Selasa, 28 Maret 2023
PESTA MEJA PANJANG KAMPUNG MERASA KEC. KELAY KABUPATEN BERAU KALIMANTAN TIMUR
TRADISI PESTA RAKYAT UMA’ DADU’
KAMPUNG
MARASA KABUPATEN
BERAU KALIMANTAN TIMUR
Oleh : Saprudin Ithur
Mantan
Kepala Kampung Marasa Bapak Efendi Mahudin adalah
orang asli suku Kenyah kelahiran Kampung Marasa Kecamatan Kelay. Namanya sudah
jauh berbeda dengan nama orang sekampungnya, ada yang nama akhirnya Ngau, Juk,
Liang, Laling atau awalnya Long. “Begitulah nama yang diberikan kedua orang tua
saya sejak lahir” jelas pak Efendi
saat saya bertandang kerumahnya.
Kampung Marasa terdiri dari 5 (lima) RT dengan penduduk lebih dari 1000 jiwa,
adalah Kampung dengan penduduk terbanyak di Kecamatan Kelay. Panjang Kampung
dari hulu sampai hilir kurang lebih 1,5 Km. Satu RT yaitu RT 4 terpisah sekitar
1 Km dari kampung utama bagian hilir sungai Kelay dihubungkan dengan jalan semen
yang cukup bagus. Kampung Marasa keseberang sungai dihubungkan dengan sebuah
jembatan gantung yang sangat indah dan eksotik dengan panjang 140 meter
diresmikan awal tahun 2013 pada bulan April dengan kekuatan tumpu jembatan 3
(tiga) ton. Jembatan yang indah itu menjadikan Kampung Marasa sebagai Kampung
Budaya di Kecamatan Kelay semakin menarik untuk dikunjungi. Melihat keindahan
sungai dan pulau kecil ditengah sungai dari atas jembatan gantung itu adalah sebuah
atraksi alam yang tiada tara didukung dengan perkampungan yang masih asri. Aku
seperti diatas singgasana keelokan alam yang masih semula jadi, sedangkan
hidungku membaui bulir padi dan biji kakau yang dijemur disepanjang kampung.
Aha……masih sangat alami…….
Foto
: Saprudin Ithur Wanita Dayak
Kenyah Desa Merasa
A. Uma’
Dadu’
Uma’
Dadu’ berarti Meja Panjang. Istilah Uma’ Dadu’ bisa juga disebut dengan Lamin
Dadu’ atau rumah panjang yang kita kenal dengan Lamin. Oleh nenek moyang dulu
dari suku Kenyah pesta meja panjang dilaksanakan 2 (dua) tahun sekali. Tujuan
diadakannya pesta meja panjang adalah :
1. Berkumpulnya
orang sekampung ditempat yang sama. Orang Dayak dalam berusaha, berkebun,
mencari binatang buruan berhamburan ditengah hutan dan sepanjang tepi sungai,
dengan pesta meja panjang mereka semua datang berkumpul dalam satu tempat;
2. Hubungan
kekeluargaan dan kekerabatan terjalin terus menerus;
3. Acara
menjadi meriah dan ramai dalam sekampung.
Sebelum
dikenalnya istilah Meja
Panjang, nenek moyang
suku Dayak Kenyah sejak
dahulu selalu melakukan acara Pelepa’ Uman atau upacara Suwen yang dikenal
dengan Syukuran yang berlebih
atau keramaian dengan berbagai acara budaya, olah raga dan makan-makan, setelah
selesai panen yang kita kenal dengan
Pesta Panen. Pesta panen dilaksanakan apabila panen padi berhasil dengan
memuaskan dan buah-buahan melimpah. Pesta panen dilaksanakan setiap tahun
setelah selesai panen dan semua hasil sudah diangkut kelumbung atau kerumah
masing-masing.
Beberapa
tahun terakhir ini acara pesta panen tidak dilaksanakan di Kampung Marasa,
tetapi acara meja panjang dilaksanakan setiap tahun pada waktu tahun baru 1
Januari. Disebut pesta meja panjang karena acaranya sangat meriah dan ramai
sekali. Tamu yang datang mengikuti pesta meja panjang bukan hanya dari kampung
Marasa saja, tetapi dari Kampung-kampung lain juga ramai datang memeriahkan
acara pesta meja panjang. Berbagai jenis makanan disiapkan diatas meja panjang,
setiap yang datang boleh mencicipi atau makan sepuasnya sesuai dengan selera
masing-masing. Selain itu keunikan meja panjang adalah meja panjang terbuat
dari bambu besar panjang yang dipecah rata dan rapi. Bagian luar bambu menjadi
dasar meja panjang. Bambu yang telah dirapikan itu disusun dirangka kayu
setinggi pinggang, maka jadilah meja panjang. Agar bambu tidak bergerak dan
berubah posisi dijalin dengan tali rotan sedemikian rupa. Menjadikan meja
panjang itu kuat untuk menahan beban peralatan dan makanan yang diletakkan
diatasnya. Bambu untuk meja panjang dinamai Pata Bulo’. Rumah yang dibangun
untuk acara meja panjang disebut dengan Lepau Rado’.
Foto
: Saprudin Ithur Membakar Jenai
atau Lemang pada malam hari
Makanan
utama yang menjadi andalan orang Dayak dipedalaman ketika acara pesta adalah
Lemang atau Jenai, orang Dayak Ga’ai bilang Suman. Puluhan bambu lemang yang
telah disiapkan diisi dengan beras yang telah dicampur dengan air santan
kelapa. Cara memasaknya yang unik, biasanya mereka menyalakan api unggun dengan
tumpukan kayu yang banyak. Api itu menyala sampai kayu mejadi bara, dengan bara
api sangat panas itu bambu yang telah diisi dengan beras dipanggang atau
disalai sampai masak, itulah Lemang atau Jenai. Selain itu ada nasi yang
dibungkus daun pisang (io’ ran), ada pula makanan asli seperti Jagung, Umbi-umbian, buah-buahan
yang ada dan tumbuh disekitar kampung seperti rambutan, pelam atau mangga,
langsat, malaka/nenas, jambu dan lain-lain.
Foto : saprudin Ithur
Meja Panjang Penuh Dengan Makanan Dan Dekorasi Alami
B. Dekorasi
Meja Panjang
Dekorasi
meja panjang dan sekeliling meja panjang unik dengan hiasan kayu yang diraut, daun-daun palm, dan daun
kelapa muda (janur) dan daun kelapa yang hijau ranau, semua masih bernilai
tradisional dan sulit dicari dikota.
1. Kerbu
Nama
Kerbu bahasa Kenyah, Ibus bahasa Dayak Ga’ai adalah hiasan yang terbuat dari
irisan atau rautan kayu yang sangat tipis menjadi keriting memanjang disatukan
puluhan helai menjadi satu, digantung-gantung (kelirep), agar menjadi lebih
indah kerbu diwarnai merah dan biru seperti tampak dalam gambar. Bentuk dan
model kerbu macam-macam ada yang digantung seperti digambar ini, ada yang
digantung beripasah satu dengan lainnya, ada pula yang masih melekat dan
menyatu dengan kayu aslinya yang diraut tipis melingkar biasa dan melingkar
siput.
Latar
belakangan kerbu dalam gambar ini adalah susunan bambu yang telah dipecah
dijadikan dinding, sedang dibagian atas adalah daun saung atau daun biru yang
dapat dijadikan bahan dasar untuk membuat saung, seraung atau tudung penutup
kepala.
Foto : Saprudin Ithur
Kerbu Hiasan Terbuat Dari
Rautan Kayu Yang Tipis
2. Ruhang
nyo’
Ruhang
nyo’ adalah tempat untuk menaruh kelapa muda khusus dipersembahkan kepada tamu
yang sangat dihormati seperti kepala Adat atau Bupati, Ketua DPRD dalam
pemerintahan. Ruhang Nyo’ dibuat dari rotan yang dirangkai sedemikian rupa
dapat digantung diketinggian satu atau dua meter. Buah kelapa muda yang sudah
siap diminum diletakkan disana dengan alat pengisap air kelapa dari bambu
kecil. Pada pesta meja panjang di kampung Marasa, ruhang nyo’ hanya ada di
Lepau rado’ RT 2, karena pekerjaannya rumit dan membutuhkan waktu maka RT-RT
lain tidak membuatnya.
Foto : Saprudin Ithur
Ruhang Nyo’ Tempat
Menggantung Kelapa Muda
3. Daun
Saung
Daun
Saung adalah daun palm hutan yang dijadikan bahan untuk membuat saung, seraung
atau tudung penutup kepala. Daun tersebut diletakkan dan dibentuk
bermacam-macam, ada yang diletakkan dengan daun menjuntai kebawah, ada yang
diletakkan dengan daunnya keatas, ada yang dilipat-lipat menjuntai kebawah
patah-patah, ada yang dibuat ketupat, sebagian dijadikan atap Lepau Rado’
(rumah meja panjang).
Foto : saprudin Ithur
Dekorasi Daun Saung
Dipatah-patah
4. Peralatan
Makan
Peralatan
makan tempo dulu piring masih menggunakan daun-daunan termasuk daun pisang,
lebih maju daun pisang dibentuk agar nasi dan sayur tidak terhambur, setelah
mengenal buah kelapa orang Dayak menggunakan batok kelapa yang dibelah dua
menjadi piring dan peralatan dapur lainnya seperti sendok sayur, sendok nasi.
Kemudian baru mengenal peralatan tembaga, kuningan, perak, dan terakhir
menggunakan piring seng, dan piring kaca.
Foto : Saprudin Ithur
Piring Terbuat Dari Daun
Pisang
5. Cawan
Bulo’
Cawan
Bulo’ adalah gelas yang terbuat dari potongan bamboo, ada yang polos saja ada
yang diukir dengan kreatif. Sebelum mengenal gelas atau cangkir modern dulu
orang Dayak sudah mengenal gelas yang dibuat dari potongan bambu. Dikampung dan
ditepi-tepi sungai bambo kecil, sedang dan bambo besar banyak tumbuh dan
tersedia bagi orang Dayak dipedalaman.
Foto : saprudin Ithur
Cawan Bulo’ diletaklkan
diatas Pat Daa (Tikar Pandan)
6. Dekorasi
Tambahan
Sebagai
dekorasi tambahan dipasang daun kelapa muda menjuntai dan daun kelapa hijau
menjuntai, daun kelapa dianyam, dibuat ketupat. Dipasang juga Saung berhias,
Belanjet (anjat) dengan pernak pernik manik, Kawung (Butah/Lanjung, tempat membawa barang
yang digendong), tapan (tampi/nyiru untuk menanpi beras), Mandau, Sumpit, Tameng,
Pat Daa (tikar terbuat dari pandan),
Foto : Saprudin Ithur
Hiasan Saung yang Indah,
Kawung (Lanjung), Daun Saung yang menjuntai
7. Makna Simbolik
Memasang Bulu Burung Dikepala Bagi Laki-laki Dewasa
Memasang
bulu burung enggang di kepala laki-laki dewasa tidak boleh sembarangan atau
asal pasang saja, karena masing-masing bulu yang dipasang ditopi laki-laki
dewasa pada upacara adat, acara pesta panen, atau acara pesta-pesta masyarakat
Dayak Lainnya memiliki arti dan makna tersendiri :
1) Meletakkan
atau menancap bulu burung ditopi sebelah kiri adalah orang kebanyakan atau
dikenal dengan orang biasa, bukan keturunan raja. Bagi masyarakat Dayak
kebanyakan atau orang biasa mengerti tidak akan berani meletakkan bulu burung
enggang disebelah kanan;
2)
Meletakkan atau menancap bulu burung ditopi sebelah kanan hanya boleh bagi
keturunan raja atau kaum bangsawan Dayak saja. Suku Dayak yang ada di
Kalimantan terdiri dari ratusan suku Dayak yang berbeda bahasa, budaya, dan
kebiasaan sehari-hari termasuk mengayau (memotong kepala), masing-masing Dayak
memiliki raja dan keturunan bangsawan. Sesama Dayak yang berbeda itu saat
datang atau diundang pada upacara adat
atau pesta panen tahu membedakan mana orang biasa dan keturunan bangsawan
dengan letak bulu burung enggang diatas kepalanya. Mereka memaklumi bagi orang
yang datang tapi tidak mengerti menggunakan bulu burung enggang, diletakkan
semaunya saja, dikiri, dikanan, atau ditengah. Melihat yang semacam itu mereka
hanya tersenyum;
3)
Meletakkan atau menancap bulu burung enggang satu buah ditengah bermakna
laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau satu kepala;
4)
Meletakkan atau menancap bulu burung enggang dua buah ditengah bermakna
laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau dua kepala;
5)
Meletakkan atau menancap bulu burung enggang tiga buah ditengah bermakna
laki-laki dewasa tersebut sudah mengayau lebih dari tiga kepala. Laki-laki
tersebut masuk dalam kata gori pemberani, jagoam dan sakti, artinya bukan orang
sembarangan;
Pada nomor
3), 4), 5) yang dikenal dengan Mengayau atau memotong kepala dilakukan pada
zaman dahulu, setelah masuk pemerintahan Hindia Belanda mengayau sudah mulai
dilarang dan akhirnya tidak dilakukan lagi oleh laki-laki dewasa suku Dayak.
Symbol mengambil kepala yang pertama adalah pengakuan seorang pemuda dewasa
boleh memilih pasangan hidup setelah mengayau dan membawa pulang kepala itu
kekampung, melawati sidang adat kepala itu diperiksa kebenarannya. Setelah
keputusan adat itu pemuda yang berhasil membawa kepala di Tiung atau ditato
sebagai pemuda dewasa yang sudah siap mencari pasangan hidup. Sedangkan
mengayau berikutnya adalah sebagai simbolik kejantanan, keberanian dan
kesaktian. Ada lagi dengan memotong kepala Dayak lain, lalu kepala tersebut ditelakkan
sebagai batas wilayah kekuasaan. Tanda itu sangat dihormati, apabila melanggar
batas tanpa ijin kematianlah akibatnya.
Foto : Saprudin Ithur
Busana Dayak Kenyah Dengan Bulu Burung Diatas Kepala
Foto : Saprudin Ithur Persiapan
Menari Gerak Sama Wanita Dayak Kenyah