SAPRUDIN ITHUR
PUSAKA SELTUK
SUMPAH
BONG SOK YANG
LAW
I.
KUNG KEMUL
Ribuan
tahun yang lalu orang Dayak masih tinggal di pohon-pohon besar. Orang-orang
Dayak Punan masih tinggal dipohon Durian. Mereka hidup dipohon durian dengan
tenang dan damai, semua makan dan minum tersedia. Mereka tidak pernah kerja
keras dan banting tulang. Kemudian hari, setelah pohon durian tempat tinggal
mereka dikuasai oleh suku lain, mereka harus turun. Untuk mendapat makan harus
bekerja keras menanam padi dan umbi-umbian, mau makan daging harus berburu, mau
makan ikan harus menyelam disungai. Orang Dayak Ga’ai tinggal dipaling hulu
sungai, disana mereka hidup dengan aman dan damai, semua tersedia, tanahnya
subur. Binatang banyak berkeliaran, apabila ingin makan daging tinggal
menangkap saja. Begitu pula dengan orang-orang Dayak Lebo dan Dayak Basaf,
mereka hidup tentram dan damai, mereka tinggal digua-gua batu yang indah,
sejuk, dan nyaman. Air tersedia dengan melimpah, untuk minum mereka tinggal
mengambil dari tetesan air yang keluar dari batu dalam gua. Kebahagiaan mereka
dituliskan di dinding-dinding gua berupa gambar-gambar berbentuk telapak tangan
dan beberapa sejenis binatang pada 4000 sampai 10.000 tahun yang lalu.
Kebahagiaan
dan kedamaian mereka tersebut tiba-tiba berubah. Hujan datang dengan deras
tanpa henti, sehari, dua hari, seminggu, sebulan masih saja turun hujan. Sadar
akan bahaya, mereka harus pergi meningalkan tempat tinggal mereka yang sudah
ratusan tahun itu. Mereka harus pergi secepatnya untuk mencari tempat yang
tinggi dan aman. Banjir besar dating melanda, sebagian besar mereka tenggelam
ditelan air bah yang sangat dalam. Ketika banjir besar itu terjadi, sungai
tidak terlihat lagi, pohon-pohon besar dan tinggi tenggelam, gunung, gua, pohon
durian semua tenggelam. Air dalam membanjiri seluruh daratan, daratan menjadi
lautan yang sangat luas. Tidak ada lagi daratan, tidak ada lagi pohon yang
terlihat, gunung-gunung hamper semua tenggelam, tidak ada lagi tempat yang aman
bagi manusia, binantang. Monyet dan orang utan berenang melawan arus, semua
berusaha menyelamatkan diri mencari tempat. Saat ini tingggal satu gunung yang
sangat tinggi, kesanalah mereka berusaha menyelamatkan diri, babi, rusa,
kijang, banteng, badak, landak, ular monyet, orang utan, dan semua binatang
berusaha keras menyelamatkan diri berenang menuju kegunung yang paling tinggi.
Manusia juga sama, sebagian ada yang sudah seminggu yang lalu naik kepuncak
gunung yang paling tinggi. Sebagian lagi berenang menuju kegunung itu. Yang
lainnya musnah tidak dapat menyelamatkan diri. Gunung yang sangat tinggi itu
namanya Kung Kemul, gunung Kung
Kemul.
Dari
Gunung Kung Kemul itulah orang Dayak menyebar. Awalnya mereka sangat ketakutan
untuk keluar mencari kehidupan baru dengan kejadian luar biasa beberapa waktu
lalu, banjir besar yang menenggelamkan semua daratan, yang tertinggal hanya
puncak gunung Kung Kemul dimana saat ini tempat manusia dan makhluk lainnya
tinggal dan hidup. Yang lain sudah habis, entah dimana mayatnya, tidak juga
dikatahui. Dari sana mereka sedikit-sedikit memberanikan diri keluar mencari
kehidupan baru. Mencari tumbuhan yang bisa dimakan, mencari buah yang bisa
dimakan, mencari pohon sagu untuk diolah, mencari anak sungai untuk menangkap
ikan, mencari apa saja yang bisa menjadi kahidupan. Akhirnya mereka mulai
menemukan tempat-tempat baru yang bagus dijadikan tempat tinggal dan pemukiman.
Rombongan pertama keluar, rombongan kedua keluar, rombongan ketiga keluar, dan
rombongan selanjutnya juga keluar. Akhirnya orang yang berada digunung Kung
Kemul habis keluar mencari tempat yang bagus, bagus untuk menanam padi, bagus
dengan banyak pohon sagu, bagus dengan banyak binatang berkeliaran, bagus
dengan sungainya bersih dan banyak ikannya.
Mereka
tersebar disepanjang sungai Kelay, disepanjang sungai Segah, disepanjang sungai
Wahau, disepanjang sungau Bulungan. Terdiri dari suku Dayak Ga’ai, suku Dayak
Punan, suku Dayak Lebo, dan suku Dayak Basap. Orang Dayak disungai Kelay
tersebar dari hulu sampai Kampung Inaran (Dayak Lebo) dihilir, disungai Segah
tersebar dari hulu sampai Kampung Punan Melinau dihilir, sedangkan suku Dayak
Basap tersebar sampai di sungai Birang, di sungai Lati, di sungai Suaran,
dan disepanjang pantai, dari sungai
Tabalar sampai di Teluk Sumbang. Sebaran tersebut semuanya berasal dari gunung
Kung Kemul, gunung yang paling tinggi menurut sejarah orang Dayak Ga’ai yang
tersebar di sungai Kelay kampung Lesan Dayak, kampung Long Lanuk, kampung
Tumbit Dayak. Di sungai Segah tersebar di kampung Long La’ai, kampung Long
Ayap, kampung Long Ayan, dan kampung Punan Melinau.
II.
SUMA’ MENURUT TRADISI DAYAK GA’AI
Pertama sekali yang terlihat
dibantaran sungai adalah airnya masih seperti dulu, deras turun kehilir. Pada
musim hujan airnya keruh seperti susu dan sangat deras. Ketika hujannya sangat
deras dan lama, air sungainya bukan hanya sekedar melimpah, tetapi meluap dan
meluber kemana-mana. Banjir secara tiba-tiba datang. Saat banjir datang seperti
itu dimulai dengan suara gemuruh yang terdengar dari kejauhan. Begitu melintasi
bantaran sungai, air dalam waktu sekejap langsung tinggi meluap dan meluber
dikiri kanan sungai yang berkelok-kelok seperti tubuh ular naga. Saat bersamaan
banyak pohon besar dan kercil yang tumbuh disepanjang sungai tercerabut dibawa
oleh derasnya air yang melimpah ruah tersebut. Bagi masyarakat pedalaman yang
telah lama bermukim dibantaran sungai, hal tersebut tidak mengherankan, sudah
biasa. Setiap tahun ada dua atau tiga kali didatangi banjir besar, makanya
mereka membuat rumah panggung selalu tinggi agar tidak tergenang banjir. Sungai
Kelai tidak luput dari kejadian tahunan tersebut, banjir datang secara
tiba-tiba. Banjir itu disebut penduduk sebagai banjir tahunan.
Sungai
Kelai yang panjangnya lebih dari 254 Km meliuk-liuk, menukik dan berbelok-belok
sampai menembus kewilayah perbatasan, ujungnya hampir bertemu dengan sungai
Sangkulirang dan hampir bertemu dengan ujung sungai Segah di hulu sana. Mempunyai puluhan anak
sungai diantarannya sungai Inaran,
sungai Long Gie, sungai Lesan, dan banyak sungai kecil lainnya. Sungai yang
panjang itu seolah ekor naga raksasa yang memukul dan mengibas membelah hutan,
rawa, dan belukar ditengah padang nan luas. Sungai Kelai yang airnya kadang
bening dan kadang keruh itu tumpah dan masuk kesungai Berau yang dulu dikenal
dengan Kuran, dan kemudian bersama dengan air sungai Segah tumpah kelaut bebas
melalui muara Lungsuran Naga, Muara Pegat, dan Muara Kasai. Kepala naganya
adalah muara sungai Berau mengangnga menghadap lautan, badan adalah sungai
Berau atau sungai Kuran, sedangkan ekornya bercabang dua yaitu sungai Kelay dan
sungai Segah.
Kiri
kanan sungai Kelai hutannya lestari, menghijau, memenuhi pinggiran sungai,
sampai ranting dan daun-daun jatuh dan melantai kesungai. Biawak, berang-berang,
ular taddung, dan ular sawa (piton), banyak berkeliaran hilir mudik dan
memotong sungai,
menyeberangi. Lain lagi dengan buayanya. Buaya kecil besar sering terlihat
ditengah sungai, bahkan dimana ada tempat-tempat bersih dan terang, pantai
pasir, pantai koral disana buaya-buaya itu mendarat dan berjemur dengan
mulutnya mengngangnga menyerap hawa panas matahari. Diranting ranting kayu
hinggap bermacam-macam jenis unggas, ada burung hijau pemakan ikan, ada burung
tampurukan, dan burung kalibarau yang suka mandi disungai setiap pagi dan sore
dengan kicaunya yang menawan. Dipohon-pohon besar ada burung tiung, burung
rangkai, burung enggang, burung elang, burung gagak, bekantan, uat-uat,
bangkui, bekantan, orang
utan, dan lain lain. Sedang didaratnya ada babi, kijang, payau (rusa), pelanduk
(kancil), beruang, badak, rimaung daan (macan dahan), landak, musang, binatang
pemalu, puluhan
jenis monyet, ratusan jenis semut, puluhan jenis kupu-kupu. Dipohon bangris
yang tinggi menjulang, dimana pucuknya seakan mencengkram awan, dicabang-cabangnya
bergelantungan sarang lebah madu yang sangat manis dan istimewa.
Jalan
satu-satunya pada masa lampau
dari Muara Berau sampai Tanjung Raddab dan terus kehulu Kelay dan hulu Segah
hanya melalui jalur sungai, transportasi sungai, dengan menggunakan perahu yang didayung atau didorong dengan tanggar (kayu panjang).
Untuk sampai ke pedalaman ditempuh selama tujuh hari tujuh malam, kalau air
sungai Kelai lagi banjir sampai sepuluh malam baru sampai di Kampung paling
hulu sungai sana,
sedangkan turun atau lusung dari pedalaman menuju muara sungai ditempuh selama tiga hari tiga malam, lebih
cepat karena mengikuti arus air sungai yang turun kehilir dengan cepat.
Sungai
Kelai nan indah dan permai diapit oleh hutan yang lebat dan tebing-tebing batu terjal
sampai saat ini masih menjadi saksi abadi bagi orang-orang yang hilir mudik
melintasi sungai selama ratusan tahun.
Suma’
artinya pemberian sesuatu yang berbentuk barang sebagai tanda jadi dan sebagai
penebus diri wanita (calon mempelai wanita), dari pihak laki-laki (calon
mempelai laki-laki). Pemberian tersebut diterima oleh orang tua wanita atau
perwakilannya disaksikan orang banyak dan disimpan sebaik mungkin. Suma’
diberikan kepada pihak wanita apabila sudah ada kesepakatan dalam majelis
musyawarah mupakkat kedua belah pihak, baik pihak wanita maupun pihak
laki-laki. Dalam arti lamaran atau keinginan dari pihak laki-laki sebagai calon
mempelai sudah diterima oleh pihak perempuan. Suma’ berbentuk gong, tabbak
(talam), atau tempayan (guci). Upacara penyerahan suma’ biasanya diadakan acara
tersendiri dan dihadiri sanak dan keluarga, kerabat kedua belah pihak mempelai
dengan tujuan semua yang hadir mengetahui bahwa putrinya si Pulan sudah dilamar
oleh seorang pemuda dengan diikat dengan suma’ yang diantarkan itu. Tidak lama
lagi peresmian pernikahan akan segera dilaksanakan dan syah menjadi suami
istri.
Suma’
dalam ceritera Ding Bong sangat berbeda dengan yang sudah diceriterakan diatas.
Suma’ adalah persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki
Dayak Ga’ai yang ingin menyunting gadis pujaannya. Suma’ tersebut adalah barang
langka, sulit dicari, dan terbatas adanya. Barang tersebut dimiliki hanya
orang-orang tertentu, orang terpandang, berkedudukan, derajat raja, atau orang
yang sangat kaya dan mempunyai sahabat banyak diluar sana. Harganya sangat
mahal bagi ukuran kemampuan orang Dayak yang tinggal dipedalaman dibantaran
sungai Kelay.
Barang
seperti Gong dan Tempayan yang sudah tua, umurnya sudah ratusan tahun
dikeramatkan oleh orang Dayak. Mengapa dikeramat atau dianggap barang Pusaka ?
karena barang tersebut pasti memiliki cerita dan sejarah dalam perjalanannya.
Ada barang hadiah dari Raja Berau, ada yang didapat dari alam gaib, ada yang
sudah dipergunakan dalam upacara-upacara adat, ada yang memang disimpan secara
turun temurun, ada hasil rampasan perang, ada yang dari hadiah persahabatan,
ada pula yang didapat hadiah dari kelompok yang mengakui kelompoknya yang lebih
tua, lebih berani. Ada yang sudah dijadikan suma’ turun temurun dari kakek ke
ayah, dari ayah keanak, dari anak kecucu dan seterusnya. Oleh karena itu gong
dan tempayan tua sangat dihormati, dan tidak boleh disembarangkan, keduanya itu
pusaka orang Dayak.
Seltuk
dalam bahasa Dayak Ga’ai artinya Pusaka, barang pusaka, barang tua yang sangat
dihormati. Oleh karena itu Seltuk ditempatkan ditempat yang baik, tidak boleh
disembarangkan. Kalau ada lemari dimasukkan dalam lemari, kalau ada peti
dimasukkan dalam peti agar aman dan tidak diganggu. Seltuk atau
benda pusaka Dayak Ga’ai berupa Gong dan Tempayan. Pada acara-acara tertentu sepeti
upacara adat, Seltuk baru dikeluarkan. Kalau Tempayan, maka dijadikan tempat
air suci yang diminum oleh orang-orang terhormat dan airnya untuk disiramkan
dikepala dan dikaki
semua yang hadir dalam upacara adat saat hendak selesai. Kalau Gong, maka
dibunyikan sebagai pertanda acara sudah dimulai dan sebagai tanda upacara sudah
ditutup.
III.
KECANTIKAN SAM BUM PING HONG
Raja-raja
diseluruh Nusantara biasanya pasti seorang laki-laki yang terpilih lalu
diangkat menjadi raja. Berbeda dengan kerajaan Dayak Ga’ai yang ada dan tinggal
di bantaran sungai Kelay dan sungai Segah, yang menjadi Raja bukan seorang laki-laki
yang gagah perkasa, sakti atau tampan, tapi yang menjadi rajanya adalah seorang
Perempuan, seorang wanita. Mengapa dipilih perempuan, tidak banyak diketahui
sejarahnya, karena sampai saat ini belum ada catatan yang menceritakan mengapa
raja suku Dayak Ga’ai itu perempuan. Walaupun perempuan tidak pula disebut
Ratu, tetap disebutnya Raja. Ada beberapa penuturan mengapa raja Dayak Ga’ai
itu perempuan : Pertama, Pada zaman dahulu kaum pria selalu bepergian
melanglang buana ditengah hutan belantara, karena kehidupan dan mata
pencaharian mereka ada didalam hutan. Waktu remaja saja seorang pria baru boleh
diakui sebagai seorang laki-laki dewasa setelah pergi jauh mencari kepala
manusia yang dikenal dengan mengayau
ditengah hutan. Begitu kepala didapat baru dilakukan upacara adat di Tiung
(batiung). Ditiung adalah upacara adat tato, setelah ditato baru diakui sebagai
pria dewasa dan boleh mencari pasangan hidup. Untuk mencari kepala atau
mengayau itu bisa saja berbulan-bulan lamanya, karena tidak mudah, harus
membunuh dan memotong kepala manusia. Resikonya pasti dibunuh atau lebih dahulu
membunuh; kedua, kaum pria selalu pergi mencari nafkah masuk
kedalam hutan berhari-hari bahkan berbulan-bulan seperti mencari damar, getah
kalapiyai, lilin madu, gaharu dan lain-lain, jarang ada dirumah; ketiga, apabila wilayah pemukiman mereka
sudah tidak layak lagi, atau buah-buahan dan binatang sudah kurang, ada musuh
yang sudah mengetahui pemukiman mereka, harus segera pindah. Mencari daerah
baru tersebut adalah pekerjaan kaum pria, mereka pergi berbulan-bulan untuk
mencari daerah baru yang layak dijadikan tempat pemukiman baru yang subur,
banyak buah-buahan, banyak binatang dan aman; keempat, pemegang barang-barang pusaka seperti gong, tempayan,
keramik, talam, kuningan, dan yang menentukan suma’ adalah kaum perempuan, oleh
karena itu yang menjadi Raja Dayak Ga’ai perempuan.
Lai
Ba’ Long seorang pemuda lajang yang tidak memiliki kedudukan tinggi dikalangan
orang Dayak Ga’ai, jatuh cinta dengan seorang gadis cantik bagaikan bidadari, putri
dari penguasa Dayak Ga’ai sungai Kelay. Gadis cantik jelita itu namanya Sam Bum
Ping Hong. Gadis cantik itu diperumpamakan sebagai bidadari yang turun dari langit,
turun dari kayangan.
Tutur katanya baik dan santun, murah senyum, senyumnya manis, berlesung pipi,
bibirnya bak semut beriring, hidungnya mungil, kulitnya putih halus, rambutnya
panjang terurai bak mayang mangurai dan selalu terurus dengan baik bak mayang
berjuntai, telinganya panjang menjuntai dihiasi perak dan permata, lehernya
bagus sakacak mayang. Kalau ia berjalan pinggulnya bergerak lentur berirama seolah
mengikuti irama musik sampe yang dimainkan ditengah malam bulan purnama.
Siapapun yang melihat Sam Bum Ping Hong matanya tidak dapat berkedip, mulutnya
terbuka lebar, kemudian berdecak kagum dan selalu memuji akan kecantikannya.
Ratusan pemuda yang memasang aksi, untuk meruntuhkan hati Sam Bum Ping Hong.
Itulah sebabnya Lai Ba’Long pemuda lajang yang tiggal jauh dari kampung Sam Bum
Ping Hong jatuh cinta berat kepadanya.
Walaupun dia pemuda biasa, tetapi ia patut mencintai yang ia suka, dan patut
dicintai oleh gadis secantik Sam Bum Ping Hong pujaannya.
Lai
Ba’ Long tidak kalah dengan pemuda lain sekampungnya, tidak kalah dengan pemuda
lain dikampung gadis pujaannya. Lai Ba’ Long berpenampilan bagus, badannya
tinggi semampai, perawakannya besar, raut wajahnya ganteng, rambutnya pirang
bercampur hitam. Kalau ia melintasi gerombolan para gadis yang lagi bersendau
gurau, gurauan mereka langsung terhenti, mata mereka semua tertuju pada Lai Ba’
Long yang sedang berjalan. Sangking gantengnya, wajah Lai Ba’ Long mendekati
wajah rupa wanita, cantik. Bibirnya tipis bak permata berlian, alisnya tertata
bak semut beriring, dagunya panjang bak lebah
bergantung, telinganya berukir bak daun keladi dihembus angin, tubuh kuat dan
kekar bak pohon bangris, oohhh semuanya bak…bak….bak….alam menari ceria. Pandai
bergaul pula, sopan tutur katanya, hormat kepada yang lebih tua, menyayangi
yang lebih muda. Senyumnya simple. Lai Ba’ Long adalah seorang pemuda yang
lengkap dan sempurna. Yach benar-benar sempurna. Lelaki yang sangat sempurna.
Pantas
saja gadis secantik Sam Bum Ping Hong menaruh hati yang paling dalam kepadanya,
jatuh cinta kepadanya, selalu ingin dekat dengannya. Seandainya sudah boleh,
sang pujaan tidak boleh lagi kemana-mana, kecuali selalu dekat dengannya. Sejak
beberapa bulan terakhir keduanya telah gayung bersambut, sudah mengikat janji dengan
tali rotan kuat-kuat dikedua tangan mereka, sudah mengikat tali cinta yang suci
dipikirannya, sudah mengikat hati satu sama lainnya. Mereka sudah sering
bertemu disudut kebun dekat sungai, di air terjun yang embunnya membasahi dan
dingin, Pendek kata keduanya sudah sering bertemu dan saling jatuh cinta.
Orang
tua Sam Bum Ping Hong yang dikenal dengan nama bu Ping Hong adalah raja Kelay,
juga setuju dengan pemuda tampan Lai Ba’ Long. Ketika Lai Ba’ Long mengutarakan
isi hatinya kepada bu Ping Hong, bu Ping Hong terkesan dan siap menyandingkan
putrinya dengan Lai Ba’ Long. Syaratnya satu yang harus dipenuhi yaitu Lai Ba’
Long harus memberi Suma’ berupa Seltuk atau benda pusaka berupa Tempayan. Tanpa
ragu dan aling-aling lagi Lai Ba’ Long dihadapan gadis pujaannya menyatakan
siap dan sanggup memberikan Seltuk kepada ibu mertua sebagai syarat pengganti
tubuh wanita gadis pujaannya Sam Bum Ping Hong untuk menjadi istrinya. Sam Bum
Ping Hong sangat senang mendengar pemuda pujaannya yang gagah dan rupawan itu
bisa menyiapkan dan mempersembahkan Seltuk berupa Tempayan. Gadis cantik itu
yakin, dirumah Lai Ba’ Long sudah tersedia Seltuk yang dimaksudkan, tinggal
menunggu waktu untuk diantarkan kerumahnya sebagai barang berharga dan
terhormat pengganti dirinya.
Kerinduan
sang kekasih semakin dalam, setelah pertemuan terakhir dirumah bu Ping Hong.
Sekaligus berjanji untuk segera mengambil Sam Bum Ping Hong dengan
menghantarkan Seltuk sebagai pengganti kekasih pujaan hatinya. Sejak itu Lai Ba’
Long tidak datang menemui Sam Bum Ping Hong. Wanita cantik itu dapat mengerti,
sang kekasih saat ini sedang berjuang mencari rejeki untuk persiapan acara
persandingan mereka nanti. Aku paham apapun yang kau lakukan adalah kebaikan,
apa saja yang kau kerjakan adalah kemuliaan. Prasangka baik dihatiku tulus
kuberikan sebagai doa dalam keseharianmu, kata-kataku memuji akan alam yang
maha luas untuk rumah kita. Aku lihat bunga dadap berwarna merah menutupi semua
daunnya, hijau daun dadap itu hilang tinggal bunga warna merah tampak
seluruhnya. Aku memuji keindahan alam yang sudah ada sejak aku masih kecil dan
mulai mengenal alam disekitarku. Pohon besar diseberang sungai itu masih
disana, dulu masih sebesar tubuhku, tingginya masih satu tangga. Sekarang sudah
sebesar itu, tingginya sampai mendekati awan. Seandainya aku berada dipucuk
pohon itu pasti aku bisa bermain dengan awan yang melintasiku dengan nakal.
Oooccchhhhh….Lai Ba’ Long…aku nyanyikan tembang Jiek untukmu, aku nyanyikan lagu alam dengan mengenai juga untukmu, untuk penguat dan keteguhan perjuanganmu.
IV.
MEREBUT PUSAKA
Lai
Ba’ Long sejak berpisah dengan kekasihnya Sam Bum Ping Hong beberapa waktu lalu
harus berpikir keras, harus berupaya keras bagaimana caranya untuk mendapatkan Seltuk. Lai
Ba’Long pergi kehutan belantara, disana tidak ada Seltuk, tapi upaya keras
untuk berusaha mendapatkan Seltuk mulai dilakukan.
Pergi ke air terjun dianak sungai Kelay berpikir mencari cara untuk mendapatkan
Seltuk. Duduk ditepi sungai sembari menatapi anak-anak ikan yang berenang
kesana kemari, juga sama memikirkan bagaimana untuk mendapatkan Seltuk untuk
dipersembahkan kepada ibu kekasihnya, dan kekasihnya menjadi pendamping hidup selamanya.
Sam
Bum Pin Hong kekasihnya menyangka Lai Ba’Long atau orang tua Lai Ba’ Long sudah
memiliki Seltuk untuk dijadikan pengganti dirinya, oleh karena
itu Sam Bum Ping Hong melepas kekasih dengan senyum dan keyakinan yang dalam, ternyata semua itu diluar nalar dan pikirannya. Lai Ba’ Long tidak
memiliki Seltuk, orang tuanya miskin tidak mampu membeli Seltuk, keluarganya
juga tidak memiliki Seltuk seperti yang diminta oleh keluarga Sam Bum Ping
Hong. Seltuk sangat sulit untuk didapatkan, kalau bukan orang kaya tidak
mungkin bisa memiliki Seltuk. Seltuk adalah barang yang sangat mahal, barang
mewah, barang terhormat bagi pemiliknya. Yang memiliki Seltuk hanya raja, orang
kaya dan orang terpandang. Orang kaya karena mampu membeli, orang terpandang
dan raja ada yang dibeli tetapi ada pula hadiah dari sahabat atau persembahan
rakyat karena berbuat salah lalu dihukum dengan membayar denda seperti gong,
Seltuk atau Tabbak. Tetapi apapun alasannya, bagaimanapun caranya, Lai Ba’ Long
harus mendapatkan Seltuk itu untuk dipersembahkan kepada kekasihnya Sam Bum Ping Hong.
Pagi-pagi
sekali, matahari mulai naik. Matahari seperti sulit untuk keluar. Awan putih
masih saja menghalangi. Awan putih itu sebagian ada diatas bumi dan menutupi
matahari, sebagian lagi putus masuk menancap kedalam bumi. Saat matahari
melintasi awan yang menghalang, sedikit nampak terang ketika melintasi awan
yang lebih tipis. Kemudian tertutup lagi. Nah indahnya saat matahari terhalang ujung awan putih
itu, diatasnya langit nampak terang, diatasnya lagi ada awan putih kehitaman. Apapun
alasannya matahari
tetap melintas, semburat cahayanya yang membuat pesona keindahan alam ketika
matahari terbit.
Dimulai dengan membentuk bundaran raksasa, yaitu pelangi melingkari matahari.
Matahari terang, tetap meninggalkan aura sinar tajam pelangi dengan sedikit
warna. Kemudian matahari masuk ke awan hitam, sinarnya memecah. Waw semua itu
sulit untuk diceritakan, keindahan apa yang terlihat, keelokan apa itu,
kemolekan yang sulit diceritakan. Kemerahan, kemudian berbias merah dan putih.
Putihnya terasa menusuk sampai kadalam mata, lalu muncul lagi semacam pelangi
yang tipis…perlahan-lahan hilang….dan matahari terang benderang….. Berbicara
keindahan alam semacam itu sulit untuk dikatakan. Sang Pencipta mengatakan, Aku bisa membuat seindah apapun
ketika matahari terbit maupun matahari menjelang terbenam, diperuntukkan bagi
kalian penyuka alam dan keindahan matahari, tetapi lebih indah kalau kalian dekat dengan Aku.
Aku akan berikan keindahan dihati, dipikiran, dikata-kata, di tatapan mata,
dipendengaran, dirasa kalian, lebih dari sekedar keindahan matahari terbit atau
terbenam. Pasti lebih indah dari itu, Tuhan-mu selalu dekat dihati, dipikiran
kalian. Indahnya dunia ini…..bersama manusia yang selalu indah hati dan
pikirannya.
Lai
Ba’ Long kalap pikirannya, hatinya dikotori untuk memiliki sesuatu. Cinta yang
suci yang ia berikan kepada Sam Bum Ping Hong, cinta suci yang diberikan Sam
Bum Ping Hong kepadanya berubah. Lai Ba’Long tidak pernah menyakiti kekasihnya,
tidak ingin merusak cintanya yang suci, tidak ingin mengecewakan kekasih
hatinya. Ia harus berusaha keras, ia harus mendapatkan Pusaka Seltuk. Keadaan
dirinya dan keadaan keluarganya bukan penghalang, aku harus berusaha dengan
cara apapun untuk berdampingan dengan pujaan hatinya.
Lai
Ba’ Long memanggil Ding Met, pemuda pemberani. Ding Met sebagai Ipar, setia dan
siap membantu apa saja yang diinginkan adik istrinya. Apalagi saat ini adik
iparnya itu sedang dirundung Cinta dengan seorang gadis cantik suku Dayak
Ga’ai.
Dipertemuan
keduanya Lai Ba’ Long memelas kepada kakak iparnya “Kakak, aku minta tolong…”
kakak iparnya menatap dengan tajam kepada adik iparnya “ ada apa…..kalau bisa
aku tolong, ya aku bantu lah” ujar Ding Met dengan santai. Ding Met tahu benar
kegelisahan hati dan perasaan
adiknya itu, adiknya yang tampan dan lemah lembut tersebut seorang pekerja
keras, giat membantu keluarga, orang tua, saudara, termasuk pekerjaan saudara
iparnya. Oleh karena itu iparnya tidak akan tinggal diam ketika saudaranya sedang kesulitan, kesusahan,
apalagi saat
ini sedang dirundung cinta. Dan kakak iparnya tahu persis
keadaan keluarga istrinya,
seltuk yang dipersyaratkan untuk mendapat wanita pujaannya tidak dimiliki keluarga Lai Ba’ Hong.
Semua
keluh kesah, sedih dan duka, perasaan cintanya yang tidak bisa dipisahkan
dengan kekasihnya Sam Bum Ping Hong, diceritakan dengan berkaca-kaca
kepada kakaknya dan kakak iparnya.
Setelah mengdengarkan semua itu...Ujar
Ding Met dengan semangat
“Baiklah aku akan lakukan apa saja yang terbaik untuk adikku” mendengar
kakak iparnya siap membantu, Lai
Ba’ Long tersenyum, senang sekali. Bahkan ia sampai memeluk kakak iparnya. Lain
halnya dengan kakak perempuannya, istri
Ding Met sangat terkejut, begitu tahu rencana adik dan suaminya. Diceritakan suaminya pada malam
hari. Istri Ding Met sangat sedih….istri Ding Met sangat khawatir, malam itu
istri Ding Met menangis dipangkuan suami yang dicintainya. Suaminya adalah kakak
ipar Lai Ba’ Long. Suaminya
rela berkorban untuk adiknya, karena cintanya kepada istrinya dan sayangnya
kepada adik iparnya. Pengorban itu yang membuat istri Ding Met sangat masgul
dan sedih
yang mendalam.
Suaminya rela berkorban untuk mencari Seltuk untuk adik
kesayangan istrinya.
Pagi
harinya “istriku doakan kakanda untuk pergi bersama Lai Ba’ Long, untuk mencari
Seltuk, semoga tercapai dan adik kita segera menjemput Sam Bum Ping Hong
kekasihnya” Istri Ding Met melepas keduanya dengan senyum, walaupun dalam
hatinya sangat sedih. Istri Ding Met menganggukkan kepala melepas suami dan
adiknya berangkat untuk berjuang mencari Seltuk Pusaka orang Dayak Ga’ai. Kemana mereka mencari Seltuk, istrinya
Ding Met tidak tahu. Sepengetahuannya, rasanya
tidak ada satu seltuk-pun yang ada dalam hutan. “Sepengetahuanku pemilik Seltuk
adalah raja, orang kaya, dan orang terpandang” katanya
dalam benak pikirannya.
Dinegeri kami tidak ada yang bisa dan mampu membuat seltuk yang indah
sendiri. “Oh semoga mereka berhasil
mendapatkan Seltuk, dan adikku segera mendapatkan gadis pujaannya Sam Bum Ping
Hong” doanya menguatkan hati yang sedih ditinggalkan adik dan
suaminya tercinta.
Satu-satu
jalan adalah dengan merampas seltuk milik seorang tokoh wanita di Lesan Dayak,
yaitu Seltuk milik Bong Sok Yang Law. Bong Sok Yang Law memiliki seltuk turun
temurun, seltuk dari kakek buyutnya yang diturunkan kepadanya. Usia seltuk
sudah lebih seratus tahun, seltuk disimpan dengan baik dan aman dirumahnya yang
sederhana. Rumah Bong Sok Yang Law sebuah rumah panggung, tongkat atau tiang
rumahnya terbuat dari batang kayu ulih sebesar paha orang dewasa, lantainya
terbuat dari potongan kayu bundar dan kulit kayu yang tebal, lantainya disusun
dengan rapi, diikat kuat dengan tali rotan yang telah diraut atau dihaluskan.
Dinding rumahnya terbuat dari kulit kayu pohon meranti dan yang tipis dari
kulit pohon tarap, juga diikat dengan rotan yang sudah diraut rapi, atap
rumahnya dari daun nipah yang banyak tumbuh dimuara dan daun saung atau daun
biru, sejenis daun palm yang tumbuh lebat disekitar hutan tempat mereka
tinggal.
Sesampainya
di Lesan Dayak, Ding Met memerintahkan adiknya untuk tinggal dan menunggu di
kejauhan, bersembunyi dibalik pohon bangkirai yang sangat besar. Diempat
itu aman dan terlindung, kecuali aku berteriak minta tolong baru Lai
Ba’ Long keluar dan membantunya. Hawatir dipermalukan pemilik seltuk, mengambil
atau merampas seltuk karena adiknya mau menikah dengan Sam Bum Ping Hong putri
Raja Ga’ai sungai Kelay. Rencana Ding Met akan meminta seltuk miliki Bong Sok
Yang Law dengan baik-baik,
dengan alasan akan dipakai untuk upacara adat di kampungnya. Tetapi kedatangan
Ding Met sangat mencurigakan, tanpa ada kabar berita rencana kampungnya untuk
mengadakan upacara adat. Dan sepengetahuan Bong Sok Yang Law dikampungnya ada
beberapa buah seltuk, gong dan Tabbak yang bisa dipergunakan untuk upacara
adat. Yang berikutnya kedatangan Ding Met secara diam-diam melintasi hutan
balantara dibelakang kampung Lesan Dayak dan belum meminta ijin dengan Ping
Hong sang
Raja. Yang pasti,
tidak mungkin Ding Met meminta ijin kepada Raja, raja adalah ibu Sam Bum Ping Hong calon istri adik
iparnya Lai Ba’ Long. Seltuk yang diingin, yang saat ini dimintanya tersebut
untuk diberikan kepada Ping Hong sang Raja sebagai pengganti diri putrinya Sam
Bum Ping Hong.
V. SUMPAH
BONG SOK YANG LAW
Kecurigaan
Bong Sok Yang Law dengan kedatangan Ding Met secara sembunyi-sembunyi ternyata
memang benar. Niat Ding Met pasti ingin merampas Pusaka Seltuk atau Tempayan
yang sudah berusia ratusan tahun. Wajah Ding Met yang ingin menguasai pusaka
nampak kelihatan. Wajahnya terlihat tidak tenang, kemerahan, kasar, dan tidak
bersahabat. Bong Sok Yang Law harus berani mengatakan tidak walaupun resikonya
sangat berat dan berbahaya. Posisinya sendirian dalam rumah panggung yang besar
dan luas. Didalam rumah itu ada sebuah peti tempat menyimpan barang pusaka
termasuk seltuk didalamnya, di sudut lain ada sebuah lingkaran cukup besar dengan
garis tengah tidak kurang dua meter dan nampak berat dengan isi didalamnya,
semacam lumbung tempat menyimpan
padi, ya tempat menyimpan padi hasil panen tahun lalu, bahasa Banjar namanya kindai, bahasa Dayak Ga’ai namanya Wung.
Disudut lain, didinding rumah tergantung
sumpit dan beberapa peralatan perang, seperti telabang dan Mandau tua. Mandau
tua itu terbuat dari besi tua dan bertuah, gagangnya terbuat dari tanduk rusa
yang berukir gaya Dayak Ga’ai, perekat untuk menyatukan besi dan gagang digunakan
malau. Malau digunakan dengan cara dipanaskan. Sedangkan warangkanya atau
sarung mandau terbuat dari kayu pilihan yang diukir dengan motif binatang, jin,
dan dewa-dewa.
Bong
Sok Yang Law dengan berat hati harus mengatakan tidak bisa memberikan pusaka
kepada Ding Met. “mohon maaf saudaraku, dengan berat hati permintaanmu
belum bisa aku penuhi”. Mendengar
jawaban Bong Sok Yang Law yang menolak permintaannya membuat hatinya sakit, perih,
mendidih, mukanya menjadi merah, matanya melotot. Ding Met langsung marah. Bong
Sok Yang Law sangat kaget mendengar perkataan Ding Met yang keras, kasar, dan
mengancam. Dilain tempat Putra Bong Sok Yang Law mendengar pertengkaran ibu
dengan seseorang, khawatir ibunya kenapa-napa, langsung berlari menuju rumah,
dengan tidak menginjak anak tangga, langsung melompat kedalam rumah. Didalam
dengan Mandau terhunus dan posisi sangat siap, Ding Met membalik tubuhnya
langsung menebas tubuh Ding Bong yang baru masuk. Ding Bong sangat terkejut,
tidak mengerti akar permasalahan langsung diserang dengan madau terhunus. Hampir
saja tubuhnya putus oleh serangan Ding Met yang sangat tiba-tiba itu. Ding Bong
dengan cepat dan terampil menghindarai serangan Ding Met yang membabi buta.
“Hentikan Ding Met” teriak Bong Sok Yang Law. Ding Met tidak mendengarkan
kata-kata dan teriakan Bong Sok Yang Law. Sudah terlanjur kepalang basah,
apa boleh buat aku habisi saja si Din Bong putra
Bong Sok Yang Law ini, kemudian aku paksa dan aku rampas Seltuk....lalu segera pergi meninggalkan rumah laknat ini...selesai. Tetapi ternyata tidak mudah,
Ding Bong sangat pandai berkelit, menghindari tebasan Mandau Ding Met. Dalam
waktu kesempatan tertentu Ding Bong-pun mencabut senjatanya, dan sudah menghunus
Mandau yang ia cabut dari sarungnya. Mandau tersebut terikat dengan kuat
dipinggangnya. Maka terjadi tarung satu lawan satu antara Ding Met dan Ding
Bong. Keduanya saling sabet dengan Mandau tajam yang terhunus, sedikit saja
lengah berarti nyawa taruhannya. Beberapa sabetan, puluhan sabetan tidak
mengenai kulit keduanya, pertarungan itu benar-benar gila. Ding Met sang penyerang
tentu ingin menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat, lalu segera mengambil
Pusaka Seltuk dan segera pergi meninggalkan tempat itu. Agar kegaduhan,
sekaligus perampokan itu tidak tercium oleh masyarakat luas. Keuntungan
berikutnya rumah Bong Sok Yang Law jauh terpisah dari rumah yang lainnya.
Tetapi teriakan keduanya yang sedang bertarung semakin keras, kemungkinan saja
bisa diketahui oleh orang banyak. Keputusannya segera habisi nyawa Ding Bong.
Siaaaattt….hup…..iiiiiaaaattt….Ding Bong mulai terdesak. Saat ini pertarungan
sudah tidak didalam rumah lagi…upaya Ding Bong untuk memancing Ding Met keluar
berhasil. Tetapi diluar Ding Met lebih ganas untuk segera menyelesaikan
pertarungan. Ding Bong terus terdesak…dan akhirnya pasrah menerima sabetan Mandau
yang sangat tajam yang sudah dipersiapkan dengan baik oleh Ding Met. Akhirnya
Ding Bong terkulai tak berdaya, Ding Bong kalah dalam pertarungan satu lawan
satu. Ding Met langsung masuk rumah, disebagian tubuhnya terdapat percikan
darah. Langsung masuk, didalam Bong Sok Yang Law sudah menghunus Mandau pula,
bersiap bertarung satu lawan satu dengan tamu tak diundang. Bang Sok Yang Law
mempertahankan pusaka Seltuk dan beberapa pusaka lainnya. Tetapi pertarungan
itu tidak memakan waktu lama, Bong Sok Yang Law sudah terdesak kesudut rumah
dekat dengan peti penyimpanan barang pusaka, tidak bisa berbuat banyak.
“Bu
Ding Bong aku tidak ingin
membunuhmu, karena kau seorang wanita….berikan segera pusaka Seltuk itu
kepadaku…aku hanya butuh pusaka Seltuk….yang lainnya tidak….cepat !!!” perintah
Ding Met kepada Bong Sok Yang Law. Dengan berani dan lantang Bong Sok Yang Law
mengatakan “tidak…tidak bisa...tidak satupun
pusaka milikku dan milik kerajaan Dayak Ga’ai boleh diambil oleh siapapun…termasuk kau Ding Met….kau
sekarang sudah berubah menjadi perompak…lebih baik aku mati bersama pusaka ini
dari pada menyerahkan begitu saja dengan orang jahat seperti kau”. Saat yang
sangat menegangkan tersebut Bong Sok Yang Law mengeluarkan Pusaka Seltuk berupa
tempayan tua yang sangat dihormati oleh masyarakat suku Dayak Ga’ai. Mendengar
penghinaan,
Ding Met marah besar,
marah yang tak tertahankan, Ding Met menghunuskan Mandau mendekati Bong Sok
Yang Law seorang wanita yang tidak berdaya lagi untuk melawan. Ding Met sudah
lupa nasihat orang tua-tua, wanita dikalangan suku Dayak Ga’ai sangat
dihormati, penghormatan tersebut mereka angkat derajat kaum perempuan dengan
dijadikan raja. Kaum perempuan adalah wanita yang tangguh rela mati untuk
mempertahan suatu keyakinan. Rela mati untuk mempertahankan kehormatannya, rela mati untuk
menghidupi putra-putinya, dan rela mati untuk mempertahankan pusaka keluarga
dan kerajaan.
Yang
sangat mengejutkan pada saat itu dihadapan Ding Met yang sudah marahnya tak
terbendung lagi, Bong Sok Yang Law tiba-tiba memukul tahat atau tapehnya, sejenis sarung penutup tubuhnya, tanda bersumpah kepada langit
dan bumi. Bong Sok Yang Law telanjang bulat, lalu duduk diatas Seltuk dan
mengangkat sumpah. “Aku bersumpah…..Seltuk Pusaka Ini Menjadi Batu” saat itu
juga leher ibu yang sudah telanjang menyerahkan dirinya kepada alam semesta,
kepada bumi dan langit, dipenggal oleh Ding Met. Tubuhnya menggelepar setelah
terlepas kepala. Dengan sadis didorongnya tubuh Bong Sok Yang Law dengan kaki.
Tubuh yang telah tak bernyawa itu rebah disamping Pusaka Seltuk. Begitu Pusaka
ingin dibawa pergi, betapa terkejutnya Ding Met, Pusaka itu telah menjadi Batu.
Dengan sangat kecewa Ding Met berteriak sekeras-kerasnya kepada langit, kepada
bumi, kepada alam semesta. Ia kecewa sekali perjuangan yang berat, dengan
berdarah-darah, untuk mendapatkan Pusaka Seltuk gagal. Sayangnya kepada adik
iparnya yang berlebihan itu membuatnya harus membunuh dua nyawa, keduanya bukan
musuh perang, keduanya
adalah suku Dayak Ga’ai sama seperti dirinya dan adik iparnya. Lalu Deng Met
meninggalkan rumah Ding Bong, rumah Bong Sok Yang Law menemui adik iparnya. Lai
Ba’ Long menangis dihadapan kakak iparnya, menyesali semua kejadian tadi. Kakak
iparnya juga menangis karena gagal memberi yang terbaik untuk adik kesayangan
istrinya. Keduanya sangat kalut, khawatir diketahui orang perbuatan jahat
mereka. Mereka pergi menempuh perjalanan yang sangat jauh melintasi hutan,
gunung, sungai, dan danau. Ditengah perjalanan mereka berdua ditemukan kelompok
pengayau, pencari kepala. Ding Met dan Lai Ba’ Long berperang habis-habisan
melawan para pengayau, para pencari kepala. Lawannya banyak, lawannya kuat,
lawannya menggunakan strategi peneyarang dan mempertahankan diri, akhirnya Ding
Met dan Lai Ba’ Long kelelahan dan kalah dan pertarungai yang tidak seimbang. Kedua
kepala yang sangat berdosa itu dipenggal ditengah hutan belantara Borneo yang
maha luas tanpa ujung dan awal.
Sejak
kejadian itu rakyat Dayak Ga’ai tidak mempunyai raja lagi. Dayak Ga’ai sungai
Kelay sudah bersumpah, siapa saja yang duduk di Tempayan Tua yang dulu dikenal
dengan nama Pusaka Seltuk tidak selamat. Akhirnya Dayak Ga’ai sungai Kelay
tidak berani memelihara Tempayan yang sudah menjadi Batu. Apabila ada orang
diluar suku Dayak Ga’ai yang menjadi raja, maka Tempayan Batu sebagai simbol
raja diserahkan kepada yang menjadi raja. Karena orang lain diluar suku Dayak
Ga’ai tidak tahu sejarah terjadinya Tempayan Batu atau pusaka seltuk sampai
menjadi batu. Sumpah itu turun temurun disampaikan kepada anak cucu sampai
dengan sekarang. Makanya kami tidak boleh lagi menjadi raja. Kalau keturunan
bangsawan, rarja-raja dulu sampai sekarang masih ada. Keturunan raja tersebut
masih kami hormati ujar ketua adat kampong Long Lanuk.
Lampiran
I nama-nama
sungai dimulai dari Tumbit Dayak
- Long Demit
- Long Lanuk
- Long Danum
- Long Kelling
- Long Jam
- Long Nyang
- Long Jau
- Long Nyangnyo
- Long Keluh
- Long Keluh Kayang
- Long Belekai
- Menangan Lesan
- Long Pesan
- Long Petang kecil
- Long Petang besar
- Long Gie
- Long Gahyang
- Long Nalai
- Long Loang Blui
- Long Kil
- Long Boy
- Long Nuang
- Long Ke
- Long Duhung
- Long Kesak
- Long Keluh
- Long Peyan
- Long Lamcin
- Long Pelai
- Long Salju
- Long Ngui Kian
- Long Lau
- Long Lukkian
- Long Loas
- Long Sului
- Long Banua’
- Long Tuwau
- Long Kihim
- Long Gut
- Long Abat
- Long Samling
- Long blu
- Long Jelengan44. Long Besselai