Senin, 07 Agustus 2017

LEGENDA DANAU TEBO' MERABU

LEGENDA



DANAU TEBO’

O
L
E
H

SAPRUDIN ITHUR

          Description: I:\Ekpedisi Merabu 2014\IMG_3911.JPG       Description: I:\Ekpedisi Merabu 2014\IMG_7873.JPG
                    DANAU TEBO’                                                                     GUA BELOYOT
TINTA EMAS
Suku Dayak yang ada di Kabupaten Berau terdiri dari, Dayak Ga’ai, Dayak Lebo, Dayak Punan, Dayak Basaf, dan Dayak Kenyah. Pada umumnya suku Dayak tersebut tinggal dibantaran sungai. Arah kepedalaman ada disekitar bantaran sungai Segah, sungai Kelay, sungai Inaran, sungai Lesan, sungai Birang, sungai Lati, dan sungai Sidu ung. Dayak Ga’ai ada yang mendiami bantaran sungai Segah dan sungai Kelay, suku Punan tinggal dipaling hulu sungai Segah dan hulu sungai Kelay, Dayak Lebo ada di sungai Lesan dan sungai Kelay, Dayak Basaf mendiami sekitar bantaran sungai Birang, Sungai Lati, sungai Suaran, dan diwilayah pantai seperti sungai Tabalar, sungai Biatan, sungai Dumaring, sugai Capuak, sungai Nek Lenggo, sungai Lobang Kalatak, sungai Sepinang dan digunung Teluk Sumbang, sedangkan Dayak Kenyah mendiami sekitar sungai Kelay, Sungai Segah, dan sungai Sidu’ung.
Suku Dayak yang terdekat dari ibu kota Kabupaten Berau, dari Kota Tanjung Redeb jaraknya empat puluh kilometer, yang terjauh mencapai dua ratus kilometer. Sebelum ada jalan tembus, jalan darat, untuk mencapai kampung-kampung orang Dayak seluruhnya ditempat melalui sungai. Makanya kampng orang-orang Dayak tidak ada yang dekat, semuanya jauh-jauh. Saat ini dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah Kabupaten Berau bekerja keras membuat jalan menuju kampung-kampung tersebut, sembilan puluh persen menuju kampung-kampung suku Dayak sudah tembus melalui jalan darat. Jalan-jalan itu sebagian kecil sudah diaspal, sedangkan yang lain sudah dilakukan pengerasan dengan batu dan pasir. Jarak tempuh yang dahulu harus berhari-hari, sekarang sudah bisa ditempuh dalam hitungan jam. Kampung paling ujung diwilyah pantai dan pedalaman bisa ditempuh dalam waktu tiga sampai lima jam saja, dengan jarak seratus sampai dua ratus kilometer. Setelah adanya jalan tembus, maka perubahan secara mendasar bagi suku Dayak terjadi luar biasa. Pergaulan mereka semakin luas, pendidikan anak-anak semakin baik dan meningkat, kesehatan semakin baik, bercocok tanam juga mendapat perhatian pemerindah kabupaten didukung berbagai Lembaga Sosial Masyarakat yang komit dalam pemberdayaan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat.
Orang Dayak tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat luar Kalimantan, yang tidak bersahabat, yang tidak mau menerima orang baru, masih primitif, makan orang. Yang penting seperti pepatah bilang “Diman Bumi Dipijak, Disana Langit Dijunjung”. Orang Dayak masih kuat memelihara adat budaya dan tradisi. Kebudayaan orang Dayak masih bertahan dan dipertahankan sampai saat ini. Mereka orang Dayak sangat menghargai kebudayaan dan menghormati kebudayaan nenek moyang, oleh karena itu jangan coba-coba mengganggu hak dasar mereka yaitu kebudayaan yang masih melekat dan kental, mereka akan keluar dengan segala atribut kebesaran Suku Dayak bersenjata Mandau dan Sumpit seperti berangkat menuju medan tempur, siap mengambil kepala dengan nyata ataupun dengan gaib. Sebaliknya orang Dayak sangat menerima siapa saja yang datang kedaerah mereka yang bertujuan baik, apalagi yang membawa pengetahuan baru seperti ahli bercocok tanam, suka berkesenian, ahli gizi, ahli kesehatan, para guru yang memberikan pengetahuan baru kepada anak-anak mereka. Semuanya mereka terima dengan terbuka dan suka cita.
Ceritera Danau Tebo’ berasal dari suku Dayak Lebo Kampung Merabu Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Kalimantan Timur, Indonesia. Perjalanan menuju kampung Merabu ditempuh dengan jalan darat seratus tiga puluh kilometer dengan waktu empat jam. Selain terkenal dengan ceritera Danau Tebo’, Kampung Merabu juga memiliki keindahan alam yang luar biasa dan masih asri. Hutannya masih asli, dihiasi dengan sungai Nyadeng yang airnya berwarna hijau. Kami sebut dengan Nyadeng Green River, pegunungan kars dengan gua-gua prasejarah, dimana meninggalkan gambar telapak tangan yang sudah berusia lebih 4.000 tahun. Dari pegunungan kars Merabu itulah ceritera Danau Tebo’ berasal.   

Berau, 2014

     Penulis


















I. HUTAN BELANTARA TUMBUH DIBATU CADAS
Pernahkah membayangkan pohon raksasa yang sangat besar, tentu banyak yang sudah melihat ada di kebun Raya Bogor misalnya. Tetapi itu belum besar. Kalau masuk hutan Kalimantan..wah…baru semua akan kaget. Pohon-pohon besar itu masih banyak tumbuh dengan bebas dihutan belantara. Diameternya ada yang dipeluk tiga orang dewasa bahkan sampai dipeluk lima orang dewasa masih belum sampai tangannya. Hutan yang tumbuh di Kalimantan bukan hutan tanaman seperti pohon jati di Pulau Jawa, semuanya hutan yang tumbuh dan berkembang secara alamiah, tumbuh bebas dialam. Kalau pohon-pohon besar itu tumbuh ditanah lalu akar tunjangnya menghunjam kebumi dengan kuat untuk menahan tinggi pohonnya saat diterjang angin kencang, itu sudah biasa di Kalimantan, dimana-mana pohon-pohon itu tumbuh dengan bebas ditanah datar ataupun pegunungan. Yang tidak biasa ketika melihat pemandangan yang berbeda, melihat pohon-pohon besar seluas-luas mata memandang tumbuh dibatu dan digunung-gunung batu yang tinggi, tajam dan terjal. Tempat dan wilayah tumbuh pohon dibatu karang adanya di sekitar pesisir pantai yang ada batu karangnya. Disana pohon-pohon besar tumbuh dengan suburnya dengan akarnya masuk kesela-sela dan lubang-lubang batu karang.
Batu yang hampir sejenis ada lagi namanya Kars, gunung kars, batu kars. Batu ini adalah sejenis batu kapur. Batu kapur atau kars itu di Kabupaten Berau membentang dari Tanjung Mangkalihat sampai di pedalaman sungai Lesan. Bentangan itu tidak kurang dari tiga ratus kilometer panjangnya, sedangkan luasannya membujur dari Kabupaten Berau dikisaran Tabalar, Suaran Nyapa, Merabu sampai diwilayah Sangkulirang, Bengalon di Kabupaten Kutai Barat. Kars Sangkulirang Mangkalihat itu sangat kaya dengan kandungan semen. Pohon kayu Hitam tumbuh lebat di pesisir Biduk-Biduk sampai Batu Putih. Digunung-gunung kars itu banyak gua yang sangat indah dan eksotik. Gua-gua digunung kars pernah dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun yang lalu, gua-gua itu menjadi sarang burung wallet yang sangat mahal dan sarang kelelawar. Gua kars juga dijadikan manusia prasejarah sebagai tempat tinggal dan tempat pemakaman yang dikenal dengan Lungun dan tempat ritual.
Dibatu kars dan gunung kars itu ditumbuhi pohon-pohon yang sangat lebat dan besar-besar. Keunikan pohon-pohon itu pastilah karena tumbuh diatas batu dengan akarnya yang  menghunjam masuk kebumi melalui lubang di sela-sela batu. Aku sebut batu itu dengan batu cadas atau batu kapur yang mengeras dan membentuk batu melampaui waktu yang sangat panjang sampai jutaan tahun. Batu kars itu benar-benar keras, tetapi banyak lubang-lubang kecil, sedang, dan besar. Lubang-lubang itu ada yang dangkal dan surut, tetapi ada juga yang dalam dan panjang. Dalamnya ada yang mencapai tiga ratus sampai empat ratus meter menukik kedalam bumi, sedangkan panjangnya ada yang sampai dua kilo meter. Lubang-lubang besar itu dapat dimasuki sampai keujung, tetapi didalamnya gelap gulita. Didalam lubang dan hampir setiap lubang  bercabang-cabang, ada yang membentuk seperti kamar-kamar, ada yang terus menembus keluar, ada yang terus masuk dan turun kedasar bumi. Lubang yang dalamnya sampai tiga ratus meter biasanya ada sungai dengan air yang mengalir deras. Sungai yang ada didalam gunung kars itu kemudian keluar kepermukaan membentuk sungai. Sungai-sungai yang keluar dari dalam gunung kars airnya berwarna hijau. Aku sebut sungai itu dengan Green River. Nyadeng Green River misalnya yang ada di Kampng Merabu. Jenum Green River misalnya yang ada disekitar gunung Nyapa. Nah lubang besar digunung kars itu dikenal dengan Gua, orang Dayak Ga’ai menyebutnya dengan Guang, atau Liang. Ada Guang Petau, Guang Lebo, Gua Lumut, Gua Beloyot, Liang Keh, Liang Abu dan lain-lain. Pohon besar yang tumbuh dengan subur di kawasan hutan kars itu antara lain pohon Kapur, Meranti, Ulin, Kerruing, Bengkirai dan masih banyak lagi yang lain. Buah-buahan hutan antara lain buah rarung, buah sadon, buah durian, buah lahung, buah tebella,  buah sowan , buah maritam, rambutan hutan, buah siboh, buah lengajar, buah asam, buah keledang, buah terep, dan buah cempedak/tiwadak.

II. MELINTASI GUNUNG TERJAL DAN GUA PRA SEJARAH
Perjalanan menuju Danau Tebo’ cukup jauh dari Kampung Merabu. Bagi orang-orang Dayak asli suku Lebo’ dari kampung Merabu bisa mereka capai dalam waktu satu hari dengan  berjalan kaki, berangkat subuh sampai di danau Tebo’ menjelang malam. Kalau yang pergi kesana orang-orang biasa yang belum ahli dihutan dan berjalan dibatu naik turun gunung,  bisa memakan waktu dua sampai tiga hari baru sampai ke Danau Tebo’. Sepanjang perjalanan melalui hutan belantara yang tumbuh diatas kars, sebagian besar melintasi gunung yang tinggi dan terjal. Oleh karena itu bagi yang tidak biasa naik turun mendaki gunung batu-batu tajam dan terjal pasti perjalanan sangat melelahkan dan sangat beresiko. Bagi yang menyukai tantangan dan wisata ekstrim, berjalan kaki menuju Danau Tebio’ adalah tantangan yang luar biasa, ekstrim dan menguji adrinalin. Gunung-gunung yang dilintasi tidak ada yang namanya gunung diselimuti tanah, semua gunung dari dasar sampai puncaknya adalah gunung batu kapur yang licin, tajam, dan terjal. Terjatuh atau terperosok dilubang-lubang batu berisiko tinggi, bisa luka, terkilir, bahkan bisa saja patah tulang. Kulit badan atau kepala tersentuh bagian yang tajam bisa tergores dan luka, makanya harus super hati-hati. Ketinggian gunung kars sampai mencapai tiga ribu lima ratus meter dari permukaan air laut. Dari atas gunung melihat awan gemawan berada jauh dibawah sana, kita berada lebih tinggi dari awan.
Selama perjalanan jangan hawatir, walaupun panas terik tidak terkena panas. Pohon besar dan lebat menutupi semua langit, cahaya matahari hanya sedikit yang tembus dan menyentuh bumi. Daun pohon-pohon besar menutup rapat sinar matahari, daun-daun itu berebut tinggi untuk menyerap sinar matahari sepanjang hari. Sebaliknya kalau hujan, air hujan sebelum jatuh kebumi jatuh mengenai daun-daun, ranting, dan dahan yang lebat dan subur, baru jatuh kebumi. Jatuhnya air hujan lebih besar dari bulir-bulir hujan sebenarnya. Air hujan terkumpul didaun, ranting, dahan baru jatuh dengan bulirnya lebih besar dari aslinya. Asyik sekali kalau berjalan dihutan belantara yang hijau ranau. Dipayungi dedaunan sembari melantunkan irama gemerisik gesekan daun dan ranting ketika dihembus angin. Disana terdengar suara teriakan burung aruai, ayam hutan dan teriakan orang utan….hehehe……diselingi suara kepakan sayap burung enggang dan siulan rusa jantan yang sedang merayu betinanya.
Disepanjang jalan menuju Danau Tebo banyak gua yang dilintasi, banyak pula lubang-lubang batu yang berbentuk gua tapi dangkal. Disana terlihat keindahan batu alam yang terbentuk sedemikian rupa, tercipta semula jadi. Saat yang bersamaan kita sadar bahwa alam yang indah ini dijadikan oleh Sang Maha Pencipta dengan begitu hebat, pasti yang menciptakan itu adalah Sang Maha Indah yang tiada duanya, Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Ada yang berbentuk benjolan seperti bibir dan lidah menjulur, berbentuk kursi, berbentuk meja, berbentuk sopa, ada pula yang menonjol dari langit gua kebawah tajam dan menonjol dari dasar tajam keatas yang kita kenal dengan stalaktid dan stalaknid. Didalam gua ada yang bertingkat-tingkat, mengjorok kedalam dan menjorok keluar. Bercabang tidak beraturan, ada pula yang membentuk kamar dan lain lain, semuanya indah sekali. Didalam gua pasti gelap sekali, lampu dan senter harus siap lebih dari satu, kalau tidak begitu mati lampu yang dibawa yang terlihat didalam gua hanyalah gelap, gelap pekat, tidak bisa melihat apa-apa, benar-benar gelap gulita. Oleh karena itu disarankan kepada wisatawan, pelancong, dan para pendamping atau pemandu harus membawa dan menyiapkan senter yang bagus dan terang. Dengan demikian maka keindahan dalam gua bisa dilihat dengan jelas. Betapa ruginya saat menelusuri gua tidak menikmati apa-apa…rugiiiii…..sekaliiiiii…. Didalam gua yang banyak kelelawar dan burung wallet, biasanya banyak ular piton dan laba-laba hitam yang menyengat dan berbisa. Ular piton sebagai pemangsa anak-anak burung dan kelelawar yang jatuh dari sarangnya.
Diantara gua-gua itu ada gua yang pernah dijadikan tempat tinggal manusia jaman dulu. Apabila ada tempat tinggal, maka pasti ada tempat melalukan ritual manusia purba yang pernah hidup sejak lebih empat ribu tahun yang lalu. Bukti-bukti peninggalan itu ada terlihat di dinding-dinding gua gambar-gambar telapak tangan dan gambar binatang yang telah diteliti dengan seksama oleh tim ahli dibidangnya masing-masing. Hasil penelitian itu menyebutkan manusia disana sudah ada dan tinggal digua-gua gunung kars Kalimatan lebih empat ribu tahun yang lalu. Hasil penelitian tersebut meyakinkan bahwa gua Beloyot dan Liang Abu di Kampung Merabu adalah tempat manusia purba melakukan ritual, makanya banyak gambar telapak tangan dan gambar beberapa jenis binatang yang hidup pada masa itu. Sedangkan gua tempat tingal dan gua pemakaman ada ditempat lain. Mereka tinggal digua-gua pada masa itu karena mereka belum pandai membuat rumah seperti sekarang ini, oleh karena itu gua tempat tinggal dipilih mereka yang dekat dengan air, mata air, atau anak sungai. Gua-gua yang menjadi tempat tinggal dipilih gua yang terang banyak cahaya dan terhindar dari serangan binatang buas, buaya dan ular.
Binatang besar yang hidup disekitar gunung kars antara lain, Badak, Banteng, Beruang, Macan dahan yang disebut orang Berau dengan Rimaung Daan, Rusa yang disebut orang Berau dengan Payau, Babui atau babi, Orang Utan, Buaya, Biyawak dan Ular. Jenis ular yang banyak antara lain Ular Sawa atau ular Piton, Ular Sendok atau ular kobra, tentengel, Kunyit, tedung mengiyas, tedung banga’an, tedung bengkarut, tedung goa, tedung benteran, tedung dapang.  Banyak dikisahkan orang-orang tua dipedalaman sungai Berau, ular sawa atau piton yang ada dihutan belantara tersebut besar-besar, ada yang sebesar pohon kelapa. Oleh besarnya itu sangat ditakuti oleh manusia purba, karena ular sawa bisa menelan dua orang manusia dalam waktu tidak lama, sedangkan mereka sulit untuk membunuh ular besar itu. Peralatan mereka masih sangat sederhana, upaya mereka tentu berusaha menghindar dari ular raksasa, buaya dan binatang buas lainnya dengan mencari tempat tinggal digua yang tinggi dan terjal.

III. SUKU DAYAK LEBBO
Kampung  suku Lebbu atau Dayak Lebbo yang berada di Kecamatan Kelay, di anak sungai Kelay namanya sungai Lesan. Terdiri dari kampung Merapun, Kampung Merabu, Kampung Mapulu, dan Kampung Panaan. Dayak Lebbo mendiami kawasan sungai Lesan sudah ribuan tahun, sebelumnya pandai bercocok tanam dan membuat rumah mereka adalah suku pedalaman yang hidup berpindah dari satu gua kegua lainnya, atau dari daerah buah-buahan yang banyak tumbuh dihutan ketempat lain yang masih sedang ranum. Sebut saja suku yang berpindah-pindah dalam hutan belantara yang masih luas dan bebas. Dengan demikian maka wilayah tersebut adalah wilayah habitat mereka yang tidak terpisahkan. Manusia dan alam menjadi satu kesatuan yang utuh, tidak terpisahkan.
Jarak dari ibu kota Kabupaten Berau Tanjung Redeb, sampai ke ibu kota kecamatan Kelay di Muara Petang ditempuh dengan jalan darat tidak kurang 110 km. Menuju kekampung Merabu masih cukup jauh, masih lima puluh kilometer lagi baru sampai. Sekarang ada jalan alternatif yang lebih dekat dan nyaman. Melintasi jalan umum dari kota Tanjung Redeb sampai simpang jalan Muara Lesan delapan puluh kilo meter, dari Simpang tersebut menuju Kampung Muara Lesan dua puluh kilo meter, lanjut menyeberang sungai dengan fery tradisional lalu lanjut jalan darat sampai di Kampung Merabu tiga puluh kilo meter. Jadi jarak tempuh seluruhnya 130 km sudah sampai. Dengan naik mobil hanya tiga jam saja. Disarankan agar menggunakan mobil doble garden, karena waktu hujan jalannya sangat licin. Alternatif lain melelui jalur sungai, dari ibu kota Kecamatan Kelay di Muara Petang ditempuh sekitar lima jam baru sampai di Kampung Merabu. Di sungai Lesan ada Kampung Merapun, Kampung Mapulu, Kampung Panaan, dan Kampung Merabbu.
Suku Dayak Lebbo yang ada diluar kecamatan Kelay ada di kampung Inaran Kacamatan Sambaliung dan disungai Sangkulirang, namanya Kampung Bengalon, Kampung Tepian Langsat, dan Kampung Tepian Terap Kabupaten Kutai Timur. Suku Lebbo yang mendiami bantaran sungai Lesan salah satu anak sungai Kelay berpenduduk kurang lebih 2.445 jiwa terdiri dari Kampung Merapun 2.013 jiwa, Kampung Merabbu 164 jiwa, Kampung Mapulu 101 jiwa, dan kampung Panaan 145 jiwa. Sebagian besar mereka tinggal menyatu dalam satu kampung, sebagian kecil terpisah dan tersebar lebih jauh dari perkampungan yang ada.
Mata pencaharian mereka pada umumnya berkebun dan menanam padi gunung. Selain itu mereka mencari hasil hutan seperti mengambil kayu dibuat papan dan balok, mencari damar, rotan, sarang burung wallet, berburu, mengambil madu, dan mengambil hasil hutan lainnya. Kampung yang dekat dengan perusahaan perkebunan, mereka bekerja disana sebagai buruh. Ada pula yang menjadi staf perangkat Kampung, dan beberapa orang yang menjadi Pegawai Negeri dan pedagang.
Seni budaya dan tradisi orang kampung ( Ulun Lebo ) dari keempat kampung itu tidak ada perbedaan, baik seni tari seperti kesenian tari Ngadang yang diiringi dengan alat  musik gong, gendang, dan suling. Kesenian Tiwa ( menyanyi/berpantun ), dalam pantun tersebut berisikan kisah tentang kekasih, perasaan sedih, sakit atau gembira, menyindir (sindiran), atau mengungkapkan sesuatu kepada orang lain secara tidak langsung. Kesenian lainnya yang sudah hampir punah adalah seni meniup yang disebut mereka dengan Gertong yang terbuat dari bambu yang berlidah. Gertong itu biasa ditiup oleh para pemuda tempo dulu dimalam hari, dengan senandung-senandung rindu.    
Tradisi perkawinan Dayak Lebbo tidak beda dengan adat istiadat bangsa Indonesia pada zaman Siti Nurbayah kata Pak Damus tokoh masyarakat Kampung Merapun. Semua calon mempelai baik pria maupun wanita diatur dan ditentukan oleh kedua orang tua. Demikian juga dengan suku Lebbo atau Lebbu di sungai Lesan Kabupaten Berau. Walaupun dalam pelaksanaan acaranya banyak berbeda, sesuai dengan adat istiadat suku masing-masing. Kalau suku Lebbo memakai beberapa persyaratan sebagai berikut :
1. Tingkat Pacaran
a)      Untuk mengetahui isi hati masing-masing apakah saling mencintai atau tidak. Jelas yang lebih agresif adalah laki-laki, yang ingin lebih dahulu mengetahui perasaan calon pasangannya. Untuk mengetahui perasaan wanita yang diinginkannya, maka ia mengirim Simpa ( sirih pinang ) yang telah siap dimakan, dengan diikat benang putih serapi mungkin. Benang putih artinya dia mencintai calon pasangannya itu dengan tulus, jujur, dan tidak terpaksa.
b)      Wanita atau calon pasangannya membalas dengan mengirim sebatang rokok yang terbuat dari daun Kirai ( daun Nipah ), atau sejenisnya dengan cara yang sama diikat dengan benang putih serapi mungkin. Artinya cinta berbalas. Rokok yang diikat dengan benang putih itu namanya Puting.
c)      Setelah keduanya saling menerima, barulah keduanya naik kejenjang pertunangan.
2. Pertunangan
Biasanya pertunangan disahkan oleh kedua belah pihak terutama kedua orang tua, dengan keputusan Ketua Adat yang dibenarkan oleh Pembakal (Kepala Kampung). Dengan cara dari pihak laki-laki memberikan barang berupa, tempayan (tajau), gong (tebuan), untuk resminya pertunangan atau sebagai pengikat pertunangan.
3. Acara Perkawinan
Pelaksanaan  pesta perkawinan diatur dengan kesepakan orang tua kedua belah pihak. Dalam acara pesta perkawinan masing-masning mengundang pihak keluarga ditambah dengan tokoh masyarakat pembakal dan ketua adat, serta masyarakat ramai. Dalam acara pesta tersebut kedua pengantin saling bersuapan, barulah pengantin itu dinyatakan sah sebagai suami istri atau Bea-Bana.
Adat suku Dayak Lebbo ketika seorang ibu sedang hamil dianggap biasa-biasa saja. Artinya memang sudah tradisi bagi perempuan itu harus mengandung atau hamil. Ketika melahirkan baru ada tradisi yang sangat berbeda dengan suku-suku lain di Indonesia. Ketika seorang ibu sudah hamil besar dan diperkirakan tidak lama lagi akan melahirkan, dibuatlah tempat khusus untuk melahirkan ditanah. Boleh berbentuk pondok atau rumah kecil yang terpisah dari rumah tinggal mereka. Mengapa demikian ?  karena melahirkan tidak boleh dirumah tempat tinggal yang dipakai hari-hari, karena darah orang melahirkan atau beranak itu membawa sial. Rumah kecil ditanah yang dibuat khusus itu diberi lantai yang sedikit miring. Dengan tujuan kemiringan lantai itu, apabila melahirkan bayinya, darah ibu yang melahirkan tersebut cepat habis keluar dari rahimnya. Apabila darah beranak itu sudah habis. Ibu yang melahirkan itu boleh naik kerumah tempat tinggal, setelah memanggil dukun bayi untuk membaca berbagai mantra ditempat itu, dengan tujuan mengusir Jin Jahat.
Kematian bagi orang Dayak Lebbo adalah kejadian yang biasa, dan biasa dilihat mereka sejak nenek moyang. Namun dalam kejadian saat sakratul maut atau saat ruh ditarik dari badan si pulan adalah kejadian yang luar biasa. Kematian adalah kehendak Tuhan dan diatur oleh Tuhan. Kalau memang sudah waktunya sampai, mati atau meninggal dunia tidak dapat ditolak atau diundur lagi barang beberapa waktu. Memang kalau kita selintas membayangkan akan kematian tersebut tentu sangat menakutkan dan mengerikan. Karena pada saat itu terjadi kejadian yang maha dahsyat dan maha gaib, terpisahnya roh manusia dengan badannya. Banyak orang pada saat menjelang kematiannya, saat skratal maut  sangat menderita dan kesakitan yang luar biasa, bahkan ada yang sampai berteriak-teriak, menghempas-hempaskan badannya kelantai, dan ada juga yang tertawa terbahak-bahak atau menangis. Tetapi ada juga saat kematian datang diakhiri dengan senyum. Ada pula sebelum kematian menjemputnya memanggil seluruh keluarga dengan menyampaikan pesan-pesan moral dan kabajikan yang harus dilaksanakan oleh anak cucunya dan lain-lain. Kematian adalah kejadian yang luar biasa pada akhir hidup manusia dan makhluk lainnya dimuka bumi. Begitu berpisah badan dengan nafas atau ruhnya, tubuh kasar tidak bermakna lagi, tidak ada harganya lagi. Banyak orang yang ketakutan dengan orang yang sudah mati yang disebut mayat itu. Ingin cepat-cepat dikebumikan atau dikubur.
Orang Dayak Lebbo ada tradisi tersendisi dalam melaksanakan pemakaman orang yang sudah mati. Pemakaman atau penguburan yang biasa dilakukan sejak zaman  nenek moyang ada tiga cara antara lain :
1. Kuburan di Liang yang dikenal dengan Lungun.
Letak kuburan didalam gua. Gua terletak ditempat yang tinggi-tinggi atau gunung batu, gunungnya terjal serta tidak mudah dicapai. Dengan tujuan agar makam tempat bersemayamnya jasad yang telah mati itu tidak diganggu orang jahat atau binatang buas. Selain diletakkan ditempat yang sangat sulit dijangkau, jasad juga yang telah mati itupun dimasukkan dalam peti yang berat dan kuat serta diletakkan sebaik dan serapi mungkin, agar jasad yang telah mati dapat tenang dalam kehidupan baru ditempat yang baru dan tinggi itu. Didalam peti mayat, tersimpan pula seperti manik, pakaian, dan benda-benda lain yang dianggap sangat berharga pada masa itu dan disukai yang bersangkutan pada masa hidupnya. Apabila pada masa hidupnya banyak memiliki harta, maka banyak pula harta yang dimasukkan didalam peti mayat itu.
2. Kuburan di Liang diatas Tiang
Tempat pemakamannya sama dengan diatas, tempat pemakaman ini dicari gua yang luas besar dan langit-langitnya tinggi. Peti mati tidak diletakkan begitu saja di atas batu, tetapi peti mati dimasukkan kedalam rumah kecil yang dibuat seindah dan sebagus mungkin agar nyaman. Rumah kecil itu ada pintu seperti rumah, diberi atap, deberi dinding, ada lantainya, bertiang tinggi seperti rumah panggung. Bahannya semua dari kayu ulin, tidak menggunakan paku, pertemuan dan sambungan kayu pakai lubang dan diikat dengan pasak agar menjadi satu utuh dan kuat. Kuburan lungun ini ada setelah orang Lebbo dan orang Ga’ai mengenal rumah, walaupun masa itu masih sebagian besar tinggal di Gua atau Liang. Masing-masing kuburan ada panci, pelujaan, mangkok, guci, yang laki-laki ditambah dengan Mandau, tombak, baji dan peralatan untuk membuat perahu, membuat peti mati. Harta benda yang ditinggalkan di kuburan tersebut menyimbolkan kemapanan, ketangkasan, keterampilan, dan kekayaan. Peti mati dibagian ujungnya ada ukiran manusia yang menyatu dengan kayu peti mati. Peti mati tidak terbuat dari papan, tetapi terbuat dari batang kayu yang dilubang sedemikian rupa. Yang tidak habis pikir bagaimana orang dulu mengangkut perlengkapan pemakaman lungun itu ke gua yang tinggi dan terjal. Pasti membutuhkan tenaga ekstra dan waktu yang lama. Keluarga yang ditinggalkan bertanggung jawab untuk melaksanakan pemakaman yang dinilai sangat sakral itu sampai selesai, karena melaksanakan pemakaman sebaik mungkin adalah harga diri dan kehormatan bagi keluarga yang ditinggalkan.  
3. Kuburan diatas Tiang.
Kuburan di atas tiang terletak jauh dari kampung, peti mayatnya dibuat dari kayu ulin, kayu yang sangat kuat. Bahan untuk membuat kuburan diatas tiang adalah kayu besi atau kayu ulin semua. Ulin tersebut dibuat dan dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah tebela atau peti mati seukuran orang yang mati. Orang yang mati itu dimasukkan kedalam tebela atau peti mati tersebut, lalu dibawa jauh keluar dari kampung. Ditempat yang telah ditemukan dan cocok untuk meletakkan peti mati. Disana ditancapkan dua buah tiang ulin setinggi dua meter. Kemudian peti mati yang sudah ada mayatnya itu diletakkan diatas tiang tersebut. Bagian kepala peti itu diletakkan lebih tinggi dari pada bagian kaki, miring lebih rendah bagian kaki. Tujuannya adalah agar daging yang membusuk mencair bisa keluar dan menetes melalui celah-celah yang lebih rendah.
4. Kuburan di Tanah atau Timuk
Selain kuburan yang ada dalam liang yang dikenal dengan lungun dan kuburan tiang atau peti yang diletakkan diatas tiang setinggi dua meter, suku Lebo juga punya kuburan ditanah yang disebutnya dengan Timuk. Lokasi kuburan timuk dicari tempat yang agak tinggi, aman, jauh dari kampung. Bagaimana pelaksanaannya ?
Baik kita mulai dari menggali kubur (timuk). Menggali lubang untuk  tempat pemakaman seperti biasa yang dilakukan oleh orang kebanyakan, dilakukan dengan beramai-ramai atau gotong royong orang sekampung. Setelah selesai lubang digali, warga atau orang kampung yang bekerja  pulang. Sedangkan yang mengantarkan dan memikul mayat tidak semua orang bersedia, kecuali yang diminta oleh pihak keluarga. Yang mengantar dan memikul hanya orang tertentu dan keluarga terdekat saja. Karena keluarga yang ditinggal tidak sanggup membayar jasa orang yang memikul. Dalam adat mereka, apabila turut memikul mayat, sedangkan ia bukan keluarga dekat, orang tersebut berhak untuk dibayar dan mendapatkan balas jasa. Upah atau balas jasanya sangat berat. Biasanya yang diminta adalah tajau (guci) tempat menampung air atau pohon madu (pohon bangris). Apabila tidak dibayar oleh keluarga yang ditinggalkan, maka menjadi beban hutang seumur hidup dan hutang yang berkelanjutan, serta membawa aib dan malu bagi keluarga. Yang lebih berat bagi keluarga yang mengantar mayat sampai dengan menguburkannya adalah mereka pergi berduka langsung masuk kedalam hutan yang dikatakan mereka dengan Neleno. Membawa duka tersebut dilakukan sampai dengan sepuluh hari bagi orang dewasa dan tiga hari bagi anak-anak. Selama dihutan tidak boleh berduka pada satu tempat saja, tetapi mereka yang berduka dalam hutan itu harus berpidah-pindah tempat lalu ketempat lainnya. Sedangkan jalan yang dipergunakan keluarga saat mengantar mayat sampai kekuburan yang telah disiapkan tidak boleh dilalui oleh siapapun. Apa bila dilanggar dan dilalui orang lain, maka orang tersebut dikenakan denda menurut hukum adat. Sangsi ini berlaku selama sepuluh hari atau selama keluarga masih berduka didalam hutan. Menurut adat suku Lebo, apabila jalan yang dipergunakan keluarga saat mengantar mayat itu dilalui orang lain dapat mengakibatkan patal bagi keluarga yang sedang berduka ditengah hutan. Yang dikenal dengan istilah Neleno tersebut. Tradisi  Neleno masih  dilakukan sampai tahun lima puluhan.
Kuburan-kuburan yang berada di liang atau guang (gua), di tiang, dan ditanah tidak boleh diganggu atau dirusak oleh siapapun, kecuali keluarga atau atas ijin keluarga. Menurut adat suku Lebbo apabila mengganggu kuburan orang-orang tua atau nenek moyang sama saja membunuh orang tua mereka yang kesekian kalinya. Perusak atau yang mengganggu kuburan itu mendapat hukuman dengan membayar denda, bahkan kalau keluarga masih belum puas sampai terjadi pembunuhan.
Kuburan-kuburan itu biasa dikunjungi dan dibersihkan oleh keluarga setiap tahun. Oleh karena itu apabila terjadi pengrusakan, keluarga pasti mengetahuinya. Alangkah tragisnya apabila ada orang atau perusahaan yang mengganggu atau merusak kuburan-kuburan yang bertebaran ditengah hutan dan ditepi-tepi sungai dan gua-gua itu secara tidak bertanggung jawab. Kalau kita mau jujur tentu semua berpikir tidak akan rela merubah, merusak, apalagi sampai menjarah isi lungun atau kuburan itu. Karena kuburan-kuburan tersebut adalah harga diri keluarga dan asset bangsa yang mengandung sejarah panjang bagi negeri ini, serta memiliki keunikan yang perlu mendapat perhatian semua orang dan semua pihak, dan harus dipertahankan sebagai kekayaan Negara, kekayaan daerah, dan kekayaan kita semua sebagai Cagar Budaya. Tempat-tempat tersebut juga dapat dijadikan tempat penelitian dan tujuan wisata. Mari kita jaga tempat-tempat tersebut agar tetap ada dan lestari.
Pengobatan tradisional Dayak Lebbo masih dilakukan sampai dengan sekarang. Walaupun Puskesmas atau Puskesmas Pembantu sudah ada dan sampai ke desa-desa terpencil, dimana masyarakat suku Lebbo bertempat tinggal. Pengobatan tersebut  dikenal dalam bahasa Lebbo disebutnya  Nobit, sedangkan dalam bahasa Berau dikenal dengan Mamibbil. Pengobatan tradisional ini banyak menggunakan mantra ditambah dengan beberapa ramuan tradisional. Bahan yang dipergunakan dalam pengobatan tersebut antara lain Cakkur (kencur), Janar (kunyit), kapur sirih, dan daun sirih. Apabila penyakitnya cukup berat, pengobatan ditambah dengan ayam.            Dalam pelaksanaan pengobatan, dukun mengenakan pakaian adat. Baju terbuat dari kain hitam disebutnya dengan nama Songsong. Sebelum mengenal kain, mereka memakai baju dari kulit kayu Tarrap yang disebutnya dengan Jomo’ (baju). Dukun menari-nari diiringi dengan musik gong dan gendang, mulut dukun  bamammang (menggeremeng) mengucapkan kata-kata yang dikenal dengan Batiwa (menyampaikan sebab musabab sakitnya si pulan atau kronologis sakitnya disebabkan oleh apa). Dukun yang menari-nari dan batiwa itu akhirnya macam mabuk, kerasukan roh halus yang disebut orang Lebbo dengan kemasukan roh Be’be’. Mandau pakaian terhunus ditangan dukun yang menari-nari. Kemudian digunakan cakkur, kunyit, kapur, dan sirih kepada pasien. Sedangkan ayam dipukul-pukulkan keseluruh tubuh pasien. Pengobatan dengan cara tradisional ini mengobati dan menyembuhkan semua penyakit, baik penyakit medis maupun non medis (kemasukan roh jahat
Suku Dayak Lebbo termasuk kelompok suku Dayak yang tinggal dipedalaman Kalimantan, yang memiliki kesenian sangat sederhana. Baik tari, bertutur, maupun alat musiknya. Kesemuanya sama dalam hentakan dan pukulan, nyaris lantunan dan irama musiknya terdengar monoton. Namun apapun alasannya, disitulah letak ciri khas musik dan tari suku Lebbo yang masih belum tersentuh modernisasi ataupun kreatifitas seorang seniman. Tari yang sering dipertunjukan pada saat ada tamu atau acara tertentu adalah tari Ngadang. Irama tari diiringi dengan musik gong, gendang dan suling. Selain tari ada pula kesenian bertutur yang sangat dikenal dikalangan suku Lebbo. Kesenian yang berceritera melalui nyanyian, dikenal dengan nama Tiwa atau Batiwa. Ada lagi alat musik yang cukup unik, sederhana, dan jarang dipergunakan yaitu alat musik yang dikenal dengan nama Gertong. Kesenian Dayak Lebbo secara utuh dapat disaksikan pada saat dilaksanakannya pesta panen padi atau Irau yang biasa dilaksanakan setiap tahun di kampung mereka, kecuali panen gagal, maka acara pesta panen tidak dilaksanakan.

IV. PUSAT KEGIATAN RITUAL ADAT  
Sebelum dikenal dengan nama Danau Tebo’, tempat itu dahulu tidak ada air atau danau. Lokasi datar seluas lima sampai sepuluh lapangan bola hanya datar saja, dataran batu yang bersih dan rapi. Seluas lima lapangan bola itu tidak ada pohon besar, yang ada hanya pohon-pohon kecil tumbuh jarang disana sini. Pohon-pohon itu akan mati apabila musim kemarau tiba, dimusim hujan tumbuh lagi satu dua pohon yang sejak dulu tidah bisa besar. Tetapi diluar dataran yang luas tersebut dikelilingi gunung kars dengan disisi luarnya ditumbuhi pohon yang besar-besar. Dataran yang diceriterakan ini adalah sebuah dataran diatas ketinggian dua ribu lima ratus meter dari permukaan laut, lahan datar itu rata nyaris tidak ditumbuhi rumput atau kayu. Bila ada tumbuhan disana meranggas tidak subur atau tidak besar seperti pohon kebanyakan…ya seperti pohon yang dibonsai saja. Batu datar seluas itu terletak dipuncak gunung yang diapit gunung kars lain disekelilingnya. Tempat itu sangat terbuka, malam hari bebas dan puas melihat langit yang ditaburi bintang gemintang, awan gemawan terasa dekat dengan ubun-ubun, seolah bisa dijangkau oleh tangan sendiri. Awan putih yang ditiup angin melintasi dataran itu dengan semaunya. Kalau boleh dan diijinkan pasti semua orang yang berkesempatan datang ketempat itu bisa melakukan perjalanan dengan naik diatas awan…yah seperti itulah awan gemawan datang menemani dan melintasi tempat datar itu setiap saat. Bulan malam empat belas, terlihat sangat besar dan dekat sekali. Ketika bulan itu muncul dapat dilihat dibagian tepi gunung batu yang menukik dalam jurangnya. Bulan itu besar, dekat dari bibir gunung yang menjulang tinggi, mempesonakan hiasan malam, menjangkau bumi menerangi bebatuan yang bersusun bak candi bertingkat-tingkat. Mata menyapu langit yang penuh dengan kelap-kelip bintang, bibir langit dihiasi oleh hijau ranau pohon-pohon yang tidak jelas besar kecilnya. Bulan itu kemudian bersembunyi dibalik awan membiaskan cahaya dengan warna yang sulit diceriterakan. Apa itu nama warnanya ? pesona alam dengan sejuta keindahan…..itu saja yang dapat dikatakan….yah indah sekali….yah…..bukan main…..
Di batu datar itu semula hanya dijadikan tempat lintasan para pemburu, hanya dijadikan lintasan para pejalan kaki yang pidah dari tempat lain ketempat lainnya, dari gua lain kegua lainnya. Dataran luas itu dijadikan tempat beristirahat para pelintas ketika melintasi tempat itu, tempat yang nyaman, tempat yang bisa membuat rilek sebagai rileksasi, makanya mereka beristirahat disana betah sekali untuk berlama-lama. Karena sering dilintasi dan nyaman dijadikan tempat beristirahat menghilangkan lelah, akhirnya tempat datar seluas lima lapangan bola itu mulai dijadikan tempat berkumpul dan bertemu para tokoh dan tetua adat, kemudian hari tempat itu meningkat menjadi tempat ritual seperti melaksanakan Belian dengan menari berputar putar, ritual Tuak dan Bagenjong.
Tahun ketahun upacara Belian semakin meriah, semakin tahun acara Ritual Tuak semakin ramai dihadiri dari berbagai kalangan. Yang awalnya hanya dilakukan oleh beberapa orang tokoh adat, kemudian dihadiri banyak tokoh adat, tetua adat, dan para penonton untuk menyaksikan ritual. Akhirnya mereka semua terlibat langsung dengan para pelaku ritual, untuk melakukan ritual pula secara bersama.
Belian adalah sebuah ritual yang sangat tua di gua-gua pegunungan kars, dari jutaan hektar wilayah sebaran kars dimulai dari pedalaman sungai Lesan Kampung Merabu sampai  memanjang sampai Tanjung Mangkalihat, meluas dari gunung nyapa sampai Bengalon, ratuan gua  dikawasan itu tersebar dari gunung ke gunug dari bukit kebukit. Gua-gua itu ada yang sekedar menembus pinggiran gunung, ada yang sekedar gua dangkal tidak dalam dan tidak menembus jauh, tetapi ada yang panjang menembus gunung, ada yang dalam sampai tiga ratus meter dengan sungai-sungai mengalirkan air didalamnya. Gua-gua itu dijadikan sarang burung wallet, tempat tinggal kelelawar, sebagian lagi pada masa empat ribu tahun lalu dijadikan tempat tinggal manusia pra sejarah. Sebelum ada pengobatan modern menggunakan daun-daun, kulit kayu, rempah-rempah, manusia yang tinggal di gua-gua pegunungan kars melakukan pengobatan dengan upacara Belian. Oleh karena itu ritual pengobatan Belian  adalah ritual pengobatan yang paling popular pada masanya.
Pengobatan Belian bisa dilakukan hanya oleh orang-orang tertentu saja yang memang memiliki keahlian khusus secara turun temurun sebagai pelaku pengobatan Belian, pelaku pengobatan atau dukun biasanya bersahabat dengan makhluk gaib yang sekarang kita kenal dengan jin dan roh nenek moyang. Pelaku pengobatan Belian menggunakan pakaian khusus busana adat orang Dayak dengan dipinggangnya terselip Mandau yang sangat betuah dan tajam. Sebelum upacara dimulai telah disiapkan beberapa jenis daun yang ada disekitar mereka, bahkan ada daun yang didatangkan dari jauh sampai ratusan kilometer apabila tidak tersedia disekitar tempat Belian. Dedaunan itu degantung memanjang keatas sedemikian rupa, digantungan itu ada daun pinang, daun pendingin, daun jeruk, daun sempuling, kembang melur, kencur,  daun linjuang, daun pinegas, daun kebungsuan, daun pepanggil, nyaru-nyaru, jujutan, buan lebu, daun sarimbangen, pinang, dan bambu sebagai tempat mengikat semua dedaunan tersebut, lalu digantung dengan tidak menyentuh tanah. Ritual Belian dimulai diiringi dengan musik sederhana gendang, gong, dan suling yang dikenal dengan nama gertong. Belian menari-nari mengikuti irama musik, dengan mengelilingi puluhan dedaunan yang telah tergantung. dikelilingi penonton dan para pesakit/pasien yang siap untuk berobat. Dukun atau pelaku belian yang sudah asyik menari-nari itu kemudian dimasuki roh halus, roh nenek moyang atau Bebe. Setelah itu baru memulai pengobatan secara bergantian. Kekuatan pengobatan dan kemanjurannya bukan dilakukan oleh sang dukun, tetapi dilakukan oleh makhluk halus, jin, atau roh nenek moyang, dukun hanya sebagai perantara atau media roh nenek moyang melakukan pengobatan. Upacara ritual Belian bisa dilakukan sampai satu malam apabila penyakitnya sangat berat.
Ratusan tahun kemudian Belian terjadi kemajuan yang luar biasa. Yang dulu daun-daunan itu hanya digantung saja, kemudian hari daun-daunan itu menjadi media penyembuhan juga, seperti kencur yang dikenal mereka dengan nama cakkur, kunyit, daun linjuang, daun sarimbangen, daun sirih, gambir, kapur sirih, minyak bumi adalah media penyembuh selain kekuatan jin, roh nenek moyang. Kemajuan itu yang penulis sebut dengan sebuah kemajuan yang spektakuler pada jamannya. Daun-daunan, berbagai kulit kayu, umbi-umbian seperti kencur, kunyit, pemedas atau jahe, akar kayu dan akar beberapa jenis rumput liar jadi media tambahan dalam pengobatan Belian, bahkan dukun tidak melakukan belianpun bisa membantu orang sakit dengan rempah-rempah, dedaunan, akar dan umbi-umbian yang diolah sedemikian rupa, ada yang dipirik, ada yang dikunyah, ada yang panaskan dengan api, ada yang hanya dioleskan saja. Obat luka cukup diambilkan pucuk pisang hutan yang masih sangat muda dikunyah dalam mulut sampai lembut langsung ditempelkan ditempat luka, lukapun tidak lama langsung kering dan sembuh. Sayangnya sampai saat ini rempah-rempah, dedaunan, akar, kulit kayu, dan umbi-umbian yang mereka kenal sebagai penyembuh sejak ribuan tahun lalu itu belum popular seperti obat-obatan herbal yang kita kenal sekarang. Pengobatan Belian masih dilakukan sampai saat ini di Kampung-kampung orang Dayak, penggunaan rempah-rempah, dedaunan, akar, kulit, kapur sirih, dan berbagai umbian serta minyak tanah masih dijadikan penyembuh atau obat di kampung yang ada di Kabupaten Berau.

V. RITUAL TUAK DAN GENJONG-ENJONG
Ritual Belian dilaksanakan sesuai dengan permintaan keluarga atau pasien yang sedang menderita sakit, artinya boleh dilakukan kapan saja dan waktu kapan saja. Berbeda dengan upacara adat ritual Tuak. Ritual tuak dilaksanakan setiap tahun hanya sekali dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar hasil panen tahun depan banyak dan melimpah, buah-buahan jadi, binatang jadi banyak dan besar-besar, ikan disungai jadi. Orang Dayak pada masa itu tidak menanam buah-buahan, mereka tinggal memanen buah-buahan yang tersedia dihutan belantara. Saat musim jadi, buah-buahan melimpah ruah dihutan Kalimantan, adalah rejeki selama tiga bulan buah masak nan ranum tersedia dimana-mana. Mereka tidak memelihara ternak, tetapi tergantung binatang yang hidup bebas dihutan, dengan beranak pinak dihutan, banyak rumput sebagai makanannya, maka binatang jadi. Dengan demikian mereka mudah menangkap binatang sebagai makanan dan lauk mereka. Mereka tidak memiliki kolam, mereka tidak memelihara ikan, tetapi musim ikan bertelur seperti ikan patin, ikan salap, ikan sappan, ikan baung yang naik sampai dihulu sungai menghempas-hempaskan tubuhnya di pasir, dibatu koral sembari mengeluarkan telurnya. Ikan-ikan itu ada yang sampai melompat jauh kedarat, dipasir dan tumpukan batu koral dibibir pantai sungai adalah rejeki bagi orang Dayak dipedalaman. Kejadian itu disebut masyarakat Berau dengan ikan naik raja. Ikan naik raja sampai satu minggu, maka ikan melimpah bagi orang Dayak dipedalaman. Ikan-ikan itu mereka bakar untuk dimakan, sisanya mereka salai dibara api sampai kering, bisa disimpan sampai tiga bulan.
Jadi musim buah, musim daging, musim ikan banyak, sudah tutup satu tahun, artinya persediaan makanan bagi orang Dayak tempo dulu sambung menyambung selalu tersedia. Musim buah-buahan lanjut musim daging atau binatang banyak mudah ditangkap, musim ikan naik raja tidak terputus dalam setahun, ditambah dengan mereka menanam padi gunung. Tetapi kalau musim itu berubah, buah tidak jadi, hewan pergi jauh, ikan tidak naik raja, maka yang terjadi adalah musim paceklik yang melanda mereka. Buah-buahan kurang, daging tidak tersedia, ikan tidak bisa diawetkan dengan cara disalai. Terjadi kelaparan di mana-mana dan penyakit datang menyerang penduduk. Dengan kejadian tersebut sebagian mereka mati kekurangan makanan dan diserang penyakit. Orang Dayak harus segera pindah mencari tempat tinggal baru, daerah baru yang lebih menjanjikan ditempat lain. Harus mencari dan berjuang mendapatkan tempat tinggal baru di gua-gua yang belum mereka kenal. Masuk kegua yang penuh dengan ular-ular besar, maka banyak dari mereka yang ditelan ular-ular gua sebesar pohon pinang, bahkan ada yang sebesar batang kelapa.
Salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan penduduk dipedalaman pada masa lalu adalah karena wabah penyakit, kelaparan, dan dibantai oleh suku lain yang menyerang dan memerangi mereka. Yang sempat lari menyelamatkan diri, itulah kelompok yang meneruskan keturunan mereka, yang mati kepalanya diambil oleh para penyerang sebagai simbol batas wilayah, sebagai simbol kemenangan, sebagai simbol kejantanan bagi para lelaki pemberani. Apabila dirumah ada beberapa tengkorak kepala manusia yang dipajang, maka derajatnya tinggi berbeda dengan masyarakat kebanyakan dalam suku Dayak, atau yang lebih sedikit memajang kepala dirumahnya. Ukuran kepahlawanan suku Dayak tempo dulu adalah pajangan tengkorak kepala manusia disekitar tempat tinggalnya. Perang suku ditengah hutan belantara, perluasan wilayah pada kelompok tertentu, dilakukan oleh orang Dayak pada zaman duhulu, ratusan tahun yang lalu, bahkan ribuan tahun yang lalu. Yang saling serang itu adalah sesama orang Dayak dipedalaman, dihutan balantara, dan di gua-gua, mereka berbeda suku, berbeda keturunan, berbeda kelompok. Suku yang lemah, sedikit, tidak memiliki para pahlawan yang pemberani, tidak memiliki kesaktian, bukan keturunan raja-raja adalah kelompok yang menjadi korban diserang dan dibantai diambil kepalanya. Padahal orang Dayak sudah hidup di gua-gua kars sejak empat ribu tahun lalu, di gua-gua prasejarah dibuktikan dengan peninggalan gambar telapak tangan, gambar binatang di langit-langit gua. Ribuan anak suku Dayak yang mendiami diseluruh hutan, sungai, pedalaman menyebar di seluruh Borneo, terbagi dalam tiga negara yaitu Kalimantan Indonesia, Malaysia, dan Brunai Darussalam. Orang Dayak ada yang menjadi warga negara Indonesia, warga negara Malaysia, dan menjadi warga negara Brunai Darussalam. Yang terbanyak orang Dayak mendiami Kalimantan Indonesia. Di Kalimantan terbagi lagi dalam lima provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimatan Tengah, Provinsi Kalimantan Barat, dan Provinsi Kalimantan Utara.  Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara berbatasan langsug dengan Malaysia.
Selain itu ada lagi yang namanya mengayau. Mengayau adalah kegiatan memotong kepala manusia yang menjadi kewajiban setiap para pemuda lajang yang sudah dewasa. Setiap para pumuda dilatih dirumah adat atau sunta. Disana dilatih keterampilan membuat mandau, membuat sumpit, serta ketangkasan menggunakannya. Dilatih memanjat pohon besar, dilatih menyelam, dilatih berburu binatang hutan, dan dilatih fisik untuk mempertahankan diri. Setelah lulus para pemuda diwajibkan pergi melanglang buana ditengah hutan belantara yang sangat ganas dan menakutkan untuk mencari kepala. Dalam perjalanan melanglang buana ditengah hutan itu sangat beresiko tinggi untuk diserang atau menyerang, dibunuh atau membunuh. Kalau tidak memiliki ketangkasan dan keterampilan dalam mempertahankan diri, maka resikonya mati dan kepalanya diambil oleh musuh, apabila menang maka berhak memotong leher musuh dan kepalanya dibawa pulang. Setelah berhasil mengayau, setelah berhasil mengambil kepala, sang pemuda pulang kekampung dengan sumringah dan gagah perkasa. Para gadis banyak yang mengintipnya dari balik pintu rumah masing-masing, dengan senyum bangga mereka mengatakan “ dia adalah pemuda pemberani, pemuda pujaan para wanita cantik dikampungku”. Sesampainya dikampung, ketua adat mengadakan pertemuan langsung meneliti hasil bawaan sang pemuda, kepala yang dibawa itu diperiksa dengan seksama, apakah benar-benar kepala manusia atau bukan, mana tahu kepala binatang atau kepala orang utan. Apabila benar dilanjutkan dengan upacara ritual khusus yaitu ritual Batiung, ritual tato dibagian tubuh si pemuda menandakan pemuda itu sudah lulus, sudah dewasa, dan boleh mencari pasangan hidup. Dalam ritual para tokoh masyarakat dan ketua adat menari-nari mengelilingi kepala manusia yang sudah dipotong, dalam tarian itu mereka menyanyi lagu-lagu pujian dan persembahan menyampaikan keberhasilan sang pemuda dalam mengayau, boleh ditato, dan boleh memilih pasangan hidup untuk berumah tangga dan berketurunan.
Acara Tuak adat dilakukan setahun sekali, ritual Tuak adalah upacara khusus memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tanaman padi jadi, subur, dan panen melimpah, buah-buhan jadi, binatang jadi. Dalam ritual Tuak mereka menari-nari berpular-putar berkeliling membentuk lingkaran. Dalam tarian mereka menyampaikan segala pengorbanan dan persembahan seperti padi, beras, nasi, binatang, dan buah-buahan. Upaca ritual Tuak dilaksanakan sampai tiga hari tiga malam. Semua masyarakat berkumpul, tidak boleh pergi kemana-mana tanpa seijin tokoh adat dan ketua adat. Tarian persembahan sambil menyanyi dan menghentak-hentakkan kaki itu dikenal dengan nama Genjong-enjong atau menggenjong. Menggenjong dilakukan semalam suntuk. Selama menari dan menyanyi semalam suntuk disiapkan makanan dan minuman. Yang merasa lelah keluar dari lingkaran dan segera digantikan yang lain menari, menyanyi dengan menghentak-hentakkan kaki kebumi. Hentakan kaki itu menjadi irama sakral ditingkahi dengan pukulan gong, gendang dan tiupan gertong. Mereka semua berdoa tahun depan buah jadi, binatang jadi, madu jadi, padi jadi serta dijauhkan dari bala kelaparan, wabah penyakit dan lain-lain.
Saat ritual Tuak semacam ini, wilayah batu datar seluas lima lapangan bola dihamparan kars yang indah dan mempesona itu menjadi ramai dan meriah. Semua orang, anak-anak, para pemuda dan pemudi, orang dewasa dan orang tua-tua berkumpul tumpah ruang disana, membawa makanan nasi, ketan, lemang, daging, ikan, buah-buahan, dan minuman dalam bambu besar bambu petung tersedia, dimakan dan dimunum sepuasnya. Setelah makan, setelah minum tuak buatan mereka sendiri, bangkit dan bagenjong lagi. Keringat bercucuran, lelah tidak dirasa. Dinginnya puncak gunung kars yang tingginya lebih dari dua ribu meter dari permukaan laut tidak terasa, semuanya bergembira, semuanya bersuka ria, semuanya tertawa, semuanya menari, semuanya menyanyi, semuanya menggenjong, semuanya tulus melakukan upacara adat ritual Tuak, semuanya iklas dengan makanan. Malampun habis dan disambut pajar pagi. Matahari pagi sudah mengintip pegunungan kars yang maha luas dengan sinarnya membias membelah bukit, membelah gunung. Sinar matahari pagi itu menembus awan, membentuk sinar warna-warni, pelangi ada dibawah bukit diseberang gunung yang masih sebagian tertutup awan. Dingin pagi baru mulai menusuk sumsum dan tulang, setelah menggenjong dihentikan, keringat telah mengering. Sebagian peserta dan tetamu mulai mencari tempat yang nyaman, istirahat dengan melonjorkan kaki, lalu tertidur dengan pulasnya. Jam sepuluh pagi baru matahari sampai dipuncak gunung dan memanasi seluruh dataran tempat ritual semalam. Malam selanjutnya ritual Tuak dilanjutkan kembali.

VI. KETUA BELIAN SAKIT HATI
Upara Ritual Tuak dilanjutkan pada malam kedua. Pengunjung semakin banyak yang hadir. Suara nyanyian dipuncak gunung kars di dataran seluas lima pangan bola itu terdengar sampai beberapa kilometer. Suara tingkahan musik gong dan gendang terdengar sampai puluhan kilometer. Manusia yang tinggal di gua-gua yang jauhnya sampai sepuluh kilometer mendengar acara ritual Tuak dipuncak gunung kars malam tadi langsung berangkat menuju puncak gunung karas, mereka datang menyaksikan, memeriahkan, turut menari dan menyanyi dimalam kedua. Kemeriahan tidak terbendung, ritual semakin hihmad dan sakral, nyanyian dengan tingkahan gong dan gendang semakin jauh terdengar. Malam kedua semakin meriah. Para tamu duduk melingkar menyaksikan tarian dan nyanyian. Sebagian lagi ada yang bersantai dan berleha-leha menikmati keindahan alam dengan bulan besar bundar menerangi seluruh alam sekitar tempat ritual, ada juga yang duduk-duduk ditempat lain jauh dari tempat ritual, berceritera sana kemari tentang sanak keluarga, tentang kebun, tentang binatang, tentang berburu rusa, babi, dan banteng, berkelakar, basusuran. Tidak ketinggalan dengan istri ketua Belian sebagai pelaksana ritual Tuak. Istri ketua Belian asyik bercakap-cakap dengan seorang pemuda jauh dari tempat ritual. Awalnya hanya mengobrol biasa-biasa saja, tetapi akhirnya semakin larut malam semakin asik. Dinginnya malam dan hembusan angin sepaoi-sepoi membuat keduanya semakin berani. Istri ketua Belian yang masih cantik dan muda itu sudah bercinta yang semakin dalam, berbuat lebih dari sekedar bercakap-cakap saja. Ketika ketua Belian istirahat dari menari dan menyanyi pergi jauh dari tempat itu mencari angin yang lebih segar. Saat itulah mata melihat langsung istrinya yang cantik dan imiut-imut itu asik bercinta dengan seorang dari kampung lain, dari gua puluhan kilometer dari tempat ritual. Perasaan cemburu ketua Belian tidak terbendung, kemarahan kepada istrinya dan pemuda itu ia tahan, ketua adat malu sampai membuat keributan ditempat acara ritual yang sangat sakral itu. Amarahnya yang meluap-luap ia tahan sekuat-kuatnya. Ketua Belian masuk lagi ketempat acara ritual Tuak, menari, menyanyi, dengan menghentakkan kaki lebih keras kebumi melalpiaskan amarah. Lalu pikirannya yang baik menasihati dirinya “besok istrinya harus dinasehati agar tidak melakukan hal itu lagi pada upacara ritual malam ketiga” ia telan semua kecemburuan dan kemarahan terhadap istrinya, ketua Belian tetap menjaga harkat dan martabat sebagai tokoh Belian yang dituakan, ia juga menjaga nama baik agar ritual berjalan sebagaimana metinya. Walaupun ketua Belian juga manusia biasa yang bisa marah, yang bisa cemburu, yang bisa melakukan apa saja dengan kemampuan dan kesaktiannya. Tetapi tidak ia lakukan semua itu demi suksesnya upacara ritual Tuak, agar tahun depan padi jadi, buah-buahan jadi, binatang jadi, serta terhindarkan dari bala penyakit dan kelaparan.
Siang hari dengan senyum tersungging dibibirnya ketau belian memanggil sang istri. Istrinya yang cantik dan masih muda itu dating dengan kemanjaan. Lalu ia nasihati istri dengan senyum, ia ceriterakan melihat langsung istrinya bercinta dengan seorang pemuda dari kampong lain. Istrinya mendengar nasihat itu memberenguk dengan kekanak-kanakan, memberenguk dengan kemajaannya. Sang suami ketua Belian maklum istrinya masih terlalu muda, cantik dan imut-imut pasti banyak pemuda yang menyukai dan menggodanya. Harapannya dengan nasihat itu istrinya tidak melakukan lagi pada malam ketiga, malam puncak ritual Tuak dipuncak gunung kars yang sakral.
Apa yang terjadi saat acara baru dimulai, dibuka oleh ketua Belian, istrinya yang cantik itu sudah bertemu dan bercinta lagi. Percintaan malam ketiga ritual Tuak dilaksanakan lebih dari percintaan semalam. Lebih gila, lebih berani. Kejadian itu diketahui banyak orang. Percintaan lain juga banyak dilakukan oleh pemuda pemudi disana. Upacara semacam ini rupanya dijadikan tempat mencari jodoh dan pasangan bagi pemuda dan pemudi, tidak terkecuali lelaki dan wanita yang sudah memiliki pasangan hidup.
Saat melihat kejadian itu, betapa sakit hatinya ketua Belian. Ia masuk kembali ketempat acara, ia sampaikan kepada beberapa tetua adat bahwa sebentar lagi kedatangan tamu jauh, oleh karena itu tarian dan nyanyian terus dilakukan dan lebih semangat lagi, memainkan musik lebih keras lagi, genjong-enjong terus saja, sementara ketua Belian keluar dari tempat acara dengan membawa hati dan perasaan yang sangat sakit dan perih. Wajahnya terasa ditampar-tampar orang banyak, seluruh tubuhnya sakit seperti di injak-injak….ia sangat tersiksa…….

VII. MENYUMPIT MONYET MERAH
Dengan sakit hati, dengan rasa cemburu yang mendalam ketua Belian langsung masuk kehutan dengan membawa sumpit. Ditengah hutan ketua Belian menemukan monyet merah yang asik tidur. Monyet merah itu langsung disumpitnya, anak sumpit tepat mengenai punggung monyet merah. Dalam beberapa waktu racun mata sumpit sudah menyebar keseluruh tubuh monyet, monyet itu jatuh kebumi. Monyet merah itu langsung diberinya pakaian dari daun kayu dan kulit kayu. Pinggang monyet dililitkan tali akar hutan wakar kunyit namanya, dijadikan semacam pendeng atau sabuk ikat pinggang. Monyet itu dibawa pulang ketempat upacara ritual Tuak. Ketau belian berteriak ayo semua lebih nyaring dank eras, mainkan music itu lebih nyaring, nyanyian dan hentakkan kaki lebih keras, tamu dari jauh telah dating. Ketua Belian langsung masuk ketengah-tengah tarian, lalu menari-nari dan menghentakkan kaki denga keras, bumi bergetar…ya seperti kemasukan jin, dan syetan. Kedua tangannya memegang kedua tangan monyet merah, tarian ketua Belian bersamaan dengan tarian monyet merah. Terus monyet merah itu ia tarikan dengan semakin cepat dan semakin keras. Orang-orang pintar yang mengetahui apa yang dilakukan ketua Belian itu kaget…pasti akan terjadi sesuatu yang maha dahsyat ditempat ini. Mereka segera pergi meninggalkan tempat itu. Yang idak mengetahui terus manari mengikuti irama, mengikuti ketua Belian yang menari semakin cepat dan semakin menggila. Tidak lama kemudian datanglah petir sambar menyambar menghamtam batu dan membelah langit, awan hitam menutupi langit, angin sangat kencang datang menyapu tempat upacara ritual, kemudian dilanjutkan dengan hujan yang sangat deras. Ketua Belian tetap menari tidak meperdulikan kejadian disekitarnya, menari bersama monyet merah ditangannya, kaki yang kuat menghentak-hetak dengan keras, semuanya basah kuyup. Sebagian orang ada yang terlempar oleh kencangnya angin, sebagian lagi berpegangan batu, kayu kecil disekitar mereka agar tidak terlempar oleh derasnya angin. Petir masih menyambar, hujan sangat lebat. Air hujan sekencang ini belum pernah terjadi sebelumnya, langit hitam kelam seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya, kilat smbar menyambar memecah batu dan membelah langit seperti ini belum pernah terjadi. Dalam suasana yang sangat genting tidak bisa menyelamatkan diri, ketua Belian masih menari, berteriak keras menantang petir, menghentakkan kaki sampai bumi bergetar terus ia lakukan. Dalam waktu singkat hamtaman petir menghancurkan batu datar temapt acara dilaksanakan sampai berlubang, hentakan kaki ketua Belian meretakkan batu dan menjadi pecah. Air tumpah dari langit sudah mengisi semuanya. Wilayah datar itupun menjadi berubah terisi air semuanya. Sebagian air yang telah meluap berputar-putar membuat pusaran raksasa. Banjir tidak terhindarkan, semua yang ada ditempat itu ditelan air, yang berpegangan dibatu tenggelam, yang berpegangan di pohon kayu tenggelam, sebagian yang terlempar didorong angin kencang akhirnya tenggelam juga, ketua belian yang masih menari-nari dengan monyet merah ditangan juga tenggelam, makanan seperti nasi, ketan, lemang, ikan, daging semuanya tenggelam, air tuak dalam bambu petung tumpah, bambunya pergi entah kemana mengikuti arus air. Banjir terjadi pertama kali dipuncak gunung kars dengan ketinggian lebih dari dua ribu meter dari permukaan laut. Banjir dahsyat itu meninggalkan duka yang sangat mendalam. Yang sempat melarikan diri kegunung-gunung disekitar kejadian selamat, menjadi saksi mata, melihat kejadian yang maha dahsyat itu mereka yang masih hidup menangis sejadi-jadinya, kehilangan semua, kehilangan sanak keluarga mereka, semuanya tenggelam.
Beberapa waktu kemudian air telah surut, maka terlihatlah pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya, wilayah datar seluas lebih dari lima lapangan bola itu sebagian menjadi danau yang sangat indah dan dalam, ditempat lain ada yang menjadi batu-batu menumpuk disana sini seperti bentuk orang menari, seperti orang berpelukan, seperti orang berpegangan, seperti orang duduk, seperti orang berlari dan macam-macam bentuk lainnya. Kemudian hari tempat itu dikenal dengan nama DANAU TEBO’

VIII. KEUNIKAN DANAU TEBO’
Danau Tebo’ cukup luas, airnya sangat bening dan dalam. Disekitar danau, didasar danau, bibir danau semua batu…ya batu kars. Keunikan lain Danau tebo’ adalah banyak ikan yang hidup didalamnya. Disana didalam danau ada ikan baung, ikan seluang, ikan sappan, ikan salap. Yang paling banyak adalah ikan baung. Ikan-ikan disana hidup dengan bebas, berenang kesana kemari, selalu kenyang, lemak diperutnya tebal dan berminyak. Kalau berkesempatan memancing ikan di Danau Tebo’ sangat mengasikkan, ikan-ikannya mudah dipancing walaupun sebanyak-banyaknya. Kebiasaan masyarakat Lebbo kampung Merabu memancing ikan disana tidak mengambil ikan sebanyak-banyaknya, karena jauh. Berjalan  kaki dengan cepat saja satu hari penuh baru sampai, kembalinya satu hari juga baru sampai dikampung, maka tidak mungkin bisa membawa ikan banyak-banyak, sayang sekali kalau dibuang dijalan atau tidak terbawa karena keberatan.
Ikan-ikan itu sangat aneh, pada musim kemarau air danau menjadi panas, air danau menyusut, saat seperti itu ikan didalam danau semuanya menjadi mati, seluruh permukaan danau berminyak oleh sebaran lemak perut ikan baung yang mati dan membusuk bersusun diseluruh permukaan danau. Sesekali burung pemakan ikan datang ke danau Tebo’ memakan ikan-ikan yang nyaris mati kepanasan dan memakan ikan-ikan yang sudah mati. Setelah kenyang burung-burung itu pergi jauh untuk menghindari teriknya matahari.  
Ada lagi yang lebih aneh kejadian di Danau Tebo’, ikan-ikan itu ada lagi, ikan-ikan itu banyak lagi pada musim hujan dan musim sepanjang tidak kemarau. Ikan baung, ikan seluang, ikan sappan, ikan salap banyak lagi seperti dimasa-masa lalu sebelum kemarau, lagi-lagi yang mendominasi adalah ikan baung besar dan kecil. Kalau dipancing mudah untuk didapat, seperti itu.
Hal-hal unik lain yang terjadi di Danau Tebo, Danau Tebo’ tidak mau kotor, sekitar danau selalu bersih, dalam danau bersih, permukaan danau juga selalu bersih. Biasanya kalau ada kotoran disana, kotoran seperti daun atau kayu dipermukaan danau pada malam hari hilang dengan sendirinya. Esok hari sudah bersih lagi seperti semula. Kalau mau membuktikan boleh datang ke Danau Tebo’ melalui kampung Merabu Kecamatan Kelay Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Sesampai di kampung Merabu harus menggunakan pemandu dari masyarakat Merabu, mereka sudah terlatih dan berpengalaman memanjat dan menuruni tebing gunung kars. Ambil saja kayu yang timbul, kayu yang tidak mudah tenggelam, lemparkan ketengah danau. Pengunjung yang ingin membuktikan tersebut harus bermalam disana satu malam. Pada esok hari kayu tersebut hilang entah kemana, siapa yang membuang atau menghilangkan kayu tersebut tidak diketahui, misteri, gaib. Danau bersih lagi…..begitu. Tapi jangan main-main dengan Danau Tebo yang menyukai selalu bersih itu, pengunjung bisa sakit kalau niatnya yang bukan-bukan. Niatnya ingin mengotori sekitar dan danau, esok hari kotoran itu tidak hilang, maka yang mengotori tersebut bisa langsung sakit, sakit aneh dan sakitnya luar biasa. Pelaku yang mengotori tersebut harus meminta maaf kepada Danau Tebo’ yang selalu menyukai kebersihan tersebut.

IX. LARANGAN
1. Kalau berada disekitar Danau Tebo’ tidak boleh menyebut nama binatang sembarangan, misalnya pelanduk.....maka diganti dengan sebutan sikaki kecil jangan menyebut nama pelanduk. Pelanduk adalah kancil dalam bahasa daerah. Kalau disebut langsung Danau Tebo tiba-tiba meluap;
2. Begitu pula menyebut nama binatang yang lain, salah sebut salah nama biasanya terjadi langsung meluap dan banjir, oleh karena itu hal-hal kecil semacam itu harus ditanyakan dengan pemandu masyarakat kampong Merabu;

3. Sekitar Danau Tebo selalu bersih seperti disapu, air danaunya juga selalu bersih, tidak ada kotoran yang mengapung disana. Oleh karena itu dilarang keras untuk mengotori wilayah sekitar Danau Tebo’, termasuk botol bekas minuman, kertas, pelastik bekas makanan harus dibawa pulang. Kalau tidak resikonya tanggung sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar