Senin, 20 April 2015

SEJARAH SINGKAT PAHLAWAN BAJAU SABA'ANI DI PULAU DERAWAN


SEJARAH SINGKAT PAHLAWAN BAJAU SABA'ANI


Oleh : Saprudin Ithur
 
Saba'Ani, Garabia, Makangug, Karut dan Salda. Mereka berlima adalah satu keluarga yang berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya. Mereka datang dari  Malaysia karena bermasalah dengan pemerintah Inggris pada masa pejajahan di Sabah, akhirnya mereka harus rela pergi meninggalkan Sabah dengan menggunakan perahu menuju ke selatan yang mereka anggap lebih aman dan damai. Sampailah mereka di Pulau Panjang. Di sana mereka menetap beberapa tahun menyatu dengan penduduk yang lebih dahulu berada di sana.
Pada tahun 1880-an Pulau Derawan dan Pulau Panjang sudah ada penduduk. Usaha penduduk sebagai nelayan dan menanam kelapa. Rumah-rumah mereka menjorok ke pantai terbuat dari batang nibung yang telah dibelah dan dihaluskan. Tiang dari pohon nibung, lantai juga dari pohon nibung yang telah dibelah dan dihaluskan. Sedangkan dinding dan atap terbuat dari daun nipah.
Ukuran rumah mereka kecil-kecil seperti pondok di kebun dengan ukuran 4 x 4 m dan 4 x 6 m masing-masing memiliki gulang-gulang (semacam teras tanpa atap) tempat menjemur ikan dan hasil laut lainnya. Suku Bajau pada saat itu masih lebih banyak hidup di laut dengan perahu (dikenal dengan sebutan manusia perahu), sedangkan tinggal di darat atau dirumah hanya waktu istirahat dan menjemur ikan.
Tinggal diperahu sulit mendapatkan air tawar, hanya menampung air hujan secukupnya, apabila tidak ada hujan manusia perahu itu harus mencari pulau atau pantai yang ada air tawarnya. Karena di Pulau Panjang sulit mendapatkan air tawar, maka mereka kemudian pindah dan menetap di Pulau Derawan yang kaya dengan air tawar. Pulau Panjang dijadikan tempat berkebun dan mencari ikan. Sekitar Pulau panjang dikenal memiliki banyak ikan dan merupakan tempat peristirahatan penyu, sekaligus sebagai tempat kawin dan mencari makan.
Pada tahun 1908 keberadaan Saba’ani beserta keluarganya diketahui oleh Inggris di Sabah. Kemudian berita itu disampaikan kepada Pemerintah Hindia Belanda di BorneoIndonesia. Setelah menerima berita dari Sabah, pihak Belanda mengadakan persiapan-persiapan untuk penangkapan dan kemudian direncanakan dikirim kembali ke Sabah. Hal pertama yang dilakukan Belanda adalah menyelidiki kebenaran dan keberadaan Sabaani di Pulau Panjang berdasarkan keterangan dan ciri-ciri yang telah diketahui (jangan sampai salah tangkap). Kedua setelah dikatahui, diadakan persiapan untuk penangkapan. Ternyata rencana penangkapan Sabaani beserta keluarga telah tercium. Merekapun pindah ke Pulau Derawan. Masa itu belum ada perahu bermesin. Perahu mereka digerakkan menggunakan tenaga dayung dan layar. Jadi hubungan antara satu pulau dengan pulau lainnya masih sangat sulit. Pada bulan Januari 1909, musim angin selatan bertiup kencang, ombak besar menggulung dan menghantam pantai Pulau Panjang dan Pulau Derawan, saat itulah waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan. Biasanya pada saat angin kencang dan ombak besar nelayan tidak melaut.
Sebuah kapal milik Belanda langsung menuju Pulau Panjang. Rombongan bersenjata tidak kurang dari 12 orang langsung turun ke Pulau Panjang. Tanpa perlawanan pasukan Belanda menyisir rumah-rumah dan pantai sekitar Pulau Panjang, tetapi Saba’ani tidak ditemukan. Kapalpun melanjutkan perjalanan ke Pulau Derawan.
Di Pulau Derawan Saba’ani sebagai kepala rumah tangga bersiap menunggu kedatangan pasukan Belanda. Mereka tidak rela untuk menyerah, mereka akan melawan sampai titik darah penghabisan. Saba’ani dibantu oleh putranya Karut dan anak gadisnya Salda. Karena tidak mau menyerah dan melawan pasukan Belanda, maka terjadilah tembak-menembak dari kedua belah pihak. Lebih dari satu jam bertempuran itu berlangsung. Naas putrinya Salda yang berpakaian seperti seorang laki-laki lebih dulu rebah berlumuran darah. Melihat kejadian itu Saba’ani berusaha menolong putrinya. Saba’ani sangat sedih melihat putrinya, walaupun putrinya tetap tersenyum menatap ayahandanya. “Saya ini sudah basah”, kata putrinya dengan lemah. Putrinya menjelaskan bahwa darah sudah membasahi tubuhnya dan kemudian pergi untuk selamanya.
Dengan rasa sedih yang mendalam Saba’ani yang kebal terhadap peluru itu melepas singal penutup kepala dan mengeluarkan mutiara dari mulutnya, dan kemudian Sabaanipun tertembak, beberapa buah peluru menembus dada dan kepalanya. Saba’ani pergi untuk selamanya tersungkur dengan mencium pasir Pulau Derawan. Saba’ani rubuh tidak jauh dari putrinya Salda, kemudian istrinya Makangug keluar bersama anak dalam gendongannya. Makangug dan anak yang digendongnya pun kemudian tertembak.
Ditempat lain yang tidak jauh dari Saba’ani anaknya si  Karut yang masih bertahan diberondong peluru, badannya bergetar darah mengucur dan roboh pula untuk selamanya. Lima mayat bersimbah darah karena mempertahankan kebenaran yang diyakininya, walaupun harus pergi meninggalkan kampung halaman dan harus mati bersimbah timah panas. Mempertahankan hak dan jiwa raganya, mempertahankan nama baik keluarganya, tidak mau dijajah Inggris dinegerinya, tidak mau dijajah dan direndahkan oleh Belanda dinegeri orang lain. Mereka anak beranak  gugur di medan laga, di Pulau Derawan sebagai pulau syurga bagi sang pemberani dan sang pahlawan.
 Bagaimana dengan penduduk Pulau Derawan pada masa itu? Mereka umumnya melihat kejadian yang menegangkan itu, namun tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani membantu perjuangan Saba’ani yang berani itu, karena khawatir keluarga mereka juga akan dibantai oleh pasukan Belanda.
Pasukan Belanda setelah memenangkan pertempuran bergerak mendekati mayat yang bergelimpangan. Ketika semua diperiksa sudah tidak bernyawa lagi, satu persatu tutup kepala mereka dibuka, pasukan Belanda sangat menyesal karena sudah membunuh dua orang wanita Salda yang cantik yang masih muda belia sekaligus ibunya serta  seorang anak yang masih dalam dekapan ibunya.
Pasukan Belanda bergerak meninggalkan Pulau Derawan tanpa membawa mayat sang pahlawan Saba’ani. Mayat-mayat itu diserahkan kepada penduduk kampung untuk di makamkan sebagaimana mestinya. Oleh keberanian Saba’ani dan keluarga menantang maut,  mereka dianggap oleh masyarakat setempat sebagai pahlawan orang Bajau Solok. Sampai saat ini makam pahlawan itu masih terawat dengan baik di pulau Derawan, Makam tersebutsudah pernah dipindahkan karena abrasi yang terjadi di pantai pulau, dipindahkan jauh dari pantai.
Keberanian Saba’ani, Salda dan keluarganya menjadi simbol dan kebanggaan masyarakat laut, Tanjung Batu, Pulau Derawan dan Pulau Maratua. Penghargaan itu terus diceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi kegenerasi hingga saat ini. Bagi siapa saja yang datang ke Pulau Derawan tentu belum lengkap kalau belum berkunjung ke makam Saba’ani. Selain makam Saba’ani, masih ada makam lain yang tidak kalah pentingnya dan harus dikunjungi antara lain Kuburan Kuda, Kuburan Cina pertama di Pulau Derawan, Makam Keramat, dan sumur tua.
Selamat berkunjung ke Pulau Derawan, pulau  surga, pulaunya para dewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar