SAKSIKAN BERAMAI-RAMAI PAWAI BUDAYA DAN MOBIL HIAS HARI MINGGU TANGGAL 13 SEPTEMBRE 2015, MULAI STAR PUKUL 0800 DIHALAMAN KANTOR BUPATI BERAU....JANGAN KALUPPAN GAAAAIIIIII !!!!!!!
PESERTA PAWAI KERATON GUNUNG TABBUR, KERATON SAMBALIUNG, KAMPUNG BUDAYA BENA BARU, PDKT SEGAH DAN KELAY, SELURUH PAGUYUBAN YANG ADA DI KAB. BERAU, PASKIBRAKA, DRUMBAN UTUSAN SEKOLAH, PAWAI MOBIL HIAS
SAKSIKAAAAANNNNN........!!!!!!!!! GAAAAYYYYY......LAAAAYYYYY.......
Sabtu, 05 September 2015
LEGENDA PANGERAN ULOK
PANGERAN ULOK
DARI
TELUK ALU-ALU
SAPRUDIN ITHUR
Tersebutlah
sebuah pulau yang indah dan permai, pulau indah itu jauh sekali dari daratan. Pesisir
pantainya terdiri dari hamparan pasir putih dan sebagian lagi terdiri dari
hamparan batu karang yang kuat dan kokoh. Pulau itu sudah dikenal diseluruh
dunia, namanya Pulau Maratua.
Bentuk Pulau Maratua hampir mirip
dengan hurup “U”. Daratannya berbukit-bukit oleh batu karang yang ditumbuhi
pohon-pohon besar yang kokoh. Bukit-bukit itu banyak lubang yang membentuk
gua-gua yang curam dan terjal. Didalam gua-gua itu menjadi tempat tinggal
kalong, kelelawar dan burung wallet.
Maka tersebutlah pada zaman dahulu ribuan tahun
yang lalu di Pulau Maratua sebuah kerajaan yang sangat terkenal yaitu kerajaan
Teluk Alu-Alu. Kerajaan Teluk
Alu-Alu ini sangat kaya, banyak memiliki
emas permata yang menjadi perhiasan. Tak kurang pula yang disimpan oleh
raja dan permaisuri. Didalam istana kerajaan Telu Alu-Alu gemerlapan oleh emas,
intan, berlian dan zamrut. Istananya indah, seindah dan secantik permaisuri
yang mendampingi raja Teluk Alu-Alu. Sedangkan untuk menghibur baginda raja, raja
didamping dengan puluhan selir yang juga cantik-cantik. Selir-selir itu adalah
wanita pilihan baginda raja dan ada juga hantaran persahabatan dari kerajaan
sahabat. Selir-selir itu selalu menyenangkan dan menghibur raja dikala santai
dan senggang. Sedangkan makhkota raja berkilauan terbuat dari emas
bertatahkan intan dan berlian, sedangkan
depan tengah terlihat batu giok yang sangat mewah. Kalau dikenakan oleh baginda
raja silau mata melihatnya oleh cahaya yang dikeluarkan oleh permata yang
tertanam di makhkota itu. Kalau sudah dikenakan, raja menjadi sangat berwibawa.
Bukan main gagahnya ketika baginda raja mengenakan makhkotanya.
Hanya
sayang gemerlapnya emas permata itu hanya ada dalam istana, sedang diluar sana
rakyat dalam keadaan menderita, miskin papa tidak punya apa-apa.
Mengapa demikian ?
Rakyat kecil ditindas dan diperas
tenaganya seperti sapi perahan oleh para pembesar kerajaan yang harus mengikuti
perintah rajanya. Raja serakah, raja monopoli segala-galanya. Semua penghasilan
rakyat ditarik kekerajaan untuk kemewahan istana, raja bersenang-senang dengan
kekayaannya bersama dengan selir selir yang cantik-cantik itu. Sedangkan
dimalam hari raja seringkali mengundang orang-orang kaya untuk bermain judi dan
minum-minum sampai mabok.
Begitulah keadaan istana dan
kerajaan Teluk Alu-Alu, yang nampak dari luar mewah dan megah, ternyata
didalamnya sangat buruk dan bejat moralnya, tidak pernah perduli dengan keadaan
rakyat disekelilingnya yang miskin tidak punya apa-apa dan tidak berdaya.
Raja
Teluk Alu-Alu mempunyai seorang anak laki-laki si Ulok namanya, bergelar Pangeran Ulok. Pangeran Ulok sangat
jauh perangainya dengan ayahnya baginda raja Teluk Alu-Alu, ia sangat baik,
rendah hati, mudah mengerti keadaan, perasaan dan selalu iba melihat ketidak
adilan, suka menolong rakyatnya yang lemah dan tidak mampu. Sedikitpun Pangeran
Ulok tidak berkeinginan berbuat semena-mena menyakiti rakyatnya.
Namun segala gerak geriknya
selalu diawasi dengan ketat oleh para pengawalnya, ruang lingkup pergaulannya
juga sangat dibatasi. Pangeran Ulok tidak boleh keluar dengan bebas bergaul
dengan rakyatnya, apalagi bergaul dengan rakyat jelata yang miskin tidak
berdaya. Yah….begitulah namanya juga anak raja, seorang Pangeran yang sejak
kecil sudah dipersiapkan untuk menjadi orang terhormat di kerajaan. Dan pada
saatnya nanti menggantikan ayahandanya menjadi raja Teluk Alu-Alu.
Pangeran keluar
dari istana, dapat bebas kesana kemari tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, ia
keluar dengan mencuri-curi. Barulah Pangeran bisa bergaul bebas dengan
rakyatnya yang dikunjunginya. Semua rakyat yang ditemui suka padanya, Pangeran
Ulok seolah-olah jadi pengobat kekesalan dan kebencian rakyat kepada raja dan
para pembesar kerajaan. Untuk kalian ketahui kebencian rakyat kepada raja sudah
sangat lama, semenjak raja mereka berubah menjadi rakus, tamak, serakah, kejam
dan semena-mena kepada rakyatnya. Namun kebencian itu hanya dipendam
dalam-dalam, tidak ada lagi tempat mengadu, tidak ada lagi tempat mencurahkan
segala macam persoalan. Semua menjadi buntu, hubungan rakyat dengan istana
semakin jauh……kemewahan istana dengan keadaan rakyatnya sangat jauh berbeda, seperti
bumi dan langit.
Pangeran Ulok
dikenal sangat pandai, selain itu orangnya tampan, pandai berbicara dan setiap
kata-kata mengandung makna yang dalam, berwibawa pula. Walaupun perangainya
sebaik itu, Pangeran Ulok belum pernah mendapat kepercayaan dari baginda raja,
padahal ingin sekali mendapat tugas kepercayaan dari ayahnya untuk pergi dan
berhadapan langsung dengan rakyatnya. Agar ia lebih banyak tahu keadaan rakyat
yang sebenarnya, tidak seperti sekarang ini hanya sembunyi-sembunyi untuk
melihat dan bergaul dengan rakyatnya. Kalau ketahuan atau ada yang sirik dan
melaporkan, Pangeran Ulok pasti mendapat hukuman dari baginda raja.
Pada suatu hari
terjadi suatu kejutan yang luar biasa dan sangat menarik perhatian seluruh
rakyat kerajaan Teluk Alu-Alu. Sedangkan para pembesar kerajaan saja ikut
terheran-heran atas keputusan raja, keputusan yang tidak masuk akal. yaitu perihal
yang dulu telah diikrarkan bersama sebagai rahasia negara, rahasia kerajaan,
ternyata dengan tidak diduga-duga meledak dan terbongkar.
Ketika matahari
telah terik memanasi bumi tercinta, muncullah beberapa hulu balang kerajaan
bersama dua orang algojo, menyeret seorang terhukum yang sudah babak belur
wajahnya dipukuli, sekujur tubuh dan wajahnya lebam-lebam sedang dimulut dan
beberapa bagian kepalanya mengeluarkan darah segar. Lelaki itu melangkah dengan
berat, sudah hampir tidak mampu lagi mengangkat kaki, badan remuk, lemas tak
berdaya. Diseret paksa oleh beberapa hulubalang. Sedangkan kesalahannya belum
bisa dibuktikan kebenarannya. Betapa malang nasib orang itu, kesalahan yang tak
setimpal harus menyeretnya kedalam jerat hukum yang sadis dan kejam. Tidak
setimpal kesalahannya dengan hukuman yang bakal diterimanya. Melihat kejadian
itu Pangeran Ulok merasa harus berbuat sesuatu, ia tidak tega melihat orang
yang disiksa dan dihukum dengan kesalahan yang tidak setimpal. Pangeran Ulok
merasa keberatan atas keputusan ayahnya baginda raja Teluk Alu-Alu.
Saat-saat yang
sangat menegangkan, ketika menjelang terhukum dihukum gantung pada tiang
gantungan, saat kepala lelaki yang tidak berdaya itu hendak dijerat dengan tali
yang tersedia ditiang gantungan. Pangeran Ulok dengan gagah berani muncul dari
keramaian penonton yang sedang menyaksikan hukuman gantung itu. Pangeran Ulok
tahu persis kesalahan orang yang akan dihukum gantung itu, kesalahan memang
tidak sepantasnya harus dihukum gantung. Tapi karena baginda raja ingin
memperlihatkan kewibawaan dan kekuasaannya, maka hukuman harus dilaksanakan
agar rakyatnya tidak ada lagi yang berani berbuat macam-macam dikerajaannya.
Pangeran Ulok lansung ketengah alun-alun menghadap baginda raja. Terlihat dari
kejauhan terjadi perdebatan antara pangeran dan baginda raja. Kedua bersitegang
saling mempertahankan pendapatnya, pertengkaran didengar dengan jelas oleh
semua yang hadir ditengah alu-alun itu. Semua yang hadir diam, tegang
mendengarkan pertengkaran itu kedua beranak itu “ algojo hentikan, jangan
digantung orang itu !!!“ teriak Pangeran Ulok memerintah algojo yang sudah siap
menggantung terpidana. Mata semua orang mengarah ketiang gantungan, kemudian
beralih kembali kepertengakaran antara anak dan ayah itu. Semua yang hadir ingi
tahu siapa sebagai pemenang dalam adu argumentasi itu. Ulok tetap pada
pendiriannya meminta raja untuk tidak menghukum gantung lelaki itu. Sedangkan
raja ingin segera melaksanakan hukuman itu, agar rakyatnya tida berani lagi
berbuat kesalahan sekecil apapun.
Dengan
bukti-bukti yang terang benderang, jelas dan nyata yang melemahkan hukuman
gantung itu, akhirnya Pangeran Ulok tampil sebagai pemenangnya. Dan lelaki yang
sudah siap digantung itu terlepas dan bersih dari jerat hukum, bebas tanpa
syarat. Mendengar lelaki itu dibebaskan ramailah suara penonton yang hadir
mengelilingi tiang gantungan. Mereka bersorak sorai dan mengelu-elukan Pangeran
Ulok “ hidup Pangeran Ulok…..hidup Pangeran Ulok….hidup Pangeran Ulok” teriak
penonton gegap gempita.
Putusan sudah
berakhir, sedangkan lelaki itu sudah dibebaskan. Lelaki yang dibebaskan itu
langsung lari dengan kencang meninggalkan tempat ia berada, lari dengan
bahagia, namun membawa ketakutan dan trauma yang mendalam. Orang itu lari
sejauh mungkin entah sudah sampai dimana. Rakyat Teluk Alu-Alu sedari tadi masih enggan
meninggalkan tempatnya masing-masing, menunggu keputusan raja berikutnya. Tidak
lama berselang, baginda raja yang sempat dipermalukan oleh anaknya itu, berdiri
dan sangat marah. Seorang raja dipermalukkan dihadapan rakyatnya, wajahnya
merah padam menahan amarah.
“ Hei Pangeran busuk !!!” ucap raja dengan marah dan berkacak pinggang,
matanya liar melotot seperti mau keluar…sembari menghentakkan kakinya kelantai
dengan kuat. Suasana ditempat itu kembali menjadi tegang dan senyap. Apakah
yang akan terjadi berikutnya….semua masih menunggu episot lanjutan. “ kalau kau
mau tahu, aku ini bukanlah ayahmu sebenarnya….kamu hanyalah seorang yang aku
dapatkan ditengah hutan….sebab aku kasihan kepadamu, kamu aku angkat menjadi
anakku seperti sekarang ini”
Semua yang mendengar kaget\,
matanya semua terbelalak, semuanya terkejut, baru mengetahui siapa sebenarnya
Pangeran Ulok yang mereka sayangi dan kagumi itu. Rahasiapun terbongkar yang
sudah sekian lama disimpan dengan rapi dan aman. Hanya karena amarah seorang manusia yang akhirnya semakin membuka
kekurangan dan kelemahannya sendiri. Berbagai tanggapan yang muncul dari hadirin
yang hadir. Ada yang mencibirkan bibir
kepada si Ulok yang mereka anggap orang yang tidak tahu diuntung, orang yang
tidak tahu membalas budi. Ada juga yang sebaliknya memuji keberanian Pangeran
Ulok yang berani membela rakyatnya, walaupun akkhirnya dirinya sendiri yang
harus menjadi korban. “ pantas saja perangainya tidak sama dengan perangai raja
kita” bisik beberapa orang kepada yang lain. “Hei hati-hati kau bicara…… “
tegur seorang tua kepada yang lainnya.
“ mangkanya Pangeran gagah dan
tampan serta baik hati…..sebab bukan putra baginda siiiih” sambung yang
lainnya.
“Hei kalian tahukah…….mungkin
saja Pangeran Ulok itu titisan Dewa dari langit” bisik seorang nenek kepada
orang disekitar itu.
“ nyaman-nyamanya talla jadi
Pangiran….mangka digawainya lakunya damitu….” Ucap seorang perempuan dengan
bahasa Barrau. Orang disekitarnya cekikikan tertawa mendengar perempuan yang
berbahasa Barrau itu. “huuuu” gumam orang disekelilingnya.
“ Hei hulubalang, tangkap si Ulok
yang tak tahu diuntung itu….buang dia ketengah lautan…biar dia rasakan……”
perintah baginda raja kepada beberapa hulubalang yang ada didekatnya.
“ siap laksanakan baginda raja “
ucap hulubalng bersamaan. Dan langsung melaksanakan perintah rajanya.
Para pembesar kerajaan yang biasa
juga kejam, saat ini kaget saling pandang, masing-masing keheranan, ada yang
mengusap-usap muka, ada yang mengelus-elus dada, mereka prihatin dan iba, kalau
salah-salah mereka bisa jadi korban seperti Pangeran Ulok. Anak raja sendiri
saja jadi korban apalagi kita-kita. Harus hati-hati, harus pandai-pandai
mencuri perhatian baginda raja.
Apa hendak
dikata ucapan raja adalah sama dengan perintah raja, perintah adalah keputusan
raja. Tidak dapat diulur atau dirubah lagi, apa lagi perintah raja didengar
oleh semua orang yang hadir, didengar rakyat banyak. Tidak mungkin raja mau
dipermalukan yang kedua kali dalam waktu yang sama. Pangeran langsung ditangkap
dan dibawa keruang tahanan sebelum dibuang ketengah lautan.
“ Keputusan gila-gilaan baginda
raja saja itu…karena merasa dipermalukan oleh si Ulok” salah satu pemuda lajang
berucap lalu memalingkan muka seolah menjadi pembela pemuda….tidak setuju atas
penangkapan Pangeran Ulok. Walaupun suaranya hanya terbatas disekitar mereka
saja.
“ Husss !! jangan bicara
macam-macam….jaga mulutmu, kalau kedengaran…bisa-bisa kamu jadi pengganti
ditiang gantungan itu…..” seseorang dari arah belakang mengingatkan si Ali yang
dianggapnya terlalu berani berkata-kata seperti itu sembari menunjuk tiang
gantungan. Amarah si Ali langsung kendor setelah mendengar kata tiang
gantungan. Dan badannya langsung jadi panas dingin.
“ Kasihan nasib
Pangeran……..sungguh malang sekali dia “
Semua yang hadir ditengah lapang
itu iba melihat nasib Pangeran yang mereka cintai. Pangeran pula yang sering
datang menolong mereka yang lemah dan dalam kesulitan. Pangeran Ulok banyak
sekali mengetahui penderitaan rakyatnya, oleh karena itu ia sering datang
memberi motivasi dan semangat, agar terus berjuang melawan kesulitan dan kesengsaraan
hidup.
Melihat Pangeran diseret beberapa
orang hulubalang, beberapa orang gadis dan ibu-ibu menangis terisak-isak,
mereka turut bersedih.
Dilain
tempat, permaisuri tidak dapat berbuat apa-apa, ia hanya bisa beberapa kali
mengelus dada, jantungnya berdetak cepat, jari-jari tangan bergetaran, badannya
jadi lemas, sedang matanya berkunang-kunang, setelah mendengar putusan dan
sekaligus perintah raja. Ia tidak mampu berbuat apa-apa, ingin menyampaikan
sesuatu agar putra diringankan hukumannya itu tidak mungkin. Matanya saja yang
nanar menatap putra yang sangat disayanginya itu dibawa pergi. Air mata ibu
suri tidak terasa meleleh dan jatuh satu persatu. Ketika menangis seperti itu
nampak sudah kelihatan raut mukanya yang sudah dimakan tua. Ibu-ibu pejabat negeri
dan ibu-ibu yang lain melihat permaisuri menangis, air mata mereka juga jatuh
berderai membasahi pipi mereka yang selalu terawat. Mereka sedih semua, namun
tidak ada yang berani menyampaikan apapun kepada baginda raja yang sedang kesal
dan sangat marah itu.
Ibu
suri dan baginda raja sebenarnya sudah berusia lima puluhan, rambut keduanya
sudah berwarna, lebih banyak putihnya dari yang hitam, tapi perangai baginda
raja belum juga berubah, masih seperti waktu dia muda dulu. Padahal yang sering
jadi pikiran mereka berdua, terutama permaisuri adalah mengenai anak, sebab
sampai setua itu belum juga mempunyai anak kandung sendiri, sekarang raja sudah
tua dan nanti pasti harus diganti oleh keturunannya, namu apa daya Tuhan Yang
Maha Esa belum memberikannya. Artinya sebagai penyambung keturunan putuslah
sampai disitu. Tambah lagi si Ulok satu-satunya tumpahan jiwa belahan hati,
sebagai harapan masa depan mereka telah pudar dari hadapan permaisuri. Habislah
sudah angan dan harapan sampai disitu saja. Seharusnya Pangeran Ulok itulah
sebagai pengganti dan sekaligus penerus, namun baginda raja sudah membuka
rahasia yang selama ini tertutup dengan rapat.
“ apa boleh buat…..sudah suratan
seperti ini “
Desah permaisuri dalam dan
panjang.
Permaisuri dengan dipapah oleh
dayang-dayang lansung dibawa ketempat peristirahan, dibaringkan disana. Mata
lebam, matanya mengambang, pikirannya melayang-layang jauh keangkasa
membayangkan yang bukan-bukan. Sedang air matanya semakin deras mengalir,
membasahi bantal diperaduan yang harum bunga mawar. Entahlah……kesedihan dan
kesedihan semakin menekan dan menghunjam dalam-dalam dilubuk hatinya yang
paling dalam.
Dilain tempat
ditengah lautan sana, setelah beberapa jam mereka berlayar, sudah tidak
kelihatan lagi daratan atau pulau-pulau. Para hulubalang yang mendapat tugas
penting dari baginda raja sudah bersiap-siap untuk menurunkan dan melepas
pemuda tampan Pangeran Ulok. Sejak diusir oleh baginda raja Pangeran Ulok sudah
dicabut haknya sebagai Pangeran, sekarang namanya ya si Ulok saja.
Apa yang mereka
lakukan terhadap si Ulok, mereka bercakap-cakap seperti biasa, solah-olah tidak
terjadi masalah yang begitu besar. Hulubalang yang bertugas, anak buah kapal
layar yang membawanya ketengah laut berdiskusi seperti biasa yang dilakukan si Ulok
apabila bertemu dengan pel;aut-pelaut ulung itu. Mereka sangat akrab. Rakit
kecil terbuat dari bambu yang sudah disiapkan oleh anak buah kapal diturunkan
lengkap dengan persediaan makanan untuk beberapa hari. Rakit itu dilengkapi
dengan dayung dan tanggar. Apa yang disiapkan mereka itu jelas tidak diketahui
oleh raja, itu inisiatif mereka sendiri. Mereka berpikir tidak mungkin orang
yang mereka hormati seperti si Ulok dilepas atau dilarung begitu saja dilaut.
Itu namanya penyiksaan dan pembunuhan yang tidak bisa dimaafkan. Apapun yang
terjadi si Ulok adalah manusia juga dan pernah menjadi Pangeran si Kerajaan
Teluk Alu-Alu di pulau Maratua yang indah itu.
Diperkiran rakit yang disiapkan itu
tahan untuk beberapa minggu di laut dan mampu menahan terjangan ombak dan tidak
akan tenggelam serta mampu membawa si Ulok kemanapun bahkan sampai ketepi
pantai manapun.
Sang
Pangeran turun kerakit. Eh..ternyata mereka saling bersalaman dan berpelukan
melepaskan kepergian Sang Pangeran untuk selama-lamanya. Mereka semua yang
melepaskan si Ulok ditengah lautan yang tanpa ujung itu sudah yakin Pangeran
mereka tidak akan mampu bertahan walaupun dengan persiapan makanan yang mereka
beri, dan mereka semua yakin mereka tidak akan bertemu lagi dengan seorang pemuda
tampan dan baik hatinya itu. Mereka sangat haru dan sedih.
Yaaaahhhh…..muka-muka garang para hulubalang itu tidak seganas hatinya.
Perasaannya mereka juga sama seperti kita-kita lembut dan penyayang. Beberapa
hulubalang menangis terisak-isak, bahkan air matanya sampai membasahi
kumis-kumis mereka yang tebal. Perasaan mereka luluh melihat Pangeran mereka
yang hanya karena membela rakyatnya yang tidak bersalah, dia harus menjadi
korban dibuang ditengah laut seperti ini. Hati mereka luluh terbawa perasaan
masing-masing.
“ Pangeran…Pangeran…memang sudah
suratan takdir, semua ini harus kau terima dengan iklas dan sabar” kata
terakhir dan sebagai perpisahan dari kapten kapal. Si Ulok menganggukkan kepala
dan katanya sambil melambaikan tangan
“Terima kasih kapten…..terima
kasih semua…selamat jalan…selamat berpisah….semoga kita masih dipertemukan….”
Senyum Pangeran Ulok masih terlihat dari kejauhan, sedangkan kapal layar itu
bergerak cepat meninggalkanya ditengah lautan biru yang tanpa batas itu. Senyum
si Ulok itu sebagai senyum terakhir yang mereka lihat….dan tidak akan
melihatnya lagi. Selamat tinggal Pangeran…semoga kau mampu bertahan……
Dua
hari sudah si Ulok terapung-apung ditengah lautan nan maha luas itu, entah
berapa jauh rakitnya bergerak meninggalkan tempatnya semula. Rakit itu seperti
tidak bergerak kemana-mana, hanya arus air laut yang kencang membawanya. Pada
penghujung hari kedua langit berubah secara tiba-tiba dan ekstrim. Cuaca yang
tadi terang itu kemudian menjadi gelap, awan hitam dengan sempurna sudah menutupi
semua langit diatas si Ulok. Kilat yang awalnya jauh dan pendek-pendek, kini
kilat itu mendekat menyambar-nyambar seperti ingin menelan si Ulok. Suara petir
yang menyambar-nyambar keras sekali, memekakkan dinding telinga. Beberapa kali
si Ulok harus menutup telinganya untuk menahan kerasnya hantaman suara petir
itu. “ apa yang bakal terjadi….aku harus bersiap-siap…apapun yang terjadi aku
harus kuat….aku harus tetap bertahan di rakit ini”
Haluan rakit yang sulit diatur
itu coba dikendalikan dengan dayung seadanya. Tidak lama kemudia angin kencang datang, ombak besarpun
mulai bergulung-gulung. Awalnya rakit si Ulok masih bisa dikendalikan. Si Ulok
masih bisa tersenyum, namun lama-lama tenaga mudanya mulai terkuras. Disamping
ia harus mengatur rakitnya agar tidak pecah berhamburan dihantam obak besar, ia
juga menahan badannya agar tidak terpental dari atas rakitnya, ia juga menahan
angin yang sangat kencang yang menampar tubuhnya yang sudah basah kuyup itu. Sudah
anginnya kencang yang tidak bersahabat, ombak bergulung-gulung menghantam
rakitnya juga, ditambah lagi hujan lebat dengan bulirnya yang besar-besar.
Bulir-bulir hujan menyakitkan wajah dan mata si Ulok, mash ada lagi yang
menakutkan yaitu kilat dan petir yang sambar menyambar dengan suaranya yang sangat
keras menakutkan dan memekakkan telinga itu.
Cuaca ekstrim itu dari sore
sampai tengah malam masih juga belum reda. Sekian jam lamanya si Ulok berjuang
untuk mengimbangi keadaan yang sangat menguras tenaganya, dengan semampunya
untuk mempertahankan dirinya agar tetap kuat. Aku harus bertahan….aku harus
kuat…aku harus tetap hidup…
Sehebat dan sekuat apapun
tenaganya, tenaga manusia pasti ada batasnya. Akhir tenaga si ulok semakin habis
dan lemah, sedangkan perutnya semakin sakit dan semakin mual, kepalanya pening
dan matanya berkunang-kunang dan limbung. Gelap gulita masih juga tak kunjung
hilang. Perahu rakit itu tidak menentu arahnya, tidak ada lagi yang
mengendalikan. Ombak, angin kencang, hujan deras yang bercampur dengan suara
petir tidak juga kunjung berhenti. Ombak besar masih menghantam rakit itu.
Menjelang pagi Pangeran
Ulok rubuh, kekuatannya sudah habis…habis sekali…ia sudah tidak berdaya
lagi….ia pingsan…ia lupa segalanya. Yang terjadi kemudian biarlah terjadi
dengan sendirinya, biarlah alam yang bicara, biarlah langit dan lautan sebagai
saksinya. Sang Pangeran yang selalu tegar itu sudah pingsan dan tak berdaya
lagi, badannya basah kuyup oleh siraman air laut yang masin, dayung ditangannya
sudah terlempar jauh dari rakitnya, makanan yang masih ada habis disapu oleh
ganasnya ombak laut. Ombak itu masih belum mau reda, ombak dan hujan deras itu
masih belum mau berhenti. Ombak, angin kencang, dan hujan deras itu tidak mau
dikalahkan oleh seorang pemuda yang berasal dari Pulau Maratua.
Dan akkkkhhhhh………..
Oleh hantaman ombak yang memecah
itu, tali-tali pengikat rakit yang terbuat dari kumpulan bambu besar itu putus.
Bambu yang tadinya menyatu dengan kuat terpisah dan berhamburan. Si Ulok
terlempar oleh kerasnya hantaman gelombang….dan…………..hilang ditelan laut, pergi
jauh mengikuti geraknya gelombang.
Dihimpit pekat hitam, diseret
ombak bergulung, diterjang angin yang kencang, dihunjam derasnya hujan, dan
entahlah………
Ketika matahari
baru mulai muncul diupuk timur, cahaya kemerahan membias kelangit menembus awan
yang malas pergi. Sedangkan air laut yang sudah tenang itu menyambut hadirnya
matahari, membiarkan kilaunya disinari matahari, membuat mata menjadi perih
memandangnya, tapi tidak apa-apa, itu adalah pemandangan yang harus dinikmati
sebagai penyembuh sakit yang bertahun, sebagai penghibur lara dan kebosanan.
Nikmatilah suasana matahari terbit itu, ia adalah pengobat kerinduan yang
paling mutahir. Sekali lagi….nikmatilah dengan rilek dan nyaman……
Tidak jauh dari
tempat itu, terlihat sekelompok penyu hijau dan lumba-lumba yang bersahabat,
mereka sudah lama saling menghormati dan saling menghargai satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Kelompok penyu dan kelompok lumba-lumba adalah binatang laut
kesayangan. Penyu hidup dilaut bebas, tapi setiap bertelur dia naik kedarat.
Dipasrr pantai itu dia bertelur dan mebiarkan telurnya sampai menetas, dan
anak-anaknya yang dikenal dengan nama tukik itu keluar dan berhamburan turun
kelaut dan langsung berenang. Anak-anak penyu itu langsung pandai berenang. Sedangkan
lumba-lumba suka menghibur. Ditengah lautan yang maha luas itu lumba-lumba
melompat-lompat keudara, menari-nari memperlihatkan ke-elokan tubuhnya…waw laut
jadi ceria bersama kelompok lumba-lumba yang indah dan lucu-lucu.
Kelompok penyu dan kelompok
lumba-lumba sepakat untuk hidup selalu berdampingan dan perinsip bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh menjadi pegangan hidup kelompok makhluk yang hidup
sudah jutaan tahun dilaut itu. Kalau ada yang berbuat salah mereka hukum dengan
dikucilkan dari kelompoknya, kalau sudah berubah diterima kembali dalam
kelompok itu. Tujuanya adalah agar yang berbuat salah menjadi baik dan tidak
mengulangi lagi, sedangkan yang selalu bebuat baik dijadikan contoh dan
tauladan. Keputusan-keputusan penting mereka serahkan kepada yang cerdik dan
pandai, mereka mampu berpikir lebih arif, bijaksana agar membawa kebaikan
kesemua dalam kelompok mereka.
Dahulu
kebuasan ikan hiu tidak kepalang hebatnya. Hiu tidak pandang kawan atau lawan,
apabila hiu sudah lapar, apabila hiu ingin memangsanya apa saja yang didapat
langsung dijadikan santapannya. Tidak perduli itu anak siapa, keturunan dari
mana yang penting perutnya kenyang. Oleh karena itu penyu dan lumba-lumba
sepakat untuk membasmi kejahatan dimuka bumi dan menolong siapa saja yang
membutuhkan pertolongan. Sejak itulah hiu tidak semena-mena lagi memangsa anak
lumba-lumba dan anak penyu. Anaknya sejak kecil sudah dilatih agar pandai
bersembunyi disela-sela batu atau masuk kedalam terumbu karang, dengan demikian
ia aman dari predator yang ganas dan selalu merasa lapar. Begitulah kehidupan
bangsa penyu dan lumba-lumba dilautan dan pesisir pantai.
Menjelang
matahari terbit itu, sekumpulan penyu dan lumba-lumba ribut dan sibuk. Mereka
menemukan sesuatu ditengah laut. Dan langsung mengangkatnya kepermukaan laut.
Beberapa ekor penyu yang besar itu bergantian mengangkat dan mengapungkan benda
yang mereka tolong. Yang mereka tolong sekarang adalah seorang manusia yang
entah dari mana datangnya, tiba-tiba sudah ada dan tenggelam ditengah lautan
yang sangat dalam. Penyu dan lumba-lumba tahu manusia tidak mampu bertahan lama
dalam air, maka dengan cara yang mereka lakukan itulah cara yang paling benar. Penyu yang besar bergantian mengangkat tubuh
manusia itu agar tetap terapung, sedangkan di kaki kiri kanan penyu besar
bersiaga lumba-lumba dan penyu lainya. Mereka mejaga agar manusia diatas
punggung penyu besar itu tetap seimbang dan apabila manusia itu terguling dari
punggung penyu raksasa, mereka siap menyangganya. Kejadian yang sangat menakjubkan
dan luar biasa itu tidak terlalu lama. Gotong
royong yang mereka lakukan berjalan dengan mulus. Akhirnya mereka sampai
ketepi pantai, namun pesisir tepi pantai itu penuh dengan batu karang yang
tajam dan terjal. Mereka harus bergerak lebih jauh ke utara memilih bibir
pantai yang berpasir. Agar manusia yang masih tidak berdaya itu tidak tertusuk
dan dilukai oleh karang dan tiram yang tajam. Daratan itu kemudian dikenal
dengan nama Tanjung Mangkaliat adalah salah satu tanjung yang sangat jauh
menjorok kelaut. Tanjung Mangkaliat adalah tangan kucing di Borneo.
Air
yang pasang, mulai surut. Lumba-lumba sudah lebih dahulu menyingkir lebih
kelaut, memilih tempat yang lebih dalam, sedangkan penya besar diam disana
menunggu air sampai kering. Ketika air laut sudah kering dan seluruh tubuh
penyu besar itu terlihat semua, maka badannya yang besar itu sedikit
digerakkannya dan…….tubuh manusia yang ada diatas punggung terguling. Penyu besar itu lalu
bergerak meninggalkan pantai dan kemabali kelaut berenang dengan bebasnya.
Siapa manusia yang mereka tolong
itu ? manusia yang ditolong oleh lumba-lumba dan penyu yang baik hati itu
adalah Pangeran Ulok.
Sinar matahari
siang yang sangat terik, membuat Pangeran muda itu tersadar dari pingsannya
yang panjang. Ia ingin teriak sekeras-kerasnya, agar secepatnya ada orang yang
mengetahui dirinya, tapi tidak bisa ia lakukan. Sekujur tubuhnya lunglai tidak
berdaya, badannya belum bisa digerakkan. Tubuh si Ulok masih kaku, urat dan
ototnya belum berpungsi sedia kala. Sekali, dua kali ia mencoba membuka mata…..matanyapun
belum terbuka, tapi ia sudah sadar dan ia sadar dengan keadaannya sekarang. Matanya
masih rapat. Dan datang ombak kecil yang sampai membasahi kembali
tubuhnya……biuuuurrrrr. Tubuhnya sedikit bergeser kekiri. Ia tersentak dan
langsung sepontan duduk diatas pasir putih Tanjung Mangkaliat itu. Dikedalaman
air laut yang tidak seberapa jauh dari tempatnya, rombongan penolong masih
belum pergi, masih menunggu sampai yang ditolongnya sadar. Melihat penyu dan
lumba-lumba yang timbul tenggelam itu sang Pangeran tanpa sadar mengangkat
tangannya…dan melambai-lambai “ terima kasih kawan …..terima kasih atas
pertolongan kalian” teriaknya kepada lumba-lumba dan penyu. Binatang laut yang
baik itu seperti mengerti, dengan menyemburkan air keudara lumba-lumba dan
penyupun pergi meninggalkan tempat itu.
Sedangkan si
Ulok yang sendirian matanya berkunang-kunang, limbung dan rubuh pingsan kembali. Kelelahan yang luar biasa. Lapar
sudah melilit perutnya, dahaga yang mencengkeram tenggorokannya, membuat
Pangeran dari kerajaan Teluk Alu-Alu kembali tidak sadarkan diri. Dalam
mimpinya si Ulok melihat keindahan alam yang begitu moleknya. Awalnya cahaya
hitam, kemudian kemerahan dan lanjut warna putih dan selanjutnya nampaklah
keindahan yang luar biasa menakjubkan. Ia tidak mampu membayangkan keindahan
alam semesta itu. Pohon-pohon tertata rapi, bunga-bunga berkembang dengan
puluhan warna-warni menghampar sejauh mata memandang, rumput hijau bergelombang
gelombang di injak lembut seperti permadani, sungai-sungai dengan airnya yang
bening mengalir dengan segala keteraturannya, langit seperti pelangi yang
berlapis-lapis, ketika malam bulan datang menghampiri Ulok kemudian membawanya
pergi berkeliling dunia, ketika siang matahari dengan sinarnya yang memancar
menerangi si Ulok yang selalu berbahagia, orang-orang datang bernyanyi dan
kemudian mengangkat tinggi-tinggi si Ulok. Dan…..akh indah sekali….bahagia
sekali……………
Entah malam atau
siang si ulok tidak tahu persis ia lupa kejadian itu sampai sekarang. Muka
coreng moreng mengerikan tampil dihadapannya dan sembari bergumam membaca
mantera-mantera ……. Hea….hea…..hea……biu…..biu…..biu…..wuu…..wuu…..wuu….. begitu
sebagian bisikan itu terdengar tidak jelas kalimatnya…yah hanya seperti
bergumam saja. Matanya tajam, bibir komat-kamit, sedang jari jemarinya
bergeridik bergetar seperti menarik hawa dingin yang tinggal dalam tubuh
Pangeran Ulok. Sekali, dua kali, pelupuk mata si Ulok mulai dapat dibukanya dan
suara orang itu semakin keras pula membaca mantera-manteranya. Tidak lama
kemudian si ulok siuman, dia benar-benar sadar, matanya sudah dapat dibuka
sampai habis, ia sudah dapat melihat sekitarnya, namun tubuhnya masih terasa
lemah, lunglai tidak berdaya. Dengan matanya yang sudah terbuka, ia perhatikan
orang-orang yang ada disekelilingnya, ia perhatikan seluruh penjuru ruang
tempat ia terbaring, “aku tidak mengenal tempat ini “…bisiknya dalam hati. Ia
coba gerakkan tangannya yang masih terkulai lemas, bisa….dan ia usap matanya
agar melihat lebih jelas….”yah aku tidak mengenal tempat ini”. Kemudian ia coba
sadari dirinya….aku sedang bermimpikah ? atau aku sudah berada didalam syurga
ditemani oleh manusia-manusia ini sebagai pendamping dan teman-teman
penghiburku…..kalau begitu, aku sudah mati. Jasadku berada ditempat ini….tapi
tidak, mataku dapat ku-usap-usap seperti sekarang ini….aku tidak melayang
diudara….aku tetap berada ditempat ini bersama ragaku yang sempurna…..hanya
badanku masih lemah.
Masih wajah dan rupa tadi-tadi
juga, muka-muka mengerikan, seperti ingin mencabik-cabik orang yang ada
didepannya. Tapi…….benarkah demikian……biarlah aku siap menerima apa saja yang
bakal terjadi. Badanku mulai dapat digerak-gerak, yang tadinya lemah terkulai
dan kaku tidak bisa bergerak, sekarang sudah bisa. Badan terasa lebih ringan
dan otot-ototku sudah mulai kuat mengangkat tangan….menggerakkan kaki,
menggerakkan leher, menggeser badan kekiri dan kekanan. Waw aku senang sekali,
ternyata benar….benar aku masih hidup….yah aku masih hidup.
“ suku Dayak…….. Punan Basaf….Punan
Basaf” pikir Ulok mengenali orang-orang yang ada disekelilingnya.
Orang
itu nampak memanggil-manggil seseorang yang berada dibelakang. Dan tidak lama
berselang muncul mendekat seorang wanita cantik dengan senyum tersungging
dibibirnya membawa secangkir air, lalu diberikannya kepada orang yang
komat-kamit membaca mantra disamping Ulok. Lelaki setengah baya dengan muka
coreng-moreng itu kembali menggerakkan bibirnya membaca mantra-mantra. Si Ulok
didudukkan dan diberi minum. Ulok, tidak ada sedikitpun berusaha untuk menolaknya, langsung meminumnya dengan lahap.
Air segelas langsung habis. Rasa segar datang menjalar bersamaan dengan masuknya
air kedalam perut. Tenggorokannya yang tadi terasa kering, kini menjadi basah
dan longgar, dadanya yang sesak menjadi ringan terbuka, nafasnya
berangsur-angsur menjadi nyaman dan bebas. Orang yang ada dihadapannya itu
tersenyum…..si Ulok membalas senyum itu dengan senyuman pula. Mereka tahu orang
yang mereka tolong sudah sehat dan mampu merespon apa yang terjadi
disekitarnya. Riuh redahlah suara percakapan orang-orang yang menunggu sejak
tadi disekeliling tempat Ulok berada. Mereka masing-masing memperbincangkan
seorang pemuda gagah yang ditolong mereka dan sekarang sudah siuman, sudah
sadar, sekarang sudah bangun dan sehat kembali. Sekali-sekali mereka menatap
wajah Ulok dan mengacung-acungkan jarinya serta menunjuk-nunjuk kearah si Ulok.
Lagi-lagi si Ulok hanya tersenyum. Ibu-ibu tua yang asyik bercakap-cakap
sembari memakan daun sirih tersipu malu menyambut senyuman dan tatapan tamunya.
Mereka sangat gembira, karena sudah mampu merawat, menjaga sampai orang yang
ditolong mereka bisa bangun dan sehat.
Ibu-ibu dan bapak-bapak masih
belum beranjak dari tempatnya. Mereka masih asyik bercakap-cakap dengan
ceriteranya masing-masing. Bibir mereka rata-rata merah karena makan sirih.
Beberapa
orang wanita menyiapkan makanan untuk Pangeran Ulok. Kepala suku yang masih
berada didekat pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala mempersilahkan mencicipi
makanan yang telah siap disertai dengan gerakan tangannya. Tanpa basa-basi lagi
sang pemuda langsung melahapnya dengan rakus, seolah perutnya sudah tidak sabar
untuk segera diisi. Ia makan lahap sekali. Beberapa umbi-umbian seperti ubi
jalar dan umbi keladi rebus, singkong bakar dan beberapa iris lempengan daging
bakar segar ia lahap dengan sungguh-sungguh.
Orang-orang yang ada
disekelilingnya menatap dan tersenyum suka cita. Perutnya lapar sekali dan
makanlah sekenyang kenyangnya.
Hampir semua orang-orang yang
hadir ditempat itu bertelinga panjang dengan diganduli anting-anting yang besar
dan berat. Anting-anting sebesar gelang tangan itu perak berwana putih. Lubang
telingan tempat menggandul atau menggantung anting-anting itu lebar dengan
memanjang kebawah. Percakapan mereka dari awal ia siuman sampai sekarang tidak
dimengerti oleh Ulok. Maka bahasa isarat menjadi alat atau bahasa komunikasi
mereka yang terbaik.
Setelah
beberapa hari kemudian pisik si Ulok sudah benar-benar pulih, segar bugar
seperti sedia kala. Ulok sudah dapat berjalan kesana kemari menghirup udara
segar. Ulok senang sekali, ternyata masih ada manusia dibumi ini yang baik,
padahal mereka tidak tahu aku berasal dari mana, apakah aku orang baik atau
orang jahat, kenapa aku sampai terdampar dipantai dan seterusnya. Dengan tidak
ada rasa kawatir dengan niat tulus dan bersih, mereka menolongku. Mereka sudah
berbuat baik padaku, maka aku juga harus membalasnya dengan berbuat yang
terbaik dengan mereka. Walaupun mereka tidak mengharapkan apa-apa, tapi apapun
alasannya aku harus membalas budi baik mereka. Yah aku harus menjadi yang
terbaik…..agar mereka semua senang dan bangga. Melihat gaya dan tingkah laku si
Ulok yang berbudi pekerti itu, mereka semakin hari semakin manaruh hormat.
Rumah
tempat mereka tinggal tinggi, tiang-tiangnya terbuat dari kayu ulin yang masih
utuh bundar tidak lebih dari sepaha besarnya. Lantai rumahnya dari batang
nibung yang dibelah-belah dan dihaluskan, sebagian lainnya dari kulit kayu. Sedangkan
dinding rumahnya terdiri dari kulit kayu dan sebagian lagi dari daun palm yang
lebar, daun palm itu dikenal juga dengan nama daun wos atau daun biru. Daun
palm tersebut biasa dibuat tutup kepala atau seraung. Sedangkan atap rumahnya
terbuat dari daun palm yang disusun sedemikian rupa, diikat dengan rotan dan
rumput-rumput liar yang panjang menjalar dihutan sekitar rumah besar dan tinggi itu. Tangga untuk naik dan turun
rumah terbuat dari kayu bundar yang ditatah sedemikan rupa. Dengan tangga itu
mereka menjadi mudah naik dan turun untuk beraktifitas. Rumah besar dan tinggi
itu dikenal dengan nama “Lamin”. Peralatan kerja dan berburu yang ada antara
lain mandau, sumpit, tumbak, dan beliung atau kapak. Dikolong rumah tinggi itu
berkeliaran babi peliharaan, anjing penjaga kebun dan anjing berburu, serta ayam
hutan yang jinak.
Lamin
dihuni oleh beberapa keluarga, masing-masing keluarga cukup dibatasi dengan
dinding bilik yang terbuat dari kulit kayu. Mereka menyatu dalam satu kelompok
keluarga besar yang akrab, saling membantu, tolong menolong dan gotong royong.
Anak-anak bermain dengan riang, berlarian diatas-atas batang kayu yang
besar-besar disekitar lamin, bahkan mereka sering bermain sampai masuk kedalam
hutan. Dihutan mereka bermain sambil mencari umbi-umbian. Kehidupan mereka
damai dan bersahaja bersatu dengan kuat, rela berkorban demi mempertahankan
kelompoknya apabila diganggu kelompok lain. Setiap pagi, siang dan sore selalu
tercium bau sedap dari lamin itu, sebab mereka selalu membakar daging hasil
buruan. Daging-daging buruan yang belum habis termakan, daging-daging itu dikeringkan
atau mereka buat dendeng agar awet dan tahan lama. Selain daging buruan ,
mereka juga piawai mencari ikan disungai atau didanau.
Untunglah
sampai hari ini pakaian satu-satu yang dimiliki si Ulok masih dalam keadaan
bagus-bagus saja, kalau tidak waaaahhhh…bisa gawat. Sedangkan suku pedalaman
tidak berpakaian seperti layaknya orang-orang sekarang. Mereka masih memakai
cawat sekedar pelindung sedikit dibagian-bagian tertentu saja. Cawat atau
pelindung itu terbuat dari kulit kayu yang sudah diolah dan haluskan, sebagian
lagi dengan menggunakan kulit-kulit binatang. Buah dada ibi-ibu dan gadis-gadis
disana sini terlihat bebas ranum, dan ada pula yang sudah kusut masai turun
jauh kebawah. Wah pemandangan ini berbeda sekali dengan negeri si Ulok
dibesarkan.
“ Mungkinkan aku ditemukan mereka
ditepi pantai, lalu dibawa mereka kesini…..atau…..tapi dimana lautan yang ganas
itu, suara ombak besar tidak kedengaran….mungkinkah tempat ini jauh sekali dari
pantai, ditengah hutan belantara” piker si Ulok sembari duduk bersantai diujung
tangga dengan kaki berjuntai. Beberapa hari kemudian pertanyaan-pertanyaan itu
baru mulai terjawab, dan memang benar temapt ini sangat jauh dari tepi pantai
laut bebas dan jalan menuju kepantaipun sangat sulit dilewati. Banyak gunung-gunung
tinggi, banyak jurang yang sangat dalam, batu-batu tajam, dan harus menembus
hutan belantara yang lebat dengan duri-duri rotan yang tajam. Dihutan itu
terlihat banyak sekali rotan besar dan kecil yang menumpuk melingkar-lingkar
dan merayap memanjat pohon-pohon raksasa. Jauh dibawah gunung didalam jurang
terdengar gemericik air dengan aluna irama yang rapi, air itu menetes dari
celah-celah batu, bertautan dengan suara gesekan daun yang melambai-lambai
dihembus angin sepoi-sepoi. Dan sesekali burung rangkai atau burung enggang,
elang, beo, dan cocokrowo bernyanyi bergantian dengan suara yang indah dan
merdu menyapu kesunyian hutan yang maha luas. Begitu pula teriak banteng, rusa,
kijang, beruang, dan macan dahan sering terdengar sayup-sayup membelah
kesunyian. Juga teriakan orang utan, bangkui, uat-uat, bekantan berebut nyaring
dengan berpasang-pasangan. Lain lagi dengan burung kecil warna merah bercampur
kuning bermain sampai keanak tangga lamin. Tupai yang pintar membuat sarang
lagi mencari makan berkejar-kejaran sampai masuk kedalam rumah lamin.
Anak-anak yang lincah berlari
diatas batang-batang kayu besar, pintar menjerat kancil dan burung punai.
Semilir angin sepoi-sepoi terus bertiup menggerakkan ranting-ranting dan
daun-daun kayu. Semua masih lestari dan terbebas dari polusi.
Didepan
pintu bagian atas dan samping bersusun beberapa tengkorak kepala manusia dan
beberapa tengkoran kepala besar seperti kepala banteng, kepala orang utan,
kepala macan dahan dan beberapa buah cula badak. Si ulok sering terkesiap
ketika melewati pintu itu, mengelus-elus dada merasa iba dan ngeri. Tapi
entahlah….memang sudah adanya demikian.
Dilai tempat dibawah lamin dan
disekitar lamin beberapa ekor binatang buruan seperti babi, rusa dan banteng mulai
dikumpulkan dan ada pula yang sudah dikupas kulitnya. Mereka semua dalam
suasana yang sibuk dengan berbagai pekerjaan masing-masing. Jauh didepan lamin
sana sebua tanah lapang dibersihkan sampai licin. Ditengah lapang itu didirikan
sebatang kayu sepaha besarnya. Kayu yang ditancapkan itu sudah dikupas
kulitnya. Beberapa babi dibakar bulat-bulat, lalu diatur sedemikian rupa oleh
beberapa orang wanita, anak-anak juga ikut sibuk membantu. Mereka ramai-ramai mencari kayu yang sudah kering
keluar masuk hutan disekitar tanah lapang itu. Menjelang matahari terbenam
lampu-lampu obor mulai dinyalakan. Disekeliling tanah lapang itu lampu-lampu
obor sudah disiapkan. Si Ulok sejak tadi memperhatikan kesibukan mereka.
“ pasti ada acara meriah….” Pikir
si Ulok tidak mengerti
Pangeran
Ulok sering terganggu pikirannya, gelisah seperti ada yang memberitahukan
padanya, tapi apa itu……
Yang lebih mengherankan, bukan
pikiran yang terganggu atau gelisahnya, tapi ada yang lebih mengherankan yaitu
orang-orang yang biasanya memandangnya dengan bersahabat, tersenyum, tapi
berubah memandangnya dengan tajam dan seolah menakutkan. Apalagi gadis-gadisnya
sangat berubah, lirikan mata dan senyum itu hilang. Atau barangkali begitu cara
mereka senang melihat orang yang sudah ditolongnya dan sudah sehat……akh aku
semakin tidak mengerti.
Segala
persiapan nampaknya sudah lengkap, semua kaum pria dewasa memakai mandau
dipingggangnya dan yang lebih lengkap dengan menggenggam sumpit dan tumbak.
Mereka masing-masing mengenakan pakaian adapt dengan segala sksesorisnya,
bajunya yang paling gagah adalah baju kulit macan. Baju kulit acan adalah
simbul kelelakian, karena ialah orang yang mampu menangkap dan mengalahkan
macan dahan yang lincah dan kuat. Tidak semua orang memakai baju kulit macan.
Mereka seperti hendak persiapan berangkat perang. Kaum ibunya juga berpakain adat
yang unik, buah dada mereka masih seperti biasa kelihatan molor dan sebagian
masih sintal.
Saat si Ulok berdiri
ditengah-tengah rumah lamin itu, berpikir semakin kencang dan semakin tidak
terjawab apa yang bakal terjadi. Setelah cukup gelap, hanya ditengah lapang
yang terang oleh lampu-lampu obor dari lilin madu, datang tiga orang lelaki
yang berbadan kuat dan tegap bersama kepala adat mendekati si Ulok. Ketiganya
sudah berpakaian lengkap. Muka dan tubuhnya coreng moreng dan penuh tato. Nampak
diwajahnya sangat garang, ganas, dan sadis. Seolah-olah apa saja yang ditemui
atau menghalanginya pasti ditebas dan dicincangnya dengan mandau yang mengkilap
dan tajam. Si Ulok memperkirakan mereka datang dan mengundangnya untuk berpesta
bersama ditanah lapang yang terang itu. Dengan muka sinis dan geram, mereka
mendekati, Ulok diam seribu basa. Tidak mengerti apa yang akan terjadi. Tangan
kiri dan kanan si Ulok dipegang kuat-kuat, masing-masing seorang memegang satu
tangan, lalu bergerak maju. Didepan mereka kepala suku membuka jalan lebih
dahulu, lalu dibelakangnya seorang lelaki yang kuat itu dengan mandau terhunus.
“ huh…huh..huh…” perintah mereka
dengan kasar. Sedangka si Ulok semakin bingun dengan apa yang sekarang mereka
lakukan terhadapnya…..”ada apa ini” tanyanya. Semuanya diluar dugaan si Ulok.
Sebelumnya tidak ada sedikitpun terbersit dipikiran Ulok apa yang sekarang
terjadi.
Para wanita hanya sedikit yang berada
didepan, istri kepala adat dan beberapa istri tokoh lainnya, sedang wanita yang
lain jauh dibelakang bersama dengan anak-anak untuk menyaksikan acara adat itu.
Bau makanan menghambur sampai jauh, babi
guling diletakkan diatas meja-meja.
Kaum laki-laki sebagian besar
berada didepan dan membentuk lingkaran sembari berguman , seperti
berpantun-pantun. Entah apa yang mereka ucapkan Ulok tidak mengeti, ditengah
lingkara itu api menyala dengan seonggokan kayu yang sudah dipersiapkan.
Kemudian beberapa orang yang tadi menggiring si Ulok mundur dengan hormat
setelah mengikat Ulok dengan kuat ditiang ditengah lapang. Yang tinggal didekat
itu tinggal sang kepala adat atau dikenal juga dengan kepala suku. Lalu ia duduk
dan bergumam bersama orang-orang yang melingkar, menyembah-nyembah beberapa
kali.
“ aku baru tahu….ternyata aku dijadikan
tumbal dalam upacara adat ini” Ulok baru sadar dan sudah terlambat untuk
bertindak, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali sabar manunggu apa
kejadian berikut. “Aku harus siap untuk mati” pikir Ulok buruk tentang dirinya.
Lelaki-lelaki yang melingkar itu
semakin asyik dengan nyanyian dan tariannya, kemudian beberapa wanita tua yang
didepan juga masuk kedalam lingkaran dan turut menyanyi dan menari…semakin
larut malam semakin keras nyanyian yang mereka bawakan.
Si ulok berupaya mencoba
menggerak-gerakkan tangan yang terikat kuat ditiang kayu bundar, namun tidak
bisa, tali yang menjerat tangan itu sangat kuat. Bawah tangan sampai ke
pergelangan tangannya yang terikat kuat itu terasa sakit. Semakin ia berupaya
menggerakkan tangan, semakin sakit dan perih bagian yang terikat. Ia berupaya
seperti itu, mana tahu jeratan tali yang mengikat kedua tangannya jadi longgar
dan bisa terlepas, tapi ternyata tidak, ikatnya sangat kuat. Ulok sangat
tersiksa. Ditambah lagi hawa panas api unggun didekatnya dan asap api itu
dibawa angin kearahnya, Ulok sampai tersengal-sengal menarik nafas udara
bercampur dengan asap. Akhirnya ia hanya pasrah menunggu kematiannya, nafasnya
sesak bercampur dengan asap itu membuat sekujur tubuhnya menjadi lemah.
Napasnya mulai putus-putus, saat asap api itu menyerang kearahnya, Ulok harus
menahan nafas beberapa lama. Apabila angin membawa asap itu menjauh darinya,
baru ia dapat bernafas dengan lega dan kencang-kencang.
Semua
orang yang berada disekeliling tiang itu semakin ramai, menjongkok …berdiri…menjongkok….berdiri….lalu
menari-nari lagi sudah mulai kemasukan roh-roh nenek moyang. Dengan diiringi
musik perpaduan dua jenis alat musik yaitu dua buah gendang dan satu buah gong
tarian dan nyanyian semaki asyik, tapi semakin menegangkan. Gerakan-gerakan
tarian itu semakin keras, hentakan kaki juga semakin keras, irama musik juga
dibuat keras dan nyaring, keringat mengucur. Tubuh-tubuh mereka yang tidak
mengenakan pakaian terlihat basah oleh keringat. Tarian semakin menggila
ditingkahi pula dengan teriakan yang melengking, teriakan itu bergantian
bersahut-sahutan.
Si Ulok dengan sisa-sisa
tenaganya, berupaya untuk melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Mana
tahu dengan cara seperti itu tali menjadi longgar dan ia bisa terbebas dari
mara bahaya ini. Upaya hanya sia-sia, tali-tali yang mengikat itu sangat kuat,
jangankan putus atau lepas, sedikit longgar saja tidak. “Wah ikatan tali
ditanganku ini sangat kuat…tidak longgar sedikitpun”
Dalam
keadaan sekritis ini, Ulok ingat tiap hari diberi makan dengan makanan yang
enak-enak, supaya badannya sehat dan berisi. Apabila ia mau turun dari lamin
selalu dihalang-halangi, agar tidak turun dan tidak pergi kemana-mana. Ulok juga
teringat dengan apa yang dilihatnya beberapa waktu lalu diatas pintu lamin, ada
beberapa pajangan tengkorak kepala manusia. Berarti pajangan itu kepala manusia
betulan, bukan sekedar pajangan imitasi belaka. Berarti tengkorak kepala
berikutnya adalah kepala si Ulok. Leher Ulok dipenggal dengan madau yang tajam
mengkilap. Atau disumpit dan ditumbaki dulu sampai terluka-luka dan akhirnya
mati, namanya juga kurban atau tumbal yang harus berdarah-darah. Kalau seperti
itu….wah mengerikan sekali yang bakal terjadi berikutnya pada diri pumuda gagah
dari kerajaan Teluk Alu-Alu pulau Maratua ini. Nasibya teragis sekali, dari
kerajaan dibuang kelaut dengan segala penderitaan. Sudah selamat seperti
sekarang ini…malah jadi tumbal terluka-luka dan berdarah-darah….sangat
mengerikan…yah memang sangat mengerikan. Semua ini cobaan berat bertubi-tubi
yang dialami seorang pemuda yang berhati bersih dan suka menolong orang lain.
Ia masih tetap berusaha untuk melepaskan tali yang mengikatnya, namun upaya
keras itu belum juga menuai hasil. Akhirnya……….
“ aaaaaakkkhhhhhhhh
!!!!!!!.......aaaaaakkkkkhhhhhh!!!!!.....aaaaakkkkkkhhhhh!!!!!!......”
tiba-tiba si Ulok berteriak sekeras-kerasnya, teriakan itu ia ulangi puluhan
kali. Teriakan keras itu terdengar sampai kelangit, teriakan itu sampai masuk
kedalam sungai, teriakan itu menusuk menembus hutan belantara Kalimantan.
Orang-orang yang menari mendengar
teriakan itu tidak bergeming, membuat mereka semakin bersemangat lagi untuk
menari. Teriakan semakin kencang, hentakan kaki juga semakin kencang, musik juga
dikeraskan. Suara nyaring dan keras itu saling berlomba, beradu diudara sampai
kelangit yang paling tinggi. Lingkaran tetap utuh, tapi tarian dan nyanyian
pantun-pantun mereka sudah tidak enak lagi didengar. Tarian dan nyanyian itu
tidak beraturan lagi, tangan naik turun kesamping kiri dan kanan sekenanya
saja. Mereka sudah mabuk dan kerasukan roh-roh nenek moyang. Yah mereka sudah
kerasukan roh-roh gaib. Badan mereka laki-laki dan perempuan yang menari basah
kuyup oleh keringatnya sendiri.
Dilain
tempat……tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan…..bayangan itu beberapa kali
melintas diantara pohon-pohon besar dibelakang tanah lapang, bayangan yang
masih belum jelas itu seperti mengintai dari kejauhan. Mungkinkah bayangan itu
adalah roh-roh gaib yang akan mengambil tumbal atau persembahan orang-orang
yang tinggal ditengah hutan belantara.
Bayangan yang berkelebat cepat
itu lalu turun ketanah diluar area tanah lapang, dan mengendap-endap mendekati
si Ulok yang masih terikat. Ulok diam saja….Ulok sudah siap menerima apa
saja….iapun telah siap menerima kematiannya. Ulok diam saja, Ulok pasrah saja.
Orang yang datang itu lalu membuka tali yang mengikat tangannya. Setelah
terbuka tangan Ulok ditariknya kelain tempat dengan hati-hati. Dan akhirnya
tempat penderitaan yang menyakitkan itu semakin jauh ia tinggalkan. Setelah beberapa tindak dan
cukup jauh dari tanah lapang orang aneh yang menolong Ulok memegangnya
erat-erat dan keduanya langsung mengudara. Seperti…yah….terbang…..
Ulok awalnya sangat kaget, tapi
akhirnya ia kagum dengan orang yang membawanya pergi jauh dari lamin. Ia dan
penolongnya terbang diudara pada malam hari seperti burung garuda. Terbang
dengan meliuk-liuk menhindari pohon besar. Matanya sangat tajam, mampu melihat
dengan baik pada malam hari. Badan ulok ringan melayang diudara, seperti mimpi
yang terbang dibawa burung raksasa. Tapi si Ulok yakin ia tidak bermimpi, ini
kejadian sebenarnya, kejadian yang pertama kali. Ia benar-benar terbang diudara
dengan kecepatang tinggi. Waw…..hampir saja menabrak pohon besar.
Berkali-kali si Ulok menarik
nafas panjang, mereka meninggi kemudian tiba-tiba merendah seperti jatuh dari
udara kemudian naik lagi dan mendatar
masih dalam kecepatan tinggi. Pohon-pohon dan gunung-gunung selintas terlihat
menghampar seperti gelombang laut luas, seluas mata memandang.
Mereka yang
menari-nari masih asyik dengan tariannya, tidak mengetahui kemana perginya
tumbal persembahan mereka. Selama ini persembahan yang mereka ikat ditengah
tanah lapang tidak pernah lepas, bahkan banyak yang sudah mati sebelum upacara
selesai. Mati kelelahan, mati menghirup asap tebal, atau mati karena ketakutan
yang luar biasa, selain itu mati setelah dipenggal kepalanya. makanya begitu
diikat persembahan itu tidak ada yang menjaga, mereka semua bersuka cita dan
tengkorak kepalanya dipajang sebagi kebanggaan dan tinggi derajat mereka
sebagai suku ditengah hutan belantara.
“ bakal jadi apa
lagi aku berikutnya…” pikir Ulok, mereka berdua masih mengudara. Sepertinya
episode ceritera ini hanya berganti judul, masih belum selesai. Pertunjukannya
masih panjang.
Tanpa berontak, tanpa ada
perlawanan, kesekian kalinya Ulok diam terpaku, pasrah dengan keadaan yang
selalu menimpanya. Kenyataan demi kenyataan sudah dilalui. Si Ulok merasakan
keanehan dan kejadian luar biasa. Beberapa kali sudah dalam keadaan yang sangat
genting ia selalu selamat, namun pertolongan itu menjadikan kesengsaraan baru
lagi baginya. Aku yakin semua ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang
panjang. Bagian dari pengalaman jiwa yang membaikkan hatiku agar aku selalu
berbuat kebaikan dimuka bumi ini, terutama berbuat baik terhadapa sesama. Menjaga
alam agar tetap seimbang juga perbuatan yang sangat mulia, tidak merusaknya.
Aku tahu apabila aku merusaknya pasti akibatnya akan menimpa manusia itu lagi. Aku
yakin kebaikan pasti dibalas dengan kebaikan, sedangkan keburukan pasti dibalas
dengan keburukan juga. Oleh karena itu aku tidak perlu berpikir macam-macam,
tapi jalani saja kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.
Setelah
jauh perjalanan yang dirasakan, si Ulok dibuatnya terkesima oleh orang yang
membawanya, sampai-sampai bulu-bulu ditubuhnya berderik. keduanya menukik turun
dan terus semakin merendah. Malam masih ditengahnya, hanya disinari jutaan
bintang-bintang yang indah. Bintang-bintang itu ada yang lebih terang, ada yang
berbentuk segi tiga, ada yag berbentuk segi lima, ada pula bintang tujuh, ada
yang berbentuk seperti bunga mawar dan macam-macam lagi. Angina sangat kencang,
air mata si Ulok sampai meleleh. Saat ini mereka menyusuri naik turunnya
bukit-bukit dan pucuk-pucuk pohon. Keduanya menikmati perjalanan itu. Pakaian
kedua orang yang terbang dengan kencang itu mengibas-ngibas, mengepak-kepak,
melambai-lambai kebumi. Keduanya melesat tidak tinggi lagi, naik turun seperti
diayun-ayun gelombang.
Bunga-bunga kayu terlihat
selintas ada yang merah, ada yang kuning, ada yang berwarna putih bagur dan
bergerombol-gerombol, harumnya mengudara.
Dan keduanya langsung mendarat
diantara sela-sela pohon besar, nafas Ulok terengah-engah seperti setelah
berlari begitu jauh. Setelah mendarat pelan-pelan rasa takut dan hawatir tadi
hilang, sekarang sedikit tenang mengikuti perintah orang yang membawanya. Berjalan
tidak seberapa jauh dari tempat mereka mendarat tadi sudah sampai kemulut gua. Mereka
langsung masuk kedalam gua itu. Keduanya masih membisu. Kemana saja
perintah orang itu si Ulok mengikutinya. Didepan pintu gua sang penolong
tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“ Kamu ini siapa sebenarnya ?”
Tanya orang yang menolongnya
membelah kesunyian malam. Ulok terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia usahakan
seolah-olah dalam keadaan biasa-biasa saja. Tutur bahasa orang tampan yang
bertanya itu sangat baik, senyumnya menyejukkan hati, maka Ulok yakin orang
yang menolongnya itu pasti orang baik-baik dan iklas menolongnya. Dan lalu ia
menjawab pertanyaan itu dengan tenang, setenang air sungai, setenang
bintang-bintang dilangit.
“ Aku dulu adalah seorang
Pangeran dikerajaan Teluk Alu-Alu….tetapi setelah ada persoalan aku dengan
ayahnda raja…aku menantang atas kelaliman beliau….yang sudah terlewat batas dan
semena-mena……ayahnda baginda raja dengan bangga membongkar semua rahasia
tentang diriku di hadapan rakyat yang hadir…..aku bukanlah putranya melainkan
anak yang mereka temukan dan beliau pungut ditengah hutan belantara pulau
Maratua”.
Pemuda yang ada dihadapannya
mendengarkan dengan santun, sesekali matanya dan raut wajahnya sedih mendengar
dan mengikuti alur ceritera orang yang baru ditolongnya.
“ lalu mengapa andika sampai
dijadikan tumbal oleh orang-orang itu” tanyanya lagi dengan serius.
“ disebabkan luapan amarah
baginda raja tidak tertahankan lagi, beliau mengusirku. Aku dibuang ketengah
lautan….tujuannya adalah agar aku mendapat sengsara dan mati dengan tersiksa
dihantam ombak dan dimangsa ikan-ikan pemakan daging”.
“lalu apa yang terjadi
selanjutnya” Tanya pemuda itu lagi sembari menatap beberapa kali wajah si Ulok.
“ aku diselamatkan lumba-lumba
dan penyu…dan aku terdampar di pantai…setelah itu aku tidak tahu lagi,
tiba-tiba aku sudah berada di tempat laknat itu yang hampir saja mengambil
nyawaku” Ulok berhenti sejenak sambil berpikir dan manggut-manggut, kemudian
lanjutnya “ setelah sadar aku sudah dalam perawatan mereka……mereka membantu dan
memberi makan, minum dengan baik, aku kira aku sudah dalam keadaan
selamat…ternyata sebaliknya, aku diberi makan dengan enak itu akan dijadikan
tumbal oleh mereka…..aku benar-benar keliru menilai kebaikan mereka….aku pasrah
menerima apapun yang akan terjadi….aku telah berserah diri dengan kebaikan yang
telah mereka berikan padaku…..aku tahu leherku akan dipenggal….dan kepalaku
dijadikan pajangan dirumah panjang mereka….pikiranku buyar menimbang antara
kebaikan dan keburukan yang akan berlaku…aku tidak berdaya melawan kebaikan
yang sudah mereka berikan padaku” pemuda itu mendengarkan semua yang
diceriterakan Ulok dengan penuh perhatian.
“ Beruntung sekali patik bisa
menolong tuan, ternyata andika orang terhormat” Puji pemuda itu dengan hormat “
tuan dalah manusia sempurna, bijaksana dan patut menjadi orang yang ditauladani…tuan
telah berjuang membela yang benar dengan berani mengatakan yang benar adalah
benar sedang salah tuan katakan salah…..walaupun tuan tahu akibatnya sangat
patal bagi diri tuan sendiri” puji pemuda itu pada si Ulok dengan sopan, dengan
hormat dengan tutur bahasa yang beretika.
Si Ulok memberanikan diri lebih
dahulu bertanya “ nama anda siapa dan
lalu mengapa tiba-tiba sudah berada ditempat aku terikat” Si Ulok menatap
tajam, dan memastikan kesempurnaan dan ketampanan lelaki yang menolongnya.
“ patik adalah Putra Dewi Sarang
yang tinggal didalam gua ini” sembari menunjuk kemuara gua yang ada dihadapan
mereka. Si Ulok sedikit tercenang mendengar Putra Dewi Sarang dan tinggal di
gua itu, di gua sarang burung seperti ini.
“ dan perlu andika ketahui ibunda
kami jarang sekali terlihat ditempat ini, beliau hanya sesekali dapat
tertangkap oleh mata.”
Dengan keheranan yang
bertambah-tambah, si Ulok semakin cengang dan bingung…hahhhh….
“Patik mendengar suara musik
gong, suara itu sampai kelangit. Patik jadi terusik, mengapa suara musik gong
sampai larut malam dan terdengar jauh sekali. Patik sambil mengawasi wilayah
burung wallet berkelana dan bersendau gurau mencari makan, akhirnya patik
putuskan melihat dari mana asalnya suara musik gong itu berasal. Ternyata andika
sedang diikat dan dikelilingi orang-orang pedalaman yang menari dengan mabok
kerasukan jin dan hantu nenek moyang mereka, begitulah. Lalu patik putuskan
untuk menolong andika”. Ceritera Putra Dewi Sarang menjelaskan mengapa ia
sampai menolong Ulok.
Setelah pemuda yang menolongnya
mengetahui nama dan asal usul si Ulok, pemuda itu semakin bertambah hormatnya,
ia bangga sekali sudah menolong si Ulok. Lalu keduanya saling berjabat tangan
dengan erat penuh persahabatan, kemudian mereka berpelukan dengan suka cita dan
kemudian mereka masuk kedalam gua. Ditengah perjalanan si Ulok beberapa kali
mengucapkan terima kasih kepada Putra Dewi Sarang. Ucapan terima kasih itu
disambutnya dengan senyum.
Keduanya jadi sangat akrab,
padahal mereka baru saja saling mengenal.
“ Biar bagaimanapun yang terjadi
pada tuan, tuan tetap saja sebagai
seorang Pangeran “ putra Sarang burung mengakui dengan sungguh-sungguh.
“ terima kasih atas penghargaan
Putra Dewi Sarang” ujar si Ulok dengan sunguh-sungguh pula. “ bagi saya tidak
ada masalah……dipanggil dengan sebutan nama atau apapun terserah saja…itu hanya sebuah nama….terima
kasih kalau Putra Dewi berkenan menyebut nama saya demikian “
Lampu-lampu obor disana sini
menyala dengan mengepulkan asap menerangi ruang gua itu. Gua itu dihiasi dengan
batu-batu yang menjorok kebawah tajam-tajam, ujungnya seperti mengeluarkan air.
Air itu menetes kebawah suara nyaring menggema dalam gua itu.
Stalaknit-stalaksit itu indah sekali aku jadi terperangah dibuatnya. Apakah ini
hasil ukiran manusia atau terjadinya oleh proses alam yang selama ratusan
tahun. Suara gemericik air yang jatuh dari ratusan ujung-ujnng batu menjadi
musik alam yang serasi dan indah, seperti menyambut kedatangan kami. Aku sulit
membayangkan bagaimana indahnya irama
air-air yang menetes itu, suaranya bertautan dan menggema-gema….akh telingaku
semakin rindu dengan musik kulintang di Teluk Alu-Alu.
Kepak
sayap burung wallet dan kelelawar bertautan, mereka sibuk keluar masuk dan
terbang berpindah-pindah tempat. Suaranya riuh, seperti terusik oleh kedatangan
makhluk baru. Mereka membaui manusia baru yang berbeda dengan biasanya. Yah
baunya berbeda dengan biasa yang mereka cium. Melihat keadaan sedemikian rupa,
Pangeran Ulok tercenang dan kagum sekali. Gua ini tidak ada yang mengusik,
tidak ada yang mengganggu, tidak ada yang menggores-gores dindingnya, tidak ada
yang merusak atau mematah stalaktit stalakmitnya. “Terpelihara dan terawat gua
ini” pikir Ulok. Bau kotoran kelelawar dan kotoran burung wallet masih tercium.
Diatap gua penuh sesak sarang burung wallet, burung-burung itu ada yang masih
mengeram ada yang sudah beranak dan ada juga yang masih membuat sarang. Mereka
sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Luar biasa tempat ini terawat
dengan baik” lagi pikir Ulok memuji.
Mereka masuk dalam sebuah ruangan
yang indah dan megah. Ruangan itu tertata dengan rapi. Tidak lama mereka
bercakap-cakap dalam ruangan yang megah itu hidangan telah tersedia. Hidangan
yang berbau sedap itu mengganggu pikiran Ulok. Penciuman hidungnya yang tajam
itu mampu membedakan mana masakan yang enak atau yang kurang enak. Kalau bau
yang sekarang ini pasti masakannya enak. Perutnya yang sudah lapar itu
lalu…..akh rasanya sudah tidak sabar untuk segera melahapnya.
Seorang wanita cantik sibuk masuk
keluar masuk lagi menyiapkan hidangan itu. Wanita itu mengenakan gaun putih
panjang, wanita itu anggun dan berwibawa. Baju panjang yang dikenakan itu
sebagian terseret dilantai. Seolah kain gaunya itu cepat-cepat mengejarnya dari
belakang. Pabila tangan diangkat gaunnya besayap. Dilehernya bergulung-gulung
dan bersusun bunga-bunga warna warni menghiasi bagian lehernya agar menjadi
lebih cantik dan anggun.
Saat si Ulok menatap wanita itu
tanpa berkedip, Putra Dewi Sarang berujar “ Dia adik saya Pangeran” menjelaskan
kepada Ulok yang lagi…………
Si Ulok baru tersadar dengan apa
yang sedang dilihatnya, dia terkejut mendengar ucapan Putra Dewi Sarang. “ dia
sering dipanggil dengan nama Putri……Putri Dewi Sarang” lanjut Putra Dewi Sarang
itu menjelaskan kepada Ulok. Ulok tersipu malu-malu sadar akan kelakuannya.
“ Oooo….yah…yah…” sahut Ulok
gagap sejadinya saja, lalu manggut-manggut dengan pasti.
Putra Dewi Sarang itu tersenyum
melihat tingkah temannya yang sedikit kaku dan seperti kebingungan itu. Pemuda
itu juga masih jejaka seperti si Ulok, makanya dia tidak heran melihat tingkah
Ulok seperti itu, Putra Dewi Sarang memaklumi keadaan si Ulok. Siapa yang tidak
terpesona melihat kecantikan Putri Dewi itu, perawakannya sedang, rambutnya
panjang terurai, parasnya cantik, senyumnya manis dengan lesung pipi menghiasi
senyumnya. Anggun lagi sopan. Dengan kecantikannya itu sulit untuk dilukiskan
dalam sebuah gambaran tulisan. Sulit sekali untuk menjelaskan kecantikan Putri
Dewi Sarang itu dalam sebuah puisi. Pokoknya cantik, molek tak
terlukiskan…..pokoknya cantik sekali habislah sudah penjelasannya.
“ Bukan main “ ucap Ulok
kagum…tanpa sadar
“ Apanya yang bukan main
Pangeran” Tanya Putra Dewi Sarang berpura-pura, seolah dia tidak tahu apa-apa
dengan keadaan orang muda yang sekarang berada dihadapannya.
“Oh….tidak…tidak “
Tangkis si Ulok tersipu-sipu lagi.
Ternyata si Ulok memang
benar-benar terpesona dengan kecantikan Putri Dewi Sarang itu. Dadanya
berdebar-debar seolah ada yang memukul-mukul dari dalam atau menakutinya,
matanya nanar sulit untuk melepaskan pandangannya dari Putri Dewi Sarang yang
cantik jelita.
Keduanya
manikmati hidangan yang sudah disiapkan. Duduk dikursi batu yang berukir dan
meja batu yang keras dan kaku, meja dan kursi itu menyatu dengan lantai gua.
Kita
tinggalkan dahulu tentang Pangeran Ulok dan temannya Putra Dwi Sarang, kita
beralih kisah kekerajaan Teluk Alu-Alu di Pulau Maratua. Setelah beberapa tahun
kemudian Baginda Raja yang kejam dan selalu berbuat semaunya dan semena-mena
itu sudah meninggal dunia. Meninggalnya raja Teluk Alu-Alu membuat gempar
keseluruh penjuru kerajaan, bahkan orang-orang yang tinggal dilaut dengan
perahunya, orang yang ada didaratan Boneo juga sangat kaget atas wafatnya raja
Teluk Alu-Alu itu. Sebab yang utama sangat disayangkan adalah raja tersebut
tidak mempunyai anak sebagai penerus di kerajaannya. Dengan demikian maka
kosonglah untuk sementara pemimpin kerajaan itu. Semua orang cerdik pandai dan
seluruh pemuka-pemuka masyarakat berkumpul membicarakan hal tersebut. Pemimpin
kerajaan agarsegera dipilih, raja harus segera ada. Kalau tidak maka kerajaan
berjalan pincang, rakyat tidak ada yang mengatur, hubungan dengan negeri-negeri
lain juga dihawatirkan terganggu.
Tapi
apa yang terjadi, orang-orang yang merasa banyak berjasa kepada kerajaan,
tokoh-tokoh dikerajaan Teluk Alu-Alu yang pernah dekat dengan raja dan memahami
bagaimana menjadi raja berkeinginan menduduki jabatan itu. Mereka semua merasa
andil dan merasa berhak untuk menjadi raja. Akhirnya pergolakan mulai muncul
dimana-mana. Masing-masing mengatur dan menyusun kekuatan secara diam-diam.
Kelompok satu dengan kelompok lainnya yang sama-sama merasa kuat dan mendapat
dukungan orang banyak mulai saling tuding dan saling menyalahkan. Dalam
pertemuan-pertemuan saling adu argumentasi dan tidak ada yang mau mengalah.
Mereka tidak lagi memikirkan rakyatnya, tapi lebih memilih dan memikirkan
kedudukan dan jabatannya. Akhirnya mereka itu saling tikam dan saling bunuh,
baik secara perorangan ataupun secara berkleompok-kelompok. Kerajaan Teluk
Alu-Alu sepeninggal rajanya semakin lemah dan tidak berdaya.
Akhirnya kelompok yang kuat,
kelompok yang menang, pemimpinnya menjadi raja yang baru di Teluk Alu-Alu.
Semua jabatan penting diserahkan kepada orang-orang yang menang dan paling kuat
itu. Maka kerajaan Teluk Alu-Alu menjadi milik satu kelompok saja, sedangkan
orang cerdik pandai yang tidak sejalan atau yang tidak mau ikut-ikutan
persoalan itu tidak mendapat tempat dan kesempatan dalam pemerintahan kerajaan
Teluk Alu-Alu.
Kejadian perebutan kepemimpinan itu
sudak terjadi berkali-kali, mereka saling serang dan saling bunuh, darah
mengalir dimana-mana dan siapa yang kuat dan menang kelompok itu lagi yang
menjadi raja dan mengisi semua jabatan penting dikerajaan itu. Apa bila ada
lagi yang sudah meresa kuat mereka memberontak dan membunuh orang-orang yang lebih dahulu.
Keserakahan
dan keangkuhan para pemimpinnya membuat kerajaan Teluk Alu-Alu semakin terpuruk
dan diambang kehancuran. Kekuasaan raja-raja baru itu melebihi kejamnya raja
terdahulu yang pernah membuang anak angkatnya Pangeran Ulok
Rakyat kecil menjadi korban,
rakyat semakin melarat. Harta benda rakyat sering menjadi rampasan para
pembesar kerajaan. Rakyat semakin tersiksa dan tertindas. Suara mereka tidak
lagi didengar, keluh kesah mereka tidak sampai kemana-mana. Penguasa kerajaan
tidak sempat lagi memikirkan rakyatnya, mereka baru saja memulai menyusun
perangkat kerajaan, harus turun lagi dari jabatannya. Karena sudah dikuasai
oleh pemenang baru dan mengusir yang terdahulu. Sedangkan istri raja yang telah
meninggal yaitu ibu angkat si Ulok dipenjarakan. Ibu angkat Ulok dipenjarakan
dibawah tanah, penjara yang sangat rahasia, penjara itu hanya orang-orang
tertentu saja yang mengetahui tempatnya. Kejaman terus berjalan, istana menjadi
ajang perkelahian dan pembunuhan, darah dimana-mana berserakan. Rumusnya adalah
siapa yang kuat dialah yang menang. Semua merasa berhak menduduki tahta
kerajaan, semua berhak untuk menjadi raja……begitulah menurut mereka yang
bersitegang. Memang semua orang yang mampu dan pandai berhak untuk menjadi
raja, tapi caranya bukan saling tuding, saling menyalahkan dan saling bunuh
seperti itu. Sebaiknya orang yang punya kemampuan dan diakui kemampuannya oleh
semua rakyat dikerajaan itu, diputuskan melalui musyawarah. Selain itu orangnya
bijaksana, disiplin, berwibawa, mampu mengatasi berbagai permasalahan,
mengayomi semua rakyat, dan memajukan ekonomi rakyat, bukan hanya sekedar boleh
dan memaksakan kehendaknya saja. Pilihan itu seharusnya adalah pilihan yang
tepat, yang terbaik dari yang baik-baik dan atas persetujuan semua rakyat.
Kenapa demikian ? karena yang merasakan maju dan mundurnya, enak dan kurang
nyamannya adalah rakyat semua.
Roda
pemerintahan terombang ambing tidak menentu arah, roda pemerintahan jadi
semrawut dan orangnya selalu berganti-ganti. Ekonomi kerajaan juga sudah payah.
Biaya yang keluar tidak terarah dan tidak terawasi. Ada pula yang sekedar
mencari keuntungan dalam suasana kekeruhan itu…wah benar-benar payah, pejabat
kerajaan tidak dipercaya lagi. Mereka dianggap sebagai pembuat malapetaka
kebangkrutan. Rakyat kecil banyak yang
harus angkat kaki dari kampung halamannya mencari penghidupan baru ditempat
lain dan bercocok tanam didaerah baru yang lebih menjanjikan.
Burung-burung
wallet rakyat Dewi Sarang yang gesit dan lincah sering mengadakan perjalan yang
jauh, mereka banyak yang sampai bahkan melewati kerajaan Teluk Alu-Alu. Sebagian
lagi diantara burung-burung walet itu singgah disana dan mengetahui banyak hal
ihwal kerajaan Teluk Alu-Alu di Pulau Maratua.
Dari burung-burung wallet rakyat
Dewi Sarang itu menyampaikan kabar kepada Dewi Sarang ibunda Putra Dwi Sarang.
Atas semua laporan itu disampaikan kepada Pangeran Ulok yang masih tinggal
ditengah belantara hutan Borneo yang sekarang lebih dikenal dengan nama
Kalimantan itu. Pangeran ulok mendengar kabar itu sangat sedih dan masgul. Dan
pada suatu hari Pangeran Ulok memutuskan harus segera kembali dan menyelamatkan
Kerajaan Teluk Alu-Alu. Aku harus kembali dan segera memperbaiki kerajaan Teluk
Alu-Alu yang hampir hilang dalam sejarah itu. Selama beberapa hari si Ulok
mengadakan persiapan-persiapan untuk berangkat menuju kerajaannya. Putra dan
Putri Dewi Sarang juga sibuk membantu persiapan itu. Persiapan yang utama
adalah persiapan mental sedangkan yang kedua adalah persiapan apa yang harus
dilakukannya ketika ia sampai disana. Dan yang ketiga ia juga berlatih
kanuragan, dengan melatih fisiknya agar mampu melawan dan bertahan apabila
terjadi perlawanan dari penguasa yang ada sekarang. Jadi persiapan fisik dan
mental itu yang lebih diutamakan Ulok menjelang kepulangannya. Kemudian ia
harus berjalan kaki menembus hutan sampai kepantai, kemudian dari pantai itu ia
harus membuat perahu untuk menempuh perjalanan lautnya untuk sampaik Pulau Maratua.
Pada waktu yang
telah ditetapkan, maka berangkatlah Pangeran Ulok menuju kerajaan dimana ia
dibesarkan dulu. Keberangkatannya berbeda dengan rencananya semula. Ulok
diantar oleh Putra Dewi Sarang. Mereka tidak berjalan kaki menembus hutan dan
mereka juga tidak naik perahu dan menempuh badai dilautan luas, tapi mereka,
keduanya terbang diudara dengan melesat gesit dan ringan.
Pertama yang
mereka lampaui adalah hamparan hijau hutan belantara Kalimantan, hamparan hijau
itu seperti permadani yang indah dan lembut, dan kemudian mereka sudah berada
diatas lautan yang maha luas. Mereka menyeberangi lautan menuju pulau Maratua.
Dibawah sana biru berbuih-buih putih, sedangkan ombak bergulu-gulung
berkejaran.
Burung-burung putih berkelompok
asyik menyambar ikan-ikan kecil. Sedang dari dalam laut berlompatan ikan-ikan
besar menyambar ikan-ikan kecil dari bawah, meriah dan sangat menyenangkan sekali. Ikan-iakn
kecil itu menjadi mangsa ikan yang lebih besar dan menjadi mangsa burung-burung
putih dari udara. Kasihan ya ikan-ikan kecil itu. Tapi jangan heran itulah alam
yang menyediakan semuanya dengan seimbang.
Pangeran
bersama Putra Dewi Sarang tiba di Pulau Maratua, mereka tidak lansung turun
dipusat kota. Mereka turn mendarat dipinggiran kota yang tidak jauh dari
pesisir pantai. Dengan harapan agar tidak terlalu menjadi perhatian orang
banyak kehadiran mereka berdua. Apalagi dengan kedatangannya terbang seperti
burung itu. Disamping itu Ulok ingin tahu lebih dahulu keadaan rakyatnya.
Dengan cara demikian mereka berdua tentu lebih mudah nanti menyusup kedalam
kota. Ternyata banyak rakyatnya yang masih mengenali Pangerannya itu. Dan
bahkan mereka mendukung Pangeran. rakyatpun saling dukung dan saling bahu
membahu untuk membantu Pangerannya menumpas kejaliman yang berlaku di
negerinya. Rakyat selama ini merasa tertindas. Merekalah secara
sembunyi-sembunya saling menghabarkan mengenai keinginan Pangeran Ulok. Dengan
demikian maka kabar kedatangan Pangeran Ulok semakin meluas dan hampir semua
penduduk yang mendiami bibir pantai pulau Maratua sudah mendengar kabar
tersebut dan mereka semua siap membantu perjuangan Pangerannya.
Kelompok-kelompok yang dahulu berseberangan diarahkan dan disatukan kembali,
akhirnya menjadi besar dan kuat. Setelah dianggap kuat, serangan segera
dilancarkan. Serangan itu tidak dilakukan dengan saling menghunus pedang, namun
dengan cara serangan bawah tanah. Mereka menyusup secara diam-diam kesemua
penjuru kerajaan. Yang dianggap wilayah strategis disusupkan lebih banyak
kekuatan. Setelah penyusupan disemua lini dan kekuatan sudah dianggap cukup dan
kuat. Maka mulailah serangan dilancarkan sekaligus dan secara mendadak agar
tidak benyak memakan korban. Pangeran Ulok dan Putra Dewi Sarang berada paling
depan. Mereka berdualah yang mengatur strategi untuk segera melumpuhkan pusat
kerajaan yang memerintah secara semena-mena itu. Semua yang ada dalam istana kaget mendengar
berita adanya serangan mendadak itu. Salah seorang melaporkan kepada raja.
“Baginda raja, ampun baginda
raja…rakyat berduyun-duyun datang ke istana bersama dengan Pangeran Muda dan
temannya yang siap tempur” lapor seorang penjaga tergesa-gesa.
Raja yang menerima laporan
terkesiap, apabila ia mendengar nama pangeran ulok disebutkan. “Pangeran Ulok”
bisik raja, yang dulu sudah dibuang ketengah lautan sekarang datang lagi
bersama rakyat yang sangat mencintainya. Bersama rakyat yang ingin menikmati
perubahan yang lebih baik.
Raja sedikit linglung, raja masih
bingung atas pertanyaannya sendiri. Rakyat semua mendukungnya, hanya segelintir
orang saja lagi yang masih setia dan mendukungnya.
“Pangeran Ulok masih hidup ?”
Tanya raja masih belum percaya dengan kabar yang disampaikan. Raja tahu sudah
bertahun-tahun si Ulok tidak ada kabarnya dan semua rakyat yakin dan percaya
bahwa Pangeran mereka sudah ditelan lautan luas itu.
“ ya..ya…Pangeran…hamba masih
ingat dengan rupanya” terang penjaga itu lebih lanjut.
Diluar
disekitar istana, rakyat sudah berkumpul dan menunggu, berteriak –teriak dengan
kata-kata yang tidak mengenakan telinga. Raja yang saat ini masih memerintah
marah atau tidak marah, itu bukan urusan rakyat lagi, itu urusan raja sendiri.
Rakyat sudah muak, rakyat sudah lama menanti pemimpin baru yang selalu
mengayomi rakyatnya. Suara rakyat Teluk Alu-Alu tidak pernah didengar, baru sekarang
ini mereka berani dan baru sekarang ini mereka dapat menumpahkan segala
kekesalan dan kemurkaannya. Baru saat ini suara mereka didengar. Didengar oleh
Pangerannya yang lama sudah hilang ditelan laut yang ganas. Baru saat ini
mereka bisa berteriak-teriak memarahi pemimpinya. Dan baru saat ini…………… “
kelau kau raja…kelaur kau….turun dari kursi kerajaan itu….kami sekarang telah
membawa Pangeran muda yang mampu menjadi raja yang adil dan bijaksana” teriak
mereka sekeras-kerasnya.
“ jangan beraninya sembunyi-sembunyi
saja hooooiiii” teriak yang lain keras dan riuh.
“ Hui urang anu didalam
attu…kaluar dangkita kaparais” ujar salah satu tokoh suku Barrau yang ada dalam
gerombolan orang ramai.
“ raja pemeras rakyat….hayo
keluaaarrrr….cepaaattttt” teriak yang lainnya
“amun kau gagga..kaluar kau gai”
sambung orang barrau itu lagi menantang dari luar
Suara ribuan rakyat yang menggema
diluar istana meminta rajanya segera keluar dan turun dari tahta, termasuk
orang-orang dekatnya.
Orang
didalam istana tidak sempat membuat persiapan apa-apa untuk menyambut
kedatangan rakyatnya bersama Pangeran Ulok. Rakyat sudah membuat pagar betis
mengelilingi istana. Tidak ada jarak yang kosong dari pengawasan rakyatnya.
Tidak ada tempat atau ruang kosong untuk
mereka yang didalam melarikan diri. Semua dipagar oleh rakyat. Ditambah
lagi dengan kekuatan dan sekaligus pengawasan dari udara yang dilakukan oleh
Putra Dewi Sarang, ia terbang mengitari sekitar istana kerajaan, Putra Dewi
menjaga kemungkinan ada yang lolos dari pengawasan dan penjagaan rakyat Teluk
Alu-Alu dan menjaga kemungkin yang akan terjadi berikutnya. Teriakan rakyat
masih menggema memukul nyali orang-orang yang masih ada didalam istana. Nyali
mereka menjadi ciut tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak lama kemudia dari sebuah
jendela memberikan isyarat kepada semua yang hadir disekeliling istana.
Diacungkannya bendera putih tanda menyerah tanpa syarat dan tanpa perlawanan.
Tanpa dinyana dan tanpa disangka itu mereka lakukan. Pergolakan dan keinginan
rakyat terpenuhi, strategi Pangeran dan Putra Dewi Sarang berhasil. Penyerbuan
itu tidak menelan korban. Orang yang berada dalam istana tidak ingin menjadi
korban amarah rakyatnya sendiri. Pangeran Ulok dan Putra Dewi Sarang bersyukur
kepada Tuhan, penyerangan yang menggunakan kekuatan rakyat yang mereka lakukan
tidak sampai terjadi pertumpahan darah dan semuanya selamat. Yang didalam
istana selamat yang diluar istanapun tidak terjadi apa-apa. Setelah semua orang
dalam istana ditangkap dan semua istana diamankan,
sorak sorai rakyat beralih mengelu-elukan si Ulok.
“Hidup Pangeran…hidup
Pangeran….hidup pangeran kita”
Raja ditangkap, orang-orang
setianya juga ditangkap. Semua rakyat mendekat dan melihat rajanya yang lalim
itu ditangkap. Setelah mereka melihat dengan mata kepala sendiri baru merasa
puas, kalau belum melihat sendiri masih merasa belum puas. Dengan selesainya
penyerangan yang berhati dingin itu, lalu rakyat berkumpul didekat tiang
gantungan. Raja yang kejam terhadap rakyatnya diadili oleh rakyatnya sendiri
dengan digantung ditiang gantungan disaksikan langsung olaeh rakyatnya sendiri.
Pengikutnya yang meminta ampun dan bertaubat hanya dihukum dalam penjara,
sedangkan yang tetap setia pada raja juga harus mati ditiang gantungan. Dengan
demikian puaslah rakyat, habislah sudah amarah yang selama ini dipendam dan
tidak berdaya. Rakyat puas. Setelah itu rakyat harus bangkit untuk membangun
negerinya yang lama lumpuh.
Tamatlah sudah riwayat para
pemimpin yang lalim itu. Ibu angkat Pangeran Ulok dikeluarkan dari penjara
bawah tanah. Ibu Ulok menangis mengenang hidupnya selama ini yang penuh dengan
sengsara. Ibu yang kurus dan lemah itu memeluk anaknya yang sangat
disayanginya, ia menangis sejadi-jadinya. Dipeluknya erat-erat anaknya. “Anakku
maaf ibu yang lemah tak berdaya….maafkan ayahmu nak, yang sudah
menyakitimu…semua itu sudah perjalanan nasib manusia masing-masing. Tapi Tuhan
itu adil nak, maka sekarang sudah dibuktikannya semua itu. Yang benar tetap
benar yang salah pasti mendapat balasan yang setimpal dengan kesalahannya”.orang-orang
yang ada disekitar itu tidak tahan melihat adegan yang sangat menyedihkan itu.
Mereka semua menangis….menangis terisak-isak. Istana banjir air mata
bahagia…diistana banjir air mata kemenangan.
Sesampainya didepan istana rakyat
langsung mengangkat Pangeran Ulok mejadi raja di Kerajaan Teluk Alu-Alu.
Sejak
diangkatnya Ulok menjadi raja atas pilihan rakyatnya sendiri, roda pemerintahan
mulai berjalan dengan baik. Disana sini dilakukan perbaikan dan pembenahan.
Setelah roda pemerintahan berjalan, ekonomi rakyat semakin menggeliat maju,
maka berangkatlah Raja Ulok menjemput orang yang sangat dicintainya yaitu Putri
Dewi Sarang ditengah hutan belantara Kalimantan. Lalu Putri Dewi dijadikan
sebagai permaisuri yang mendampinginya menjalankan pemerintahan kerajaan Teluk
Alu-Alu di Pulau Maratua.
Pulau Maratuapun kemudian hari
sangat dikenal, pulau Maratua itu dikenal diseluruh dunia.
S E L E S A I
Langganan:
Postingan (Atom)