilayah habitat mereka yang tidak terpisahkan. Manusia dan alam
menjadi satu kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan.
Jarak dari ibu kota Kabupaten Berau Tanjung Redeb, sampai ke
ibu kota kecamatan Kelay di Muara Petang ditempuh dengan jalan darat tidak kurang
110 km. Menuju
kekampung Merabu masih cukup jauh, masih lima puluh kilometer lagi baru sampai. Sekarang
ada jalan alternatif yang lebih dekat dan nyaman. Melintasi jalan umum dari
kota Tanjung Redeb sampai simpang jalan Muara Lesan delapan puluh kilo meter,
dari Simpang tersebut menuju Kampung Muara Lesan dua puluh kilo meter, lanjut
menyeberang sungai dengan fery tradisional lalu lanjut jalan darat sampai di
Kampung Merabu tiga puluh kilo meter. Jadi jarak tempuh seluruhnya 130 km sudah
sampai. Dengan naik mobil hanya tiga jam saja. Disarankan agar menggunakan
mobil doble garden, karena waktu hujan jalannya sangat licin. Alternatif lain
melelui jalur sungai, dari ibu kota Kecamatan Kelay di Muara Petang ditempuh
sekitar lima jam baru sampai di Kampung Merabu. Di sungai Lesan ada Kampung
Merapun, Kampung Mapulu, Kampung Panaan, dan Kampung Merabbu.
Suku Dayak Lebbo yang ada diluar kecamatan Kelay ada
di kampung Inaran Kacamatan Sambaliung dan disungai Sangkulirang, namanya Kampung
Bengalon, Kampung Tepian Langsat, dan Kampung Tepian Terap
Kabupaten Kutai Timur. Suku Lebbo yang mendiami bantaran sungai Lesan
salah satu anak sungai Kelay berpenduduk kurang lebih 2.445 jiwa terdiri dari Kampung Merapun
2.013 jiwa, Kampung Merabbu 164 jiwa, Kampung Mapulu 101 jiwa, dan kampung Panaan 145 jiwa.
Sebagian besar mereka tinggal menyatu dalam satu kampung, sebagian kecil terpisah
dan tersebar lebih jauh dari perkampungan yang ada.
Mata pencaharian mereka pada umumnya berkebun dan menanam
padi gunung. Selain itu mereka mencari hasil hutan seperti mengambil kayu
dibuat papan dan balok, mencari damar, rotan, sarang burung wallet, berburu,
mengambil madu, dan
mengambil hasil hutan lainnya. Kampung yang dekat dengan perusahaan perkebunan,
mereka bekerja disana sebagai buruh. Ada pula yang menjadi staf perangkat Kampung,
dan beberapa orang yang menjadi Pegawai Negeri dan pedagang.
Seni budaya dan tradisi orang kampung ( Ulun Lebo ) dari
keempat kampung itu tidak ada perbedaan, baik seni tari seperti kesenian tari Ngadang
yang diiringi dengan alat musik gong,
gendang, dan suling. Kesenian Tiwa ( menyanyi/berpantun ), dalam pantun tersebut
berisikan kisah tentang kekasih, perasaan sedih, sakit atau gembira, menyindir (sindiran), atau mengungkapkan sesuatu kepada
orang lain secara tidak langsung. Kesenian lainnya yang sudah hampir punah
adalah seni meniup yang disebut mereka dengan Gertong yang terbuat dari bambu
yang berlidah. Gertong itu biasa ditiup oleh para pemuda tempo dulu dimalam
hari, dengan senandung-senandung rindu.
Tradisi perkawinan Dayak Lebbo tidak beda dengan adat
istiadat bangsa Indonesia pada zaman Siti Nurbayah kata Pak Damus
tokoh masyarakat Kampung
Merapun. Semua calon mempelai baik pria maupun wanita diatur dan ditentukan
oleh kedua orang tua. Demikian juga dengan suku Lebbo atau Lebbu di sungai
Lesan Kabupaten Berau. Walaupun dalam pelaksanaan acaranya banyak berbeda,
sesuai dengan adat istiadat suku masing-masing. Kalau suku Lebbo memakai beberapa persyaratan sebagai
berikut :
1. Tingkat
Pacaran
a)
Untuk mengetahui
isi hati masing-masing apakah saling mencintai atau tidak. Jelas yang lebih
agresif adalah laki-laki, yang ingin lebih dahulu mengetahui perasaan calon
pasangannya. Untuk mengetahui perasaan wanita yang diinginkannya, maka ia
mengirim Simpa ( sirih pinang ) yang telah siap dimakan, dengan diikat benang
putih serapi mungkin. Benang putih artinya dia mencintai calon pasangannya itu
dengan tulus, jujur, dan tidak terpaksa.
b)
Wanita atau calon
pasangannya membalas dengan mengirim sebatang rokok yang terbuat dari daun
Kirai ( daun Nipah ), atau sejenisnya dengan cara yang sama diikat dengan
benang putih serapi mungkin. Artinya cinta berbalas. Rokok yang diikat dengan
benang putih itu namanya Puting.
c)
Setelah keduanya
saling menerima, barulah keduanya naik kejenjang pertunangan.
2. Pertunangan
Biasanya pertunangan disahkan oleh
kedua belah pihak terutama kedua orang tua, dengan keputusan Ketua Adat yang
dibenarkan oleh Pembakal (Kepala Kampung). Dengan cara dari pihak laki-laki
memberikan barang berupa, tempayan (tajau), gong (tebuan), untuk resminya
pertunangan atau sebagai pengikat pertunangan.
3. Acara
Perkawinan
Pelaksanaan pesta perkawinan diatur dengan kesepakan
orang tua kedua belah pihak. Dalam acara pesta perkawinan masing-masning
mengundang pihak keluarga ditambah dengan tokoh masyarakat pembakal dan ketua
adat, serta masyarakat ramai. Dalam acara pesta tersebut kedua pengantin saling
bersuapan, barulah pengantin itu dinyatakan sah sebagai suami istri atau Bea-Bana.
Adat suku Dayak Lebbo ketika seorang ibu sedang hamil dianggap biasa-biasa saja.
Artinya memang sudah tradisi bagi perempuan itu harus mengandung atau hamil.
Ketika melahirkan baru ada tradisi yang sangat berbeda dengan suku-suku lain di
Indonesia. Ketika seorang ibu sudah hamil besar dan diperkirakan tidak lama
lagi akan melahirkan, dibuatlah tempat khusus untuk melahirkan ditanah. Boleh
berbentuk pondok atau rumah kecil yang terpisah dari rumah tinggal mereka.
Mengapa demikian ? karena melahirkan
tidak boleh dirumah tempat tinggal yang dipakai hari-hari, karena darah orang
melahirkan atau beranak itu membawa sial. Rumah kecil ditanah yang dibuat
khusus itu diberi lantai yang sedikit miring. Dengan tujuan kemiringan lantai
itu, apabila melahirkan bayinya, darah ibu yang melahirkan tersebut cepat habis
keluar dari rahimnya. Apabila darah beranak itu sudah habis. Ibu yang
melahirkan itu boleh naik kerumah tempat tinggal, setelah memanggil dukun bayi
untuk membaca berbagai mantra ditempat itu, dengan tujuan mengusir Jin Jahat.
Kematian bagi orang Dayak Lebbo adalah kejadian yang biasa, dan biasa dilihat mereka sejak nenek moyang. Namun
dalam kejadian saat sakratul maut atau saat ruh ditarik dari
badan si pulan adalah kejadian yang luar biasa. Kematian adalah kehendak Tuhan dan diatur oleh
Tuhan. Kalau memang sudah waktunya sampai, mati atau meninggal dunia tidak
dapat ditolak atau diundur lagi barang beberapa waktu. Memang kalau kita
selintas membayangkan akan kematian tersebut tentu sangat menakutkan dan
mengerikan. Karena pada saat itu terjadi kejadian yang maha dahsyat
dan maha gaib,
terpisahnya roh manusia dengan badannya. Banyak orang pada saat menjelang
kematiannya,
saat skratal maut sangat menderita dan kesakitan yang luar
biasa, bahkan ada yang sampai berteriak-teriak, menghempas-hempaskan badannya
kelantai, dan ada juga yang tertawa terbahak-bahak atau menangis. Tetapi
ada juga saat kematian datang diakhiri dengan senyum. Ada pula sebelum kematian
menjemputnya memanggil seluruh keluarga dengan menyampaikan pesan-pesan moral
dan kabajikan yang harus dilaksanakan oleh anak cucunya dan lain-lain. Kematian adalah kejadian yang luar
biasa pada akhir hidup manusia dan makhluk lainnya dimuka bumi.
Begitu berpisah badan dengan nafas atau ruhnya, tubuh kasar tidak bermakna
lagi, tidak ada harganya lagi. Banyak orang yang ketakutan dengan orang yang
sudah mati yang disebut mayat itu. Ingin cepat-cepat dikebumikan atau dikubur.
Orang Dayak
Lebbo ada tradisi tersendisi dalam melaksanakan pemakaman orang yang sudah
mati. Pemakaman atau penguburan yang biasa dilakukan sejak
zaman nenek moyang ada
tiga cara antara lain :
1. Kuburan di
Liang yang dikenal dengan Lungun.
Letak kuburan didalam gua. Gua
terletak ditempat yang tinggi-tinggi atau gunung batu, gunungnya terjal serta
tidak mudah dicapai. Dengan tujuan agar makam tempat bersemayamnya jasad yang
telah mati itu tidak diganggu orang jahat atau binatang buas. Selain diletakkan
ditempat yang sangat sulit dijangkau, jasad juga yang telah mati itupun
dimasukkan dalam peti yang berat dan kuat serta diletakkan sebaik dan serapi
mungkin, agar jasad yang telah mati dapat tenang dalam kehidupan baru ditempat
yang baru dan tinggi itu. Didalam peti mayat, tersimpan pula seperti manik,
pakaian, dan benda-benda lain yang dianggap sangat berharga pada masa itu dan
disukai yang bersangkutan pada masa hidupnya. Apabila pada masa hidupnya banyak
memiliki harta, maka banyak pula harta yang dimasukkan didalam peti mayat itu.
2. Kuburan di
Liang diatas Tiang
Tempat
pemakamannya sama dengan diatas, tempat pemakaman ini dicari gua yang luas
besar dan langit-langitnya tinggi. Peti mati tidak diletakkan begitu saja di
atas batu, tetapi peti mati dimasukkan kedalam rumah kecil yang dibuat seindah
dan sebagus mungkin agar nyaman. Rumah kecil itu ada pintu seperti rumah,
diberi atap, deberi dinding, ada lantainya, bertiang tinggi seperti rumah
panggung. Bahannya semua dari kayu ulin, tidak menggunakan paku, pertemuan dan
sambungan kayu pakai lubang dan diikat dengan pasak agar menjadi satu utuh dan
kuat. Kuburan lungun ini ada setelah orang Lebbo dan orang Ga’ai mengenal
rumah, walaupun masa itu masih sebagian besar tinggal di Gua atau Liang.
Masing-masing kuburan ada panci, pelujaan, mangkok, guci, yang laki-laki
ditambah dengan Mandau, tombak, baji dan peralatan untuk membuat perahu,
membuat peti mati. Harta benda yang ditinggalkan di kuburan tersebut
menyimbolkan kemapanan, ketangkasan, keterampilan, dan kekayaan. Peti mati
dibagian ujungnya ada ukiran manusia yang menyatu dengan kayu peti mati. Peti
mati tidak terbuat dari papan, tetapi terbuat dari batang kayu yang dilubang
sedemikian rupa. Yang tidak habis pikir bagaimana orang dulu mengangkut perlengkapan
pemakaman lungun itu ke gua yang tinggi dan terjal. Pasti membutuhkan tenaga
ekstra dan waktu yang lama. Keluarga yang ditinggalkan bertanggung jawab untuk
melaksanakan pemakaman yang dinilai sangat sakral itu sampai selesai, karena
melaksanakan pemakaman sebaik mungkin adalah harga diri dan kehormatan bagi
keluarga yang ditinggalkan.
3. Kuburan diatas Tiang.
Kuburan di atas tiang terletak jauh
dari kampung, peti mayatnya dibuat dari kayu ulin, kayu yang sangat kuat. Bahan
untuk membuat kuburan diatas tiang adalah kayu besi atau kayu ulin
semua. Ulin tersebut
dibuat dan dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah tebela atau peti mati
seukuran orang yang
mati. Orang yang mati itu dimasukkan kedalam tebela atau peti mati tersebut, lalu dibawa jauh keluar dari
kampung. Ditempat yang telah ditemukan dan cocok untuk meletakkan peti mati.
Disana ditancapkan dua buah tiang ulin setinggi dua
meter. Kemudian peti mati yang sudah ada mayatnya itu diletakkan diatas tiang
tersebut. Bagian kepala peti itu diletakkan lebih tinggi dari pada bagian kaki,
miring lebih rendah bagian kaki. Tujuannya adalah agar daging yang membusuk mencair bisa keluar dan
menetes melalui celah-celah yang lebih rendah.
4. Kuburan di
Tanah atau Timuk
Selain kuburan yang ada dalam liang yang dikenal
dengan lungun dan kuburan tiang atau peti yang diletakkan diatas tiang setinggi
dua meter, suku Lebo juga punya kuburan ditanah yang
disebutnya dengan Timuk. Lokasi kuburan timuk dicari tempat yang agak tinggi,
aman, jauh dari kampung. Bagaimana pelaksanaannya ?
Baik kita mulai dari menggali kubur (timuk). Menggali lubang untuk tempat pemakaman seperti biasa yang dilakukan
oleh orang kebanyakan, dilakukan dengan beramai-ramai atau gotong royong orang
sekampung. Setelah selesai lubang digali, warga atau orang kampung yang
bekerja pulang. Sedangkan yang
mengantarkan dan memikul mayat tidak semua orang bersedia, kecuali yang diminta
oleh pihak keluarga. Yang mengantar dan memikul hanya orang tertentu dan keluarga
terdekat saja. Karena keluarga
yang ditinggal tidak sanggup membayar jasa orang yang memikul. Dalam adat
mereka, apabila turut memikul mayat, sedangkan ia bukan keluarga dekat, orang
tersebut berhak untuk dibayar dan mendapatkan balas jasa. Upah atau balas
jasanya sangat berat. Biasanya yang diminta adalah tajau (guci) tempat
menampung air atau pohon madu (pohon bangris). Apabila tidak dibayar oleh keluarga yang ditinggalkan, maka
menjadi beban hutang seumur hidup dan hutang yang berkelanjutan, serta membawa
aib dan malu bagi keluarga. Yang lebih berat bagi keluarga yang mengantar mayat sampai dengan
menguburkannya adalah mereka pergi berduka langsung masuk kedalam hutan yang
dikatakan mereka dengan Neleno.
Membawa duka tersebut dilakukan sampai dengan sepuluh hari bagi orang dewasa
dan tiga hari bagi anak-anak. Selama dihutan tidak boleh berduka pada satu tempat saja, tetapi mereka
yang berduka dalam hutan itu harus berpidah-pindah tempat
lalu ketempat
lainnya. Sedangkan jalan
yang dipergunakan keluarga saat mengantar mayat sampai kekuburan yang telah
disiapkan tidak boleh dilalui oleh siapapun. Apa bila dilanggar dan dilalui
orang lain, maka orang tersebut dikenakan denda menurut hukum adat. Sangsi ini
berlaku selama sepuluh hari atau selama keluarga masih berduka didalam hutan.
Menurut adat suku Lebo, apabila jalan yang dipergunakan keluarga saat mengantar
mayat itu dilalui orang lain dapat mengakibatkan patal bagi keluarga yang
sedang berduka ditengah hutan. Yang dikenal dengan istilah Neleno
tersebut. Tradisi Neleno masih
dilakukan sampai tahun lima puluhan.
Kuburan-kuburan yang berada di liang atau guang
(gua), di tiang, dan
ditanah tidak boleh diganggu atau dirusak oleh siapapun, kecuali keluarga atau
atas ijin keluarga. Menurut adat suku Lebbo apabila mengganggu kuburan
orang-orang tua atau nenek moyang sama saja membunuh orang tua mereka yang
kesekian kalinya. Perusak atau yang mengganggu kuburan itu mendapat hukuman
dengan membayar denda, bahkan kalau keluarga masih belum puas sampai terjadi
pembunuhan.
Kuburan-kuburan itu biasa dikunjungi dan dibersihkan oleh
keluarga setiap tahun. Oleh karena itu apabila terjadi pengrusakan, keluarga
pasti mengetahuinya. Alangkah tragisnya apabila ada orang atau perusahaan yang
mengganggu atau merusak kuburan-kuburan yang bertebaran ditengah hutan dan
ditepi-tepi sungai dan gua-gua itu secara tidak bertanggung jawab. Kalau kita mau jujur
tentu semua berpikir tidak akan rela merubah, merusak, apalagi sampai menjarah
isi lungun atau kuburan itu. Karena kuburan-kuburan tersebut adalah harga diri keluarga dan asset
bangsa yang mengandung sejarah panjang bagi negeri ini, serta memiliki keunikan
yang perlu mendapat perhatian semua orang dan semua
pihak, dan harus
dipertahankan sebagai kekayaan Negara, kekayaan daerah, dan kekayaan kita semua
sebagai Cagar Budaya.
Tempat-tempat tersebut juga dapat dijadikan tempat penelitian dan tujuan
wisata. Mari kita jaga tempat-tempat tersebut agar tetap ada dan lestari.
Pengobatan tradisional Dayak Lebbo masih dilakukan sampai dengan
sekarang. Walaupun Puskesmas atau Puskesmas Pembantu sudah ada dan sampai ke
desa-desa terpencil, dimana masyarakat suku Lebbo bertempat tinggal. Pengobatan tersebut dikenal dalam bahasa Lebbo disebutnya Nobit, sedangkan dalam bahasa Berau dikenal
dengan Mamibbil. Pengobatan tradisional ini banyak menggunakan mantra ditambah
dengan beberapa ramuan tradisional. Bahan yang dipergunakan dalam pengobatan
tersebut antara lain Cakkur (kencur), Janar (kunyit), kapur sirih, dan daun
sirih. Apabila penyakitnya cukup berat, pengobatan ditambah dengan ayam. Dalam pelaksanaan pengobatan, dukun
mengenakan pakaian adat. Baju terbuat dari kain hitam disebutnya dengan nama Songsong.
Sebelum mengenal kain, mereka memakai baju dari kulit kayu Tarrap yang
disebutnya dengan Jomo’ (baju). Dukun menari-nari diiringi dengan musik gong
dan gendang, mulut dukun bamammang (menggeremeng) mengucapkan kata-kata yang dikenal
dengan Batiwa (menyampaikan sebab musabab sakitnya si pulan
atau kronologis sakitnya
disebabkan oleh apa). Dukun yang menari-nari dan batiwa itu akhirnya macam
mabuk, kerasukan roh halus yang disebut orang Lebbo dengan kemasukan roh Be’be’. Mandau pakaian terhunus
ditangan dukun yang menari-nari. Kemudian digunakan cakkur, kunyit, kapur, dan
sirih kepada pasien. Sedangkan ayam dipukul-pukulkan keseluruh tubuh pasien.
Pengobatan dengan cara tradisional ini mengobati dan menyembuhkan semua penyakit, baik penyakit
medis maupun non medis (kemasukan roh jahat
Suku Dayak Lebbo termasuk kelompok suku Dayak yang tinggal dipedalaman
Kalimantan, yang memiliki kesenian sangat sederhana. Baik tari, bertutur,
maupun alat musiknya. Kesemuanya sama dalam hentakan dan pukulan, nyaris
lantunan dan irama musiknya terdengar monoton. Namun apapun alasannya,
disitulah letak ciri khas musik dan tari suku Lebbo yang masih belum tersentuh
modernisasi ataupun kreatifitas seorang seniman. Tari yang sering dipertunjukan
pada saat ada tamu atau acara tertentu adalah tari Ngadang. Irama tari diiringi
dengan musik gong, gendang dan suling. Selain tari ada pula kesenian bertutur yang sangat dikenal
dikalangan suku Lebbo. Kesenian yang berceritera melalui nyanyian, dikenal dengan nama Tiwa
atau Batiwa. Ada lagi alat musik yang cukup unik,
sederhana, dan jarang dipergunakan yaitu alat musik yang dikenal dengan nama Gertong. Kesenian Dayak Lebbo secara utuh dapat disaksikan pada
saat dilaksanakannya pesta panen padi atau Irau yang biasa dilaksanakan setiap
tahun di kampung mereka, kecuali panen gagal, maka acara pesta panen tidak
dilaksanakan.
IV. PUSAT KEGIATAN RITUAL ADAT
Sebelum
dikenal dengan nama Danau Tebo’, tempat itu dahulu tidak ada air atau danau.
Lokasi datar seluas lima sampai sepuluh lapangan bola hanya datar saja, dataran
batu yang bersih dan rapi. Seluas lima lapangan bola itu tidak ada pohon besar,
yang ada hanya pohon-pohon kecil tumbuh jarang disana sini. Pohon-pohon itu
akan mati apabila musim kemarau tiba, dimusim hujan tumbuh lagi satu dua pohon yang
sejak dulu tidah bisa besar. Tetapi diluar dataran yang luas tersebut
dikelilingi gunung kars dengan disisi luarnya ditumbuhi pohon yang besar-besar.
Dataran yang diceriterakan ini adalah sebuah dataran diatas ketinggian dua ribu
lima ratus meter dari permukaan laut, lahan datar itu rata nyaris tidak
ditumbuhi rumput atau kayu. Bila ada tumbuhan disana meranggas tidak subur atau
tidak besar seperti pohon kebanyakan…ya seperti pohon yang dibonsai saja. Batu
datar seluas itu terletak dipuncak gunung yang diapit gunung kars lain
disekelilingnya. Tempat itu sangat terbuka, malam hari bebas dan puas melihat
langit yang ditaburi bintang gemintang, awan gemawan terasa dekat dengan
ubun-ubun, seolah bisa dijangkau oleh tangan sendiri. Awan putih yang ditiup
angin melintasi dataran itu dengan semaunya. Kalau boleh dan diijinkan pasti
semua orang yang berkesempatan datang ketempat itu bisa melakukan perjalanan
dengan naik diatas awan…yah seperti itulah awan gemawan datang menemani dan
melintasi tempat datar itu setiap saat. Bulan malam empat belas, terlihat
sangat besar dan dekat sekali. Ketika bulan itu muncul dapat dilihat dibagian
tepi gunung batu yang menukik dalam jurangnya. Bulan itu besar, dekat dari
bibir gunung yang menjulang tinggi, mempesonakan hiasan malam, menjangkau bumi
menerangi bebatuan yang bersusun bak candi bertingkat-tingkat. Mata menyapu
langit yang penuh dengan kelap-kelip bintang, bibir langit dihiasi oleh hijau
ranau pohon-pohon yang tidak jelas besar kecilnya. Bulan itu kemudian
bersembunyi dibalik awan membiaskan cahaya dengan warna yang sulit
diceriterakan. Apa itu nama warnanya ? pesona alam dengan sejuta
keindahan…..itu saja yang dapat dikatakan….yah indah sekali….yah…..bukan
main…..
Di batu datar
itu semula hanya dijadikan tempat lintasan para pemburu, hanya dijadikan
lintasan para pejalan kaki yang pidah dari tempat lain ketempat lainnya, dari
gua lain kegua lainnya. Dataran luas itu dijadikan tempat beristirahat para
pelintas ketika melintasi tempat itu, tempat yang nyaman, tempat yang bisa
membuat rilek sebagai rileksasi, makanya mereka beristirahat disana betah
sekali untuk berlama-lama. Karena sering dilintasi dan nyaman dijadikan tempat beristirahat
menghilangkan lelah, akhirnya tempat datar seluas lima lapangan bola itu mulai
dijadikan tempat berkumpul dan bertemu para tokoh dan tetua adat, kemudian hari
tempat itu meningkat menjadi tempat ritual seperti melaksanakan Belian dengan
menari berputar putar, ritual Tuak dan Bagenjong.
Tahun ketahun
upacara Belian semakin meriah, semakin tahun acara Ritual Tuak semakin ramai dihadiri
dari berbagai kalangan. Yang awalnya hanya dilakukan oleh beberapa orang tokoh
adat, kemudian dihadiri banyak tokoh adat, tetua adat, dan para penonton untuk
menyaksikan ritual. Akhirnya mereka semua terlibat langsung dengan para pelaku
ritual, untuk melakukan ritual pula secara bersama.
Belian adalah
sebuah ritual yang sangat tua di gua-gua pegunungan kars, dari jutaan hektar
wilayah sebaran kars dimulai dari pedalaman sungai Lesan Kampung Merabu
sampai memanjang sampai Tanjung
Mangkalihat, meluas dari gunung nyapa sampai Bengalon, ratuan gua dikawasan itu tersebar dari gunung ke gunug
dari bukit kebukit. Gua-gua itu ada yang sekedar menembus pinggiran gunung, ada
yang sekedar gua dangkal tidak dalam dan tidak menembus jauh, tetapi ada yang
panjang menembus gunung, ada yang dalam sampai tiga ratus meter dengan
sungai-sungai mengalirkan air didalamnya. Gua-gua itu dijadikan sarang burung
wallet, tempat tinggal kelelawar, sebagian lagi pada masa empat ribu tahun lalu
dijadikan tempat tinggal manusia pra sejarah. Sebelum ada pengobatan modern
menggunakan daun-daun, kulit kayu, rempah-rempah, manusia yang tinggal di
gua-gua pegunungan kars melakukan pengobatan dengan upacara Belian. Oleh karena
itu ritual pengobatan Belian adalah
ritual pengobatan yang paling popular pada masanya.
Pengobatan Belian
bisa dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu saja yang memang memiliki
keahlian khusus secara turun temurun sebagai pelaku pengobatan Belian, pelaku
pengobatan atau dukun biasanya bersahabat dengan makhluk gaib yang sekarang
kita kenal dengan jin dan roh nenek moyang. Pelaku pengobatan Belian
menggunakan pakaian khusus busana adat orang Dayak dengan dipinggangnya
terselip Mandau yang sangat betuah dan tajam. Sebelum upacara dimulai telah
disiapkan beberapa jenis daun yang ada disekitar mereka, bahkan ada daun yang
didatangkan dari jauh sampai ratusan kilometer apabila tidak tersedia disekitar
tempat Belian. Dedaunan itu degantung memanjang keatas sedemikian rupa,
digantungan itu ada daun pinang, daun pendingin, daun jeruk, daun sempuling, kembang
melur, kencur, daun linjuang, daun pinegas,
daun kebungsuan, daun pepanggil, nyaru-nyaru, jujutan, buan lebu, daun sarimbangen,
pinang, dan bambu sebagai tempat mengikat semua dedaunan tersebut, lalu
digantung dengan tidak menyentuh tanah. Ritual Belian dimulai diiringi dengan
musik sederhana gendang, gong, dan suling yang dikenal dengan nama gertong.
Belian menari-nari mengikuti irama musik, dengan mengelilingi puluhan dedaunan
yang telah tergantung. dikelilingi penonton dan para pesakit/pasien yang siap
untuk berobat. Dukun atau pelaku belian yang sudah asyik menari-nari itu
kemudian dimasuki roh halus, roh nenek moyang atau Bebe. Setelah itu baru
memulai pengobatan secara bergantian. Kekuatan pengobatan dan kemanjurannya bukan
dilakukan oleh sang dukun, tetapi dilakukan oleh makhluk halus, jin, atau roh
nenek moyang, dukun hanya sebagai perantara atau media roh nenek moyang melakukan
pengobatan. Upacara ritual Belian bisa dilakukan sampai satu malam apabila
penyakitnya sangat berat.
Ratusan tahun
kemudian Belian terjadi kemajuan yang luar biasa. Yang dulu daun-daunan itu
hanya digantung saja, kemudian hari daun-daunan itu menjadi media penyembuhan
juga, seperti kencur yang dikenal mereka dengan nama cakkur, kunyit, daun
linjuang, daun sarimbangen, daun sirih, gambir, kapur sirih, minyak bumi adalah
media penyembuh selain kekuatan jin, roh nenek moyang. Kemajuan itu yang
penulis sebut dengan sebuah kemajuan yang spektakuler pada jamannya.
Daun-daunan, berbagai kulit kayu, umbi-umbian seperti kencur, kunyit, pemedas
atau jahe, akar kayu dan akar beberapa jenis rumput liar jadi media tambahan
dalam pengobatan Belian, bahkan dukun tidak melakukan belianpun bisa membantu
orang sakit dengan rempah-rempah, dedaunan, akar dan umbi-umbian yang diolah
sedemikian rupa, ada yang dipirik, ada yang dikunyah, ada yang panaskan dengan
api, ada yang hanya dioleskan saja. Obat luka cukup diambilkan pucuk pisang
hutan yang masih sangat muda dikunyah dalam mulut sampai lembut langsung
ditempelkan ditempat luka, lukapun tidak lama langsung kering dan sembuh.
Sayangnya sampai saat ini rempah-rempah, dedaunan, akar, kulit kayu, dan
umbi-umbian yang mereka kenal sebagai penyembuh sejak ribuan tahun lalu itu
belum popular seperti obat-obatan herbal yang kita kenal sekarang. Pengobatan Belian
masih dilakukan sampai saat ini di Kampung-kampung orang Dayak, penggunaan
rempah-rempah, dedaunan, akar, kulit, kapur sirih, dan berbagai umbian serta
minyak tanah masih dijadikan penyembuh atau obat di kampung yang ada di
Kabupaten Berau.
V. RITUAL TUAK DAN GENJONG-ENJONG
Ritual Belian
dilaksanakan sesuai dengan permintaan keluarga atau pasien yang sedang
menderita sakit, artinya boleh dilakukan kapan saja dan waktu kapan saja.
Berbeda dengan upacara adat ritual Tuak. Ritual tuak dilaksanakan setiap tahun hanya
sekali dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hasil panen tahun
depan banyak dan melimpah, buah-buahan jadi, binatang jadi banyak dan
besar-besar, ikan disungai jadi. Orang Dayak pada masa itu tidak menanam
buah-buahan, mereka tinggal memanen buah-buahan yang tersedia dihutan
belantara. Saat musim jadi, buah-buahan melimpah ruah dihutan Kalimantan,
adalah rejeki selama tiga bulan buah masak nan ranum tersedia dimana-mana.
Mereka tidak memelihara ternak, tetapi tergantung binatang yang hidup bebas
dihutan, dengan beranak pinak dihutan, banyak rumput sebagai makanannya, maka
binatang jadi. Dengan demikian mereka mudah menangkap binatang sebagai makanan
dan lauk mereka. Mereka tidak memiliki kolam, mereka tidak memelihara ikan,
tetapi musim ikan bertelur seperti ikan patin, ikan salap, ikan sappan, ikan
baung yang naik sampai dihulu sungai menghempas-hempaskan tubuhnya di pasir,
dibatu koral sembari mengeluarkan telurnya. Ikan-ikan itu ada yang sampai
melompat jauh kedarat, dipasir dan tumpukan batu koral dibibir pantai sungai
adalah rejeki bagi orang Dayak dipedalaman. Kejadian itu disebut masyarakat
Berau dengan ikan naik raja. Ikan naik raja sampai satu minggu, maka ikan
melimpah bagi orang Dayak dipedalaman. Ikan-ikan itu mereka bakar untuk dimakan,
sisanya mereka salai dibara api sampai kering, bisa disimpan sampai tiga bulan.
Jadi musim
buah, musim daging, musim ikan banyak, sudah tutup satu tahun, artinya
persediaan makanan bagi orang Dayak tempo dulu sambung menyambung selalu
tersedia. Musim buah-buahan lanjut musim daging atau binatang banyak mudah
ditangkap, musim ikan naik raja tidak terputus dalam setahun, ditambah dengan
mereka menanam padi gunung. Tetapi kalau musim itu berubah, buah tidak jadi,
hewan pergi jauh, ikan tidak naik raja, maka yang terjadi adalah musim paceklik
yang melanda mereka. Buah-buahan kurang, daging tidak tersedia, ikan tidak bisa
diawetkan dengan cara disalai. Terjadi kelaparan di mana-mana dan penyakit
datang menyerang penduduk. Dengan kejadian tersebut sebagian mereka mati
kekurangan makanan dan diserang penyakit. Orang Dayak harus segera pindah
mencari tempat tinggal baru, daerah baru yang lebih menjanjikan ditempat lain.
Harus mencari dan berjuang mendapatkan tempat tinggal baru di gua-gua yang
belum mereka kenal. Masuk kegua yang penuh dengan ular-ular besar, maka banyak
dari mereka yang ditelan ular-ular gua sebesar pohon pinang, bahkan ada yang
sebesar batang kelapa.
Salah satu
penyebab lambatnya pertumbuhan penduduk dipedalaman pada masa lalu adalah
karena wabah penyakit, kelaparan, dan dibantai oleh suku lain yang menyerang
dan memerangi mereka. Yang sempat lari menyelamatkan diri, itulah kelompok yang
meneruskan keturunan mereka, yang mati kepalanya diambil oleh para penyerang sebagai
simbol batas wilayah, sebagai simbol kemenangan, sebagai simbol kejantanan bagi
para lelaki pemberani. Apabila dirumah ada beberapa tengkorak kepala manusia
yang dipajang, maka derajatnya tinggi berbeda dengan masyarakat kebanyakan dalam
suku Dayak, atau yang lebih sedikit memajang kepala dirumahnya. Ukuran
kepahlawanan suku Dayak tempo dulu adalah pajangan tengkorak kepala manusia
disekitar tempat tinggalnya. Perang suku ditengah hutan belantara, perluasan
wilayah pada kelompok tertentu, dilakukan oleh orang Dayak pada zaman duhulu,
ratusan tahun yang lalu, bahkan ribuan tahun yang lalu. Yang saling serang itu
adalah sesama orang Dayak dipedalaman, dihutan balantara, dan di gua-gua,
mereka berbeda suku, berbeda keturunan, berbeda kelompok. Suku yang lemah,
sedikit, tidak memiliki para pahlawan yang pemberani, tidak memiliki kesaktian,
bukan keturunan raja-raja adalah kelompok yang menjadi korban diserang dan
dibantai diambil kepalanya. Padahal orang Dayak sudah hidup di gua-gua kars
sejak empat ribu tahun lalu, di gua-gua prasejarah dibuktikan dengan
peninggalan gambar telapak tangan, gambar binatang di langit-langit gua. Ribuan
anak suku Dayak yang mendiami diseluruh hutan, sungai, pedalaman menyebar di
seluruh Borneo, terbagi dalam tiga negara yaitu Kalimantan Indonesia, Malaysia,
dan Brunai Darussalam. Orang Dayak ada yang menjadi warga negara Indonesia,
warga negara Malaysia, dan menjadi warga negara Brunai Darussalam. Yang
terbanyak orang Dayak mendiami Kalimantan Indonesia. Di Kalimantan terbagi lagi
dalam lima provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan
Selatan, Provinsi Kalimatan Tengah, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi
Kalimantan Utara. Kalimantan Barat dan
Kalimantan Utara berbatasan langsug dengan Malaysia.
Selain itu
ada lagi yang namanya mengayau. Mengayau adalah kegiatan memotong kepala
manusia yang menjadi kewajiban setiap para pemuda lajang yang sudah dewasa. Setiap
para pumuda dilatih dirumah adat atau sunta. Disana dilatih keterampilan
membuat mandau, membuat sumpit, serta ketangkasan menggunakannya. Dilatih
memanjat pohon besar, dilatih menyelam, dilatih berburu binatang hutan, dan
dilatih fisik untuk mempertahankan diri. Setelah lulus para pemuda diwajibkan
pergi melanglang buana ditengah hutan belantara yang sangat ganas dan
menakutkan untuk mencari kepala. Dalam perjalanan melanglang buana ditengah
hutan itu sangat beresiko tinggi untuk diserang atau menyerang, dibunuh atau
membunuh. Kalau tidak memiliki ketangkasan dan keterampilan dalam
mempertahankan diri, maka resikonya mati dan kepalanya diambil oleh musuh,
apabila menang maka berhak memotong leher musuh dan kepalanya dibawa pulang.
Setelah berhasil mengayau, setelah berhasil mengambil kepala, sang pemuda
pulang kekampung dengan sumringah dan gagah perkasa. Para gadis banyak yang
mengintipnya dari balik pintu rumah masing-masing, dengan senyum bangga mereka
mengatakan “ dia adalah pemuda pemberani, pemuda pujaan para wanita cantik
dikampungku”. Sesampainya dikampung, ketua adat mengadakan pertemuan langsung
meneliti hasil bawaan sang pemuda, kepala yang dibawa itu diperiksa dengan
seksama, apakah benar-benar kepala manusia atau bukan, mana tahu kepala
binatang atau kepala orang utan. Apabila benar dilanjutkan dengan upacara
ritual khusus yaitu ritual Batiung, ritual tato dibagian tubuh si pemuda
menandakan pemuda itu sudah lulus, sudah dewasa, dan boleh mencari pasangan
hidup. Dalam ritual para tokoh masyarakat dan ketua adat menari-nari
mengelilingi kepala manusia yang sudah dipotong, dalam tarian itu mereka
menyanyi lagu-lagu pujian dan persembahan menyampaikan keberhasilan sang pemuda
dalam mengayau, boleh ditato, dan boleh memilih pasangan hidup untuk berumah
tangga dan berketurunan.
Acara Tuak
adat dilakukan setahun sekali, ritual Tuak adalah upacara khusus memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar tanaman padi jadi, subur, dan panen melimpah,
buah-buhan jadi, binatang jadi. Dalam ritual Tuak mereka menari-nari
berpular-putar berkeliling membentuk lingkaran. Dalam tarian mereka
menyampaikan segala pengorbanan dan persembahan seperti padi, beras, nasi,
binatang, dan buah-buahan. Upaca ritual Tuak dilaksanakan sampai tiga hari tiga
malam. Semua masyarakat berkumpul, tidak boleh pergi kemana-mana tanpa seijin
tokoh adat dan ketua adat. Tarian persembahan sambil menyanyi dan
menghentak-hentakkan kaki itu dikenal dengan nama Genjong-enjong atau
menggenjong. Menggenjong dilakukan semalam suntuk. Selama menari dan menyanyi
semalam suntuk disiapkan makanan dan minuman. Yang merasa lelah keluar dari
lingkaran dan segera digantikan yang lain menari, menyanyi dengan
menghentak-hentakkan kaki kebumi. Hentakan kaki itu menjadi irama sakral
ditingkahi dengan pukulan gong, gendang dan tiupan gertong. Mereka semua berdoa
tahun depan buah jadi, binatang jadi, madu jadi, padi jadi serta dijauhkan dari
bala kelaparan, wabah penyakit dan lain-lain.
Saat ritual
Tuak semacam ini, wilayah batu datar seluas lima lapangan bola dihamparan kars
yang indah dan mempesona itu menjadi ramai dan meriah. Semua orang, anak-anak,
para pemuda dan pemudi, orang dewasa dan orang tua-tua berkumpul tumpah ruang
disana, membawa makanan nasi, ketan, lemang, daging, ikan, buah-buahan, dan
minuman dalam bambu besar bambu petung tersedia, dimakan dan dimunum sepuasnya.
Setelah makan, setelah minum tuak buatan mereka sendiri, bangkit dan bagenjong
lagi. Keringat bercucuran, lelah tidak dirasa. Dinginnya puncak gunung kars
yang tingginya lebih dari dua ribu meter dari permukaan laut tidak terasa,
semuanya bergembira, semuanya bersuka ria, semuanya tertawa, semuanya menari,
semuanya menyanyi, semuanya menggenjong, semuanya tulus melakukan upacara adat
ritual Tuak, semuanya iklas dengan makanan. Malampun habis dan disambut pajar
pagi. Matahari pagi sudah mengintip pegunungan kars yang maha luas dengan
sinarnya membias membelah bukit, membelah gunung. Sinar matahari pagi itu
menembus awan, membentuk sinar warna-warni, pelangi ada dibawah bukit
diseberang gunung yang masih sebagian tertutup awan. Dingin pagi baru mulai
menusuk sumsum dan tulang, setelah menggenjong dihentikan, keringat telah
mengering. Sebagian peserta dan tetamu mulai mencari tempat yang nyaman,
istirahat dengan melonjorkan kaki, lalu tertidur dengan pulasnya. Jam sepuluh
pagi baru matahari sampai dipuncak gunung dan memanasi seluruh dataran tempat
ritual semalam. Malam selanjutnya ritual Tuak dilanjutkan kembali.
VI. KETUA BELIAN SAKIT HATI
Upara Ritual
Tuak dilanjutkan pada malam kedua. Pengunjung semakin banyak yang hadir. Suara
nyanyian dipuncak gunung kars di dataran seluas lima pangan bola itu terdengar
sampai beberapa kilometer. Suara tingkahan musik gong dan gendang terdengar
sampai puluhan kilometer. Manusia yang tinggal di gua-gua yang jauhnya sampai
sepuluh kilometer mendengar acara ritual Tuak dipuncak gunung kars malam tadi
langsung berangkat menuju puncak gunung karas, mereka datang menyaksikan,
memeriahkan, turut menari dan menyanyi dimalam kedua. Kemeriahan tidak
terbendung, ritual semakin hihmad dan sakral, nyanyian dengan tingkahan gong
dan gendang semakin jauh terdengar. Malam kedua semakin meriah. Para tamu duduk
melingkar menyaksikan tarian dan nyanyian. Sebagian lagi ada yang bersantai dan
berleha-leha menikmati keindahan alam dengan bulan besar bundar menerangi
seluruh alam sekitar tempat ritual, ada juga yang duduk-duduk ditempat lain
jauh dari tempat ritual, berceritera sana kemari tentang sanak keluarga,
tentang kebun, tentang binatang, tentang berburu rusa, babi, dan banteng,
berkelakar, basusuran. Tidak ketinggalan dengan istri ketua Belian sebagai
pelaksana ritual Tuak. Istri ketua Belian asyik bercakap-cakap dengan seorang
pemuda jauh dari tempat ritual. Awalnya hanya mengobrol biasa-biasa saja,
tetapi akhirnya semakin larut malam semakin asik. Dinginnya malam dan hembusan
angin sepaoi-sepoi membuat keduanya semakin berani. Istri ketua Belian yang
masih cantik dan muda itu sudah bercinta yang semakin dalam, berbuat lebih dari
sekedar bercakap-cakap saja. Ketika ketua Belian istirahat dari menari dan
menyanyi pergi jauh dari tempat itu mencari angin yang lebih segar. Saat itulah
mata melihat langsung istrinya yang cantik dan imiut-imut itu asik bercinta
dengan seorang dari kampung lain, dari gua puluhan kilometer dari tempat
ritual. Perasaan cemburu ketua Belian tidak terbendung, kemarahan kepada
istrinya dan pemuda itu ia tahan, ketua adat malu sampai membuat keributan
ditempat acara ritual yang sangat sakral itu. Amarahnya yang meluap-luap ia
tahan sekuat-kuatnya. Ketua Belian masuk lagi ketempat acara ritual Tuak,
menari, menyanyi, dengan menghentakkan kaki lebih keras kebumi melalpiaskan
amarah. Lalu pikirannya yang baik menasihati dirinya “besok istrinya harus
dinasehati agar tidak melakukan hal itu lagi pada upacara ritual malam ketiga”
ia telan semua kecemburuan dan kemarahan terhadap istrinya, ketua Belian tetap
menjaga harkat dan martabat sebagai tokoh Belian yang dituakan, ia juga menjaga
nama baik agar ritual berjalan sebagaimana metinya. Walaupun ketua Belian juga
manusia biasa yang bisa marah, yang bisa cemburu, yang bisa melakukan apa saja
dengan kemampuan dan kesaktiannya. Tetapi tidak ia lakukan semua itu demi
suksesnya upacara ritual Tuak, agar tahun depan padi jadi, buah-buahan jadi,
binatang jadi, serta terhindarkan dari bala penyakit dan kelaparan.
Siang hari
dengan senyum tersungging dibibirnya ketau belian memanggil sang istri.
Istrinya yang cantik dan masih muda itu dating dengan kemanjaan. Lalu ia nasihati
istri dengan senyum, ia ceriterakan melihat langsung istrinya bercinta dengan
seorang pemuda dari kampong lain. Istrinya mendengar nasihat itu memberenguk
dengan kekanak-kanakan, memberenguk dengan kemajaannya. Sang suami ketua Belian
maklum istrinya masih terlalu muda, cantik dan imut-imut pasti banyak pemuda
yang menyukai dan menggodanya. Harapannya dengan nasihat itu istrinya tidak
melakukan lagi pada malam ketiga, malam puncak ritual Tuak dipuncak gunung kars
yang sakral.
Apa yang
terjadi saat acara baru dimulai, dibuka oleh ketua Belian, istrinya yang cantik
itu sudah bertemu dan bercinta lagi. Percintaan malam ketiga ritual Tuak
dilaksanakan lebih dari percintaan semalam. Lebih gila, lebih berani. Kejadian
itu diketahui banyak orang. Percintaan lain juga banyak dilakukan oleh pemuda
pemudi disana. Upacara semacam ini rupanya dijadikan tempat mencari jodoh dan
pasangan bagi pemuda dan pemudi, tidak terkecuali lelaki dan wanita yang sudah
memiliki pasangan hidup.
Saat melihat
kejadian itu, betapa sakit hatinya ketua Belian. Ia masuk kembali ketempat
acara, ia sampaikan kepada beberapa tetua adat bahwa sebentar lagi kedatangan tamu
jauh, oleh karena itu tarian dan nyanyian terus dilakukan dan lebih semangat
lagi, memainkan musik lebih keras lagi, genjong-enjong terus saja, sementara
ketua Belian keluar dari tempat acara dengan membawa hati dan perasaan yang
sangat sakit dan perih. Wajahnya terasa ditampar-tampar orang banyak, seluruh
tubuhnya sakit seperti di injak-injak….ia sangat tersiksa…….
VII. MENYUMPIT MONYET MERAH
Dengan sakit
hati, dengan rasa cemburu yang mendalam ketua Belian langsung masuk kehutan
dengan membawa sumpit. Ditengah hutan ketua Belian menemukan monyet merah yang
asik tidur. Monyet merah itu langsung disumpitnya, anak sumpit tepat mengenai
punggung monyet merah. Dalam beberapa waktu racun mata sumpit sudah menyebar
keseluruh tubuh monyet, monyet itu jatuh kebumi. Monyet merah itu langsung
diberinya pakaian dari daun kayu dan kulit kayu. Pinggang monyet dililitkan
tali akar hutan wakar kunyit namanya, dijadikan semacam pendeng atau sabuk ikat
pinggang. Monyet itu dibawa pulang ketempat upacara ritual Tuak. Ketau belian
berteriak ayo semua lebih nyaring dank eras, mainkan music itu lebih nyaring,
nyanyian dan hentakkan kaki lebih keras, tamu dari jauh telah dating. Ketua
Belian langsung masuk ketengah-tengah tarian, lalu menari-nari dan
menghentakkan kaki denga keras, bumi bergetar…ya seperti kemasukan jin, dan
syetan. Kedua tangannya memegang kedua tangan monyet merah, tarian ketua Belian
bersamaan dengan tarian monyet merah. Terus monyet merah itu ia tarikan dengan
semakin cepat dan semakin keras. Orang-orang pintar yang mengetahui apa yang
dilakukan ketua Belian itu kaget…pasti akan terjadi sesuatu yang maha dahsyat
ditempat ini. Mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Yang idak mengetahui
terus manari mengikuti irama, mengikuti ketua Belian yang menari semakin cepat
dan semakin menggila. Tidak lama kemudian datanglah petir sambar menyambar
menghamtam batu dan membelah langit, awan hitam menutupi langit, angin sangat
kencang datang menyapu tempat upacara ritual, kemudian dilanjutkan dengan hujan
yang sangat deras. Ketua Belian tetap menari tidak meperdulikan kejadian
disekitarnya, menari bersama monyet merah ditangannya, kaki yang kuat
menghentak-hetak dengan keras, semuanya basah kuyup. Sebagian orang ada yang
terlempar oleh kencangnya angin, sebagian lagi berpegangan batu, kayu kecil
disekitar mereka agar tidak terlempar oleh derasnya angin. Petir masih
menyambar, hujan sangat lebat. Air hujan sekencang ini belum pernah terjadi
sebelumnya, langit hitam kelam seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,
kilat smbar menyambar memecah batu dan membelah langit seperti ini belum pernah
terjadi. Dalam suasana yang sangat genting tidak bisa menyelamatkan diri, ketua
Belian masih menari, berteriak keras menantang petir, menghentakkan kaki sampai
bumi bergetar terus ia lakukan. Dalam waktu singkat hamtaman petir
menghancurkan batu datar temapt acara dilaksanakan sampai berlubang, hentakan
kaki ketua Belian meretakkan batu dan menjadi pecah. Air tumpah dari langit
sudah mengisi semuanya. Wilayah datar itupun menjadi berubah terisi air
semuanya. Sebagian air yang telah meluap berputar-putar membuat pusaran raksasa.
Banjir tidak terhindarkan, semua yang ada ditempat itu ditelan air, yang
berpegangan dibatu tenggelam, yang berpegangan di pohon kayu tenggelam, sebagian
yang terlempar didorong angin kencang akhirnya tenggelam juga, ketua belian
yang masih menari-nari dengan monyet merah ditangan juga tenggelam, makanan
seperti nasi, ketan, lemang, ikan, daging semuanya tenggelam, air tuak dalam
bambu petung tumpah, bambunya pergi entah kemana mengikuti arus air. Banjir
terjadi pertama kali dipuncak gunung kars dengan ketinggian lebih dari dua ribu
meter dari permukaan laut. Banjir dahsyat itu meninggalkan duka yang sangat
mendalam. Yang sempat melarikan diri kegunung-gunung disekitar kejadian
selamat, menjadi saksi mata, melihat kejadian yang maha dahsyat itu mereka yang
masih hidup menangis sejadi-jadinya, kehilangan semua, kehilangan sanak
keluarga mereka, semuanya tenggelam.
Beberapa
waktu kemudian air telah surut, maka terlihatlah pemandangan yang sangat
berbeda dari sebelumnya, wilayah datar seluas lebih dari lima lapangan bola itu
sebagian menjadi danau yang sangat indah dan dalam, ditempat lain ada yang
menjadi batu-batu menumpuk disana sini seperti bentuk orang menari, seperti
orang berpelukan, seperti orang berpegangan, seperti orang duduk, seperti orang
berlari dan macam-macam bentuk lainnya. Kemudian hari tempat itu dikenal dengan
nama DANAU TEBO’
VIII. KEUNIKAN DANAU TEBO’
Danau Tebo’
cukup luas, airnya sangat bening dan dalam. Disekitar danau, didasar danau,
bibir danau semua batu…ya batu kars. Keunikan lain Danau tebo’ adalah banyak
ikan yang hidup didalamnya. Disana didalam danau ada ikan baung, ikan seluang,
ikan sappan, ikan salap. Yang paling banyak adalah ikan baung. Ikan-ikan disana
hidup dengan bebas, berenang kesana kemari, selalu kenyang, lemak diperutnya tebal
dan berminyak. Kalau berkesempatan memancing ikan di Danau Tebo’ sangat
mengasikkan, ikan-ikannya mudah dipancing walaupun sebanyak-banyaknya.
Kebiasaan masyarakat Lebbo kampung Merabu memancing ikan disana tidak mengambil
ikan sebanyak-banyaknya, karena jauh. Berjalan kaki dengan cepat saja satu hari penuh baru
sampai, kembalinya satu hari juga baru sampai dikampung, maka tidak mungkin
bisa membawa ikan banyak-banyak, sayang sekali kalau dibuang dijalan atau tidak
terbawa karena keberatan.
Ikan-ikan itu
sangat aneh, pada musim kemarau air danau menjadi panas, air danau menyusut,
saat seperti itu ikan didalam danau semuanya menjadi mati, seluruh permukaan
danau berminyak oleh sebaran lemak perut ikan baung yang mati dan membusuk
bersusun diseluruh permukaan danau. Sesekali burung pemakan ikan datang ke
danau Tebo’ memakan ikan-ikan yang nyaris mati kepanasan dan memakan ikan-ikan
yang sudah mati. Setelah kenyang burung-burung itu pergi jauh untuk menghindari
teriknya matahari.
Ada lagi yang
lebih aneh kejadian di Danau Tebo’, ikan-ikan itu ada lagi, ikan-ikan itu banyak
lagi pada musim hujan dan musim sepanjang tidak kemarau. Ikan baung, ikan
seluang, ikan sappan, ikan salap banyak lagi seperti dimasa-masa lalu sebelum
kemarau, lagi-lagi yang mendominasi adalah ikan baung besar dan kecil. Kalau dipancing
mudah untuk didapat, seperti itu.
Hal-hal unik
lain yang terjadi di Danau Tebo, Danau Tebo’ tidak mau kotor, sekitar danau selalu
bersih, dalam danau bersih, permukaan danau juga selalu bersih. Biasanya kalau
ada kotoran disana, kotoran seperti daun atau kayu dipermukaan danau pada malam
hari hilang dengan sendirinya. Esok hari sudah bersih lagi seperti semula.
Kalau mau membuktikan boleh datang ke Danau Tebo’ melalui kampung Merabu
Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Sesampai di kampung Merabu
harus menggunakan pemandu dari masyarakat Merabu, mereka sudah terlatih dan
berpengalaman memanjat dan menuruni tebing gunung kars. Ambil saja kayu yang
timbul, kayu yang tidak mudah tenggelam, lemparkan ketengah danau. Pengunjung
yang ingin membuktikan tersebut harus bermalam disana satu malam. Pada esok
hari kayu tersebut hilang entah kemana, siapa yang membuang atau menghilangkan
kayu tersebut tidak diketahui, misteri, gaib. Danau bersih lagi…..begitu. Tapi
jangan main-main dengan Danau Tebo yang menyukai selalu bersih itu, pengunjung
bisa sakit kalau niatnya yang bukan-bukan. Niatnya ingin mengotori sekitar dan
danau, esok hari kotoran itu tidak hilang, maka yang mengotori tersebut bisa
langsung sakit, sakit aneh dan sakitnya luar biasa. Pelaku yang mengotori
tersebut harus meminta maaf kepada Danau Tebo’ yang selalu menyukai kebersihan
tersebut.
IX. LARANGAN
1. Kalau berada
disekitar Danau Tebo’
tidak boleh menyebut nama binatang sembarangan, misalnya pelanduk.....maka
diganti dengan sebutan sikaki kecil jangan menyebut nama
pelanduk. Pelanduk adalah kancil dalam bahasa daerah. Kalau disebut langsung Danau Tebo tiba-tiba meluap;
2. Begitu pula
menyebut nama binatang yang lain, salah sebut salah nama biasanya terjadi langsung meluap dan banjir,
oleh karena itu hal-hal kecil semacam itu harus ditanyakan dengan pemandu
masyarakat kampong Merabu;
3. Sekitar Danau Tebo selalu bersih seperti disapu, air
danaunya juga selalu bersih, tidak ada kotoran yang mengapung disana. Oleh karena
itu dilarang keras untuk mengotori wilayah sekitar Danau Tebo’, termasuk botol
bekas minuman, kertas, pelastik bekas makanan harus dibawa pulang. Kalau tidak
resikonya tanggung sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar